Total Tayangan Halaman

Selasa, 20 Desember 2011

Landasan (Sejarah) Filsafat Barat – Timur


Dalam pengantarnya pada buku Filsafat Umum, Ahmad Tafsir (Filsafat Umum, Rosda Karya Bandung; 2000) mengemukakan bahwa Filsafat Timur, yaitu jalur Kristen (pada umumnya) sebagaimana ia jelaskan pada Bab III sampai dengan Bab V pada bukunya, akal (filsafat) dan hati (iman) ternyata selalu bertarung berebut dominasi hendak menguasai jalan hidup manusia. Ringkasnya, sejak Thales sampai kaum sofis akal menang, sejak Socrates sampai menjelang Abad Pertengahan akal dan hati sama-sama menang; pada Abad Pertengahan, hati (iman Kristen) menang; sejak Descartes sampai masa Kant akal menang lagi; sejak Kant sampai sekarang kelihatannya akal dan hati sama-sama memang di Barat. Sekarang, akal dan hati sama-sama menang di Barat.
Menurut Harun Nasution, dijalur timur, yaitu di dunia islam (pada uumumnya) keadaanya hampir sama dengan keadaan di Barat. Hamper sama berarti tidak sama. Ketidaksamaan itu sekurang-kurangnya terdapat dalam dua hal; pertama waktunya, kedua sifat dominasinya. Tatkala akal sedang kalah total di Barat, akal sedang dihargai sama dengan hati di Timur. Ini mengenai Waktu. Mengenai sifat dominasi, akal di Timur dihargai, tetapi tidak sampai mendominasi jalan hidup, sehingga menyebabkan masyarakat Timur meninggalkan agama, lalu mengambil Materialisme dan Atheisme. Sedangkan di Barat dominasi akal terlalu besar sehingga orang ada yang mengambil materialisme dan atheisme sementara hati, tatkala mendominasi menentang akal secara total.

Masa kekalahan akal di Barat berlangsung kira-kira sejak tahun 200-an sampai 1600-an. Di Timur akal berjalan bersama-sama dengan hati sejak kedatangan Islam, terutama sejak tahun 80-an sampai tahun 1200-an. Ini adalah tahun-tahun hidupnya Filosof-filosof besar islam jalur rasional seperti Al-Kindi (769873), Al-Razi (863-925), Al-Farabi (870-950), Ibnu Sina/Avicenna (980-1037), Al-Ghazali (1059-1111) dan Ibn Rusyid (1126-1198). Ini baru sebagian saja dari daftar nama filosof terkenal dalam islam untuk jalur ini seperti Ibn Bajjah dan Ibn Thufail. Bersamaan dengan perkembangan ini pemikiran jalur bawah, yaitu jalur hati (rasa), juga berkembang. Inilah jalur mistisisme atau tashawuf dalam islam. Tokoh-tokohnya yang besar antara lain islah Rabi’ah al-Adawiyah (713-801), Zunnun Al-Mishri (wafat tahun 860) dan Ibn Arabi (1165-1240). Jadi perkembangan filsafat Rasional (akal) dan tashawauf rasa (dzauq) terjadi bersama-sama dalam dunia Timur (khususnya Islam). Bersama-sama bukan berarti selalu sependapat, sebab dalam perjalanannya tidak jarang kedua kubu bersilang pendapat. 

Banyak perbedaan antara pemikiran rasional (filsafat) dan rasa(tashawuf) diantaranya ada yang bersifat prinsip. Akan tetapi perbedaan itu tidak menyebabkan filsafat timur didominasi oleh akal secara total sebagaimana halnya tidak ada juga orang islam yang didominasi oleh hati (rasa) seratus persen. Buktinya ialah tidak ada filosof maupun sufi islam yang meninggalkan iman, apalagi sampai mengambil mengambil bulat-bulat paham Materialisme dan atau Materialisme.

Filsafat dan Etika
Berangkat dari pemahaman tersebut diatas, kita dapat melihat sejauh mana perbedaan dan persamaan landasan filsafat Barat dan filsafat Timur. Pada filsafat Barat landasan filsafat cenderung berpijak pada kemerdekaan berfikir (independensi), logika rasional dan materialisme. Paham ini terlihat begitu mendominasi perjalanan panjang filsafat Barat, sejak masa Thales, Immanuel Kant, Descartes hingga kini. Sementara bagi filsafat Timur dominasi materialisme dan logika rasional masih berjalan berkelindan dengan rasa (hati – mistisisme yang dalam dunia islam disebut sebagai Thasawuf). Sehingga landasan filsafatnya merupakan hasil dialog – sintesa – dari kitab suci, budaya dan logika rasional. Persamaan keduanya mungkin terlihat dari upaya keduanya dalam mencoba memahamkan logika rasional kedalam filsafat secara utuh.
Dengan melihat dasar pijakan keduanya, maka ketika dikaitkan dengan Etika, khususnya Etika Pemerintahan dapat dilihat sejauh mana keduanya mengatur nilai baik dan buruk dalam menyelenggarakan pemerintahan, khususnya bagi pamong negara. Dengan dasar pijakan tersebut etika kemudian mengatur bagaimana para pamong negara berprilaku dan bersikap dalam pemerintahan.



Sumber
Ahmad Tafsir, 2000, Filsafat Umum, Bandung ; Rosda Karya
Bertens, K., 1989, Sejarah Filsafat, Yogyakarta ; Kanisius
Haedar Nashir, 1990, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Bandung; Pustaka
Harun Nasution, 1982, Akal dan Wahyu, Jakarta; Universitas Indonesia
Ira M. Lapidus, 2001, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta ;
Mundiri, 2002, Logika, Jakarta; Rajawali Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar