Total Tayangan Halaman

Kamis, 26 Januari 2012

KARYA INTELEKTUAL MUSLIM "IMAM AL-GHAZALI"





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarahnya merupakan para filusuf yang biasa juga dikatakan merupakan ahli waris tradisi filsafat Barat. Sebab para Filusuf Timur Tengah yang pertama kali adalah orang arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang-orang Yahudi yang menaklukan daerah-daerah disekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi Falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setelah runtuhnya keKaisaran Romawi masuk kea bad pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filusuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Diantara filusuf Timur Tengah adalah Al-Ghazali.

Al-Ghazali merupakan salah satu filusuf Muslimin yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikkiran para filusuf. Kritik pedas tersebut beliau tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahfut Al-Falasifah. Dalam bukunya ini beliau mendemonstrasikan kepalsuan para filusuf besrta doktrin-doktrin mereka.

Al-Ghazali mendapat gelar “Hujjatul Islam” atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam terutama kaum batiniyah dan kaum filusuf. Beliau adalah sorang ulama, pendidik, ahli berfikir dalam ilmunya dan sekaligus sebagai pengarang produktif.



B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah diatas maka penulis akan merumuskan nya sebagai berikut: Bagaimana pemikiran Al-Ghazali tentang ke-qodhiman alam, kebangkitan jasmani di akhirat, hukum sebab akibat dan mukjizat serta filsafat Emanasi.



C.     Bagaimana Pengaruh pemikiran Al=Ghazali terhadap generasi sesudahnya
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk:
1.      Bagaimana pemikiran Al-Ghazali tentang ke-qodhiman alam, kebangkitan jasmani di akhirat, hukum sebab akibat dan mukjizat serta filsafat Emanasi.
2.      Bagaimana pengaruh pemikiran Al-Ghazali terhadap generasi sesudahnya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biorgrafi Al-Ghazali
Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al-Ghazali. Beliau lahir di Thus, bagian dari kota Khurasan-Iran pada tahun 450 H (1056)[1]. Nama Al-Ghazali berasal dari kata Ghazal yang berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan kata Ghazali juga diambil dari kata Ghazalah yaitu yang berarti nama kampong kelahiran Al-Ghazali tersebut dan inilah yang banyak dipakai sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahir beliau[2].

Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberikan nasehat kepada umat. Itulah sebabnya ayah beliau menitipkan Al-Ghazali kepada saudaranya yang ketika itu Al-Ghazali masih kecil kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan. Sejak kecil Al-Ghazali senang menuntut ilmu.

Karenanya sejak semasa kanak-kanak beliau telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara Guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Al-Razdikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur juga di Khurasyan yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Al-Haamain Al-Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An-Nidhimiyah Nisyapur. Al-Ghazali belajar Teologi, hukum Islam, Filsafat, Logika dan ilmu-ilmu alam[3].

Pada tahun 484 Hijriyah, Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzamiyah Bagdad selama kurang lebih empat tahun. Selama mengajar di madrasah ini dengan tekun Al-Ghazali mendalami filsafat secara otodidak terutama pemikiran Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Maskawih dan Ikhwan Ash-shafa. Penguasaannya pada filsafat terbukti dalam karyanya seperti kitab Al-MAqashid dan Tahafut Al-Falasifah.



B.     Pemikiran Al-Ghazali
                                                                          
1.      Kekadhiman Alam
Pada umunya filosof Muslim berpendapat bahwa ala mini kadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya dari segi zat dan tidak dari segi zaman, seperti keterdahuluan sebab dari akibat dan cahaya dari matahari.

Menurut Al-Ghazali, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradhah-Nya. Sementara itu ketiadaan wujud alam  sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut Al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan sesuatu dari yang lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat kudrat antara pencipta dan tidak sama kedudukannya, hanya suatu sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah/irodat. Oleh karena itulah jika Allah menetapkan ciptaan-Nya dalam satu waktu dan tidak dalam waktu lain, tidaklah mustahil teciptanya yang baru dari zat yang qodhim. Alasannya iradah Allah bersifat mutlak dan tidak dihalangi oleh waktu atau tempat.[4]




2.      Kebangkitan jasmani di akhirat
Menurut para filosof Muslim, yang akan dibangkitkan diakhirat nanti adalah rohani saja, seda
Ngkan jasmani akan hancur, jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan  adalah rohani saja. Meskipun ada gambaran sadari agama berupa materi di akhirat, seperti surge dan neraka, semua itu pada dasarnya hanya simbol-simbol untuk memudajkan pemahaman orang awam.[5]

Al-Ghazali dalam menyaggah pendapat para filosof muslim lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an. Menurut Al-Ghazali tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan dan kesengsaraan fisik  ohani secara bersamaan. Allah berfirman (artinya) “tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata”. Demikian pula firman-Nya “Aku sediakan bagi hamba-Ku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergores dalam hati manusia”.[6]

Mengenai kebangkitan di akhirat, para filusuf memandangnya bersifat rohaniyah dan terbebas
Dari unsur-unsur kebendaan. Hal ini karena masalah kerohanian adalah lebih tinggi nilainya, demikian pula yang berkaitan dengan kelezatan dan siksaan di akhirat bersifat lebih tinggi atau lebih dahsyat. Sebab itu, tidak ada keharusan kebangkitan yang bersifat jasmani.

Para filusuf Muslim melihat kebangkitan jasmani diakhirat lebih kepada pendekatan akal sebab jasad yang sudah terpisah dengan raga mustahil bersatu kembali apalagi jasad itu sudah rusak. Dan oleh karena yang hidup itu adalah ruh maka kebahagiaan dan kesengsaraan juga bersifat ruhaniyah.

Al-Ghazali melihat kebangkitan jasmani di akhirat lebih kepada ke-Maha Kuasaan Allah. Jika Allah menghendaki meskipun jasad sudah hancur lebur, tidak ada yang mustahil semuanya akan terjadi dan akan bersatu antara jasad dengan ruh.

3.      Emanasionisme
Hampir semua filosof Muslim menganut filsafat Emanasi vdalam penciptaan alam semesta. Menurut Al-Farabi dan Ibnu Sina: alam semesta diciptakan oleh Allah secara Emanasi (pancaran) semenjak Qidham dan Azali. Sebagai Khalikul Alam Allah mencipta semenjak Ia wujud dan antara Ia dan ciptaan-Nya tidak diantarai oleh zaman. Oleh karena itu, menurut mereka asal alam semesta ini Khadhim dan Azali. Namun, Khadhimnya ala mini mereka sebut dengan Taqodum Zamani (keberadaannya tidak didahului oleh zaman) sedangkan kadhimnya Allah mereka sebut denagn Taqqodum Zati (keberadaan-Nya tidak didahului oleh apapun, Ia berdiri sendiri, Pencipta alam).[7]

Jadi menurut filosof Muslim alam diciptakan oleh Allah dari sesuatu yang sudah ada. Pandangan ini sejalan dengan kenyataan yang ada di alam. Di ala mini yang ada hanyalah penciptaan dari sesuatu yang sudah ada atau dari suatu bentuk berubah menjadi bentuk yang lain. Buji, misalnya berubah menjadi anak pohon, anak pohon menjadi pohon, pohon dipotong menjadi papan, papan disambung-sambung menjadi meja, meja using menjadi bahan bakar, bahan bakar menjadi abu dan abu menjadi tanah. Anak pohon tidak begitu saja, begitu pula pohon dan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan konsep penciptaan dalam Al-Qur’an.

Al-Ghazali menyanggah pendapat ini dengan analisanya, sekiranya alam melimpah dari Allah sebagai suatu keniscayaan, misalnya sinar dari matahari, alam ini akan qodhim pula seperti qodhimnya Allah. Tidak akan ada orang yang mengatakan lampu membuat sinar dan orang membuat baying-bayang. Orang yang menimbulkan suatu pekerjaan tidak akan disebut pembuat tetapi hany penyebab terjadinya pekerjaan.[8]

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa telah terjadi perbedaan sudut pandang antara Al-Ghazali dan para filusuf Muslim. Hal ini karena masing-masing berangkat pada titik pijak yang berbeda. Para filusuf Muslim bertolak dari rasio, sedangkan Al-Ghazali bertolak dari empiric keagaamaan (Al-Qur’an). Andai kata Al-Ghazali menyadari tempat berpijak para filusuf Muslim ada kemungkinan kritiknya ini tidak akan terjadi, misalnya dalam istilah qodhim. Bagi para filusuf Muslim, qodhim berarti sesuatu yang dalam kejadiannya terus menerus tanpa permulaan bagi kejadiannya dan tanpa akhir. Dalam kata lain, bagi para filusuf Muslim, qodhim tidak berarti tanpa sebab tetapi boleh juga berarti suatu wujud dengan sebab. Dengan demikian mekipun alam ini qodhim, keqohimannya tidak sama dengan ke-qodhiman Allah. Sedangkan qodhim menurut Al-Ghazali berarti ma’la ilat tahu (sesuatu yang tidak bersebab) dan satu-satunya yang tidak bersebab adalah Allah. Bagi Al-Ghazali yang qodhim hanyalah Allah yang lain hadist (baru).


4.      Hukum Sebab Akibat (kausalitas) dan mukjizat
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mempersoalkan maslah khariq al-adat/khoriqul adah (menyalahi kebiasaan) yang erat kaitannya dengan hukum kausalitas dalam pengertian apakah hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan nyang pasti. Hal ini menurutnya dapat menyebabkan seseorang mempercayai atau tidak mempercayai adanya mukjizat para Nabi yang oleh karenanya mukjizat ia artikan sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam.[9]

Para filusuf Muslim mengatakan bahwa hubungan sebab akibat merupakan hubungan kepastian atau keniscayaan.

Menurut Al-Ghazali, hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat dhorury (kepastian) dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubunagn yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki individualitasnya masing-masing. Sebagai contoh, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan artinya orang makan tidak niscaya merasa kenyang karena makan tidak mesti menyebabkan orang merasa kenyang. Begitu pula kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kertas atau kain. Semua ini hanya merupakan adat atau kebiasaan alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasan Allah semata. Karena itu, bila kertas yang terbakar  terkena api, orang makan menjadi kenyang dan kain basah terkena air itu semata-mata hanya karena kekuasaan dan irodah Allah.[10]

Dengan demikian, tidak benar anggapan bahwa api itu membuat terbakar, obat itu pembuat sembuh, roti itu pembuat kenyang dan lain sebagainya. Menurut Al-Ghazali para filusuf Muslim mangingkari kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar oleh api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api atau mengubah diri Nabi Ibrahim menjadi suatu materi  yang tidak bisa terbakar oleh api.

Menurut pandangan Al-Ghazali bahwa api itu tidak membakar Nabi Ibrahim karena api bukan pembuat pembakar akan tetapi hal itu adalah perbuatan Allah dengan qudroh dan irodah Allah, baik karena api berubah sifatnya menjadi tidak terbakar atau nabi Ibrahim berubah materinya menjadi materi lain sehingga ia menjadi tidak terbakar oleh api. Demikian pula dengan kasus Nabi Isa menghidupkan orang mati, tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular, semua hal ini terjadi karena menyangkut materi yang sifatnya menerima perubahan. Tanah berubah menjadi tanaman, tanaman dimakan oleh binatang lalu berubah menjadi darah dan darah berubah menjadi air mani binatang jantan dan bila bertemu dengan sel telur dalam rahim binatang betina akan berubah menjadi janin dan seterusnya akan melahirkan hewan sejenisnya. Rentetan kejadian tersebut berlaku berdasarkan kebiasaan yang berlangsung dalam masa yang relative panjang. Akan tetapi tidaklah mustahil apabila dengan kehendak dan kekuasaan Allah proses panjang tersebut berubah menjadi singkat sebagaimana yang berlaku pada mukjizat para Nabi dan Rosul.[11]

C.     Pengaruh Pemikiran Al-Ghazali terhadap generasi sesudahnya        
Pemikiran Al-Ghazali banyak mempengaruhi pada masa setelahnya, karena sesuai dengan ajaran Islam, beliau mendapat gelar Hujjatul Islam karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembelaan terhadap berbagai serangan dari pihak luar baik dari pihak Islam sendiri maupun dari pihak orientalis Barat.

Dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali memberikan stempel Kafir (Keluar dari Islam) terhadap para filusuf Muslim dalam tiga masalah:
1.      Qodhimnya alam
2.      Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam
3.      Kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada.

Hukum kafir dalam Islam merupakan hukuman berat dan harus dihukum mati.[12]

Memang penulis buku-buku filsafat mengklaim bahwa kemacetan filsafat di dunia Islam akibat serangan Al-Ghazali. Namun jika diteliti secara cermat, kemacetan filsafat didunia Islam Sunni tidak bisa hanya dibebankan kepada Al-Ghazali. Hal ini diantaranya erat kaitannya denagn suatu politik yang tidak kodusif dipemerintahan Islam.[13]

Menurut Prof. Dr.H. Harun Nasution sangatlah kecil pengaruhnya orang yang menuduh Al-Ghazali sebagai penyebab kemandekan filsafat di dunia Islam Timur karena masih terdapat pengikut-pengikut Ibnu Sina sampai hari ini.[14]

Beberapa filusuf yang terpengaruh pemikiran Al-Ghazali dari karyanya yaitu:
1.      B. Mic Donal, menterjemahkan beberapa pasal dari Ihya ‘Ulumuddiin
2.      H. Baeur, yang menterjemahkan Qawa’id Al-‘Aqa’id yang ditranslate kedalam bahasa bangsanya sendiri yaitu Dogmatic Al-Ghazali
3.      Carra De Vaux, yang menterjemahkan buku Tahafut Al-Falasifah
4.      De Boer dan Asin Palacois, yang masing-masing menterjemahkan Tahafut Al-Falasifah
5.      Barbier De Minard, yang menterjemahkan Al-Munqizhu min Adl Dholal
6.      WHT. Craider, dari London yang menterjemahkan biku Miskat Al-Anwar.[15]




BAB III
PENUTUP

Dari Uraian di atas dapat diambil kesimpulan:
1.      Pemikiran
2.      Pemikiran sesudah Al-Ghazali berkembang kedalam arah yang baru yang dinamakan filsafat keagamaan yang murni atau agama filosofis. Serangan Al-Ghazali sebenarnya tidak mematikan Filsafat dalam Islam. Sebaliknya terus bergerak hidup, tetapi filsafat tersebut berubah secara radikal karena pengaruh Mistisisme. Pemikiran yang pada awalnya bersifat rasional berubah menjadi usaha spiritual untuk hidup serasi dengan realita tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ahmad Syadani . Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 1997
Hasyimiyah, Nasution. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Oemar Husaen. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Harun Nasution . Akal dan wahyu dalam Islam. Jakarta: UI, 1983
Sirajudin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007






[1] Sirajudi. Filsafat Islam. Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007. Hal.155

[2] Hasyimiyah Nasution. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya media Pratama, 1999. Hal.77

[3] Ahmad Syadani. Filsafat umum. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Hal.178

[4] Sirajudin. Filsafat Islam. Opcit. Hal.164-165

[5] Ibid. hal.171

[6] Ibid. hal.172

[7] Ibid. hal.178

[8] Ibid. hal.180

[9] Ibid. hal.174

[10] Ibid. hal.175

[11] Ibid. hal.176

[12]Ibid. hal.182

[13] Oemar Husaen. Fisafat Islam. Jakarta: Bulan bintang, 1975. Hal.21

[14] Harun Nasution. Akal dan wahyu dalam Islam. Jakarta: UI, 1983. Hal.89

[15] Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hal.137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar