Total Tayangan Halaman

Kamis, 15 Desember 2011

5. Pembahasan lemahnya sistem pendidikan Islam hingga sekarang ini


Stanton menganggap bahwa yang disebutnya dengan pendidikan tinggi Islam ialah madrasah. Sebanrnya penyamaan status mad rasah ini sebagai pendidikan tinggi patut untuk didiskusikan lebih jauh. Jika penyebutan ini disamakan dengan dengan "universitas" sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar, maka pandangan itu agaknya keliru. Lebih jauh lagi, dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih diekenal dengan nama al-Jami'ah, yang tentunya secara hiastoris dan kelembagaan berkaitan dengan masjid Jami' - masjid besar tempat berkumpul jama'ah untuk menunaikan shalat jum'at. Al-Jami'ah yang muncul paling awal dengan potensi sebagai "lembaga pendidikan tinggi" adalah al-Azhar di Kairo, Zaituna di Tunis dan Qarawiyyin di Fez. (Azra, 1994, vi). Dengan demikian, jika stanton ingin melihat tradisi pendidikan tinggi sebagai universitas pada institusi madrasah, maka wajar jika is tidak menemukan tradisi pendidikan tinggi sebagaimana konsep universitas di Barat, sebab mad rasah memang bukanlah pendidikan tinggi. Atau apapun statusnya tidak akan mungkin untuk dipersamakan dengan universitas.
Sepanjang sejarah Islam, madrasah memang diabdikan terutama untuk mentranmisikan ilmu-ilmu keagamaan, dengan penekanan khusus pada fikih, tafsir dan hadis. Dengan demikian, ilmu-ilmu non-keagamaan, khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta - yang merupakan akar pengembangan sains dan teknologi, sejak awal
petrkembangan madrasah sudah berada dalam posisi marjinal (Azra, 1994: vii). Meskipun juga terdapat madrasah di bidang kedokteran, tetapi hal itu hanya sekedar penamaan saja. Kemajuan sains lebih merupakan hasil dari individu-individu ilmuan Muslim yang didorong semangat "scientific inquiry guna membuktikan kebenaran ajaran-ajaran al-Qur an, terutama yang bersifat "kauniyah" (Faruqi, 1986: 324-325). Jika keberadaan dan fungsi madrasah seperti itu adanya, maka wajar jika Stanton tidak melihat adanya keterkaitan antara madrasah, yang dianggapnya sebagai pendidikan tinggi Islam, dengan perkembangan pendidikan tinggi di Barat. Dan benar bahwa pengaruh tradisi akademik lebih dimotivasi oleh para ilmuan secara perorangan.
Sebagaimana dikatakan oleh Stanton, bahwa Islam (negara­negara Islam) telah gagal meneruskan warisan intelektual pendahulunya. Kegagalan itu utamanya setelah terjadi penghancuran brutal dari Holago Khan terhadap khazanah pengetahuan Islam di Abad 13-14 M., di samping besarnya pengaruh tradisi pendidikan madrasah yang memarjinalkan ilmu-ilmu non keagamaan, serta perkembangan tarikat-tarikat di dunia Islam (Nasution, 1985)
Tibanya abad kebangkitan Islam yang dimulai di akhir abad ke-18 ternyata tidak serta merta dapat merubah tradisi intelektual dan pendidikan dunia Islam. Implikasi supremasi ilmu agama menimbulkan dampak yang amat substansial bukan hanya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam, tetapi juga peradaban Islam secara keseluruhan. Secara keilmuan perkembangan semaam ini menciptakan dikotomi dan antagonisasi berbagai cabang ilmu.(Azra, 1994: x). Fazlur Rahman (1982: 130131) menyatakan berdasarkan penelitian terhadap pendidikan di negara Islam dan negera yang mayoritas Islam, termasuk Indonesia, pendidikan Islam masih gagal
dalam membentuk intelektualisme Islam dan terjebak dalam dikotomi ilmu pengetahuan.
Pembaharuan terhadap tradisi intelektualisme dan pendidikan Islam bukannya tidak pernah dilakukan, bahkan sejak awal abad ke 19 berbagai negara Islam telah melakukan pembaharuan pendidikannya. Sebagai contoh di Mesir terdapat tokoh semcam Rifa'ah al-Tahtawi, Muhammad Abduh dalam posisi sebagai anggota Majelis Tinggi Al-Azhar pernah menggagas pembaharuan Al-Ahar dengan memasukkan mata kuliah matematika, aljabar, ilmu ukur dan ilmu bumi ke dal;am kurikulum, namun kemudian dibatalkan oleh Salim al-Basyari, Rektor ke-25 al-Azhar (Dodge, 1961: 125-187) Di negara lain juga dilakukan, seperti Sultan Mahmud II di Turki, di Indonesia bahkan dipelopori oleh banyak tokoh seperti Muhammad Dahlan. Akan tetapi, semua itu sebagaimana dinyatakan oleh Rahman masih belum mampu menciptakan intelektualisme Islam yang diharapkan.
Tampaknya pengaruh dikotomi dan gagalnya penarikan kembali warisan Islam yang telah diwarisi Barat itu berlanjut hingga sekarang, paling tidak hasil pembaharuan yang dilakukan oleh negara-negara Islam masih belum mendatangkan hasil yang memuaskan. Data dari statistik UNESCO 1987 menunjukkan perimbangan pengusaan IPTEK di beberapa negara sebagai berikut sebagaimana dikutip oleh Baiquni (1995: 138-140), sebagai berikut:

Negara
Jepang
Uni Soviet
Perancis
India
Mesir
Israel



Agama mayoritas
Buddha
Atheis
Kristen
Hindu
Islam
Yahudi


Pakar/juta orang
6.500
5.000
4.500
1.300 *)
367
16.000



Untuk nenagara-negara berkembang yang mayoritas penduduknya Islam dilihat dari GNP dan jumlah pakar bisa dilihat pada tabel berikut:


Negara
Pakistan
Indonesia
Nigeria
Turki
Yordan
R.I. Iran
Irak
R.A.Mesir


US$ GNP/cap.
380
530
760
1.130
1.560
1.778
1.861
710




Pakar/juta org.
90
64
52
353
217
203
191
367


Pakar/juta per $1000 GNP/cap.
281
121
68
312
139
114
103
517




Dari tabel di atas dapat diperkirakan bagaimana lemahnya sistem pendidikan Islam hingga sekarang ini, utamanya dari segi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penutup
Walaupun kajian buku ini mempfokoskan kajian terhadap sistem pendidikan Islam yang berkembang pada abad 700 - 1.300 Masehi, namun kajian yang terdapat dalam buku ini setidaknya dapat memberikan dasar bagi kajian terhadap perbandingan sistem pendidikan. Semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar