Total Tayangan Halaman

Kamis, 22 Desember 2011

HALAQOH


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Pendahuluan

Secara bahasa halaqah artinya lingkaran, dalam hal ini berarti lingkaran orang-orang yang duduk bersama dalam suatu majelis pengajian untuk bersama-sama mengkaji dan mempelajari Islam. Dalam bahasa yang lebih populer bisa juga disebut sebagai pengajian atau majelis taklim.
Halaqah merupakan sistem pendidikan Islam tertua, yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah sejak awal turunnya al-Islam. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, diawal da’wah Islam proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam dilakukan oleh Rasulullah di rumah Al-Arqam.
Sistem halaqah ini juga telah diwariskan dari generasi ke generasi  dan telah terbukti efektifitasnya dalam dalam membentuk kepribadian ummat Islam, meluruskan pemahaman serta aqidah mereka. Bahkan juga transformasi Ilmu pengetahuan.
Halaqah bisa didefinisikan sebagai sebuah wahana tarbiyah (pembinaan), berupa kelompok kecil yang terdiri dari murabbi (pembina) dan sejumlah mutarabbi (binaan), dengan manhaj (kurikulum) yang jelas, dan diselenggarakan melalui berbagai macam sarana (perangkat) tarbiyah. Dengan demikian, elemen-elemen halaqah adalah (1) murabbi, (2) mutarabbi, (3) manhaj tarbiyah, dan (4) sarana (perangkat) tarbiyah. Dalam sebuah halaqah, murabbi dan mutarabbi bekerjasama untuk melaksanakan manhaj yang ada melalui sarana-sarana (perangkat-perangkat) yang sesuai.

B.       Rumusan Masalah

1.      Elemen-elemen apa saja yang termasuk dalam halaqah?
2.      Bagaimana proses halaqah sebagai pendidikan tinggi informal?
3.      Apa Tujuan dan fungsi dilaksanakanya pendidikan halaqah?

C.      Tujuan Masalah

1.      Menambah ilmu pengetahuan tentang Halaqah sebagai pendidikan tinggi informal
2.      Menjadikan setiap muslim agar tetap melaksanakan halaqah sebagai transformasi ilmu pengetahuan.





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan sejarah Halaqah
Halaqah atau halqah artinya lingkaran. Kalimat halqah min al-nas (حلقة من الناس) artinya kumpulan orang yang duduk. (A.W. Munawwir, 1997:290).  Menurut istilah halaqah diberi definisi sebagai berikut:
1.      Halaqah adalah proses belajar mengajar yang dilaksanakan murid-murid dengan melingkari guru yang bersangkutan. Biasanya duduk dilantai serta berlangsung secara kontinu untuk mendengarkan seorang guru membacakan dan menerangkan kitab karangannya atau memberi komentar atas karya orang lain. (Hanun Asrohah, 1999:49)
2.      Suatu proses pendidikan dimana murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah lingkaran murid dengan posisi wajah murid menghadap kepada guru. (Hanun Asrohah, 1999:49)
3.      Hasan Alwi mendefinisikan halaqah sebagai cara belajar atau mengajar dengan duduk di atas tikar dan posisi melingkar. (Hasan Alwi, 1997: 383).
Halaqah sudah ada sejak masa awal Islam. Halaqah dimaksud pertama kali dilakukan di mesjid. Nabi sendiri lebih banyak melakukan tugas mendidik umat melalui halaqah di mesjid yang menyatu dengan rumah beliau pada waktu-waktu yang dipilih. Hal demikian sebagaimana disebutkan oleh Bukhari dalam kitab sahihnya  sebagai berikut:
Ibn Mas’ud meriwayatkan:
كان – رسول الله صلى الله عليه و سلم –  يتخولنا بالموعظة في الأيام كراهة السأمة علينا
Artinya: Nabi SAW membuat sela-sela dalam ceramah pada hari-hari tertentu demi menghindari kebosanan.

Dalam halaqah dimaksud, Nabi SAW menyampaikan materi ilmu yang beragam. Namun yang paling diutamakan oleh Nabi adalah mengajarkan al-Qur`an. M. Alawi al-Makki mengatakan:
Pada majelis-mejelis halaqah kenabian dipelajari ilmu-ilmu dasar beserta kaidah-kaidahnya, seperti berbagai macam fadhilah, wawasan pemikiran, akhlak, tradisi yang baik, dan faedah-faedahnya yang besar, yang merupakan sumber ilmu pengetahuan. Kami akan menuturkan sebagian dari apa yang dipelajari para sahabat pada halaqah agung yang mulia tersebut. Dan tidak diragukan lagi, sesungguhnya ilmu dasar terpenting di situ adalah al-Qur`an al-Karim.
Dalam perkembangan berikutnya, halaqah tidak lagi hanya diselenggarakan di mesjid. Umar bin Khattab ketika menjadi amir al-mu`minin menginstruksikan para pembantunya membangun kuttab (rumah-rumah belajar) sekaligus mengangkat pegawai untuk mendidik dan mengajari anak-anak tatak rama dalam hidup.
Di Madinah, pada abad ke 14, halaqah masih menjadi institusi pendidikan yang dominan. Ibnu Bathuthah melaporkan bahwa menjelang akhir 728 H/ 1326 M bahwa dia mengamati pada malam hari kegiatan keilmuan yang diselenggarakan di Masjid Nabawi, dimana ulama dan murid-murid membentuk halaqah, lengkap dengan al-Qur`an dan kitab-kitab lain sebagai sumber belajar. Begitu juga di Makkah, halaqah menjadi praktik umum, sebagaimana disaksikan Ibnu Bathuthah di Madinah. Azyumardi Azra menjelaskan:
“Catatan-catatan lebih belakangan tentang Masjid al-Haram, seperti yang diberikan al-Fasi, bersaksi bahwa halaqah tetap dipertahankan sebagai metode utama proses belajar-mengajar. Halaqah biasanya diselenggarakan di pagi hari setalah shalat Shubuh, ‘Ashr, Maghrib dan Isya`. Selama siang hari kegiatan pendidikan pindah ke madrasah-madrasah di sekitar masjid”. (Azyumardi Azra,1994:64)

Alasan lain bahwa kegiatan pendidikan pada masa selanjutnya tidak lagi kondusif jika tetap dilakukan di mesjid, karena fungsi ibadah sebagai fungsi utama mesjid terganggu oleh karena semakin banyaknya halaqah ilmu dalam berbagai bidang. Ahmad Syalabi menjelaskan:
Sejak masa awal Islam, banyak orang berminat untuk mempelajari Islam. Semakin lama, semakin banyak orang menghadiri pertemuan untuk belajar ilmu (halaqah ‘ilm). Dari setiap halaqah terdengar suara dari seorang guru yang memberikan pelajarannya dan dari suara-suara peserta didik yang bertanya dan saling berdebat. Maka terjadilah suara yang gemuruh dari halaqah-halaqah itu. Sedikit banyak hal itu menimbulkan gemuruh suara yang mengganggu pelaksanaan ibadah sebagaimana mestinya. Dengan demikian, masjid menjadi sulit dijadikan tempat ibadah dan tempat belajar sekaligus.
Berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ilmu tidak lagi sepenuhnya dapat diajarkan di mesjid. Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan makin pesat. Pada abad keempat hijriah gerakan pemikiran berkembang dengan pesat. Pada saat itu, perdebatan dan pertikaian mengenai agama di kalangan masyarakat Muslim memang cukup dahsyat. Akibatnya, masjid tidak dipertimbangkan lagi sebagai tempat utama pendidikan.
Dalam suasana seperti ini muncul semakin beragam bentuk-bentuk lembaga pendidikan, di antaranya madrasah, kuttab, dar al-hikmah, dar al-‘ilm, bimaristan, dan sebagainya. Halaqah memang tetap bertahan, tetapi tidak lagi menjadi institusi utama pendidikan Islam. (Maksum, 1999:56)

B.       Sarana / Perangkat Halaqah
1.       LIQA’ adalah pertemuan rutin yang dilakukan setiap pekan. Liqa’ dilakukan sebagai sarana untuk penyampaian materi-materi yang sudah ditetapkan dalam manhaj tarbiyah. Namun liqa’ bukan hanya sebuah majelis ilmu. Bahkan tidak benar jika liqa’ hanya difungsikan sebagai sebuah majelis ilmu. Lebih daripada majelis ilmu, liqa’ adalah sarana untuk membangun dan memelihara spirit (semangat) beribadah dan berdakwah. Karena itulah, dalam liqa’ dilakukan evaluasi terhadap amal ibadah yang telah dilakukan selama sepekan terakhir. Dalam liqa’ juga disampaikan informasi-informasi penting terkait dengan aktivitas dakwah. Juga dilakukan diskusi, evaluasi, dan koordinasi mengenai aktivitas-aktivitas dakwah yang dilakukan.
2.       MABIT adalah kegiatan bermalam dalam rangka untuk meningkatkan kualitas ruhiyah, dan pada saat yang sama juga untuk membangun ikatan hati dan soliditas antar sesama anggota halaqah. Untuk mencapai tujuan ini, agenda-agenda yang dilaksanakan selama mabit antara lain qiyamul lail (sholat tahajud), membaca dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an, berdzikir, muhasabah, dan mendengarkan taujih. Dengan kebersamaan di malam yang penuh kekhusyukan dan kebersahajaan, diharapkan ikatan hati dan soliditas antar anggota halaqah juga semakin menguat.
3.       RIHLAH adalah kegiatan wisata dengan tujuan untuk tadabbur alam, penyegaran, dan sekaligus menguatkan keakraban dan soliditas antar sesama anggota halaqah. Tadabbur alam artinya merenungi kebesaran Allah melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Adapun penyegaran dilakukan untuk mengatasi kepenatan dan kejenuhan yang timbul akibat kesibukan aktivitas dakwah.
4.       MUKHAYYAM dari segi bahasa berarti berkemah. Mukhayyam adalah kegiatan berkemah atau semacamnya dengan tujuan untuk melatih ketahanan fisik dan juga mental. Kegiatan ini dilakukan untuk mempersiapkan anggota halaqah pada situasi-situasi sulit yang menuntut ketahanan fisik dan mental. Kegiatan rutin yang mendukung mukhayyam adalah olahraga rutin. Mukhayyam hanya diadakan setahun sekali, sedangkan olahraga rutin harus dilakukan dengan basis harian atau pekanan.
5.       DAURAH adalah kegiatan pelatihan, seminar, kajian, atau workshop yang dimaksudkan untuk meng-upgrade wawasan mengenai suatu masalah atau mengasah keterampilan tertentu, yang dibutuhkan untuk menunjang aktivitas dakwah.





C.      Manajemen Halaqah
1.         Murabbi halaqah.
Murabbi adalah seorang pemimpin dan pembimbing dalam halaqah. Peranan murabbi sangat menentukan kesuksesan sebuah halaqah. Adapun peran dan fungsi murabi halaqah meliputi:
a.    Muallim, yang bertanggungjawab untuk mendidik anggotanya agar dapat memahami dan melakanakan ajaran Islam secara benar.
b.    Mas’ul, yang bertanggungjawab memimpin, mengkoordinir, mengarahkan serta mengevaluasi (mutaba’ah) perkembangan anggotanya dari waktu ke waktu.
c.    Qudwah hasanah, yang dituntut untuk memberikan contoh dan tauladan yang baik dalam kehidupan sebagai seorang mukmin.
2.         Anggota halaqah.
Anggota halaqah adalah setiap muslim yang telah terdaftar. Setiap halaqah beranggotakan antara 10-15 santri. Proses pembentukan halaqah seyogyanya mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi efektifitas halaqah; seperti: usia, senioritas, domisili, tingkat pemahaman Islam, tingkat pendidikan, dsb.
3.         Materi halaqah.
Materi halaqah merupakan bahan-bahan yang diperlukan untuk proses pembinaan anggota secara terstruktur dan berkelanjutan, yang terdiri dari kurikulum dan buku-buku panduan. Silabus materi pembinaan halaqah dapat dilihat pada lampiran.
4.         Kegiatan halaqah
a.         Pertemuan mingguan
b.        Pertemuan bulanan
5.         Administrasi halaqah
Untuk terwujudnya tujuan halaqah, diperlukan proses pengadministraian. Adapun administrasi halaqah terdiri dari:
a.         Buku jurnal halaqah
b.        Buku catatan kegiatan halaqah .
c.         Tata tertib halaqah
6.         Evaluasi halaqah
a.         Evaluasi mingguan, dilakukan untuk mengetahui perkembangan pribadi anggota halaqah, dengan cara mencermati lembar muhasabah dan menanyakan secara lisan.
b.        Evaluasi Semester, dilakukan dalam Rakor murobbi halaqah pandu Hidayatullah untuk mengetahui realiasi program halaqah secara umum, kendala serta penyebabnya. 

D.      Fungsi Halaqoh
1.    Muakhhoh
Halaqah pandu Hidayatullah  berfungsi sebagai sarana muakhhoh (mempersaudarakan). Dalam halaqah ini antara anggota halaqoh yang satu dengan anggota yang lainnya merupakan sebuah keluarga, dimana terjadi hubungan yang intensif untuk saling mengenali (ta’aruf), saling memahami (tafahum),  saling membantu (ta’awun), dan saling menanggung (takaflul).
Segala persoalan yang terjadi pada anggota halaqah secara dini dapat diketahui oleh anggota yang lain dalam halaqah, demikian pula penyelesaiannya.
2.    Tarbiyah
Halaqah pandu Hidayatullah  berfungsi sebagai sarana tarbiyah, yang mencakup kegiatan tilawah (pemahaman) ayat-ayat Allah dalam kehidupan nyata, tazkiyatun (pensucian hati) dan ta’limatul kitab wa as-sunnah (pengajaran) nilai-nilai al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Jumu’ah: 2).
3.          Tandzim .
Halaqah pandu Hidayatullah juga berfungsi sebagai sarana tandzim (pengorganisasian). Ini penting, agar santri  tidak hanya memahami ajaran Islam dan melaksanakannya secara individual, tetapi dapat menegakkannnya secara kaffah dengan cara hidup berjama’ah. (Zahara Idris, 199:58)

E.       Lembaga Informal Pendidikan Tinggi Dan Karakteristiknya
Ada tiga hal yang ditengarai sebagai faktor yang melandasi dilembagakannya pendidikan tinggi informal, yakni:
1.      Keinginan para ilmuwan dan para sarjana dari kalangan muda untuk saling berkomunikasi dan saling mendorong semangat keilmuan mereka.
2.      Kehausan akan ilmu pengetahuan yang didorong dengan adanya kebutuhan untuk memperluas pengetahuan umum dan untuk memahami gejala-gejala alam.
3.      Semangat dalam mempertahankan keimanan Islam dalam menghadapi misionaris agama-agama lain.
Secara eksplisit karakteristik pendidikan formal dan informal yang berlangsung pada periode klasik sulit dibedakan. Namun ada sisi lain yang dapat kita kaji secara kritis untuk membedakan diantara keduanya, yaitu dari segi sumber pendanaan yang diterima dari negara. Dana yang diterima pendidikan formal sifatnya langsung atau dalam istilah Azyumardi disebut kontan, sedang dalam pendidikan informal sifatnya tidak langsung, misalnya saja melalui ketentuan hukum perwakafan. Untuk menambah kejelasan, berikut ini akan diklasifikasikan beberapa faktor yang termasuk dalam karakteristik pendidikan informal, meliputi:
-          Lokasi : selain masjid dan madrasah.
-          Metode : bebas tidak terikat.
-          Subsidi negara : tidak diberikan secara langsung.
-          Sebutan guru : lebih popular dengan sebutan shaikh. (Azyumardi Azra, 1995:69)
Kelima faktor itulah yang dapat ditengarai sebagai karakteristik pendidikan informal. Namun, tidak menutup kemungkinan munculnya unsur ambiguitas diantara faktor-faktor yang terkait.
Halaqah (lingkaran studi) adalah merupakan forum kajian keilmuan yang sistem penyelenggaraanya dimulai dengan memberikan garis-garis umum mata pelajaran, dilanjutkan pelajaran secara detail dan mendalam tentang masing-masing sub materi. Lalu diakhiri dengan evaluasi dalam bentuk diskusi. Proses ini penekanannya terletak pada analisis dan pengembangan informal tentang pandangan seorang guru yang disebut dengan shaikh. Dengan demikian maka kurikulum sebuah halaqah lebih banyak tergantung pada pengalaman dan pengetahuan sang guru atau pada suatu ijazah atau sertifikasi yang dimiliki seorang guru disaat menempuh perjalanan keilmiahannya.
Dalam prakteknya, halaqah yang berkembang pada periode klasik dengan mengacu pada karakteristik di atas dapat diklasifikasikan pada dua macam bentuk pendidikan yaitu formal dan informal. Formulasi formal dalam wacana ini adalah halaqah yang diselenggarakan di masjid-masjid. Sedangkan untuk informalnya adalah yang diselenggarakan diluar atau selain di masjid, seperti dilingkungan istana, dirumah-rumah pembesar negara, di perpustakaan, took-toko buku, rumah-rumah para ilmuan. Contoh dalam sejarah kita mengenal halaqah al Ghazali, halaqah Ibn Killis, halaqah al Fatimy dan lain-lain.
Secara garis besar fungsi halaqah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu (a) sebagai forum diskusi dan (b) sebagai sanggar sastra.
1.         Sebagai forum diskusi, pada forum ini para siswa diberi kesempatan untuk melakukan refleksi tentang masalah-masalah penting dan sekaligus menunjukkan ketrampilannya dalam beradu argumentasi. Topik yang menjadi bahan diskusi seringkali dikaitkan dengan kehidupan intelektual Islam atau persoalan-persoalan aktual yang lebih banyak ditentukan oleh shaikh yang bersangkutan.
2.         Sebagai sanggar sastra. Halaqah dalam wacana ini pada awalnya terbatas dikalangan keluarga istana. Akhirnya membudaya dikalangan para penguasa. Kelompok-kelompok bangsawan bawahan. Titik focus penyelenggaraannya cenderung mengukuhkan kembali ajaran-ajaran tradisional. Namun pada perkembangan selanjutnya mengarah sebagai media masuknya pemikiran intelektual dan sains Yunani ke dalam peradaban Islam. Popularitas sebuah sanggar banyak tergantung pada kekayaan dan kekuatan seorang Patron (pemilik sanggar ) dalam menarik para cendekiawan pada kelompok masyarakat tertentu. Yaitu terdiri dari kaum cerdik dibidang matematika, filsafat, teologi, pejabat, politikus dan pemimpin keagamaan. (Zuhairini dkk, 1994:97-98)




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan tidak semata-mata melalui pendidikan formal, akan tetapi dapat juga didapat dari pendidikan informal, apalagi hal itu di wilayah pendidikan tinggi. Adapun bentuk pendidikan informal dalam pendidikan tinggi –dalam hal ini perguruan tinggi- adalah halaqah, observatorium dan perpustakaan.
Halaqah (lingkaran studi) merupakan bentuk pendidikan dengan cara melakukan diskusi-diskusi yang mengkaji suatu ilmu yang dipimpin oleh seorang shaikh. Dalam perkembangannya sering diadakan oleh para mahasiswa di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam khususnya di masjid-masjid. Selain itu adalah observatorium yang mungkin perkembangan saat ini berbentuk lembaga penelitian (laboratorium) yang terdapat diberbagai perguruan tinggi dalam usaha untuk menemukan sesuatu yang baru dalam bidang ilmu pengetahuan.




DAFTAR PUSTAKA

Al Abrashi, Athiyah , al Tarbiyah al Islamiyah, terj. Bustami, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Al Rahman, Fazl , Islam, Bandung: Pustaka al Husna, 1984.
Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, tt.
Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cet. II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Bandung: Mizan, 1995.
_______. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994.
Basuki, Sulistyo , Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Erawadi. Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX. Jakarta: Badab Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama RI, 2009.
Idris, Zahara, Dasar-Dasar Kependidikan,Padang: Angkasa Raya Padang, tt.
Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
van Bruinessen, Martin. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1992,
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1985.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar