Total Tayangan Halaman

Senin, 19 Desember 2011

Pendekatan Islam Kultural


Teori ini dikembangkan oleh Donald K. Emmerson. Teorinya terdapat dalam beberapa tulisanya di antaranya, “Islam in Modern Indonesia; Political Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H Stoddard (et.al) Change and the Muslim World, Syracuse University Press, 1981; 159-168. “Isl;am and Regime in Indonesia; Who ‘s Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan tahunan Ahli-ahli politik Amerika, 31 Agustus 1989.

Secara umum orang melihat Islam di Indonesia sebagai sesuatu yang “terkalahkan”. Emmerson menyatakan sebaliknya. Betulkah Islam terkalahkan? Apa ukuran kekalahannya? Apa betul memang terkalahkan dalam semua aspek?

Dalam pandangannya, Islam justru pada skala kebudayaan memiliki kemenangan yang begitu hebat di Indonesia. Terutama pada periode Orde Baru, sekalipun secara politis Islam memang tertekan, namun dalam pengembangan kebudayaan secara makro justru bisa masuk dal;am semua lini.. Ketika Islam terpojokkan, ia kemudian mengubah strategi dan kemampuannya dengan membentuk “diversifikasi” yakni melakukan penyebaran kekuatan ke setiap posisi pranata sosial, termasuk ekonomi, pendidikan dan agama. serta seni dan kebuadayaannya.

Sejak tahun 1970-an gerakan kepesantrenan dan kemadrasahan baik yang dilakukan oleh kelompok NU atau Muhammadiyah serta para cendekiawan memasuki pos-pos pemerintahan. Gagasan Nurcholis Majid, “Islam yes, politics no” merupakan titik klimaks dari manufer Islam dalam memasuki berbagai kekutan pranata sosial dan budaya di Indonesia.

Gerakan intelektual seperti munculnya sejumlah buku-buku terjemahan maupun tulisan-tulisan yang kreatif yang bisa membangun persepsi Islam Indonesia lebih hidup dan dinamis bermunculan secara fenomenal. Mizan sebagai pelopor gerakan penerbitan buku-buku seri cendikia muslim, hampir selalu menaikkan oplah cetaknya, karena permintaan pasar pembacanya, termasuk juga bermunculannya berbagai jenis diskusi yang dilakukan para kaum muda di selauruh perguruan tinggi Islam. Ini terjadi terutama pada tahun-tahun akhir 1980-an.
Kemenangan lainnya adalah Islam bisa masuk ke Istana Pemerintahan Orde Baru, dimana K.H. Qosim Nurzeha dan Prof. Dr. Quraish Shihab telah diangkat secara langsung menjadi guru ngaji keluarga Soeharto sebagai presiden RI yang cukup kuat saat itu. Hal ini kemudian diikuti oleh sejumlah kyai dan ulama untuk mulai bisa memasuki berbagai kepentingan pemerintahan, terutama untuk mensosialisasi kebijakan pemerintahan seperti program Keluarga Berencana (K, Puskesmas, transmigrasi dan pembangunan sosial lainnya. Kelanjutan dari ini, akhirnya para ulama ditarik untuk masuk pada kekuatan politik pemerintah, Golkar. Pada periode ini berbagai forum ulama dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Pada akhirnya, Islam diajak kembali dalam dunia politik praktis.

Kelanjutan pada periode ini Soeharto sebagai penguasa tunggal akhirnya sangat dekat dengan Islam. Ia mengakui dan merestui bahkan ikut membidani lahirnya Bank Mua’amalat yang berlandaskan syari’at Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), bahkan ia seolah merestui sejumlah “ABRI Hijau” yang berkarakter santri dan sebagainya. Terakhir ia menunjuk BJ. Habibi –yang nota bene sebagai simbol kelompok cendekiawan muslim atau santri– selaku wakilnya untuk menjadi presiden, menggantikan dia karena berbagai desakan reformasi. Semua fenomena ini menunjukkan secara alamiyah Islam telah menunjukkan kemengannya dalam realitas politik, sosial dan budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar