Total Tayangan Halaman

Rabu, 28 Desember 2011

FILSAFAT Al-Razi dan Al-Farabi



1.         Al Razi  merupakan  seorang rasionalis murni. Filsafatnya yang paling terkenal  adalah ajaran  “Lima Kekal” yaitu Allah Ta’ala (البار تعالى),  Jiwa  Universal (النفس الكليه),             Materi Pertama (الهيولى الأولى),  Ruang Absolut  (المكان المطلق)  dan Masa  Absolut      (الزما المطلق).  Dari kelima ajaran Al Razi tersebut, dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa/Roh Universal. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa. Masih dalam filsafat lima kekalnya,  terdapat salah satu point yang mengungkapkan tentang kekekalan jiwa, yaitu Jiwa Universal (النفس الكليه). Jiwa dikusai oleh naluri untuk bersatu dengan materi pertama, maka terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat menerima fisik. Dari segi agama, keabadian jiwa merupakan hal yang sangatlah penting artinya, karena siapa yang tidak mengakui keabadian jiwa maka berarti ia menghapuskan adanya pertanggungan jawab terhadap agama dan tujuan akhlak serta tujuan hukum. 
           
Tuhan menciptakan jiwa beserta materi pertama. Jiwa yang selalu ingin mengaplikasikan dirinya berusaha untuk memiliki materi pertama tersebut, karena pada dasarnya zat bentuk jiwa dapat menerima fisik dan karena meteri pertama tanpa fisik, maka Tuhan menciptakan alam semesta termasuk badan manusia sebagai tempat bagi ruh untuk bersemayam, agar jiwa dapat mengaplikasikan segala keinginannya. Setelah memiliki tempat yaitu tubuh manusia, jiwa terlena dengan alam fisik manusia tersebut sehingga melupakan Tuhan sebagai penciptanya, maka Tuhan menciptakan akal yang kemudian menjelaskan kepada jiwa bahwa tubuh fisik manusia itu bukanlah tempat yang sebenarnya, dan kesenangan serta kebahagiaan jiwa sesungguhnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan berfilsafat. Jiwa yang tidak dapat mensucikan diri mereka dengan jalan filsafat akan tetap tinggal atau berkelana di alam materi. Para psikoanalis yang dimotori Sigmund Freud (1856-1939) membahasakan lain tentang hal tersebut. Mereka mengakui adanya potensi yang dimiliki manusia adalah karena adanya dorongan jiwa manusia yang terletak pada bagian kesadaran (consciousness) dan bawah sadar (unconsciousness). Tetapi mereka mengungkapkan bahwa sebagian besar kehidupan manusia dikuasai oleh alam bawah sadar. Tubuh hanya sebagai eksekutor bagi dorongan-dorongan jiwa yang selalu menuntut adanya pemenuhan kebutuhan akan kesenangan-kesenangan. Tetapi pemenuhan tersebut dibatasi oleh norma-norma, moralitas, dan agama yang membatasinya, atau sering disebut sebagai superego yang berada pada pra kesadaran manusia (subconsiousness).

            Berkaitan dengan eksistensi jiwa yang sangat erat hubungannya dengan tubuh manusia, Al-Razi menjelaskan dalam Al-Thib al-Ruhani bahwa jiwa dapat menderita penyakit yang pada gilirannya akan dapat menghancurkan manusia, sebab adanya hubungan yang sangat erat tersebut. Misalnya emosi jiwa manusia tidak akan pernah tersentuh tanpa pengalaman inderawi mempersepsikan hal tersebut. Sehingga emosi yang berlebihan akan sangat mempengaruhi keseimbangan tubuh manusia, yang dapat mengakibatkan keragu-raguan dan melankolik. Demikian pula sifat hasut atau dengki akan mendatangkan marabahaya bagi manusia secara kejiwaan dan tubuh; kekhawatiran yang berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya halusinasi dan melankolik atau kelayuan diri. Al Razi juga menegaskan tentang hubungan antara jiwa dan tubuh yang saling bersinergi, sehingga jiwa yang mengalami gangguan tentu akan berdampak kepada tubuh yang menjadi wadah bagi jiwa tersebut bersemayam. Begitu pula sebaliknya, ketika tubuh menderita sebuah penyakit, maka jiwa turut merasakan rasa dari sakit tersebut. Wilhelm Wundt mengemukakan teorinya tentang 'The higher mental processes", yaitu proses mental yang lebih tinggi dari penginderaan, perasaan, persepsi dan apersepsi. Dari sudut pandang ini kita dapat melihat adanya hubungan yang tidak hanya terjadi antara jiwa dan fisik manusia secara individu, tetapi juga terdapat hubungan dengan individu-individu lain yang berada di luar dirinya sendiri. Sehingga ikatan-ikatan tersebut dapat saling mempengaruhi yang tentunya akan memberikan dampak yang sesuai dengan apa yang dialaminya. Dari dasar pemikiran inilah kemudian berkembang menjadi Psikologi sosial.
      Al-Razi adalah seorang dokter yang paling besar dan paling orisinil dari seluruh dokter Muslim. Sebagai seorang dokter yang memahami betul wilayah pengetahuannya, ia pun menerapkan berbagai macam metode terapi yang juga diterapkan Al-Razi dalam pengobatannya. Diantaranya yang sering digunakan adalah dengan memberikan pemahaman/persepsi yang baru terhadap individu yang mendapatkan tekanan akibat suatu pemahaman atau kondisi tertentu. Menurutnya, dengan merobah pola pikir atau cara pandang seseorang terhadap sesuatu, akan menimbulkan perilaku yang lebih positif terhadap apa yang dipahaminya tersebut. Pengalihan persepsi tersebut bisa saja disebut sebagai sebuah Rasionalisasi. Jika meninjau hal tersebut melalui persfektif Psikologi barat-modern, sedikitnya kita dapat menyamakan salah satu metode tersebut dengan salah satu tahapan defens mechanism yang diperkenalkan oleh psikoanalis, yaitu Rasionalisasi. Sebenarnya pola penggunaanya agak berbeda, namun system pola pikir antara keduanya pada dasarnya adalah sama. Keduanya merubah cara pandang seseorang terhadap suatu permasalahan dan mengarahkannya ke arah yang lebih dapat kita terima.    

           
2.            Tema pokok filsafat yang dibahas oleh al farabi telah dibahas oleh aliran Neo Platonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak bisa di didapatkan hakikat yang sebenarnya. Akan tetapi Al Farabi telah dapat menguraikan emanasi secara ilmiah yang dia ungkapkan didalam metafisika yaitu tentang proses penciptaan alam semesta yang terpancar dari satu sumber secara emanasi tuhan sebagai akal berpikir tentang dirinya, tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai substansi ia disebut akal pertama yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dirinya sendiri, dari pemikiran itu timbul wujud ketiga yaitu akal ke kedua. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama sehingga timbul wujud keempat yaitu bintang-bintang, dan seterusnya sampai akal ke sepuluh wujud ke sebelas yaitu alam semesta beserta roh-roh dan akal pertama.

Tema pokok yang dibahas oleh Ibnu Miskawaih merupakan pengembangan dari teori emanasi Al Farabi yang mengembangkan teori Neo Platonisme tetapi terdapat perbedaan dalam perumusan tahapan-tahapan emanasi. Dalam metafisika emanasi Miskawaih, ia mengatakan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah Aql Fa'al (Akal aktif) tanpa perantaraan apapun. Kemudian dari Akal aktif ini timbul jiwa dan perantaraan jiwa tersebut terciptalah planet-planet. Pancaran dari Tuhan yang terus-menerus tersebut dapat menjaga tatanan di alam semesta ini. Apabila pancaran Tuhan tersebut berhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan di alam semesta ini. Perbedaan pendapat antara Ibn Miskawaih dan Al-Farabi, antara lain:
Bagi Ibn Miskawaih, Tuhan menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada (ex nihilo) menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada yang baru.
Bagi Ibn Miskawaih, ciptaan Tuhan yang pertama adalah Akal aktif. Sedangkan bagi Al-Farabi ciptaan Tuhan yang pertama adalah Akal pertama, dan Akal aktif adalah akal yang kesepuluh.

Pemikiran yang selanjutnya yaitu mengenai filsafat Kenabian.. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya Nabi adalah manusia yang terpilih untuk memperoleh hakikat-hakikat dari kebenaran karena pengaruh Akal aktif dan daya imajinasinya dan juga para filosof memiliki hakikat-hakikat kebenaran yang sama. tampaknya tidak ada perbedaan yang mendasar antara Ibn Miskawaih dan Al-Farabi dalam memperkecil perbedaan antara Nabi dan Filosof, dan memperkuat hubungan antara akal dan wahyu. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya Nabi adalah manusia yang terpilih untuk mempeoleh hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh Akal aktif dan daya imajinasinya dan juga para filosof memiliki hakikat-hakikat kebenaran yang sama. Sebenarnya hal ini hanya untuk menjelaskan bahwa pada dasarnya kebenaran agama dan kebenaran filsafat sangat sejalan. Meskipun Nabi dan para filosof memiliki kesamaan dalam hal hakikat-hakikat kebenaran, namun terdapat perbedaan dalam cara memperolehnya. Nabi memperoleh kebenaran langsung dari Akal aktif sebagai pemberian/Rahmat dari Tuhan baik di waktu terjaga maupun di waktu tidur. Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu atau impian yang benar. Sedangkan para filosof memperoleh hakekat kebenaran dari bawah ke atas, yaitu daya inderawi ke daya khayal, kemudian bertahap ke daya pikir, sehingga kemudian dapat menangkap hakikiat kebenaran tersebut Jadi, Nabi menurut Al-Farabi, Nabi ialah seorang yang mempunyai daya imajinasi yang cukup kuat dan yang memungkinkan dia dapat berhubungan dengan Akal aktif langsung dari tuhan.

Ibn Miskawaih terkenal sebagai filosof akhlaq, sebab sebagian besar perhatiannya mengarah kepada moral dan etika.  Filsafat moral atau akhlaq Miskawaih sangat berkaitan dengan Psikologi, sehingga Miskawaih memulai risalah besarnya itu dengan akhlak. Ia mempersamakan pembawaan-pembawaan ruh dengan kebajikan-kebajikan. Ruh memiliki tiga pembawaan : rasional, keberanian, dan hasrat, dan tiga kebajikan yang saling berkaitan: bijaksana, berani, dan sederhana. Miskawaih juga membahas fitrah manusia dan asal-usulnya, baik yang lahir dalam keadaan baik, maupun jahat. Ia mengutip pendapat dari salah seorang Yunani yang terdahulu bahwa fitrah itu tak pernah berubah, tetapi ia menolak pendapat itu. Kemudian ia mengambil pendapat Stoa yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan yang baik, tapi kemudian menjadi jahat karena kecenderungan mereka kepada  nafsu jahat dan memelihara persekutuan jahat itu.  Kesempurnaan yang dapat dicapai ada dua macam: pertama, kesempurnaan teoritis, dan kedua, kesempurnaan praktis. Dengan kesempurnaan pertama, ia akan memperoleh pengetahuan yang sempurna, dan dengan kesempurnaan kedua, ia akan memperoleh kepribadian yang sempurna.

 
3.         Al Farabi berpendapat bahwa tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu. Sedangkan agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan dan kiasan-kiasan serta gambaran), dan ditujukan kepada semua orang, dalam pemikirannya Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat (al-falsafah, al-taufiqiyyah atau wahdah al-falsafah) yang berkembang sebelumnya, seperti pemikiran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Kerena itu dia dikenal sebagai filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuaan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam persoalan metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Megenai jiwa, Al Farabi dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus, menurutnya jiwa bersifat rohani bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain. Jiwa manusia sebagaimana materi asal memancar dari akal 10. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda, dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa diciptakan saat jasad siap menerimanya jiwa manusia mempunyai daya-daya, sebagai berikut :
  1. Daya gerak (makan, memelihara dan berkembang)
  2. Daya mengetahui (merasa dan imajinasi)
  3. Daya berfikir (akal praktis dan teoritis)
Daya teoritis terbagi kepada tiga tingkatan yaitu
  1. Akal potensial (baru dapat melepaskan arti atau bentuk dari materinya)
  2. Akal aktual (arti tersebut telah memiliki wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi tapi dalam bentuk aktual)
  3. Akal mustafad telah dapat menangkap bentuk yang tidak dikaitkan dengan materi dan dapat berkomunikasi dengan akal 10.
Al Farabi membedakan keadian jiwa antara jiwa khalidah dan jiwa fana
  1. Jiwa khalidah adalah jiwa fadillah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan perbuatan baik serta dapat melepaskan diri dari iakatan jasmani yang telah berada pada tingkat akal mustafat. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
  2. Jiwa fana adalah jiwa jahilah yaitu jiwa yang belum dapa lepas dari ikatan materi ia akan hancur dengan hancurnya badan tetapi jiwa yang tahu kesenangan namun menolaknya tidak akan hancur dan akan kekal dalam kesengsaraan.
Segi-segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi, yaitu:
  1. Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain, dan pembahasan-pembahasan lain lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
  2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan, dan keabadian jiwa.
Pembuktian wujud jiwa dikemukakan Ibnu Sina dengan mengungkapkan adanya empat dalil, yaitu:
(1) Dalil alam kejiwaan; pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin ditafsirkan, kecuali ssudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).
 (2) Dalil aku dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan; menurutnya, apabila seseorang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan adalah jiwanya. Jadi ketika kita mengatakan "saya keluar" atau "saya tidur", maka bukan gerak kaki atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita. 
(3) kelangsungan (kontinuitras); Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang    berisi juga masa lampau dan masa depan kita. Kehidupan rohani kita pagi ini ada hubungannya dengan kehidupa kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terrjadi beberapa tahun yang lewat. Kalau kita ini bergerak dan mengalami perubahan, maka gerakan-gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai-rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa-peristiwa jiwa merupakan limpahan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.
(4) Dalil orang terbang atau tergantung di udara; Dalil ini yang teridah dari Ibnu Sina dan yang paling menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dankhayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan dalil tersebut. Dalil tersebut mengatakan:"Andaikan adsa seseorang yang memepunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya, kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga tidak sampai saling bersentuhan dengan sesuatu apapun, dan anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling bertemu. Meskipun semua ini terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia akan sukan untuk dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Dengan demikian, maka penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indera atau badan seluruhnya, melainkan sumber lain yang berbeda dengan badan, yaitu jiwa.

Perbedaan yang mendasar pada pemikiran antara Al Farabi dan Ibnu Sina lebih diakibatkan oleh latar belakang pengetahuan mereka terhadap pemahaman berfilsafat. Al Farabi mempelajari logika dan filsafat dari seorang Kristen Nestorian yang banyak mempelajari filsafat Yunani, lalu Al Farabi pindah ke Harran, pusat kebudyaan Yunani di Asia kecil. Dari lingkungan yang seperti itu, memungkinkan ia menemukan iklim filsafat dalam lingkungannya sehingga pola pikirnya lebih mengarah ke pola pemikiran yang cenderung lebih radikal. Berbeda dengan Ibnu Sina yang sebagian besar corak kehidupannya lebih mengarah sosio religion. Pada masa mudanya ia tertarik pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dari aliran kebathinan. Karena ia kurang sepemahaman dengan pemikiran tokoh-tokohnya, yang sering ia dengarkan dari percakapan ayah dan kakaknya, ia kemudian meninggalkan aliran tersebut dan memutuskan untuk tidak mengikuti madazhab Sunnah maupun Syi’ah. Lalu ia muncul dengan madzhabnya sendiri. Sikap tersebut menggambarkan kemandirian Ibnu Sina dalam upaya pencarian hakikat kebenaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar