PERIODE SETELAH DAULAT  ABBASIYAH SAMPAI TUMBANGNYA KEKHILAFAHAN TURKI UTSMANI 
Pada masa Khilafah Utsmani, para  ahli sejarah sepakat bahwa zaman  Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M)  merupakan zaman kejayaan dan  kebesaran yang pada masanya telah jauh  meninggalkan negara-negara Eropa  di bidang militer, sains dan politik.
Pasca berakhirnya  keluasaan Daulat Abbasiyah, kepemimpinan Islam berlanjut  dengan  kepemimpinan Daulat Utsmaniyah. Daulat Utsmaniyah yang juga dikenal   dengan sebutan Kesultanan atau Kekaisaran Turki Ottoman, didirikan oleh  Bani  Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 s.d.  1923) dipimpin  oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan  terpecah menjadi beberapa  negara kecil.
Kesultanan ini  menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad.  Pada  puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi   dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya. Pada abad  ke-16  dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama  dunia dengan  angkatan lautnya yang kuat. Kekuatan Kesultanan Usmaniyah  terkikis secara  perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya  benar-benar runtuh pada abad  20. Musuh-musuh Islam membutuhkan waktu  selama satu abad untuk melepaskan  ikatan ideologi Islam dari tubuh umat  Islam, yang pada akhirnya tanggal 3 Maret  1924 M yang bertepatan  dengan tanggal 28 Rajab 1342 Hijriah, melalui Mustafa  Kemal Attaturk  yang merupakan agen Inggris dan anggota Freemasonry (sebuah   organisasi Yahudi), membubarkan institusi Kekhilafahan Islam terakhir di  Turki  dan menggantikannya dengan Republik Turki. Maka, sejak saat itu  ideologi Islam  benar-benar terkubur ditandai dengan dihilangkannya  institusi khilafah oleh  majelis nasional Turki dan diusirnya Khalifah  terakhir. 
BEBERAPA CATATAN PENTING
Menyimak betapa besar kontribusi Islam terhadap lahirnya peradaban  Islam  berskala dunia terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi,  sesungguhnya  kemajuan yang dicapai Barat pada mulanya bersumber dari  peradaban Islam. Dunia  Barat sekarang sejatinya berterima kasih kepada  umat Islam. Akan tetapi pada  kenyataannya pihak Barat (non Muslim)  telah sengaja menutup-nutupi peran besar  atas jasa para pejuang dan  ilmuwan muslim tersebut yang pada akhirnya  terabaikan bahkan sampai  terlupakan. Oleh karena itu, umat Islam perlu kembali  menggelorakan  semangat keilmuan para ilmuwan muslim atas sumbangsihnya yang  amat  besar bagi peradaban umat manusia di dunia dalam menyongsong kembali   kejayaan Islam dan umatnya.
Kita dapat menyimak, bahwa puncak  pencapaian penguasaan sains dan teknologi  pada zaman kejayaan umat  Islam masa lalu terkait erat dengan tegaknya sistem  kekhilafahan,  dimana adanya sistem komando yang terintegrasi secara global yang   peranan secara politik sejalan dengan peranan agama. Kita juga  mendapatkan  gambaran dalam sejarah bahwa sosok para pemimpin terdahulu  yang shaleh selain  sebagai seorang negarawan yang handal dan mumpuni,  juga sebagai seorang ‘ulama  wara’ yang takut pada Rabb-nya, mencintai  ilmu serta mencintai rakyatnya. Pada  aspek ini kita bisa melihat adanya  integrasi tiga pilar utama dalam pembentukan  peradaban Islam yaitu  agama, politik dan ilmu pengetahuan terpadu dalam satu  kendali sistem  kekhilafahan dibawah pimpinan seorang khalifah.
Keberlangsungan  sistem kekhilafahan terutama sejak zaman Daulat Umayyah dan  Daulat  Abbasiyah walaupun bersifat khalifatul mulk (estapeta kepemimpinan   didasarkan pada keturunan/dinasti) yang adakalanya dipimpin oleh orang  shaleh  dan sekali waktu dipimpin oleh orang zhalim dan durhaka, tetapi  seburuk-buruk  kondisi pada masa kehilafahan, masih jauh lebih baik  daripada masa setelah  tercerabutnya kehilafahan, karena pada masa  kekhilafahan hukum Islam masih  tegak dan ditaati oleh umat Islam,  demikian juga adanya ketaatan terhadap  berbagai fatwa para ‘ulama.
Segala hal yang baik dari para pendahulu umat Islam seyogiannya menjadi   cerminan teladan bagi kita, sementara segala hal yang kurang baik,  sejatinya  dijadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga.
Awal meredupnya peradaban Islam yang terjadi sejak abad ke-8 hijriah  (abad 13  M) hingga abad ke-14 hijriah (abad 20 M) yang telah  mengakibatkan proses  peralihan dari peradaban Islam ke keradaban Barat  yang ditandai dengan masa  pencerahan di dunia Barat serta terjadinya  penjajahan, penaklukan dan aneksasi  terhadap negeri-negeri muslim oleh  armada perang dari negara-negara Barat lebih  disebabkan oleh melemahnya  legitimasi politik dunia Islam karena peran  kekhilafahan cenderung  bersifat simbol serta hanya sebatas seremonial saja  hingga tumbangnya  sistem kekhilafahan di dunia Islam. Dari situlah kemudian  dimulainya  hegemoni dunia Barat terhadap dunia Islam.
Jadi, sesungguhnya  faktor utama kekalahan dan melemahnya peran umat Islam  bukanlah  terletak pada kuatnya pihak musuh-musuh Islam, tetapi lebih disebabkan   oleh melemahnya kekuatan umat Islam yang diakibatkan oleh perbuatan  kemaksiatan  yang dilakukan. Kemaksiatan terbesar terutama berupa sikap  menyekutukan Alloh  Swt (musyrik) dalam beribadah serta tidak  memperdulikan lagi atas berbagai  aturan (syari’at) yang  diperintahkan-Nya.
Perbuatan maksiat yang dilakukan oleh umat  Islam itulah yang telah  dikhawatirkan oleh Umar bin Kaththabr.a. saat  beliau menjadi Khalifah, hal ini  sebagaimana dapat kita simak dari  pesan tertulis beliau yang pernah  disampaikannya kepada Sa’ad bin Abi  Waqash ketika akan menghadapi sebuah  pertempuran. Pada surat itu  ditulis pesan sebagai berikut:
“Umar bin Kaththab ra. telah   menulis sepucuk surat kepada Sa’ad bin Abi Waqash r.a.: ‘Sesungguhnya  kami  memerintahkan kepadamu dan kepada seluruh pasukan yang kamu  pimpin, agar taqwa  dalam segala keadaan, karena taqwa kepada Alloh  merupakan seutama-utamanya  persiapan dan strategi paling kuat dalam  menghadapi pertempuran. Aku  perintahkan pula kepadamu dan pasukan yang  kamu pimpin agar benar-benar menjaga  diri dari berbuat maksiat. Karena  maksiat yang engkau perbuat pada saat  berjuang lebih aku khawatirkan  daripada kekuatan musuh, sebab engkau akan  ditolong Alloh jika  musuh-musuh Alloh telah berbuat banyak maksiat, karena jika  tidak  demikian kamu tidak akan punya kekuatan sebab jumlah kita tidaklah   sebanyak jumlah pasukan mereka, dimana persiapan mereka berbeda dengan   persiapan yang kita lakukan. Jika kita sama-sama berbuat maksiat  sebagaimana  yang dilakukan oleh musuh-musuh kita, maka kekuatan musuh  akan semakin hebat.  Sangatlah berat kita akan dapat mengalahkan musuh  kita jika hanya mengandalkan  pada kekuatan yang kita miliki, kecuali  dengan mengandalkan ketaqwaan kita  kepada Alloh dan senantiasa menjaga  diri dari berbuat maksiat...” (Lihat : Kitab Al ‘Aqdul Farid jilid  I, hlm. 101; Kitab Nihayatul Arab jilid  VI, hlm. 168; Kitab Ikhbarul  Umar wa Ikhbaru Abdullah bin Umar jilid I, hlm.  241-242; Kitab Ikbasu  min Ikhbarul Khulafa Ar-Rosyidin hlm 779, serta buku  Jihad tulisan Dr.  Mahfudz Azzam, hlm. 28).
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar