Untuk menggambarkan karakteristik pendidikan Tinggi Islam ini dibicarakan oleh Stanton pada bab 2, 3, 4, 5, dan 7. Gambaran tentang karakteristik pendidikan tinggi Islam ini dimulainya dengan menggambarkan proses pertumbuhan dan perkembangfan pendidikan Islam sejak masa Nabi hingga masa kejayaan pendidikan Islam.
Bangsa Arab, menueut Stanton, adalah bangsa yang sebagian besar berasal dari bangsa Nomad, terutma sebelum Islam. Mereka mengnggap gurun pasir sebagai tempat untuk pendidikan anak-anak mereka. Kehidupan pengembaraan yang keras mereka lukiskan dengan puisi (sya'ir) yang memberikan kesadaan pada anak-anak merka akan kerasnya perjuangan. Melalui sya'ir inilah nilai-nilai pendidikan mereka transformasikan kepada anak-anak mereka. Ketika Islam mereka terima, maka peran sya'ir digantikan oleh al-Qur'an untuk menentukan panduan dan arah pendidikan bagi anakanak mereka.
Peran al-quean menjadi dasar dan pegangan bagi segalanya, termasuk dalam melakukan dan menentukan sistem pendidikan bagi masayarakat Arab. Merlalui peran al-qur'an ini pada masa awal para anak-anak dituntut untuk mampu membacanya dan memahami isinya, sehingga pelajaran membaca dan pemahaman mulai diajarkan kepada anak-anak mereka. Karena begitu besarnya arti penguasaan al-Qur'an, maka kegiatan pengajarannya memnjadi menyeluruh dan sangat sentral, sehingga tumbuhlah pusat-pusat pengajaran al-qur'an di mana-mana, utamanya di masjid-masjid.
Keberadaan pusat pengajian al-qur'an di masjid-masijd selanjutnya meluas dan berkembang, baik dari segi materi kajian maupun bentuk atau sistem pembelajarannya. Perluasan dan perkembangan materi kajian meluas pada masalah hadis Rasulullah, fiqh, aqidah, akhlak, dan sebagainya yang menjadi kandungan al-qur-an dan hadis. Perluasan dan perkembangan sistem pembelajaran itu berkembang dalam bentuk halaqah (kelompokkelompok kajian berdasarkan bidang kajian) dan dalam bentuk kuttab (semacam lembaga pendidikan semi formal dengan sistem tingkat berdasarkan tingkatan kitab yang dipelajari). Di samping itu, karena banyaknya para penuntut ilmu dari berbagai luar daerah, maka masjid menyediakan asrama tempat menginap, sehinga muncullah istilah masjid Khan yang sekaligus dijadikan pula sebagai tempat belajar. Dari masjid khan inilah, selanjutnya tumbuh menjadi madrasah (lembaga pendidikan Islam yang berada di luar masj id / berdiri sendiri) .
Stanton, menyamakan madrasah sebagai pendidikan Tinggi Islam, walaupun hal ini menjadi polimik di antara berbegai sejarahwan, baik Islam maupun Barat. Menurut Stanton ada beberapa ciri yang memberikan bukti bahwa madrasah adalah sebagai pendidikan tinggi Islam. Pertama, madrasah adalah merupakan kelanjutan dari pendidikan sebelumnya (halakah dan masjid khan), Kedua, pendidikan di madrasah diajar oleh syeikh (profesor); Ketiga, setelah madrasah tidak ada lagi pendidikan lanj utannya.
Madrasah menurut Stanton adalah lembaga pendidikan Islam yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu yang terspesialisasi, utamanya ilmu-ilmu keagamaan. Munculnya madrasah ini diawali oleh gagasan Nizhamul Muluk, seorang penguasa pada masa kekhalifahan Abbasyiyah (masa jaya Islam). Madrasah ini berusaha mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya fikih yang berorientasi pada mazhab Syafi'ie. Setelah munculnya madrasah pertama ini, maka selanjutnya bermunculanlah madrasah-madrasah berikutnya dengan berbagai corak (disiplin kajian, termasuk madrasah kedokteran).
Selain madrasah, lembaga pendidikan Islam yang dapat digolongkan sebagai akademik berlangsung juga di berbagai tempat khusus, seperti di perpustakaan, di rumah sakit, di observatorium, dan sebagainya, yang umumnya secara khusus mengkaji bidangbidang tertentu sesuai dengan karakteristik kelembagaannya. Dari lembaga-lembaga inilah tradisi akdemik berkembang dengan pesat dan menakjubkan yang melahirkan ilmuan-ilmuan besar seperti Ibn Sina (Avesena), Ibn Rusyd (Averos), dan lain-lain yang kelak tradisi dan ilmu pengetahuannya sangat berpengaruh bagi tumbuhnya tradisi akademik di Erpa dan Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar