Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Januari 2012

RUANG LINGKUP STUDI ISLAM DAN PENDEKATANYA

RUANG LINGKUP STUDI ISLAM DAN PENDEKATANYA

A.    Asal Usul Studi Islam
Pendidikan Islam pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekah dan Madinah (hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir). Madrasah Mekah dipelopori oleh Mu’as bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, Ustman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud; madrasah Damaskus (Syiria) dipelopori oleh Ubadah dan Abu Darda; sedangkan madrasah Fistat (Mesir) dipelopori Abdullah bin Amr bin Ash. (Zaini Muchtarom, 1986. Hal 71-75)

Pada zaman kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan di ibu kota Negara Irak yaitu Bagdad. Di istana Dinasti Bani Abbas pada zaman al-Ma’mun (813-833), putra Harun al-Rasyid di dirikan Bait al-Hikmah, yang dipelopori oleh Khalifah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan wajah ganda; sebagai perpustakaan serta sebagai lembaga pendidikan (sekolah) dan penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa arab untuk melakukan akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan. (Harun Nasution, 1985. Hal 68)

Di samping itu di Eropa, terdapat pusat kebudayaan yang merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova yang didirikan oleh abdul al-Rahman III (929-961 M), dari Dinasti Umayah di Spanyol. Di Timur Islam, Bagdad juga didirikan Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizham al- Muluk; dan di Kairo Mesir didirikan Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fatimah kalangan Syi’ah. Dengan demikian pusat-pusat kebudayaan yang juga merupakan pusat studi Islam pada zaman kejayaan Islam adalah Bagdad, Mesir dan Spanyol.

Studi Islam sekarang ini berkembang hampir diseluruh Negara di dunia, baik di dunia Islam maupun bukan Negara Islam. Di dunia Islam terdapat pusat-pusat studi Islam seperti Universitas al-azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di Arab Saudi. Di Teheran didirikan Universitas Teheran. Di Universitas ini studi Islam dilakukan dalam satu fakultas yang di sebut Kulliyat Illahiyyat (fakultas agama). Di Universitas Damaskus (Syiria), studi Islam ditampung dalam Kulliyat al-Syariah (fakultas syariah) yang di dalamnya terdapat program studi Ushuludin, tasawuf, dan sejenisnya.

Universitas al-Azhar (Mesir dapat dibedakan menjadi dua periode; pertama, I periode sebelum tahun 1961, dan kedua periode setelah tahun 1961. Pada periode pertama fakultas-fakultas yang ada di IAIN, sedangkan setelah tahun 1961 di Universitas ini diselenggarakan fakultas-fakultas umum di fakultas agama.

Di Indonesia, studi Islam (pendidikan Islam tinggi) dilaksanakan di 11 Institut agama Islam Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam negeri (STAIN). Ada juga sejumlah perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan Islam tinggi sebagai salah satu bagian studinya, seperti fakultas agama di Universitas Muhamadiyah Jakarta dan Universitas Islam Bandung (UNISBA).


  B.     Pengertian Studi Islam

1.      Tarbiyah

Tarbiyah diambil dari fi’il madhi-nya (rabbayani) maka ia memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, member makan, menumbuhkan, mengembangkan memelihara, membesarkan, dan menjinakan.
Tarbiyah dapat juga diartikan sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabban)kepada peserta didik agar memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahamai dan menyadari kehidupannya, sehingga berbentuk kataqwaan, budi pekerti dan kepribadina yang luhur.
Dalam pengertian tarbiyah ini, terdapat lima kata kunci yang dapat dianalisis:

a.       Menyampaikan (al-tabligh)
b.      Sesuatu (al-syay)
c.       Sampai pada batas kesempurnaan (ila kamalihi)
d.      Tahap demi tahap (syay’ fa syay)
e.       Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti’dadihi)

Mushthafa al-maraghi membagi aktivitas al-tarbiyah dengan dua macam: (1) tarbiyah khalqiyyah, yaitu pendidikan yang terkait dengan pertumbuhan jasmani manusia, agar dapat dijadikan sebagai sarana dalam pengembangan rohaninya; (2) tarbiyah dinniyah tahdzibiyyah, yaitu pendidikan yang terkait dengan pembinaan  dan pengembangan akhlak dan agama manusia, untuk kelestraian rohaninya.
Dalam klasifikasi yang berbeda, Ismail al-Barusawi memagi taribiyah pada aspek sasarannya: (1) kepada manusia, sebagai makhluk yang memiliki potensi rohani, maka tarbiyah diartikan dengan proses pemberian nafsu dengan berbagai kasih saying, bimbingan jiwa dengan hokum-hukum syari’ah, pengarahan hati nurani dengan berbagai etika kehidupan, dan penerangan rahsaia hati dengan hakikat pelita; (2) kepada alam semesta, yang tidak memiliki potensi rohani, maka tarbiyah diartikan dengan pemeliharaan dan pemenuhan segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab yang menjadi eksistensinya.
Muhamad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim dengan “proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu anpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Menurut al-Naquib al-atas, ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang temapt-temapt yang tepat dari segala sesuatu didalam attanan penciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan tuhan .


2.      Riyadhah
Menurut al-ghazali, kata riyadhah yang dinisbatkan kepada anak (syibhan/ahfad), maka memiliki arti pelatihan dan pendidikan  kepada anak.
Pemilihan istilah pendidikan dalam islam
Dalam khazanah islam, terdapat enam macam istilah yang masing-masing berkemungkinan menjadi peristilahan dalam pendidikan islam, yaitu tarbiayh, ta’lim ta’dib, dan riyadhah.
Tokoh yang mengajukan istilah ini adalah Muhammad athiyah al-abrasyi. Menurutnya istilah al-tarbiyah mencakup keseluruhan aktivitas pendidikan, sebab didalamnya mencakup upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebi sempurna, mencapai kebahagian hidup, cinta tanah airm memperkuat fisik, menyerpunakan etika, sistematisasi logika berfikir, mempertajam instuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi tehadap perbedaan, fasih berbahsa serta mempertinggi ketrampilan.
Kedua, kubu yang mengajukan istilah al-ta’lim. Adalah ‘Adb Fatah Jalal. Menurutnya ta’lim merupakan proses transmisi pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggungjawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian diri manusia dari segala kotoran, serta menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima hikmah (wisdom), serta mempelajri segala apa yang bermanfaat baginya dan mempelajari apa yang tidak diketahui.
Ketiga, suku mengajukan istilah al-ta’dib adalah al-Naquib al-Attas. Menurutnya istilah ta’dib paling cocok digunakan untuk peristilahan pendidikan islam.
Keempat, kubu yang mengajukan istilah alriyadhah adalah abu hamid Muhammad al-ghazali. Al-ghazali membatasi ruanglingkup al-riyadhah pada fase kanak-kanak, sehingga disebut dengan riyadhat al-syibyan atau riyadhat al-athfal (pendidikan untuk anak-anak).


  C.    Sumber Dan Dasar Pendidikan Islam

1.      Sumber Pendidikan Islam

Urgensi penentuan sumber disini aalah untuk :
1.      Mengarahkan tujuan pendidikan islam yang ingin dicapai.
2.  Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar mengajar, yang didalamnya termsauk materi, metode, media, sarana dan evaluasi.
3.  Menjadi standard dan tolak ukur dalam evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah  mencapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum.


Al-qur’an
Yang bersrti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian yang lain secara teratur.

a.     Sejarah Pendidikan islam
Kitab nabi adam as sebagai nabi pertama sedangkan konsep merupakan produk penting dari akal budi manusia.
Kitab nabi isa as mendidik dan mengentaskan masyarakat dari banjir kemaksiatan melalui perahu keimanan.
Kitab nabi shaleh as yang memiliki kepribadian ketuhanan  yang tangguh meskipun  hidup pada keluarga dan lingkungan yang korup.
Kitab nabi ismail as yang mampu hidup pada situasi ndan kondisi yang lebi sulit, gersang dan tanpa bergantung pada orang lain meskipun ayah sendiri.
Kitab nabi musa as yang berani menentang penguasa yang zalim, bapak kedokteran yang karena ilmunya bias menghidupkan (menyembuhkan) orang yang mati (sakit).
Kitab nabi isa as yang kehidupannya bersejarah sehingga tercipta tahun masehi.
Kitab nabi Muammad SAW yang kehadirannya membawa berkah dan rahmat bagi semua alam kehidupannya sederhana jujur dan berdagang dan bias dipercaya.

b.    Nilai-nilai normatif
Al-qur’an nenurut nilai normative yang menjadi acuan dalam pendidikan islam yaitu :

1.     I’tiqadiyah yang berkaitan dengan pendidikan keimanan seperti percaya kepada Allah ,malikat rosul,kitab hari akhir dan takdir yang bertujuan menata kepercayaan individu.
2. Khuluqiyyah yang berkaitan dengan pendidikan etika, yang bertujuan untuk mernbersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji.
3.  Amaliyyah, yang berkaitan dengan pendidikan tingkah laku seha-hari balk yang berhubungan dengan Al-qur’an secara normative juga mengungkap lima aspek pendidikan dalam dimensi-dimensi manusia yang meliputi :

1.      Pendidikan menjaga agama ( hifdz al- din) yang mampu menjaga eksistensi agamanya.
2.      Pendidikan menjaga jiwa (hifdz al-nafs) yang emenuhi hak dan kelangsungan hidup diri sendiri  dan masing-masng anggota masyarakat karena perlu diterapkan hokum qishash (pidana islam) bagi yang melnggarnya.

3.      Pendidikan menjaga akal pikiran (hiffdz al-aqal) yang menggunakan akal pikirannya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah dan hokum-hukumnya.

4.      Pendidikan mejaga keturunan (hifdz al-nash) yang mampu dan memjaga generasi islam yang tangguh dan berkualitas.

5.      Pendidikan menjaga harta benda dan kehormatan (hifdz al- mal wa al-irdh) yang mampu mempertahankan hidup melalui pencarian rizki yang halal.


  D.    Dasar Pendidikan Islam

1.      Dasar Historis
Dasar historis adalah dasar yang beriontesi pada pengalaman pendidikan masa lalu, hak dalam bentk undang-undang ataupun pelaturanpelaturan agar kebijakan yang di tempu masa kini akan lebih baik.

2.      Dasar Sosiologi
Dasar sosiologi adalah dasr yang memberikan kerangka sosiologi budaya yang mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan dasar ini juga berfungsi sebagai tolak ukur dalam potensi belajar.

3.      Dasar Ekonomi
Dasar ekonomi adalah yang memberikan perspektif tentang potensi financial, menggali dan mengatur sumber-sumber, serta bertangggung jawab terhadap renacna dan anggaran pembelanjaannya.

4.      Dasar politik dan administrasi
Dasar yang memberikan bingkai ideology yang digunakan sebagai temapt bertolak  untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan secara kuantitatif amupun kualittaif .

5.      Dasar psikologi
Dasar yang memberikan informasitentang bakat, minat watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, tenaga administrasi, serta sumber daya manusia.

6.      Dasar filosofi
Dasar yang memberikan kemampuan memilih yang terbaik, member arah suatu system, mengaontrol dan member arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya. Bai masyarakat sekuler dasar ini menjadi acuan terpenting dalalm pendidikan sebab filsafat bagi mereka merupakan uinfuk dari segala dasar penddikan.

7.      Dasar religious
Dasar yang diturunkan dari ajarana agma. Dasar ini secara detail telah dijelaskan pada sumber pendidikan islam.


E.     Tugas Dan Fungsi Pendidikan Islam

1.      Tugas Pendidikan Islam
Menurut ibnu tamiyah dikutif dari majid isran , penidikan islam pada hakekatnya bertumpu pada dua aspek, yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan penegmabangan tabiat peserta didik, pendidikan tauhid dilakukan dengan dua kalimah syhadat.

2.      Fungsi Pendidikan Islam
Fungsi pendidikan islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar.
Menurut kurshid, yang dikutif ramayulis, fungsi pendidikan islam adalah sebagai berikut :

1.      Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide masyarakat dan bangsa
2.      Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan pertimbangan perubahan social dan ekonomi

      F.     Tujuan Pendidikan Islam
1.                  Tujuan Pendidikan Islam
Rumusan tujuan pendidikan islam ini harus berorientasi pada hakikat penddikan meliputi beberapa aspeknya, missal pertama tujuan dan tugas hidup manusia,.
Tujuan pendidikan islam mempunyai beberapa prinsip tertentu guna menghantar tercapainya tujuan pendidikan, prinsip itu adalah:
1.      Prinsip universal (syumuliyah). Prinsip yang memandang ke seluruh aspek manusia
2.      Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun qa iqtishadiyah). Prinsip adalah keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan individu dan komunitas, serta tuntutan pemeliharaan kebudayaan sila dengan kebutuhan kebudayaan masa kini serta berusaha mengatasi maslah-masalah yang sedang dan akan terjadi.
3.      Prinsip kejelasan (tabayun). Prinsip yang didalamnya terdapat ajaran danhukum yang member kajelasan terhadap kejiwaan manusia (qalb, akal, dan hawa nafsu) dan uum maslah yang dihadapi , sehingga terwujud tujuan, kurikulum, dan metode pendidikan.
4.      Prinsip tak bertentangan.
5.      Prinsip realism dan dapat dilaksanakan. Prinsip yang menyatakan tidak adanya kekahyalan dalam kandungan program pendidikan, tidak berlebihan, serta adanya kaidah yang praktis dan realistic, yang sesuai dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosiopolitik dan sosiokultur yang ada.
6.      Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu. Prinsip ini mmperhatikan perbedaaan peserta didik, baik cirri, kebutuhan, kecerdasan, minat, sikap, tahap pematangan jamsmani, akal, emosi, social, dan segala aspeknya.
7.      Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadipelaku pendidikan serta lingkungan dimana pendidikan itu dilaksanakan.


G.    Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Pendidik adalah bapak rohani bagi peserta didik, yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia dan meluruskan perilakunya yang buruk.
Tugas pendidik dalam pendidikan islam
Menurut al-ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, serta
membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepaa Allah SWT.
Fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan islam dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Sebagai pengajar (intruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
2.  Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan kepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakannya
3.     Sebagai pemimpin (manajerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik, dan masyarakat.
Kompetensi Social-Religius
Kemampuan dasar kedua bagi pendidik adalah menyangkut kepeduliannya terhadap masalah- 
masalah social selaras dengan ajaran dakwah islam.
Kompetensi Profesional-Religius
Mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu 
mempertanggungjawabkan berdasrkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif islam.
Kode etik pendidik dalam pendidikan islam
Menurut ibnu jama’ah, yang dikutip oleh Abd al-Amir syams al-Din, terbagi atas tiga macam, yaitu:
1.   Etika yang terkait dengan dirinya sendiri. Pendidik dalam bagian ini mempunyai dua etika: (1) memiliki sifay keagamaan yang baik, (2) memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia (akhlaqiyyah)
2.    Etika terhadap peserta didik. Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua etika: (1) sifat sopan santun (2) sifat memudahkan
3.      Etika dalam proses belajar mengajar. Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua bagian : (1) sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelematkan, (2) sifat seni.


PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM

Islam: Produk Sejarah
Selain dipandang dari sisi wahyu, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk sejarah. Islam adalah peradaban yang dibentuk melalui evolusi sejarah. Bahkan wajah Islam yang ada di seluruh belahan dunia merupakan hasil dari produk sejarah. Karena itu, kaitannya dengan produk sejarah Islam inilah sasaran penelitian agama semakin luas. Sejarah Islam yang tumbuh mulai dari masa kekhalifahan sampai berkembang di seluruh kawasan dunia adalah kaya akan persoalan-persoalan keagamaan yang perlu diteliti dari sisi sejarah.
Islam sebagai produk sejarah di sini adalah perlunya pendekatan arkeologis. Karena, untuk mengungkap sejarah tidak cukup menganalkan dokumen-dokumen serta perkataan yang dijadikan sumber sejarah primer. Bahkan untuk meneliti dan megggali keotentikan sebuah sejarah yang berkenaan dengan bentuk-bentuk peninggalan, tidak bisa mengabaikan pendekatan ini. Pendekatan arkeologis sangat dibutuhkan seorang peneliti dalam membantu untuk mempertajam analisis yang diperlukan ketika mendeteksi sebuah rentang masa, kurun, periode atau sisi lainnya.
Ruang lingkup studi Islam yang merupakan produk sejarah misalnya tentang fiqih/mazhab, tasawuf/sufi, filsafat/kalam, seni/arsitektur Islam, budaya/tradisi Islam. Bangunan pengetahuan kita pada wilayah Islam tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan sasaran penelitian.
Berbagai pendekatan studi Islam, pada dasarnya akan menjadi tugas dan tanggung jawab Perguruan Tinggi Islam, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, guna mengembangkan penelitian di bidang tersebut. Maka seiring dengan tantangan tersebut, Atho Mudzhar menyarankan untuk PTAI semacam IAIN harus berubah menjadi Universitas. Jika dicermati dari konsep-konsep semula bahwa Islam perlu dikaji secara interdisipliner dengan pendekatan beragam dan bukan monologis, memang perubahan sangat signifikan. Mengubah PTAI yang berlatar belakang agama mengaji perguruan tinggi yang bersifat menyeluruh.

1.      Pendekatan Dekonfessionalisasi
Pendekatan Dekonfessionalisasi dikembangkan oleh C.A.O.Van Nieuwenhuijze. Teori ini diambil dari karyanya berjudul, “The Indonesian State and Deconfessionalized Muslim Concepts” dalam Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia, The Hague and Bandung W van Hoeve,1958;180-243, dan Islam and National Self-Realization” dalam Cross-Cultural studies, The Hague, Monton and Co,1963;136-156.
Pandangan teori ini menyatakan secara garis besarnya, bahwa sebagaimana yang pernah terjadi di Belanda dalam rangka menyatukan perbedaan antar kelompok agama dan memelihara hubungan politik bersana dalam sebuah negara, maka seluruh identitas keyakinan, simbol-simbol kelompok yang eksklusif harus bisa ditinggalkan untuk sementara waktu dalam rangka mencapai suatu kesatuan dan kebersamaan yang lebih besar.
Kenyataan ini, ternyata bisa pula untuk memotret kasus di Indoinesia pascakolonialisme, dimana para tokoh-tokoh elit politik dari macam agama dan latar belakang sosial yang berbeda (Muslim, Kristen, Nasionalis, Sosialis, Sekularis, Modernis bahkan Ortodoks) untuk sama-sama duduk bersama terutama dalam merumuskan ideologi kebangsaan, Pancasila. Semua tokoh bisa bahkan harus bisa menekan kepentingannya masing-masing untuk bisa mengadaptasi dan mendapatkan sesuatu yang lebih besar, yakni merumuskan visi kebangsaan secara bersama.
Dalam kasus di Indonesia ini, dekonfesionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep muslim atas dasar pertimbangan kemanusiaan bersama.


2.      Pendekatan Domestikasi
Pendekatan Domestikasi Islam yang dikembangkan oleh Harry J. Benda. Teori ini dikembangkan dari Magnum Opusnya, The Crescent and The Rising Sun, telah diterjemahkan oleh Daniel Dekhade dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Jakarta. Serta tulisannya yang berjudul Continuity and Change in Indonesia Islam dalam Asian and African Studies, Vol.1, 1965;123-138
Dalam pandangan teorinya ia menggambarkan, Islam walau sehebat apapun perkembangannya di Indonesia, kekuatan lokal senantiasa terus memainkan dominasinya sehingga dinamika Islam yang sesungguhnya itu lumpuh, “terdomistikasi” dalam lingkup lokalitasnya. Fenomena “sinkretik” merupakan sesuatu yang sangat realistik untuk segera menyatakan bahwa kekuatan Islam yang agung itu selalu termakan oleh kekuatan lokalnya. Bahkan bukan sekedar itu, dalam pandangan Benda, bangkitnya kesultanan Mataram, sebenarnya merupakan sebuah penolakan terhadap Islam yang sebenarnya di Demak.. Benda menggambarkan, Mataram Islam sebenarnya sebagai sebuah simbiosis dari kekuatan Hindu Jawa, dan ia merefleksikan simbol kekuatan yang sesungguhnya dalam melawan kekuatan Islam peisisir Demak sebagai kekuatan skripturalis Islam.
Semua fenomena yang terjadi pada antara abad ke-16 – 18 yang mudah diamati itu, sekali lagi sekali memberi kenyataan Islam yang universal dan kosmopolit itu takluk di dalam dekapan “Jawa-Hindu-Mataram”: Dalam konteks “pemandulan politik Islam” yang sebenarnya inilah Harry J Benda menemukan teori “domestikasi”-nya.
Pada perkembangan berikutnya, kekuatan nasionalis dalam personifikasi Soekarno dalam partai PNI, juga bentuk kelanjutan dari upaya yang terus mendominasi dan “mengkrangkeng” beberapa kekuatan Islam skripturalis seperti halnya Darul Islam, Masyumi dan sebagainya untuk kemudian digantikan dengan Pancasila yang pada dasarnya bukan nota bene Islam. Dalam kacamata Benda, Pancasila sebenarnya sebagai personifikasi bentuk kekuatan dan kemenangan Jawa . Dalam hal ini ia menyatakan seperti yang dikutip Bahtiar Effendi dalam bukunya, Islam dan Negara, Mizan, 1998;.30 “…Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik, secara samar monoteistik, padahal yang pasti bukan Islam”.
Pada kesimpulannya teorinya, Benda ingin menyatakan, bahwa fenomena pasca kolonislisme dimana akumulasi proses terbentuknya sistem dan visi kenegaraan dan kebangsaan, merupakan suatu pengulangan ajang pertempuran, perebutan antara kekuatan Islam dan Jawa. Kemenangan akhirnya dipegang oleh kelompok yang terakhir ini.


3.      Pendekatan Skismatik
Pendekatan Skismatik dan Aliran. Pendekatan ini dikembangkan oleh Robert Jay dan Clifford Geertz. Dari tulisan Jay di antaranya, Santri and Abangan; Religious Schism in Rural Central Java, dan bukunya Religion and Politisc in Rural Centarl Java, New Haven; Yale University, 1963. Sementara Geertz banyak juga dia menulis dan yang paling populer adalah The Religion of Java, University of Chicago Press, 1976
Pandangan Jay dalam melihat Islam di Indonesia nampaknya agak mirip seperti apa yang dilihat oleh Harry J Benda, bahwa di Indoensia khususnya Jawa –karena mayoritas penelitian mereka pada umumnya dilakukan di Jawa, khususnya Jawa Tengah– ada suatu kekuatan di luar Islam yang senantiasa menyaingi bahkan “menjinakan”nya. Benda menyebutnya sebagai kekuatan Hindu-Jawa, sedangkan Jay melihatnya sebagai kelompok abangan.
Teori skismatik yang dia bangun menunjukkan bahwa akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan ini sebenarnya bermula dari proses islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budha-nya tipis –terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis, atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatn Hindu-Budha-nya cukup kuat terutama daerah-daerah pedalaman seperti bekas-bekas kekuatan kerajaan Majapahit di Mataram dan Singosari di Malang,.seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga kemudian transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok abangan.
Memang antara dua kekuatan ini sepertinya saling pengaruh-mempengaruhi namun pada sisi yang lain kadangkala membangun ketegangan yang sangat melebar, terutama dalam dunia politik. Seperti apa yang terjadi dengan kasus pembantaian terhadap para ulama oleh Sultan Amangkurat II (1613-1646), dalam pandangan Robert Jay bisa dilihat sebagai bentuk fenomena skismatik yang sangat radikal.. Secara umum kekuatan dua kelompok ini, terus berjalan pada pascakolonialis dan masa-masa pembentukan visi kenegara. Keduanya mengkristal dalam wadah yang disebut, “ortodoksi” yang berakar dari para santri dan kelompok “sinkretisme” yang berakar dari kelompok abangan.


4.      Pendekatan Trikotomi.
Teori ini dikembangkan oleh Allan Samson. Dia menulis pikirannya yang tersebar ke dalam beberapa buku, “Islam and Politics in Indonesia” dalam R.William Liddle (ed). Political Participation in Moedrn Indonesia, New Haven Yale University Press, 1973;116-142. “Conceptions of Politics, Power and Ideologi in Contemporary Indonesia”( Karl D. Jackson 1978; 196-226)
Sebagaimana para teoritikus terdahulu, Samson melihat karakteritik Islam di Indonesia tidak bisa dilihat secara tunggal. Termasuk kategori “santri’-pun haruslah dilihat sebagai sesuatu yang kompleks, terutama dalam mengekspresikan keagamaan dan kemauan politiknya.
Dalam kenyataannya, kelompok santri di Indonesia –yang terwadahi dalam NU, Muhamadiyah dan Masyumi– setidak-tidaknya memilki karakter yang sangat variatif; ada yang fundamentalis, reformis dan akomodatif. Yang dimaksud kelompok-kelompok santri dalam pandangan Samson di antaranya adalah mereka-mereka yang tetap mempertahankan Islam sebagai basis dan norma-norma dalam berpolitiknya. Akan tetapi perbedaan itu terasa akan nampak dalam penyikapan mereka terhadap keinginan, gagasan, ide dan kemauan politiknya terutama ketika menghadapi realitas yang berbeda.. Kenyataan berpolitik mereka tercermin dari karakter masing-masing gerakan dan startegi yang dilakukannya. Secara jelas, warna-warna santri dalam berpolitiknya bisa di kategirkan sebagai berikut:
a.       Fundamentalis. Adalah sekelompok santri yang biasanya ingin menempatkan agama dalam segala aspek kehidupan, termasuk bernegara. Kelompok ini diwakili oleh sejumlah politisi semacam M.Natsir. Mereka pada umumnya tidak bisa melakukan tawar-menawar dalam kehidupan politik. Mereka lebih tegas memegang prinsip dan cita-cita politiknya.
b.      Reformis. Adalah mereka yang ingin menempatkan secara rasional posisi Islam dalam kehidupan politik. Termasuk dalam membangun relasi dan bagi penerapan kepentingan Islam. Mereka juga sebenarnya ingin menempatkan Islam pada posisi strategis di tengah-tengah kekuatan lainnya. Kelompok ini tercermin pada karakter Soekarno dalam membangun kompromi antara agama dan ideologi lainnya.
c.       Akomodisionis adalah kelompok santri juga namun mereka lebih terbuka, sekalipun sepintas nampak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Nampaknya, sikap politik dari kelompok ini sebenarnya ada sesuatu yang akan diraih jauh lebih besar dalam merangkul dan mengambil posisi penting lainnya. Sehingga seolah-olah ada sesuatu yang berani mereka korbankan. Kelompok ini lebih tercermin misalnya dalam gaya berpolitik di kalangan orang-orang NU, terutama ketika Soekarno mengusulkan adanya penggabungan kekuatan utama ideologi politik di Indonesia, yakni Nasionalis, agama dan Komunis. Hanya satu-satunya kelompok santri yang bisa menerima ideologi seperti ini. Alasannya adalah, jika semua santri meninggalkan kebijakan ini, siapa lagi yang bisa mengendalikannya.
Kategori Allan Samson ini sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang permanen dalam politik Islam di Indonesia. Mereka para fundamentalis ini bisa jadi menjadi akomodatif dalam hal-hal tertentu. Namun sebagai sebuah tipologi gerakan bisa menunjukkan sesuatu yang permanen, tetapi subjek yang berada di dalamnya bisa saja berubah-ubah..
Istilah-istilah fundamental, reformis dan akomodatif bisa jadi hanya sebagai sebuah metode gerakan dan strategi politik. Bisa jadi juga sebagai lobying atau jalan berfikir bahkan alat negosiasi dalam dunia politik.


5.      Pendekatan Islam Kultural.
Teori ini dikembangkan oleh Donald K. Emmerson. Teorinya terdapat dalam beberapa tulisanya di antaranya, “Islam in Modern Indonesia; Political Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H Stoddard (et.al) Change and the Muslim World, Syracuse University Press, 1981; 159-168. “Isl;am and Regime in Indonesia; Who ‘s Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan tahunan Ahli-ahli politik Amerika, 31 Agustus 1989.
Secara umum orang melihat Islam di Indonesia sebagai sesuatu yang “terkalahkan”. Emmerson menyatakan sebaliknya. Betulkah Islam terkalahkan? Apa ukuran kekalahannya? Apa betul memang terkalahkan dalam semua aspek?
Dalam pandangannya, Islam justru pada skala kebudayaan memiliki kemenangan yang begitu hebat di Indonesia. Terutama pada periode Orde Baru, sekalipun secara politis Islam memang tertekan, namun dalam pengembangan kebudayaan secara makro justru bisa masuk dal;am semua lini.. Ketika Islam terpojokkan, ia kemudian mengubah strategi dan kemampuannya dengan membentuk “diversifikasi” yakni melakukan penyebaran kekuatan ke setiap posisi pranata sosial, termasuk ekonomi, pendidikan dan agama. serta seni dan kebuadayaannya. Sejak tahun 1970-an gerakan kepesantrenan dan kemadrasahan baik yang dilakukan oleh kelompok NU atau Muhammadiyah serta para cendekiawan memasuki pos-pos pemerintahan. Gagasan Nurcholis Majid, “Islam yes, politics no” merupakan titik klimaks dari manufer Islam dalam memasuki berbagai kekutan pranata sosial dan budaya di Indonesia.
Gerakan intelektual seperti munculnya sejumlah buku-buku terjemahan maupun tulisan-tulisan yang kreatif yang bisa membangun persepsi Islam Indonesia lebih hidup dan dinamis bermunculan secara fenomenal. Mizan sebagai pelopor gerakan penerbitan buku-buku seri cendikia muslim, hampir selalu menaikkan oplah cetaknya, karena permintaan pasar pembacanya, termasuk juga bermunculannya berbagai jenis diskusi yang dilakukan para kaum muda di selauruh perguruan tinggi Islam. Ini terjadi terutama pada tahun-tahun akhir 1980-an.
Kemenangan lainnya adalah Islam bisa masuk ke Istana Pemerintahan Orde Baru, dimana K.H. Qosim Nurzeha dan Prof. Dr. Quraish Shihab telah diangkat secara langsung menjadi guru ngaji keluarga Soeharto sebagai presiden RI yang cukup kuat saat itu. Hal ini kemudian diikuti oleh sejumlah kyai dan ulama untuk mulai bisa memasuki berbagai kepentingan pemerintahan, terutama untuk mensosialisasi kebijakan pemerintahan seperti program Keluarga Berencana (K, Puskesmas, transmigrasi dan pembangunan sosial lainnya. Kelanjutan dari ini, akhirnya para ulama ditarik untuk masuk pada kekuatan politik pemerintah, Golkar. Pada periode ini berbagai forum ulama dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Pada akhirnya, Islam diajak kembali dalam dunia politik praktis.
Kelanjutan pada periode ini Soeharto sebagai penguasa tunggal akhirnya sangat dekat dengan Islam. Ia mengakui dan merestui bahkan ikut membidani lahirnya Bank Mua’amalat yang berlandaskan syari’at Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), bahkan ia seolah merestui sejumlah “ABRI Hijau” yang berkarakter santri dan sebagainya. Terakhir ia menunjuk BJ. Habibi –yang nota bene sebagai simbol kelompok cendekiawan muslim atau santri– selaku wakilnya untuk menjadi presiden, menggantikan dia karena berbagai desakan reformasi. Semua fenomena ini menunjukkan secara alamiyah Islam telah menunjukkan kemengannya dalam realitas politik, sosial dan budaya.







DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M Amin, 1999, Studi Agama; Norativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ali, A. Mukti, 1987, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta: UI Press. 1985.
Martin, Richard C., 2001. Approaches to Islam in Religious Studies, diterjemah oleh Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta: UMS Press.
Mudzhar, M. Atha, 1998, Pendekatan Studi Islam; Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mujtahid, Memahami Pendekatan Studi Agama (Islam), dalam Jurnal el-Hikmah, Volume IV, No. 1 Juli 2006.
Nata, Abuddin, 1999, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada.
Zaini Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI. 1986.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar