Total Tayangan Halaman

Selasa, 20 Desember 2011

D. Latar Belakang Dikotomi Filsafat Pendidikan Islam dengan Paradigma Empirisme dan Nativisme

Tumbuh berkembangnya filsafat dalam Islam, tak terkecuali di bidang pendidikan, tidak lepas dari karakter utama yang menonjol, yaitu "integralnya" nilai-nilai agama dalam filsafat tersebut. Jadi sejak awal, filsafat di dunia Islam tidak mengenal dikotomi dengan aspek agama sebagai induknya. Para filosof muslim teleh sepakat bahwa agama merupakan pengetahuan yang "paling benar", relevan dengan filsafat yang juga adalah ilmu tentang "pencarian" kebenaran. Oleh karena itu, keduanya tidaklah bertentan­gan.[27] Dengan demikian, sumber pengetahuan tentang kebena­ran di kala itu adalah wahyu dan akal.

Akal dalam pandangan para filosof muslim berfungsi sebagai penguat kebenaran wahyu tersebut. Akibat hubungan harmonis ini, berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagai cabang dari filsafat, berkembang dengan pesat. Dalam perkembangan selanjutnya, hubungan harmonis ini berangsur-angsur menjadi hubungan yang kontradiktif. Sikap kritis, radikal, obyektif dan konsisten dari para filosof --seba­gai pencerminan akal-- lambat-laun mengalami "perbenturan" dengan pemikiran para agamawan --sebagai pencerminan wahyu-- yang terkadang justru bersikap sebaliknya.

Perbenturan tersebut lama-kelamaan berubah menjadi konflik yang tajam. Di samping itu, berbagai intervensi politik penguasa seringkali menjadikan konflik tersebut ke tingkat perpecahan umat yang tidak jarang diakhiri oleh pertumpahan darah. Dalam perpecahan tersebut, penguasa selalu mempunyai keberpihakan pada kalangan agamawan yang didukung rakyat banyak. Tercatat misalnya filosof Ibnu Bajjah, Ibnu Rusydi, dll, akhirnya harus terbunuh atau dipenjara karena intervensi penguasa ini.[28] Dengan pertentangan tersebut, mulai munculah pandangan yang dikotomis pertama antara agama dan filsafat di dunia Islam. Akibat pandangan ini, maka terjadi kevakuman dalam perkembangan dalam pemikiran dan ilmu pengetahuan, yang berefek pada statis dan terbelakangnya pemikiran umat serta pada akhir­nya membawa umat pada masa kegelapan (masa tertutupnya pintu ijtihad) selama lima abad.
Ketika ummat Islam tengah berada dalam abad kegela­pan, di Barat yang terjadi justru pencerahan. Masa pencer­ahan di Barat terjadi setelah filsafat dan ilmu pengeta­huan di dunia Islam, dipelajari oleh tokoh-tokoh intelek­tual Barat, terutama dari Italia dan Perancis. Mereka belajar ke Baghdad dan Spanyol (Andalusia), bahkan menurut sejarah, banyak filsof terkenal Islam yang datang ke Eropa dan mengajar di sana. Konon Ibnu Rusydi yang merupakan Bapak rasionalisme Barat, pernah mengajar di Italia. Ibnu Rusydi dikenal sebagai komentator Aristoteles yang Agung. Penterjemaahan karya-karya Ibnu Rusydi ke dalam bahasa latin, telah membawa pengaruh pemikiranya ke dalam pemikiran Eropa, dan pengaruh itu dikenal dengan sebutan "averoesme". Karya-karya tersebut kemudian banyak diajarkan di Perancis, tetapi mendapatkan perlawanan yang hebat dari kalangan Gereja. Walaupun demikian, pengaruh pemiki­ran Ibnu Rusydi tetap dominan di Eropa mulai akhir abad ke 12 sampai ke 16 Masehi. [29]

Ketika filsafat dan ilmu pengetahuan dari dunia Islam tersebut telah ditransfer ke Barat, maka filsafat dan ilmu pngetahuan itu terkena bipolasi akibat pertentan­gan yang telah ada di sana, antara agamawan di satu pihak dengan para ilmuwan di pihak lain. Keberadaan Keberadaan para filosof dengan perkembangan pemikiran-pemikirannya telah dianggap menandingi bahkan menghancurkan kalangan agmawan (gereja). Para filosof tersebut dengan kritisitas dan obyektifitasnya, telah mampu menggoyahkan penafsiran dan pendapat agamawan yang sebelumnya selalu dianggap sebagai soko guru dari berbagai masalah, tak terkecuali masalah filsafat dan ilmu pngetahuan. Puncak pertentangan agama dan filsafat serta ilmu pngetahuan di barat, dapat terlihat dari dijatuhkannya hukuman mati terhadap Galileo (1564-1642) oleh pengadilan yang dikuasai agamawan. Sejak peristiwa tersebut, terjadi disintegrasi antara agama dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pertentangan ini berlangsung dua setengah abad lamanya, sampai akhirnya kalangan filosof memenangkannya. Akibatnya timbullah jargon bahwa ilmu harus bebas nilai[30] Dengan kondisi demikian, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam yang telah mereka pelajari, ke­mudian mereka "sekularisasikan". Sejalan dengan ini, filsafat dan ilmu pengetahuan Islam tersebut juga, mereka lepaskan dari nilai-nilai al-Qur'an dan Hadist sebagai sumbernya. Terjadilah pandangan yang dikotomis kedua terhadap hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan dengan agama. Kalau dikotomis pertama masih terjadi di dunia Islam, maka dikotomis kedua, terjadi di Barat dan mempunyai implikasi yang lebih parah yaitu sekulerisme.

Pada masa dikotomis kedua ini, kondisi di dunia Islam sangat ironis dengan Barat. Setelah jatuhnya Bagh­dad tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol, umat Islam telah tenggelam dalam kegelapan dan kebekuan. Jatuhnya Baghdad, seolah-olah merupakan simbol bagi kehancuran perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan umat Islam, yang potensinya telah terasa di masa dikotomi pertama, sekaligus pula runtuhnya supremasi politik umat Islam. Masa kegelapan dan kebekuan tersebut, ditandai oleh berpalingnya umat Islam dari perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan sebelum­nya, pada tasawwuf.

Kebangkitan umat Islam di abad ke-19, mendorong umat Islam untuk mengejar ketertinggalan dari Barat. Mulailah umat Islam melihat kelebihan-kelebihan Barat, terutama bidang filsafat dan ilmu pengetahuannya. Di masa kebangki­tan ini, umat Islam dihadapkan pada pilihan bahwa mereka harus mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan di Barat, atau mereka mempelajari kembali khasanah filsafat dan ilmu pengetahuan Islam agar dapat berdiri sendiri, tidak meniru Barat. Dari dua pilihan tersebut, ternyata pilihan pertama merupakan pilihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, pada abad kebangkitan ini, karakter yang menonjol adalah berlomba-lombanya intelektual Islam mempe­lajari filsafat dan ilmu pengetahuan Barat.

Di tengah upaya mengejar ketertinggalan ini, banyak intelektual muslim menyadari bahwa pilihan kedua, pada akhirnya mengarahkan intelektual muslim pada pandangan bipolasi dan dikotomis sebagaimana terkandung dalam pemik­iran filsafat dan pengetahuan Barat tersebut. Hal ini akhirnya menimbulkan berbagai polemik dan pertentangan di kalangan intelektual muslim tersebut, mengingat bahwa esensi sekulerisme yang dikandung filsafat dan ilmu penge­tahuan sangat bertentangan dengan pandangan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, terdapat tuntutan-tuntutan untuk mengembalikan filsafat dan ilmu pengetahuan Barat tersebut pada tempatnya menurut Islam. Tuntutan ini kemudian mela­hirkan gerakan Islamisasi filsafat dan ilmu pengetahuan.
Konsep pendidikan yang dikemukakan aliran Empirisme dan Nativisme, merupakan produk filsafat dan perkembangan ilmu pengetahuan Barat, yang tidak terlepas dari bipolasi dan dikotomis ini. Oleh karena itu, jelas-jelas sangat kontradiktif dengan konsep pendidikan Islam yang dihasil­kan dari filsafat pendidikan Islam itu sendiri. Untuk mengembalikan konsep pendidikan yang secara doktriner, relevan dengan konsep pendidikan Islam, maka haruslah ditempuh "Islamisasi konsep" itu sendiri, dengan merele­vansikannya kepada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran utama Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar