Total Tayangan Halaman

Sabtu, 31 Maret 2012

Pemahaman Psikologi (dalam Masyarakat Indonesia)




 


Pemahaman Psikologi Masyarakat Indonesia
Sebagai Upaya  Menjembatani  Permasalahan   Silang Budaya*)



Abstrak

               Permasalahan silang budaya terkait dengan paham  kultural materialisme yang mencermati permasalahan  budaya dari pola pikir dan tindakan dari  kelompok sosial tertentu.  Pola temperamen yang relatif seragam ini ditentukan oleh faktor keturunan, kebutuhan dan hubungan sosial yang terjadi di antara mereka, sehingga dalam kehidupan suatu  kebudayaan  cenderung untuk  mengulang-ulang bentuk-bentuk perilaku  tertentu, karena pola perilaku tersebut diturunkan  melalui pola asuh dan proses belajar.  Kemudian muncullah struktur kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang merupakan ciri khas suku bangsa dan masyarakat tertentu.
             Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya,  karena adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi  mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.  Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial,  agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan  dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik. Permasalahan silang budaya dapat terjembatani  dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan  meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan ciri khas budaya tertentu,  terutama psikologi  masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku masyarakatnya. Juga peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara substantif dan distributif, sehingga dapat menampilkan informasi apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
             Pendidikan sebagai proses humanisasi menekankan pembentukan makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan  sensivitas /kedaulatan  budaya, yaitu manusia yang bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, dan permasalahan silang budaya. Toleransi budaya di lembaga pendidikan dapat diupayakan lewat pergaulan di sekolah dan muatan bidang studi,  transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan.



Pendahuluan

Pemerintah telah bertekad untuk dapat memajukan masyarakat serta pendidikan nasional, yang berakar pada kebudayaan nasional (Pasal I ayat 2 Undang-Undang No II tahun 1989),  tekad ini  mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pendidikan Nasional akan selalu berpijak pada  bumi dan budaya Indonesia.  Berangkat dari permasalahan di atas, makalah ini disusun dan bertujuan untuk dapat mengungkap  bagaimana  upaya untuk dapat memahami psikologi masyarakat Indonesia sebagai upaya menjembatani permasalahan silang budaya, pemahaman ini diperlukan karena pada dasarnya kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan perwujudan (pengejawantahan) manusiawi dari individu-individu yang berada dalam masyarakat pendukungnya sehingga  permasalahan  kebudayaan akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan pola pikir dan kebutuhan manusia yang sudah barang tentu  tidak bisa lepas dari aspek psikologis dan kepribadian dari orang-orang dalam masyarakat tersebut.
Dalam konsep yang paling dominan kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan pemaknaan  kebudayaan lebih banyak dicermati  sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan  dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193).  Sejalan dengan  pengertian tersebut  maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973),  kebudayaan adalah segala sesuatu  yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial,  oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan  bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (Folkways)  dan tata kelakuan (mores )  tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
             Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan,  persentuhan antar budaya akan selalu terjadi  karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan  curural materialisme yang mencermati budaya dari  pola piker dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh  faktor keturunan  (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial tertentu.  Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual  yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat  dengan orietasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang bermatra individual,  sosial dan cultural sekaligus.  
             Dalam kenyataan persentuhan nilai-nilai budaya  sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara  mulus. Permasalahan silang buaya dalam masyarakat majemuk (heterogen)  dan jamak  (pluralistis)  seringkali  bersumber dari  masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat  merupakan  kendala bagi tercapainya suatu consensus yang perlu disepakati dan  selanjutnya ditaati secara luas. Ditambah lagi dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam berbagai aspek kehidupan, maka  dengan meminjam  istilah Budiono, yang menyatakan bahwa pangkal masalah dalam masyarakat Indonesia adalah : masyarakat Indonesia  cenderung dapat dipandang sebagai “suatu masyarakat besar yang belum selesai”. Hal ini dapat dikembalikan pada adanya berbagai dorongan sentripetal dan sentrifugal yang bersilangan secara terus menerus  naik ke permukaan secara silih berganti.  Persentuhan  antar budaya yang terjadi secara dinamis dalam proses tawar menawar bisa mewujudkan perubahan tata nilai yang tampil sekedar  sebagai pergeseran ( (shift) antar nilai, atau peresengketaan (conflict) antar nilai atau bahkan dapat berupa benturan (clash) antar nilai tersebut. Apapun bentuk dan perwujudan dari permasalahan silang budaya, harus dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling tidak diupayakan adanya mekanisme  yang dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur  pendidikan maupun media masa. 
             Harus dipahami bahwa penggalian budaya  nasional bukan  diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan  dan memperkokoh  rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada  perwujutan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa.                 Kebudayaan Etnis yang kadangkala sedemikian kuat membelenggu, perlu dipahami sebagai kebudayaan sekumpulan individu yang bersatu kedalam etnis tertentu oleh karenanya permasalahan silang budaya, hanya dapat terjembatani dengan pemahaman bahwa keutuhan suatu bangsa dapat terbentuk dengan kesadaran setiap individu dan kesadaran setiap etnis yang terhimpun dalam suatu bangsa , sehingga perlu membina kesadaran individu dan kesadaran etnis sebagai himpunan  individu.


Psikologi Masyarakat


Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya  merupakan tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk)  memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan, Perkembangan kepribadian individu pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain , karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.
Masyarakat  Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mempunyai ciri , adanya perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan,  baik perubahan system ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat. Kebudayaan  dianggap sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku individu pada sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak manusia  lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature)  dan dalam satu lingkungan kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara apriori menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai anak manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses belajar yang kemudian memunculkan adanya  kepribadian rata-rata, atau stereotype perilaku yang merupakan ciri khas dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam lingkungan tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipr perilaku pada sekelompok individu pada masyarakat tertentu..
Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam organisasai intra psikis individu  anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead,) Apabila ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat (social character) dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipical dari suatu kebudayaan  (watak masyarakat) dengan kebutuhan obyektif  masyarakat yang dihadapi suatu masyarakat.  Dalam hal ini Danandjaja : 1988 ) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang  sifat adaptasi pranata  sosial terhadap kondisi lingkungan,  dengan modifikasi karakterologi psiko analitik.   Teori Erich Formm mengenai watak masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori lainnya mengenai  tranmisi kebudayaan dalam hal membentuk  “kepribadian tipikal’  atau  kepribadian  kolektif namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosio historical dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan  kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan  dengan kebutuhan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk memuskan hubungan itu secara efektif  suatu masyarakat perlu menerjemahkannya kedalam  unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus  mereka lakukan.
Unsur-unsur watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari 2 proses yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan  sebagai hasil hubungan  manusia  dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara dalam menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir metaphoric sehingga dapat  memperluas atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam system arti yang berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya, sehingga kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas system nilai dan gagasan vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya  pola tingkah laku bagi masyarakat pendukungnya.


Masyarakat Multikultural dan Masalah Silang Budaya

Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural  (jamak ) dan  heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di  satu kelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas  merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi  suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Hambatan-hambatan yang potensial  dimiliki oleh suatu masyarakat yang plural dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek lainnya : Struktur sosial yang berbeda akan  menghasilkan pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda,  pluralitas dan heterogentitas seperti diuraikan di atas  juga tanpa memperoleh tantangan yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk mempersatukannya melalui konsep negara kesatuan  yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara sentralistik.
Masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber nilai yang memungkinkan  terpeliharanya kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan  bagi perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri  sebagai kebersamaan yang berciri khas (Fuad Hassan, 1998).  Sehingga perbedaan antar  kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai  merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah  budaya nasional karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan  dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Sehingga permasalahan multicultural justru merupakan suatu keindahan bila indentitas  masing-masing budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta dapat  dihormati oleh kelompok masyarakat yang lain , bukan untuk kebanggan dan sifat egoisme kelompok apalagi bila diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu misalnya  digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang “salah kaprah”  untuk membengun  struktur dan budaya politik yang sentralistik. 
Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah  adanya persentuhan dan  saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan  dengan kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini  yang paling kritis  adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa dan umum local di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain.  Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau upaya penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-budaya daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut,  justru disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri.  Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain  dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain.   Orang-orang yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman,  maupun komunikasi, sehingga sangat mudah terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.
Ditambahkan oleh Budiono bahwa ;  Dalam masyarakat selalu bekerja dua macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolek adanya perubahan. Meskipun selalu  terdapat dua kekuatan, namun sejarah memperlihatkan  bahwa kaum konserfatif cepat atau lambat akan terdesak untuk memberi tempat pada adanya perobahan. Proses itu  seringkali tidak berjalan secara linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum progresif dengan kaum konserfative maupun konflik diantara kaum progresif itu sendiri.  Dalam “masyarakat yang sudah selesai”  konflik itu sudah ditempatkan dalam   suatu mekanisme yang biasanya merupakan tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga konflik itu didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung “secara liar” karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk menyelesaikan/ mengatasi  perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya dalam  bersama-sama mencari mekanisme itu  masing-masing kekutan progresif itu juga berusaha  untuk mencari kekuatan yang dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk mekanisme penyelesaian, kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa diusahakan  serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi bahwa usaha-usaha itu  dipadu dengan pemaksaan fisik.              
Dengan pemahaman pada fenomena tersebut landasan sosial budaya masyarakat Indonesia yang bercorak pada masyarakat majemuk (plural society) perlu memperoleh perhatian dan dikaji kembali, karena ideology masyarakat majemuk lebih menekankan pada keanekaragaman suku bangsa akan sangat sulit untuk diwujudkan dalam masarakat yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Untuk mencapai tujuan proses-proses demokratisasi, ideology harus digeser menjadi ideology keanekaragaman budaya atau multi kulturalisme, Kemajeukan masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa maka yang nampak menyolok dalam kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekakanan  pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan tersebut sebagai acuan utama bagi jati diri individu. Ada sentimen-sentimen kesuku bangsaan yang memiliki potensi pemecah belah dan penghancuran sesama bangsa Indonesia karena masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial, secara primordial dan sobyektif.  Konflik-konflik yang terjadi antar etnik dan antar agama yang terjadi, sering kali berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang, konfkil –konflik itu terjadi  karena adanya pengaktifan secara berlebihan jatidiri etnik untuk solidaritas dalam memperebutkan sumber daya yang ada (Hamengku Buwono X. 2001).


Kendala dan Upaya Penyelesaian Permasalahan Silang Budaya

            Dengan mencermati berbagai permasalahan silang budaya dan kondisi masyarakat Indonesia,  dapat ditenui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah diantaranya adalah : (1) Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan  rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya (2) Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi, (3) Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan  intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan & pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral. (4). Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya  mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan  diadopsi secara terbatas.    
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada maka upaya penyelesaian  permasalahan silang budaya dapat dilakukan dengan : Pertama dapat dilakukan dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan  meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu,  terutama psikologi  masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya. Kedua : Peningkatan peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara  distributif, berfungsi  memelihara keseimbangan sistem  melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam  teknik-teknik penyebaran maupun  penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat  menampilkan berbagai informasi yang bersifat  apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
Ketiga : Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat  tidak akan melepaskan diri dari  prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal.  Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi yang melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan  ekologinya, yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan kesejagadan dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan  sensivitas /kedaulatan  budaya, sehingga terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, dan menghargai kemajemukan, serta dapat tegar terhadap arus perubahan  dengan memperetajam sence of belonging, self of integrity, sence of participation dam sence of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut, transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan.

 

Kesimpulan


Bhineka Tunggal Ika sebagai  semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam ke ekaan mulai menjadi mesalah yang tak pernah kunjung selesai. Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman etnik sepatutkan dikaji ulang untuk digeser pada pluraisme budaya  (multi culturalme) yang mencakup tidak hanya kebudayaan etnik tapi juga berbagai lokal yang ada di Indonesia, sekaligus harus dibarengi oleh kebijakan politik Nasional  yang meletakkan berbagai kebudayaan itu dalam kesetaraan derajad.
           Tranformasi budaya dan berbagai permasalahan silang budaya harus dapat dipandu secara perlahan lewat jalu media massa maupun pendidikan.  Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus informasi,  memerlukan berbagai penyesuaian, baik dalam struktur pekerjaan, tuntutan keahlian mobilitas sosial dan sebagainya, dalam proses perubahan tersebut  bila tidak memiliki akar budaya yang kuat akan kehilangan identitas diri, dan terbawa arus. Tatanan sosial dan tradisi lokal yang berakar kuat akan memberikan sentuhan halus yang mengingatkan manusia agar tidak terbawa arus perubahan yang demikian dahsyat.   Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada,  karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan.  Dengan berpijak pada pemahaman  tersebut, nampak bahwa kebijakan pendidikan yang sentralistik menjadi tidak relevan. Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat  tidak akan melepaskan diri dari  prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal.  Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi dan humanisasi.

 

 

Daftar Pustaka


Budiono Kusumohamodjojo, 2000,  Kebhinekaan Masyarakat Indonesia,  Grasindo Jakarta

Danandjaja  James, 1988, Antropologi Psikologi, PT.  Raja Grafindo  Persada, Jakarta

Hamengku Buwono X, 2001,  Implementasi Budaya Jawa Dalam Menjaga Keutuhan dan  Persatua Bangsa, Mungkinkah?  Makalah Seminar,  Solo,  Agustus 2001

Paul B. Horton & Chester LH,  Terj. Aminuddin Ram,  1992, Sosiologi, Erlangga, Jakarta

Setya Yuwana Sudikan,  2001, Metode Penelitian Kebudayaan,  Citra Wacana, Surabaya



Psikoanalisis Perspektif Islam




 

A.    Pengertian Teori Psikonalisis
Teori psikoanalisi pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh berkewarganegaraan Austria yaitu Sigmund Freud (1856-1939). Teori psikoanalisis ini dapat dikatakan sebagai aliran psikologi yang paling berpengaruh dan yang paling terkenal karena mempunyai landasan teori yang unik, teori ini berasumsi bahwa pada diri manusia terdapat aspek consciousness, preconsciousness dan unconsciousness. Dari ketiga aspek tersebut, unconsciousness merupakan aspek yang paling berpengaruh dan dominant dalam menentukan tingkah laku manusia. Di dalam unconsciousness tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis dan instink. Preconsciousness berperan sebagai penghubung antara consciousness dan unconsciousness yang berisi ingatan dan ide yang dapat digunakan kapan saja. Sedangkan consciousness hanyalah sebagaian kecil dari struktur kesadaran namun di bagian inilah mind berinteraksi langsung dengan realitas.
Kemudian setelah mengembangkan struktur kesadaran di atas, freud mengembangkan pula struktur kepribadian yang dikenal dengan mind apparatus,yaitu:
1.      Id, merupakan system kepribadian yang orisisnil, dimana ketika manusia itu dilahirkan hanya memiliki id saja. Karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi dan banyak tuntutan dengan mendorong untuk mendapatkan segala keinginannya.
2.      Ego, merupakan system kepribadian yang dapat mengadakan kontak langsung dengan realitas yang ada di luar dirinya. Disini ego mempunyai beberapa peran yaitu, yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengna dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme.
3.      Superego, merupakan system kepribadian yang memegang keadilan dan filter dari kedua system kepribadian di atas. Disini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, menentukan benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Segala sesuatu yang timbul dari id dan ego disesuaikan dengan norma-norma moral masyarakat.

B.     Psikoanalisis dalam perspektif Islam
Dalam teori yang disebutkan oleh freud, teori tersebut bekerja dengan menjelaskan tingkah laku, memprediksi dan terkadang mengendalikan tingkah laku manusia yang bersifat horizontal saja. sedangkan dalam Islam yang diwakili oleh ilmu akhlaq dan tasawuf berbicara bagaimana mengubah tingkah laku menjadi baik dan bagaimana jiwa dekat dengan tuhannya, jadi proses yang terjadi dalam islam berkaitan dengan interaksi antar manusia dan interaksi individu dengan tuhannya sehingga terciptalah sinergi antara 2 hubungan tersebut menjadi manusia muslim yang mempunyai akhlaqul karimah yang didalamnya juga terkandung kepribadian yang karimah pula.
Perbedaan lain diantara keduanya adalah terletak pada metodologi, freud mencetuskan renungannya dari hasil renungannya dan hasil uji laboratorium, bahkan ketika ia menemukan teori psikoanalisis tersebut diceritakan dia sedang mengalami gangguan mental. Dalam kondisi itulah yang menyebabkan banyak tokoh psikologi lainnya mengkritik keabsahan dan eksistensi teorinya. sedangkan dalam islam sumber informasi utamanya adalah Al Qur’an, hadits, filsafat dan tasawuf untuk kemudian dijadikan barometer penghayatan dan pengalaman kejiwaan, serta eksperimentasi laboratorium sebagai upaya verifikasi dan perbandingan seperti yang telah biasa dilakukan oleh psikolog barat, termasuk freud.   
Kemudian kalau kita telusuri teori conscious dan struktur kepribadian freud, maka kita akan mendapati teori-teori itu sudah disinggung oleh Al Qur’an, yang membedakan hanyalah pada perbedaan simantik saja. Seperti yang terdapat dalam QS An Nazi’at:37-41 :

$¨Br'sù `tB 4ÓxösÛ ÇÌÐÈ   trO#uäur no4quŠptø:$# $u÷R9$# ÇÌÑÈ   ¨bÎ*sù tLìÅspgø:$# }Ïd 3urù'yJø9$# ÇÌÒÈ

   $¨Br&ur ô`tB t$%s{ tP$s)tB ¾ÏmÎn/u ygtRur }§øÿ¨Z9$# Ç`tã 3uqolù;$# ÇÍÉÈ   ¨bÎ*sù sp¨Ypgø:$# }Ïd 3urù'yJø9$# ÇÍÊÈ  


Dalam ayat tersebut lafadz  ÓxösÛ dan rO#uä merupakan istilah yang biasa digunakan freud untuk    mendefinisikan sebagai tingkah id, sedangkan lafadz  t$%s{dan  ygtR  adalah superego yang mengevaluasi segala keinginan id.

Dalam QS Al Baqarah 36 terlihat jelas keterkaitan antara id dan ego, yaitu:

$yJßg©9yr'sù ß`»sÜø¤±9$# $pk÷]tã $yJßgy_t÷zr'sù $£JÏB $tR%x. ÏmŠÏù ( $uZù=è%ur (#qäÜÎ7÷d$# ö/ä3àÒ÷èt/ CÙ÷èt7Ï9 Arßtã (

 ö/ä3s9ur Îû ÇÚöF{$# @s)tGó¡ãB ìì»tFtBur 4n<Î) &ûüÏm ÇÌÏÈ  

Adam dan hawa dengan tipu daya syaitan memakan buah pohon yang dilarang itu, yang mengakibatkan keduanya keluar dari surga, itulah yang dimaksud oleh freud mengenai hubungan id yang mendorong ego untuk memenuhi segala keinginannya
Dalam QS. Yusuf 53 Allah Menceritakan tentang kisah nabi Yusuf as :

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيم


Nabi Yusuf, dalam surat Yusuf ayat 53, menggambarkan id (nafsu) sebagai sesuatu yang bersifat la-ammãratun bi-sû’i (لأمّارة بسوء), amat sangat mendesak ego untuk bertindak buruk. Sang ego baru bisa lepas dari pengaruh id bila dibimbing (oleh super ego) untuk menerima rahmat (ajaran) Allah. Meskipun dalam pemaknaan siapa subyek yang mengatakan kalimat itu masih terjadi ikhtilaf di kalangan ahli tafsir, yusuf atau istri dari penguasa itu.

Konsep Kepribadian Menurut Islam

            Pengertian kepribadian menurut Islam dapat kita perhatikan dalam rangkaian QS Al Isra’ 36, Al A’raf 179, As Sajdah 9, Ar Ra’du 19-22 dan An Nazi’at 401 yaitu :
kepribadian adalah totalitas dari kegiatan komponen- komponen dalam kesatuan lingkungan jasmaniah-ruhaniah yang terbina melalui proses ta’dibiyah, tarbiyah, pengalaman dan pengaruh lingkungan hidup yang membentuk cara- cara berpikir, berkehendak, berperasaan dan bertingkah laku, yang menjadi cirri khas sikap mental dan citra seseorang dalam menghadapi sesuatu.
Semua hal yang tersebut di atas itu digerakkan oleh ruh, suatu kekuatan yang menyebabkan kehidupan pada benda-benda hidup. Dari ruh ini timbullah akal, hati nurani, nafsu, hawa dan perasaan. Kelima hal tersebut merupakan komponen atau organ ruhaniah.
1.        Akal, sesuatu yang halus yang mengerti segala sesuatu untuk menangkap segala ilmu pada diri manusia.
2.        Hati nurani, tempat benih iman dan instink ruhaniah, keyakinan atau instink rabbani sebagai hidayah naluri dari Allah yang diberikan sejak alam arwah (QS Al A’raf 172 dan QS Ar Rum 30)2. Hati nurani inilah sebagai sumber suara hati (hadits Nafs) yang selalu memberikan suara halusnya yang berasal dari bisikan malaikat sebagai petunjuk dari Allah SWT, jika baik dikerjakan, jika jelek ditinggalkan terhadap sesuatu yang dihadapi.
3.        Nafsu, tempat timbulnya keinginan yang di dorong oleh motif dari luar maupun dari dalam. Nafsu inilah yang menimbulkan berbagai macam kreativitas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
4.        Hawa, keinginan lebih yang menimbulkan sifat serakah pada manusia, selalu merasa kekurangan, keluh kesah dan kikir.
5.        Perasaan, komponen njiwa yang selalu memberikan evaluasi dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa kejiwaan.
Proses pengendalian diri (jihadun nafs) ini diperankan oleh akal sebagai pemimpin dalam perebutan untuk mempengaruhi nafsu, pilihan antara bisikan malaikat melalui hati nurani dan bisikan syetan melalui hawa yang akan menentukan kualitas kepribadian manusia tersebut. Jika nafsu tersebut lebih dominan pada bisikan malaikat (hati nurani), maka tingkah lakunya akan selalu dihiasi perbuatan baik. Namun jika nafsu lebih condong pada bisikan syetan (hawa), maka tingkah lakunya akan selalu dihiasi perbuatan buruk.
        Arti nafsu secara lughawi adalah Ar ruuh, ad damu, ash shakhsyu, adz dzaatu  dan  alhimmah. Dalam perjuangan merubah jiwa, perlu melalui berbagai tahapan nafsu, sehingga terdapat beberapa tingkatan kejiwaan atau keprbadian, yaitu:
1.      Nafsu Ammarah, yaitu keadaan jiwa yang masih binal, belum punya pedoman tentang yang baik dan yang buruk. Semua yang menguntungkan dianggapnya baik, tidak merasa berdosa jika berbuat salah. Seluruh nafsunya bahkan akalnya tunduk kepada kemauan hawanya. Keadaan jiwa semacam ini selalu memerintahkan (ammarah) kepada kejahatan (QS Yusuf 53). Dalam surat tsb Allah memakai shighah mubalaghah untuk menegaskan bahwa keadaan jiwa seperti ini akan senantiasa mengajak pada keburukan. Dalam nafsu ammarah ini ada 2 daya yang sering mendominasi, yaitu: daya syahwat buta (keinginan terhadap sesuatu secara binal, dan daya ghadhab (gampang marah, emosi, angkuh, sombong). Jadi orientasi kepribadian ini adalah mengikuti sifat kebinatangan. Nafsu lawwamah dapat beranjak pada nafsu yang lebih baik apabila telah diberi rahmat dari Allah SWT.
2.      Nafsu lawwamah, yaitu keadaan jiwa yang sudah mengenal baik dan buruk akan tetapi belum mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk (Al Qiyamah 2)3 . Jiwa yang masih fasad ini sudah mengenal rasa menyesal sehabis berbuat maksiat. Sebenarnya nafsu pada tahap ini berada dalam kebimbangan antara nafsu ammarah dan nafsu muthmainnah. Adapun kata lawwamah, ada perbedaan pendapat tentang akar katanya.apakah ia dari kata talawwum (berubah-ubah dan ragu-ragu) atau dari kata al laum (tercela). Yang pasti antara 2 makna itulah yang diyakini olah ulama’ salafus shalih kita 
3.      Nafsu lawwamah, yaitu keadaan jiwa yang sudah mengenal baik dan buruk akan tetapi belum mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk (Al Qiyamah 2)3.
4.      Nafsu muthmainnah, keadaan jiwa yang sudah mengetahui yang baik dan mampu mengerjakannya, serta sudah mengetahui yang buruk dan mampu pula meninggalkannya. Meski terkadang terlanjur berbuat dosa tetapi segera bertaubat sehingga dapat merasakan ketenangan lahir batin (QS Al Fajr 27)4.
5.      Nafsu mudhammah, jiwa yang sudah mendapat ilham dari Allah SWT.
6.      Nafsu Radhiyah, kualitas jiwa yang sudah penuh dengan rasa kecintaan dan kerelaan pada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan (QS Al Ghasyiyah 9 dan QS Al Haqqah 21)5.
7.      Nafsu mardhiyah, jiwa yang sudah diridhai oleh Allah SWT, yaitu jiwa para Nabi yang telah diridhai oleh Allah (Al Fajr 28)6.
8.      Nafsu kamilah, kualitas jiwa yang sudah sempurna, jiwanya para Rasul yang ma’shum.

        Menurut Fatchur Rahman dalam kitabnya Al Haditsun, untuk mencapai kematangan nafsu tersebut, perlu beberapa proses terbentuknya niat sebagai lang kah awal seseorang untuk melakukan tindakan atau amal, yaitu:
1.      Hajis, yaitu goresan atau lintasan hati sebagai permulaan munculnya kehendak yang menjadi momen timbulnya alas an-alasan.
2.      Khathir, yaitu rangsangan hati sebagai perkembangan dari tahap pertama, kemudian bergerak menjadi rangsangan yang lebih kuat
3.      Hadits, nafs, yaitu suara hati sebagai perkembangan lebih lanjut dari khathir yang bergerak untuk menentukan dan membisikkan suara hati ke dalam jiwa, untuk melakukan atau tidak melakukan. Posisi keduanya dalam keadaan seimbang
4.      Hamm, yaitu cita hati sebagai momen memilih anatara 2 keseimbangan yang mulai memberat pada salah satu, melaksanakan atau tidak.
5.      ‘Azam, yaitu hasrat yang kuat sebagai pemantapan dari hamm dan momen untuk mengambil keputusan tanpa ragu-ragu.
6.      Niyah, yaitu kehendak dan qashd sebagai momen untuk mulai berbuat.
7.      Amal, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sadar yang sudah memasuki pada wilayah taklif
Menurut hadis riwayat Bukhari Muslim, proses niat dari tahap pertama sampai tahap ketiga belum dapat dianggap sebagai tindakan ikhtiyari yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, berpahala atau berdosa. Kemuadian Allah mulai memantau dan memperhitungkan peristiwa kejiwaan ini mulai dari tahap himmah. Jika himmah itu baik, dilakukan maupun tidak, ia mendapatkan pahala. Jika himmah itu jelek dan tidak dilaksanakan, maka ia tidak berdoasa, namun jika ia melaksanakan, barulah dia mendapat dosa.

Dinamika Kepribadian
Freud beranggapan bahwa kesadaran, pra kesadaran, ketidaksadaran, id, ego dan superego bisa bekerja dengan baik karena adanya energy psikis yang berasal dari fisiologis yang bersumber dari makanan. Freud sendiri mendefinisikan energy psikis sebagai organisme manusia yang merupakan system energy yang berasal dari makanan, lantas dapat menggerakkan hidupnya. 
Energy psikis tersebut mencari caranya sendiri untuk dipergunakan oleh id, ego dan superego. Diantara ketiga aspek  tersebut, aspek yang paling banyak menggunakan energy psikislah yang berpengaruh terhadap bentuk tingkah laku individu.
Demikianlah freud menjelaskan bagaimana pentingnya makanan sehingga dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Sedangkan islam sejak jauh hari sudah mengatur bagaimana seorang muslim harus memperhatikan makanannya, mulai dari perintah untuk memakan makan yang halal lagi thayyib, pembagian makanan yang dihalalkan dan makanan yang diharamkan sampai pada pengaruh kehalalan makanan terhadap factor penyebab terkabulnya doa. Yang pada akhirnya semua aturan-aturan tersebut dapat bersinergi membentuk satu kesatuan yang utuh sebagai unsur-unsur manusia muslim yang berakhlaqul karimah.
Mujib dan Yusuf Mudzakkir dalam bukunya mengemukakan bahwa manusia memiliki 3 daya nafsani yaitu akal (fitrah insaniah yang berkedudukan di otak), kalbu (fitarah ilahiah yang berkedudukan di jantung) dan nafsu (fitrah hayawaniah yang berkedudukan di perut dan alat kelamin).
Dari pembagian di atas, nafsu yang berkedudukan di perut akan menuntut suplai makanan dan minuman yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat dioperasionalkan secara hissiah yang berkolaborasi dengan akal dan kalbu sehingga dapat membentuk sebuah satuan tindakan individu.
Oleh karena itu, islam mengatur bagaimana seorang muslim harus memperhatikan makanannya karena secara tidak langsung akan berdampak pada kinerja nafsu. Dalam QS. Al Baqarah 168:
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ 
                     Sesungguhnya manhaj Islam dalam hal makanan adalah sebagaimana manhaj Islam dalam masalah yang lainnya yakni bertujuan untuk menjaga akal, nafsu dan jasmani. Diperbolehkannya makanan yang halal lagi baik adalah karena bermanfaat bagi badan dan akal, adakalanya makanan tersebut halal menurut zatnya akan tetapi dilihat dari proses mendapatkannya dilalui dengan tidak baik. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada para hambaNya agar meninggalkan makanan yang kotor dan haram karena akan berpengaruh negatif terhadap hati, akhlaq dan menghalangi hubungan dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala , serta menyebabkan tidak terkabulnya do'a
        Islam juga mengatur segala macam makanan yang haram untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin seperti dalam QS Al Baqarah 173:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
        Dalam ayat tersebut Allah SWT menyebutkan beberapa makanan yang haram untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin dan mengindikasikan sebuah kaidah ushul fiqih yang telah disepakati oleh ulama’ ushul fiqih maupun ulama’ fiqih yaitu al ashlu fil mu’amalah mubah, bahwa kaidah asal segala sesuatu dalam mu’amalah adalah boleh, ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya dalam bentuk datangya nash yang shahih yang melarangnya. Jadi selama tidak ada larangan dalam nash, maka segala urusan manusia yang berhubungan dengan mu’amalah termasuk didalamnya dalam urusan makanan adalah mubah dan halal.
        Setelah diteliti ternyata sebagian besar makanan yang diharamkan Allah yang ada dalam Al Qur’an maupun hadits memiliki dampak negative terhadap kesehatan tubuh manusia sehingga akan berdampak pula pada aspek psikis orang yang memakan makanan haram teresebut
        Seseorang yang ingin memiliki kekuatan batin bersumber dari tenaga Ilahiyah harus memperhatikan makanannya. Baginya pantang kemasukan makanan yang haram karena keberadaannya akan mengotori hati. Makanan yang haram akan membentuk jiwa yang kasar dan tidak religius. Makanan yang haram disini bukan hanya dilihat dari jenisnya saja ( Misal ; Babi, bangkai, dll. ), tapi juga dari cara dan proses untuk mendapatkan makanan tersebut.
        Efek dari makanan yang haram ini menyebabkan jiwa sulit untuk diajak menyatu dengan hal-hal yang positif, seperti : dibuat zikir tidak khusuk, berdoa tidak sungguh-sungguh dan hati tidak tawakal kepada Allah, serta tidak tercapainya tujuan dari shalat.
        Daging yang tumbuh dari makanan yang haram selalu menuntut untuk diberi makanan yang haram pula. Seseorang yang sudah terjebak dalam lingkaran ini sulit untuk melepaskannya, sehingga secara tidak langsung menjadikan hijab atau penghalang seseorang memperoleh getaran/ cahaya Ilahiyah sehingga ia terbiasa dengan perbuatan kotor
        Setitik makanan yang haram memberikan efek terhadap kejernihan hati. Ibarat setitik tinta yang jatuh diatas kertas putih, semakin banyak unsur makanan haram yang masuk, ibarat kertas putih yang banyak ternoda tinta. Sedikit demi sedikit akan hitamlah semuanya. Ibrahim Bin Umar Al Biqa’i, ahli tafsir pada abad ke-15 menyatakan orang yang suka makan makanan kotor bertabiat kasar, keras dan tidak suka menerima kebenaran
        Hati yang gelap menutupi hati nurani, menyebabkan tidak peka terhadap nilai-nilai kehidupan yang mulia. Seperti kaca yang kotor oleh debu-debu, sulitlah cahaya menembus nya. Tapi dengan zikir dan menjaga makanan haram, hati menjadi bersih bercahaya. Bahkan ibadah puasa itu bertujuan menyucikan darah dan daging yang timbul dari makanan yang haram. Dengan kondisi badan yang bersih, diharapkan ilmu batin lebih mampu bersenyawa dengan jiwa dan raga.
        Orang yang biasa memakan makanan haram akan terbiasa pula untuk melakukan tindakan yang tidak baik dan maksiat, itulah hubungan antara makanan haram yang masuk dalam perut akan menyebabkan perbuatan yang diharamkan pula, maka akan terjadi dampak psikologis yang mendorong nafsu untuk memenuhi segala keinginan yang disampaikan oleh hawa sehingga timbullah tindakan-tindakan yang berorientasi pada syahwat buta dan ghadhab.
        Islam tidak hanya mengatur mengenai hal makanan sebagai zat, tetapi juga mengatur bagaimana cara makan yang baik menurut islam agar makanan yang masuk tersebut di rihai oleh Allah SWT dengan membaca basmalah pada saat akan makan dan membaca hamdalah ketika selesai7, ketika seorang muslim membaca kalimah tasmiyah dan hamdalah ketika selesai, hal tersebut akan berdampak psikolologis pada ketenangan hati dan kejernihan jiwa sehingga akal meresponnya dengan pikiran-pikiran yang positif sehingga amal perbuatannya senantiasa dalam kebaikan.
        Adapun anggapan banyak orang mengenai ungkapan

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع

        Banyak orang menganggap ungkapan yang tersebut di atas sebagai hadits nabi, akan tetapi setelah ditelusuri secara mendalam ternyata ungkapan tersebut hanyalah sebuah nasehat yang ada ada dalam kitab Ar rahmah fit thiib war rahmah karya imam As Suyuti.
        Mengenai makanan haram sebagai sebab utama tidak terkabulnya doa ada dalam hadist nabi, Al-Hafidz Ibnu Mardawih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa ketika dia (Ibnu Abbas) membaca suatu ayat : maka berdirilah Sa'ad bin Abi Waqash, kemudian berkata :"Ya Rasulullah, do'akan kepada Allah agar aku senantiasa menjadi orang yang dikabulkan do'anya oleh Allah." Maka Rasulullah SAW bersabda :"Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan do'anya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yg memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang daging nya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya”. (HR.At-Thabrani) . [Lihat Ad-durar Al-Mantsur fi Tafsir bil Ma'tsur Juz: II hal. 403]8
        Fu’ad bin abdul aziz asy syalhub dalam kitabnya menyatakan bahwa sikap berlebih-lebihan dalam mengambil makanan akan mengakibatkan tubuh menjadi sakit dan akan menyebabkannya terserang berbagai penyakit. Ia akan menyebabkan tubuh terasa penat dan malas sehingga ia merasa berat untuk mengerjakan amal-amal ketaatan, serta akan mewarisi hati yang keras.
        Dan sebaliknya, sedikit makan akan melemahkan tubuh yang akhirnya akan melemahkannya dari ketaatan kepada Allah. Hadits mengenai hal tersebut bisa kita lihat melalui hadis dari Miqdam Bin Ma’di Karib9:

  ما ملأ آدمي وعاء شرا من بطن بحسب ابن آدم أكلات يقمن صلبه فإن كان لا محالة فثلث لطامه وثلث لشرابه وثلث لنفسه

        Dalam haidts tersebut jelas Islam sebenarnya telah mengatur proporsi makan bagi pemeluknya agar ada keseimbangan di dalam hidupnya. Sehingga dengan keseimbangan tersebut akan berimplikasi pada perilaku yang baik karena bekerjanya sistem akal sebagai alat rasio, kalbu sebagai alat perasa dan nafsu sebagai sumber syahwat berkolaborasi dengan proporsional.
  Demikianlah perspektif Islam mengenai teori psikoanalisis freud, dari paparan yang telah digambarkan secara gamblang di atas dapat kita simpulkan bahwa struktur kepribadian yang diperkenalkan oleh Freud ternyata sudah berabad-abad10 lalu telah disinggung oleh Islam dari berbagai ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist shahih, yang menjadi perbedaan hanyalah terletak pada aspek istilah yang digunakan oleh freud sehingga tampak dari luar sebagai sebuah teori baru yang ilmiah akan tetapi dari segi isi dan dasar-dasar teori sebenarnya sudah terlihat usang karena sudah disinggung dalam Islam yang datang jauh sebelum freud menemukan teorinya tersebut. Wallaahu a’lam bish shawaab
       
       

LAMPIRAN:

1)      Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  

ôs)s9ur $tRù&usŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ  

¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ¾ÏmÏmr ( Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B šcrãà6ô±n@ ÇÒÈ  

* `yJsùr& ÞOn=÷ètƒ !$yJ¯Rr& tAÌRé& y7øs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ,ptø:$# ô`yJx. uqèd #yJôãr& 4 $oÿ©VÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÈ   tûïÏ%©!$# tbqèùqムÏôgyèÎ/ «!$# Ÿwur tbqàÒà)Ztƒ t,»sWŠÏJø9$# ÇËÉÈ   tûïÏ%©!$#ur tbqè=ÅÁtƒ !$tB ttBr& ª!$# ÿ¾ÏmÎ/ br& Ÿ@|¹qムšcöqt±øƒsur öNåk®5u tbqèù$sƒsur uäþqß É>$|¡Ïtø:$# ÇËÊÈ   tûïÏ%©!$#ur (#rçŽy9|¹ uä!$tóÏGö/$# Ïmô_ur öNÍkÍh5u (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qà)xÿRr&ur $£JÏB öNßg»uZø%yu #uŽÅ  ZpuÏRŸxtãur šcrâäuôtƒur ÏpoY|¡ptø:$$Î/ spy¥ÍhŠ¡¡9$# y7Í´¯»s9'ré& öNçlm; Ót<ø)ãã Í#¤$!$# ÇËËÈ  

$¨Br&ur ô`tB t$%s{ tP$s)tB ¾ÏmÎn/u ygtRur }§øÿ¨Z9$# Ç`tã 3uqolù;$# ÇÍÉÈ  

2)                  øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  

óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  

3)                Iwur ãNÅ¡ø%é& ħøÿ¨Z9$$Î/ ÏptB#§q¯=9$# ÇËÈ  

4)                  $pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ  

5)                  $pkÈŽ÷è|¡Ïj9 ×puÅÊ#u ÇÒÈ 

uqßgsù Îû 7pt±ŠÏã 7puÅÊ#§ ÇËÊÈ   

6)                  ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ  

7)                  حدثنا الحسين بن إسحاق التستري ، ومحمد بن أبي زرعة الدمشقي ، قالا : ثنا هشام بن عمار ، ثنا محمد بن عيسى بن سميع ، ثنا محمد بن أبي الزعيزعة ، حدثني عمرو بن شعيب ، عن أبيه ، عن عبد الله بن عمرو ، رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان يقول في الطعام إذا قرب إليه : « اللهم بارك لنا فيما رزقتنا ، وقنا عذاب النار ، بسم الله  (رواه ابن السني كتابه عمل اليوم و الليلة)

قال علماء الحديث عن محمد بن أبي الزعيزعة  قال البخاري منكر الحديث جداً قاله أبو حاتم قلت وذكره ابن الجارود والعقيلي في الضعفاء

حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ وَأَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ عَنْ رِيَاحِ بْنِ عَبِيدَةَ قَالَ حَفْصٌ عَنْ ابْنِ أَخِي أَبِي سَعِيدٍ و قَالَ أَبُو خَالِدٍ عَنْ مَوْلًى لِأَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَجَعَلَنَا مُسْلِمِينَ



1 حجاج ابن أرطاة:

قال على ابن المديني: تركته عمدا

أحمد بن حنبل: ليس يكاد له حديث إلا فيه زيادة\

العجلى: يعيب الناس منه التدليس

2 ابن أخي أبي: مجهول

3 مولى أبو سعيد: مجهول

 

 


8)                 حدثنا محمد بن عيسى بن شيبة ، ثنا الحسن بن علي الاحتياطي ، ثنا أبو عبد الله الجوزجاني رفيق إبراهيم بن أدهم ، ثنا ابن جريج ، عن عطاء ، عن ابن عباس قال : تليت هذه الآية عند رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( يا أيها الناس كلوا مما في الأرض حلالا طيبا (1) ) فقام سعد بن أبي وقاص ، فقال : يا رسول الله ، ادع الله أن يجعلني مستجاب الدعوة ، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم : « يا سعد أطب مطعمك تكن مستجاب الدعوة ، والذي نفس محمد بيده ، إن العبد ليقذف اللقمة الحرام في جوفه ما يتقبل منه عمل أربعين يوما ، وأيما عبد نبت لحمه من السحت (2) والربا فالنار أولى به » « لا يروى هذا الحديث عن ابن جريج إلا بهذا الإسناد ، تفرد به الاحتياطي »

1812 - " يا سعد ! اطب مطعمك تكن مستجاب الدعوة ، والذي نفس محمد بيده إن العبد ليقذف

اللقمة الحرام في جوفه ما يتقبل منه عمل أربعين يوما " .

قال الألباني في " السلسلة الضعيفة و الموضوعة " 4 / 292 :

ضعيف جدا . أخرجه الطبراني في " المعجم الأوسط " ( رقم 6640 - نسختي ). ( تنبيه ) : الزيادة التي جاءت في آخر الحديث ، إنما لم ألحقها به لأنها صحيحة بشواهدها الكثيرة عن جابر و كعب بن عجرة و أبي بكر الصديق ، و قد خرجها المنذري ( 3 / 15 ) .

وحديث صحيح عن هذا المسألة فى رواية مسلم:

1686 - و حَدَّثَنِي أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ

{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }

وَقَالَ

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

9)                 حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ الْحِمْصِيُّ وَحَبِيبُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ جَابِرٍ الطَّائِيِّ عَنْ مِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ قَالَ

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ نَحْوَهُ و قَالَ الْمِقْدَامُ بْنُ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

2265 - " ما ملأ آدمي وعاء شرا من بطن ، بحسب ابن آدم أكلات يقمن صلبه ، فإن كان لا
محالة ، فثلث لطعامه و ثلث لشرابه و ثلث لنفسه " .

قال الألباني في " السلسلة الصحيحة " 5 / 336 :
أخرجه الترمذي ( 3 / 378 ) و ابن حبان ( 1349 - موارد ) و الحاكم ( 4 / 121 و
331 ) و عبد الله بن المبارك في " الزهد " ( 603 ) و أحمد ( 4 / 132 ) و ابن
سعد ( 1 / 410 ) و الطبراني في " الكبير " ( 20 / 272 / 644 - 646 ) و ابن
عساكر ( 7 / 307 / 2 ) من طرق عن يحيى بن جابر الطائي قال : سمعت المقدام بن
معد يكرب الكندي قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : فذكره .
قلت : و إسناده صحيح رجاله ثقات ، و قال الترمذي : " حديث حسن صحيح " . و قال
الحاكم : " صحيح الإسناد " ، و وافقه الذهبي . و الله أعلم .

10)              وإنما رجحنا أنه اليوم الحادى والعشرون مع أنا لم نر من قال به لأن أهل السيرة كلهم أوأكثرهم متفقون على ان مبعثه ص م كان يوم الإثنين ويأيدهم ما رواه أئمة الحديث عن أبى قتادة ر ع أن رسول الله ص م سئل عن صوم يوم الإثنين فقال فيه ولدت و فيه أنزل علي و يوم الإثنين فى رمضان من تلك السنة لا يوافق إلا اليوم السابع والرابع عشر والحادى والعشرين والثامن والعشرين وقد دلت الروايات الصحيحة أن ليلة القدر لا تقع إلا فى وتر من ليالي العشر الأواخر من رمضان وأنها تنتقل فيما بين هذه الليالى فإذا قارنا بين قوله تعالى إنا أنزلناه فى ليلة القدر وبين رواية أبى قتادة ان مبعثه ص م كان يوم الإثنين وبين حساب التقويم العلمى فى وقوع يوم الإثنين فى رمضان من تلك السنة تعين لنا أن مبعثه ص م كان فى يوم الحادى والعشرين من رمضان ليلا



Maraji’:
  1. Mawaridul aman al muntaqa min ighatsatul lahfan fi mashayidisy syaithan, Ibnu Qayyim Al Jauziy
  2. Kitabul adab, Fu’ad Bin Abdul ‘Aziz Asy Syalhub.
  3. Pedoman puasa, Hasbi Ash-Shiddieqy
  4. Akhlaq berdakwah, Abdul Khaliq Muchtar
  5. Rahiqul makhtuum, Shafiyur Rahman Al Mubarakfuri
  6. DVD Maktabah syamilah
  7. CD Kutubut tis’ah
  8.  Minhajul ‘abidin, Al Ghazali
  9. Foto Copy materi kuliah Yusuf A. Hasan
  10. Al Qur’an
  11. Paradigma psikoanalisis Sigmund Freud, Devi Ari
  12. Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir
  13. Halal dan Haram dalam Islam, Yusuf Al Qaradhawi
  14. Jami’ud Dua’wadzikir, Ibnu Taimiyah
  15. Tafsir Al-Qur'an Al-adzim, Al-Hafidh Ibnu Katsir
  16. Psikoanalisis dan agama, Erich Fromm