Total Tayangan Halaman

Rabu, 04 Januari 2012

FUNDAMENTALISME

BAB I
PENDAHULUAN

Kebangkitan agama dijaman ini mengejutkan banyak pengamat. Pada pertengahan abad ke-20, merupakan anggapan umum bahwa sekularisme adalah suatu keniscayaan dan bahwa faktor agama tidak lagi berperan penting dalam peristiwa-peristiwa besar dunia. Aksioma-nya adalah jika manusia lebih rasional, maka mereka tidak membutuhkan lagi agama, atau kalau tidak mereka akan memasukan agama itu menjadi sesuatu yang pribadi, suatu wilayah kehidupan privat. Namun pada akhir tahun 1970-an kaum fundamentalis mulai melawan hegemoni kaum secularism. Kaum Fundamentalist mulai berusaha menggembalikan agama dari posisi yang marginal ke posisi yang semula sentral. Revolusi Iran merupakan salah satu contoh kekinian dalam wacana Fundamentalism dalam dunia Islam. Ayatoelah Khoemaeni sebagai penggerak Revolusi memeinkan peranannya di luar negeri untuk meletuskan revolusi Iran yang menjadi tren dunia Arab dalam gagasannya dalam revolusi Islam.

Masih melekat dalam ingatan kita ketika dunia menara kembar WTC di Amerika Serikat yang merupakan lambing peradaban dan kemapanan Amerika, runtuh oleh pesawat-pesawat yang ditabrakan ke gedung pencakar langit tersebut sehingga menjadi berkeping-keping. Tidak lama dari kejadian itu presiden Amerika marah dam nemberi komentar yang sangat fenomenal yaitu “This Crusader”, tanpa membuat perhitungan dan penelitian yang mendalam. Bush Junior tersebut memfonis pelakunya adalah Al-Qaida yang dipimpin oleh Usama bin Ladin. Pernyataan Bush denagn perang salibnya mengindikasikan peran dan kebijakan Amerika memang sangat fundamentalis, artinya kebijakan tersebut paling tidak terinspirasi dari spirit keagamaan. Bush Junior memecah dunia menjadi dua yang diakuinya yaitu berpihak pada teroris atau berpihak pada Amerika tanpa member pilihan ketiga. Iraq yang sudah terlebih dahulu di invasi atas dasar demokrasi, kini Afganistan yang rencananya akan dijadikan prototype kekhalifahan Islam hancur berkeping-keping sebelum berkembang akibat pertempuran Negara super power yang memaksakan demokrasi dengan melanggar azas-azas demokrasi dengan mengirimkan berton-ton bom dan berjuta-juta peluru kenegara miskin yaitu Afganistan tersebut.

Menurut Amstrong (2001), Fundalism kini merupakan bagian penting dari panggung dunia modern dan ia akan berperan penting dalam masalh-masalah domestik dan luar negeri pada masa-masa yang akan dating. Karenanya sangat penting bagi kita untuk memahami apa makna dari jenis Religionation semacam ini, bagaimana dan mengapa ia tumbuh, apa kaitannya dengan kebudayaan kita serta bagaimana cara terbaik untuk berurusan dengannya.


BAB II
PENGERTIAN FUNDALISME

Kaum Protestan Amerika adalah orang yang pertama menggunakan istilah Fundamentalim. Pada abad awal ke-20, sebagian dari mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “Fundamentalist”. Hal ini dilakukan untuk membedakan mereka dari kaum Protestan yang lebih “Liberal” yang menurut mereka telah merusak keimanan Kristen. Kaum Fundamentalit ingin kembali ke dasar dan menekankan kembali aspek “Fundamental” dari tradisi Kristen, suatu tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan penafsiran arti terhadap kitab suci serta penerimaan doktrin-doktrin inti tertentu. Sejak itu “Fundamentalism” dipakai secar serampangan untuk menyebut gerakan-gerakan pembaharuan yang terjadi di berbagai agama didunia. Ini mengakibatkan munculnya kesan bahwa kaum Fundamentalit pada dasarnya konservatif dan selalu dekat dengan masa lampau, meskipun ide-ide mereka sebenarnya sangat modern dan inovative.


Jamess Barr yang merupakn rujukan utama dalam bidang Fundamentalist mengatakan bahwa kata ini bermula dari judul essay yang berjudul “Fundamental” yang muncul di Amerika sekitar tahun 1910-1915. Istilah ini digunakan untuk mengkategorikan Teology Exclusive, yaitu kepercayaan mutlak terhadap wahyu ke-Tuhanan Al-Masih, mukjizat Maryam yang melahirkan ketika masih perawan, serta kepercayaan lain yang masih diyakini oleh golongan Fundamentalist Kristen sampai sekarang.

Dalam istilah Arab, Fundamentalisme biasanya dikenal dengan istilah Al-Ushuliyyah, bentuk jamak dari kata Al-Ashl, yang berarti dasar kebijakan sesuatu. Kata ini (Al-Ushuliyyah) sebetulnya s udah dikenal dalam sejarah Arab Islam  sebelum kata Fundamentalim itu sendiri muncul. Semisal kata Ushul Al-Fiqh dan Ushul Ad-diin. Bahkan menurut Muhammad ‘Imrah, istilah Ushuliyyun dalam sejarah Islam dipakai khusus kepada ahli Mujtahid serta para pembaharu.

Mungkin, pemahaman Imrah ini yang menjadikan alas an sebagai pemikiran Islam untuk menerima istilah “Fundamentalist” dalam kamus proyek kebangkitan Islam mereka (Ash-Shahwah Al-Islamiyah), dengan catatan, istilah ini tidak dipahami sebagaimana pemahaman Barat selama ini.

Sedangkan menurut Islam itu sendiri, kita tidak mendapatkan didalam Mu’jam yang lama, baik secara etimologi maupun terminology. Arti dari Fundamentalit, kita hanya mendapatkan akar kata “Ash-Sholu” yang artinya sesuatuyang paling rendah dan kata jamaknya adalah Al-Ushul.


Di dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 5, berbunyi: “wama qata’tum milinatin wa taroktumuha qo’imah ala ushuliha fabiizni Alloh wa liyuhziya al fasikiin”. Kata Al-ashlu disana berarti yang kokoh diatas fondasinya atau teguh pendirian.

Ayat lain yang terdapat kata Al-Ashlu,”alam tara kaifa dhoroba Alloohu matsalan kalmatan thoyyibatan kasyajarotin thoyyibatin ashluha wa far’uha fi assama”. Al-Ashli disana yang berarti “akar”.

Dengan ini dapat kita simpulkan bahwa pemahaman Islam berbeda dengan apa yang dipahami di Barat, walaupun istilah ini ada kemiripan. Di Barat, istilah ini muncul dikarenakan tidak setujunya stu kelompok yang memiliki sikap terbuka terhadap perkembangan jaman terhadap kelompok lain yang berpegang teguh, tunduk kepada penafsiran teks agama secara literal. Sementara Fundamentalim dalam pandangan Islam adalah suatu interpretasi dari surah Al-Hashr ayat 5.

Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa istilah Kristen tidak bisa dipakai secara tepat untuk menyebut gerakan-gerakan yang sebenarnya memiliki prioritas berbeda. Fundamentalist Yahudi dan Islam mungkin sebagai contoh tidak terlalu memperhatikan secara doktrin meskipun hal tersebut merupakan masalah penting dalam Kristen. Kebanyakan aktifis Muslim yang dijuluki “Kaum Fundamentalist”,
Di Barat bukanlah orang-orang yang bergumul dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Konsentrasi perhatian mereka berbeda, oleh karena itu istilah “Fundamentalist” jelas menyesatkan.



BAB III
FUNDAMENTALIME DALAM ISLAM


Sistem demokrasi liberal yang dianggap doktrin yang mujarab bagi Barat, ternyata tidak pernah diterapkan secara konsekuen bagi pencetusnya sendiri. Banya kepentingan politik Barat yang ambisius dan menganggap selalu benar menghujam Negara-negara bekas ke-kholifahan Ottoman yang sedang menumbuhkan demokrasi  dengan alas an menyelamatkan kepentinagn politik Barat yang mengkhawatirkan terjadinya ekspansi Fundamentalist Islam.Dengan politik cara Barat inilah sebenarnya yang melahirkan gerakan-gerakan Revivalism dalam Islam.

Sejarah Kolonialism,-Imprialism yang dimulai pada abad 16 hingga pertengahan abad 20 itulah yang telah merubah peta umat Islam secara drastic. Kolonialism dengan segala implikasi yang ditimbulkannya yaitu Militerism-Missionarist secara langsung atau tidak langsung direspon secara berbeda oleh setiap Negara jajahan.

Bagi penjajah kegiatan Kolonialism mereka itu dibarengi dengan study yang intensif dalam scenario besar mereka yang terwujud dalam sebutan “Arientalism”.
Penyelidikan Barat atas kehidupan sosial budaya masyarakat jajahannya  (bangsa timur) dengan dalih “Mission Civilisatrice” itu pada gilirannya memunculkan sikap reaksioner dari masyarakat setempat. Munculnya aliran pemikiran kontemporer seperti Fundamentalism, Modernism, Messianism dan Tradisionalism itu diyakini merupakan bentuk lain dari pergumulan dari konfrontasi sosial budaya dengan arus imprialisme Barat (S.H. Nasr, 1988 dalam Amin Abdullah, 1999). Sebab menurut Edward W. Said kegiatan Orientalist adalah bias secara pandang Barat terhadap Timur (Islam) yang oleh Karl Steenbrink di rinci dalam tiga hal: Prasangka Kristen, Historism, dan Superiorotas Ras, sehingga para orientalist cendrung melakukan anomaly-anomali dalam penyelidikan mereka atas fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat muslim (Amin Abdullah, 1999; 213). Paska Modernism gerakan pemikiran Islamdalam pandangan ernest Geller mewujud dalam tiga kelompok besar yaitu: Fundamentalism, Relativism dan Deconstructionism (Amin; 23)

Disisi lain gerakan modernism Islam yang digagas oleh M.Abduh juga berpengaruh bagi munculnya kelompok Fundamentalism. Mereka menolak secara apriori ide-ide M.Abduh tersebut (Gibb, 1988; 52) Gibb mengatakan bahwa dari sekian banyak aliran yang muncul baik dalam gerakan pembaharuan Modernism, Konservativism maupun gerakan Thoriqoh Shufiyah yang sekalipun mereka secara idiologi bersebrangan akan tetapi mereka bersatu sikap dalam menghadapi Kristenisasi di Asia dan di Timur dan ingin lepas dari cengkraman Kolonialisme Barat.

Dalam kajian ke-Islaman yang pertama kali menggunakan istilah Fundamentalim untuk menamai sejumalh gerakan keagamaan kaum Muslimin di Timur Tengah adalah Leonard Binder dalam bukunya “The Idiological Revolution In The Middle East” yang secara umum dilekatkan di dunia muslim yang bertujuan menbangun tatanan politik Islam dimana syari’ah diakui secara umum dan dijalankan berdasakan hokum Islam. Suatu brand yang menurut Ismail Raji Faruqi adalah suatu tindakan yang salah, sebab istilah yang benar untuk menamai gerakan kebangkitan kaum Muslimin itu adalah Islamic Revavilism.

Ada empat pemikiran yang sering disamakan sebagai peletak gerakan Islam Fundamentalist kontemporeryaitu adalah: Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Qutb, Ayatullah Khumeini dan Ali Syari’ati.

Abul A’la Al-Maududi, selain dikenal sebagai pendiri Jemaah Islami Pakistan, pengarang buku Hukumah Al-Islamiyah ini juga sering disebut-sebut sebagai perintis gerakan Islam Fundamentalist Kontemporer. Dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan tentang bagaimana menerapkan system pemerintahan yang Islami. Menurutnya, Tuhan adalah satu-satunya pemilik otoritas (Hakim) yang menetukan tasyri’ sebagai undang-undang manusia.  Sedangkan manusia sendiri hanya terbatas sebagai pelaksana. Dan tidak memiliki otoritas apapun untuk merubah “tasyri’” tersebut. Karena itu dalam pandangannya kaum Muslimin harus mendirikan sebuah institusi Negara Agama yang berlandaskan pada undang-undang (hokum) yang diturunkan Tuhan.

Dengan demikian tipe “Nagara Agama” yang ditawarkan Maududi pada dasarnya merupakan Negara Theokrat demokrat dalam arti Negara berdasarkan pada demokrasi yang terkait dengan otoritas Tuhan sedangkan manusia hanya diberi hak untuk melaksanakannya sebagai wakil (theocrat).

Pemahaman “Negara Theokrat” versi Maududi ini berbeda dengan apa yang dipahami Barat selama ini. Dalam pandangan Barat, Negar Theokrat adalah sebuah pemerintahan yang ditetapkan pada otoritas penuh seseorang ulama (pendeta). Dan undang-undang yang disusun dalam pemerintahan teokrat ini ditentukan oleh sang pendeta sesuai dengan kehendak pribadinya.

Pemikiran versi Maududi ini selanjutnya dikembangkan oleh Sayyid Qutb, seorang pemikir terkemuka atau dikenal sebagai “Ikhwanul Muslimin” setelah Hassan Al-Banna. Ia menambahkan bahwa ada dua karakter masyarakat dalam pandangan Islam. Yang pertama adalah mayarakat Jahiliyah sedangkan yang kedua adalah dikenal dengan sebutan masyarakat Islamiyah.

Masyarakat Jahiliyah adalah sebuah masyarakat yang menuhankan manusi dengan cirri menggunakan suatu hokum atau undang-undang buatan manusia. Sedangkan masyarakat Islamiyah merupakan masyarakat yang menyatakan keimanan terhadap Tuhan adalah segala-galanya, melalui implementasi sebuah gerakan atau aksi yang disebut sebagai Jihad.

Setelah Sayyid Qutb maka hadirlah ayatollah Khumaeni, seorang Mullah Iran yang berhasil gemilang mendirikan Negara Islam Iran melalui revolusi berdarah pada tahun 1979.

Pidato beliau yang paling fenomenal tersusun dalam sebuah buku yang berjudul “Al-Hukumah al_Islamiyah”. Didalamnya memuat tiga pokok bahasan utama yaitu: adanya sebuah relasi genuine politik dan agama, keharusan para ulama Fiqh untuk mendirikan sebuah Negara agama (Wilayat Al-Faqih) serta agenda utama pendirian Negara-negara tersebut.

Pemikiran Khumeini ini, kemudian dikembangkan oleh seorang Filosof asal Iran yaitu Ali Syari’ati, dalam bukunya “Sociology of Islam”, ia menjelaskan bahwa pertentangan antara yang baik dan yang buruk dalam sejarah kehidupan umat manusi merupakan sebuah fenomena klasik sejak manusia itu sendiri diciptakan. Kisah perseteruan antara Qabil dan Habil adalah awal dari pertentangan global dua pihak tersebut. Dan fenomena semacam ni selamanya tidak akan pupus. Begitupun halnya dengan Islam, sebagai agama yang menyatakan keesaan Tuhan, Jihad merupakanusaha untuk melawan pihak yang menyekutukan Tuhan. Jadi dalam pandangannya tersebut etnisitas Jihad sebagai peperangan untuk memberantas kebatilan.

Dengan demikina secar umum sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, cirri gerakan Islam Fundamentalist biasanya selalu berkutat pada tiga pemasalahan utama yaitu: Relasi Negara-negara agama, Jihad dan penerapan syari’ah Islam.

Gerakan ini biasanya berkembang melalui jalur politik sebagai suatu poin terpenting untuk mewujudkan cita-cita dan impian mereka. Cita-cita mereka yang terkenal adalah menciptakan "Dar Al-Islam dan Dar Al Harb”
dalam kehidupan beragama mereka.

Motif lain yang menggerakan faham Fundamentalism adalah munculnya kelompok pembaharu yang dimulai oleh Abdul Wahab (1703-1787) Muhammad Ali Pasha (1765-1848) Rifa’ah Badawi Rafi Al-Tahthawi (1801-1873) Jamaludin Al-Afgani (1839-1897) Muhammad Abduh (1849-1905) Rasyid Ridha (1865-1935) dan lain-lain keseluruhan pembaharu ini mengkritik kondsi umat Islam yang dalam diagnosa mereka peradaban kaum Muslimin sedang terserang penyakit TBC (Harun Nasution, 1985; 95-100).

Muhammad Abduh dan modernis lainnya berusaha menafsirkan secara ulang terhadap teks-teks normative dengan menyesuaikan pada perkembangan dan perubahan-perubahan sosial kemasyarakatan, terlebih dengan penggunaan basis rasional (aqal) agar diperoleh ajaran-ajaran yang fleksibel dan yang sifatnya adaptif dengan perkembangan jaman dan peradaban. Gerakan kelompok-kelompok moderisme ini yang pada akhirnya membentuk sekelompok umat Islam untuk meresponnya dengan kekuatan yang lain seperti misalnya Conservatism, Traditionalism yang kemudian berubah wujud menjadi gerakan Radicalism of Fundamentalism.


Taksonomi Orientasi Gerakan Islam
Berkembangnya beragam varian atau manifestasi keagamaan Islam, terutama gerakan dan pemikiran keislaman, mendorong beberapa sarjana membuat tipologi, klasifikasi, atau taksonomi (taxonomy). Dalam Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, Nazih Ayubi membuat taksonomi orientasi gerakan Islam: reformisme atau modernisme Islam, salafisme, fundamentalisme, neo-fundamentalisme, Islamisme, dan Islam politik (political Islam).[1]
Menurut Ayubi, reformisme Islam atau modernisme Islam (diwakili antara lain oleh al-Afghani dan ‘Abduh) berpandangan bahwa Islam adalah sistem keyakinan yang sempurna tetapi cukup fleksibel untuk mengakomodasi perkembangan modern (modernitas). Sementara itu, salafisme menekankan kepada sumber Islam yang otentik (al-Qur’an, Sunnah Nabi dan tradisi pasa generasi Muslim awal, salaf). Salafisme cenderung skripturalis dan tradisionalis, seperti direpresentasikan oleh Wahhabiyah, Sanusiyyah, Mahdiyyah, dan ajaran-ajaran yang bersumber dari dari Rashid Rida dan tokoh al-Ikhwan al-Muslimun awal, seperti Hasan al-Banna. Kaum salafi cenderung kepada dogmatisme doktrinal, meskipun kadangkala secara politik fleksibel. Sedangkan fundamentalisme, hampir sama dengan salafisme, menekankan kepada sumber asli Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi kurang simpatik terhadap fiqh. Fundamentalisme memegangi pandangan holistik dan komprehensif tentang Islam (intégrisme –Perancis). Islam, menurut fundamentalisme, adalah agama, dunia dan negara (din, dunya, dawlah). Perspektif holistik ini mengimplikasikan keharusan tindakan kolektif untuk mewujudkan totalitas Islam ke dalam kenyataan.[2]
Sementara itu, neo-fundamentalisme Islam adalah sempalan dari ideologi fundamentalisme. Biasanya neo-fundamentalisme memiliki orientasi yang lebih radikal dan militan. Pada umumnya, gerakan neo-fundamentalis cenderung melakukan tindakan langsung sebagai reaksi terhadap suatu kasus tertentu. Contoh dari gerakan model ini adalah Takfir wa al-Hijrah di Mesir dan al-Jihad di Mesir dan beberapa negara Arab. Ayubi menyebutkan bahwa orientasi neo-fundamentalisme ini lebih bercorak politik. Keanggotaannya terutama terdiri dari mahasiswa atau sarjana baru, dari kawasan urban baru kota besar atau dari kota-kota kecil dengan asal-usul pedesaan (rural). Di Mesir, neo-fundamentalis menguasai organisasi mahasiswa, dan memiliki hubungan dengan kalangan profesional, ahli teknik, dan pegawai pemerintahan.[3] Saad Eddin Ibrahim menyebut gerakan ini sebagai bentuk militansi Islam (Islamic militancy) yang ia definisikan sebagai “actual violent group behavior committed collectively against the state or other actors in the name of Islam,”[4] seperti tampak pada Jama‘at al-Fanniyyah al-‘Askariyyah (Technical Military Academy) dan al-Takfîr wa al-Hijrah. Tentang Islamisme, Ayubi menyebutkan bahwa istilah ini biasanya digunakan untuk menunjuk tiga kategori gerakan Islam: salafi, fundamentalis dan neo-fundamentalis. Islamisme tidak sekedar menekankan identitas sebagai muslim, tetapi lebih kepada pilihan sadar terhadap Islam sebagai doktrin dan ideologi.[5] Islam politik (political Islam) sering digunakan untuk merujuk kepada kategori fundamentalis dan neo-fundamentalis yang cenderung menekankan watak politik dari Islam dan terlibat dalam kegiatan anti-negara secara langsung.

Fundamentalisme Islam
Istilah fundamentalisme muncul dari luar tradisi sejarah Islam, dan pada mulanya merupakan gerakan keagamaan yang timbul di kalangan kaum Protestan di Amerika Serikat pada 1920-an. Menilik asal-usulnya ini, kita dapat mengatakan bahwa fundamentalisme sesungguhnya sangat tipikal Kristen.[6] Namun, terlepas dari latar belakang Protestan-nya, istilah fundamentalisme sering digunakan untuk menunjuk fenomena keagamaan yang memiliki kemiripan dengan karakter dasar fundamentalisme Protestan. Karena itu, kita dapat menemukan fenomena pemikiran, gerakan dan kelompok fundamentalis di semua agama, seperti fundamentalisme Islam, Yahudi, Hindu, dan Budhisme.[7] Dalam hal ini, selain fundamentalisme tidak terbatas pada agama tertentu, dalam faktanya ia juga tidak hanya muncul di kalangan kaum miskin dan tidak terdidik. Fundamentalisme dalam bentuk apapun bisa muncul di mana saja ketika orang-orang melihat adanya kebutuhan untuk melawan budaya sekular (godless), bahkan ketika mereka harus menyimpang dari ortodoksi tradisi mereka untuk melakukan perlawanan itu.
Berdasarkan pengamatannya terhadap fundamentalisme agama, terutama Kristen di Amerika, Peter Huff mencatat ada enam karakteristik penting fundamentalisme. Secara sosiologis, fundamentalisme sering dikaitkan dengan nilai-nilai yang telah ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi dengan perubahan dan perkembangan zaman; secara kultural, fundamentalisme menunjukkan kecenderungan kepada sesuatu yang vulgar dan tidak-tertarik pada hal-hal yang bersifat intelektual; secara psikologis, fundamentalisme ditandai dengan otoritarianisme, arogansi, dan lebih condong kepada teori konspirasi. Secara intelektual, fundamentalisme dicirikan oleh tiadanya kesadaran sejarah dan ketidak-mampuan terlibat dalam pemikiran kritis; dan secara teologis, fundamentalisme diidentikkan dengan literalisme, primitivisme, legalisme dan tribalisme; sedangkan secara politik, fundamentalisme dikaitkan dengan populisme reaksioner.[8]
Dalam kasus Islam, fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh modernisme dan sekularisme dalam kehidupan politik dan keagamaan. Peradaban modern-sekular menjadi sasaran kritik fundamentalisme Islam, dan di sini fundamentalsime memiliki fungsi kritik. Seperti ditipologikan oleh Fazlur Rahman, fundamentalisme Islam (atau revivalisme Islam) merupakan reaksi terhadap kegagalan modernisme Islam (klasik), karena ternyata yang disebut terakhir ini tidak mampu membawa masyarakat dan dunia Islam kepada kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya, fundamentalisme Islam mengajukan tawaran solusi dengan kembali kepada sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan menolak segala sesuatu yang berasal dari warisan modernisme Barat.[9]
Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah). Literalisme kaum fundamentalis tampak pada ketidaksediaan mereka untuk melakukan penafsiran rasional dan intelektual, karena mereka -kalau-lah membuat penafsiran- sesungguhnya adalah penafsir-penafsir yang sempit dan sangat ideologis. Literalisme ini berkoinsidensi dengan semangat skripturalisme, meskipun Leonard Binder membuat kategori fundamentalisme non-skriptural untuk pemikir fundamentalis seperti Sayyid Qutb.[10]
Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional (‘ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama atau oligarki klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap Islam, terutama Syi’ah. Islam Syî‘ah memberikan otoritas sangat besar kepada ‘ulama untuk menafsirkan doktrin agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut. Akibatnya, kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi sangat sempit dan terbatas.[11] Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mendukung berkembangnya fundamentalisme (tradisional) adalah kuatnya otoritas ‘ulama, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini, tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu pihak dan tradisionalisme di pihak lain.
Fundamentalisme tradisional menganggap ‘ulama dan penguasa politik merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja. Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di Iran.
Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dnegan ideologi modern seperti kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh “intelektual sekuler” yang secara terbuka mengklaim sebagai pemikir religius. Mereka berpendapat bahwa karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan religius; maka ahli kimia, teknik, insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama.[12] Jadi, terdapat semacam anti-clericalism di kalangan fundamentalisme Islam modern, meskipun fundamentalisme dalam wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligraki klerikal seperti disebut terdahulu.
Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam terhadap dunia sekular-modern. Islam dijagikan sebagai alternatif pengganti ideologi modern, seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena fundamentalisme bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah gerakan politik yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan pada Islam (syari’ah), dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin fundamentalis adalah kaum intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi Islam. Dengan ungkapan lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan aktifis politik.[13] Ini sangat tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme Sunni.
Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program, strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini, fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme. Namun, keragaman ini tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan kebijakan bersama yang didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi fundamentalis Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus didasarkan pada hukum atau syari’at Islam (ideologi Islam).
Meskipun kaum fundamentalis meyakini sifat religius mereka, fundamentalisme sesungguhnya bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius, melainkan sebagai corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama (mainstream), anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan karakter-karakter lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik, fundamentalisme dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan pluralisme.

Fundamentalisme dan Revivalisme
Yang agak problematik dalam konteks ini adalah korelasi antara fundamentalisme dan revivalisme. Penulis-penulis seperti Youssef Chouieri, R. Hrair Dekmejian dan John Obert Voll memiliki perspektif yang beragam dalam melihat fenomena fundamentalisme dan revivalisme. Chouieri menyatakan bahwa munculnya revivalisme Islam dilatarbelakangi oleh kemerosotan moral, sosial dan politik umat Islam. Menurutnya, revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni. Contoh dari gerakan Islam revivalis adalah Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di India, Uthman Dan Fodio (1754-1817) di Nigeria, Gerakan Padri (1803-1837) di Sumatra, dan Sanusiyyah di Libya yang dinisbatkan kepada Muhammad ‘Ali al-Sanusi (1787-1859). Chouieri melihat adanya kemiripan agenda yang menjadi karakteristik gerakan-gerakan revivalis Islam tersebut, yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli, memurnikan Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong penalaran bebas, ijtihad, dan menolak taqlid; (c) perlunya hijrah dari wilayah yang didominasi oleh orang kafir (dar al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang pembaru.[14]
Sementara itu, Dekmejian menyatakan bahwa munculnya pelbagi orientasi ideologi revivalis Islam dipengaruhi oleh adanya perbedaan yang timbul dari penafsiran yang berbeda terhadap al-Qur’an, al-Sunnah dan sejarah Islam awal. Selain itu ada faktor lain seperti watak dari situasi krisis, keunikan dalam kondisi sosial dan gaya kepemimpinan dari masing-masing gerakan. Atas dasar itu, Dekmejian mengidentifikasi empat kategori ideologi revivalis: (a) adaptasionis-gradualis (al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, Iraq, Sudan, Jordan, Afrika Utara; dan Jama’at-i Islami di Pakisan); (b) Shi’ah revolusioner (Republik Islam Iran, Hizb al-Da’wah Iraq, Hizbullah Libanon, Jihad Islam Libanon; (c) Sunni revolusioner (al-Jihad Mesir, Organisasi Pembebasan Islam Mesir, Jama’ah Abu Dharr Syria, Hizb al-Tahrir di Jordania dan Syria; (d) primitivis-Mesianis (al-Ikhwan Saudi Arabia, al-Takfir wa al-Hijrah Mesir, Mahdiyyah Sudan, Jama’at al-Muslimin lil-Takfir Mesir.[15]
Voll cenderung tidak membuat pembedaan yang signifikan antara revivalisme dan fundamentalisme. Menurutnya, Islamic revivalism atau Islamic resurgence mewujudkan dirinya dalam bentuk yang beragam, misalnya Wahhabiyyah, yang dia anggap sebagai representasi dari “the prototype of rigorous fundamentalism in the modern Islamic experience,”[16] yang oleh Choueiri dipandang sebagai revivalis dalam makna yang positif, seperti disebut terdahulu.
Terlepas dari beberapa perbedaan perspektif dan implikasi yang ditimbulkannya, korelasi, kaitan atau kemiripan karakteristik dasar antara fundamentalisme, revivalisme, Islamisme dan radikalisme tidak bisa dikesampingkan. Jika ditelaah lebih mendalam akan tampak adanya semacam family resemblance antara berbagai orientasi ideologis tersebut,[17] meskipun masing-masing tetap memiliki tekanan dan strategi yang berbeda, tergantung situasi dan kondisi sosial dan gaya kepemimpinan (leadership style) dari masing-masing gerakan.

Neo-Fundamentalisme dan Islam Politik (Political Islam)
Mengikuti penjelasan Ayubi dan Roy di atas, fundamentalisme Islam juga sering digunakan untuk menunjuk Islam politik (political Islam). Ini tidak terlepas dari beberapa agenda fundamentalis di bidang politik. Watak politis fundamentalisme Islam termanifestasikan dalam simbol-simbol keagamaan yang mereka gunakan dalam konteks perjuangan politik atau kekuasaan, misalnya negara Islam, pemerintahan Islam dan formalisasi syari’ah dalam negara. Salah satu doktrin Islam fundamentalis –dan pelbagai varian di dalamnya - adalah bahwa tidak ada pemisahan agama dari politik. Olivier Roy menyebut paham ini sebagai Islamic political imagination (imajinasi politik Islam).[18] Menurut Roy, fundamentalisme ini tampak pada Ikhwân al-Muslimîn di Mesir yang didirikan oleh Hasan al-Bannâ, dan Jamâ‘at-i Islâmî di Indo-Pakistan yang didirikan oleh Abû al-A’lâ al-Mawdûdî. Keduanya mendefinisikan Islam sebagai sistem politik (ideologi) vis-à-vis ideologi-ideologi besar abad ke-20.
Eskpresi kontemporer dari fundamentalisme Islam adalah Hizb al-Tahrîr al-Islâmî yang didirikan oleh Taqî al-Dîn al-Nabhânî (w.1977) di Jerussalem pada 1953. Sejak awal gerakan ini bersaing dengan Ikhwân al-Muslimîn. Gerakan ini sangat unik karena ia mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai partai politik yang menjadikan Islam sebagai ideologi dan bergerak dalam lapangan politik. Ia bertujuan untuk membangun kembali khilafah Islam sebagai sebuah sistem tunggal, dan tidak terpecah-pecah ke dalam negara-bangsa. Khilafah didasarkan kepada syari’ah, tidak pada demokrasi sekular. Gerakan ini tergolong radikal dan revolusioner, karena ia menggunakan strategi jihad. Menurut gerakan ini, seluruh negara di dunia saat ini tidak menerapkan Islam (shari’ah), karena itu merupakan dâr al-kufr, meskipun penduduknya Muslim. Ia menekankan bahwa restorasi khilafah adalah tugas seluruh umat muslim di dunia melalui agitasi politik dan revolusi kekhalifahan (caliphal revolution).[19]
Namun demikian, idealisme pelbagai kelompok Islam politik ternyata gagal mengubah landscape politik Timur Tengah dan beberapa kawasan lainnya. Islam politik tidak berhasil meraih kekuasaan, sementara rejim-rejim lama masih terus berkuasa. Kekuatan Barat dan Amerika pun semakin menancapkan  hegemoni (politik, ekonomi, budaya) di kawasan tersebut. Islam politik juga tidak selalu berhasil menampilkan nilai-nilai yang terkandung dalam cita-cita fundamentalisme berupa penerapan hukum-hukum agama (syari‘ah) dalam politik. Kaum Islam fundamentalis di beberapa tempat, seperti di Aljazair, Sudan atau Turki, hanya melahirkan perubahan-perubahan yang tindak signifikan di bidang hukum, politik dan ekonomi. Dalam hal ini, fundamentalisme memang menekankan penerapan syari‘ah secara total, tetapi seringkali tidak mempedulikan watak sistem politik.
Dalam realitasnya fundamentalisme bukan merupakan realitas yang monolitik, tetapi mengandung varian-varian yang beragam, dan bahkan mengalami pergeseran-pergeseran yang cukup signifikan. Selain terdapat varian fundamentalisme tradisional dan fundamentalisme modern seperti disebutkan di muka, dapat disaksikan pula adanya pergeseran kepada apa yang disebut sebagai neo-fundamentalisme.
Kaum fundamentalis pada mulanya tertarik bergerak dalam level politik negara. Mereka menawarkan formula-formula dan struktur politik kenegaraan yang diderivasi dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan, untuk mewujudkan ideal-ideal tersebut kaum fundamentalis juga membentuk partai-partai dalam kerangka demokrasi modern maupun dengan jalan revolusi. Namun, ketika mereka mengalami kegagalan politik, sasaran perjuangan kaum fundamentalis tidak lagi pada level negara, tetapi bergeser ke individu dan masyarakat. Neo-fundamentalisme lebih memfokuskan upaya pengisian kehidupan sehari-hari dengan moralitas dan syari‘ah (legalism). Karenanya, diskursus negara digantikan oleh diskursus masyarakat, dan strategi yang dipilih meliputi salah satu dari berikut ini: menyusup ke dalam kehidupan politik resmi, re-investasi dalam lapangan sosial, dan moral, atau ekonomi dan pembentukan kelompok-kelompok kecil, baik kelompok ultra ortodoks atau kelompok teroris.[20]
Orientasi dan strategi kelompok neo-fundamentalisme adalah menguasai masyarakat melalui tindakan sosial. Jauh dari kesan revolusioner, kaum neo-fundamentalis sekarang masuk ke “civil society” dan kelas-kelas politik. Meski watak revolusi hilang, simbol-simbol Islam merembes ke masyarakat dan diskursus politik Islam. Mundurnya (retreat) fundamentalis Islam dari politik dibarengi dengan meningkatnya Islam sebagai fenomena sosial dan moral. Neo-fundamentalisme berusaha me-reislamisasi masyarakat pada tingkat grassroot, dan tidak lagi lewat negara. Ini konsisten dengan apa yang diyakini oleh kaum fundamentalis: jika masyarakat Islam didasarkan pada kebaikan anggota-angotanya, maka individu-individu dan praktik mereka harus diperbarui. Kaum fundamentalis model ini mengarahkan perjuangannya pada lahirnya masyarakat Islam dan ruang Islami (Islamized space).[21]
Namun, pergeseran ini dipandang sebagai simbol kegagalan fundamentalisme Islam dalam politik yang berakibat pada terjadinya perubahan signifikan dalam bobot pemikiran dan gerakannya. Roy menyebut fenomena ini sebagai lumpenization, yang melahirkan lumpenintelligentsia.[22] Kualitas intelektual dari kaum fundamentalis mengalami kemerosotan, aktivisme politik juga mengalami penurunan. Kaum neo-fundamentalis lebih menekankan islamized space yang otonom, dan lebih menekankan iktikad baik individu, tanpa perlu dengan susah payah melibatkan diri dalam perjuangan politik. Di Indonesia, fenomena fundamentalisme baru ini tampak dalam Front Pembela Islam (FPI) atau Lasykar Jihad dan gerakan-gerakan radikal sejenis. Tidak jarang kaum fundamentalisme model ini juga memakai cara-cara yang mengarah kepada kekerasan.
Tampaknya, kaum Islamis beranggapan bahwa masyarakat akan terislamisasi hanya melalui tindakan sosial dan politik. Gerakan Islamis harus terjun ke lapangan politik. Islamis menyatakan bahwa politik dimujlai dari prinsip bahwa Islam adalah sistem pemikiran global. Islamis tidak dipimpin oleh ‘ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh intelektual sekular yang menyatakan diri sebagai pemikir religius. Islamis mengadopsi visi klasik Islam sebagai  sistem universal dan lengkap. Karena itu tidak harus dimodernisasi, justru sebaliknya kehidupan modern harus diislamisasi. Gerakan Islamis melihat dirinya sebagai gerakan sosio-politik, dibangun di atas dasar Islam yang dipahami lebih sebagai ideologi politik. Karena itu mereka tidak memperhadapkan diri dengan agama lain, tetapi lebih dengan ideologi-ideologi modern seperti Marxisme, kapitalisme, dan liberalisme.

Radikalisme (Islam Militan)
Fundamentalisme Islam dapat mengekspresikan orietnasi radikal. Radikal Islam memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Posisi ini berbeda dari kaum sekularis yang menolak intervensi agama dalam kehidupan publik, trutama politik. Manifestasi dari pandangan radikal adalah pada keharusan untuk mendirikan negara Islam yang didasarkan pada syari’ah. Perbedaan antara kaum radikal dan modernis adalah penegasan yang pertama terhadap keunikan Islam. Mereka dengan tegas menolak setiap usaha untuk mengidentifikasi Islam dengan demokrasi, kapitalisme, sosialisme atau ideologi barat lainnya.[23] Hanya saja, berbeda dari Islamis atau neo-fundamentalis, radikalisme Islam memperbolehkan penggunaan cara kekerasan atau bahkan pembunuhan untuk mewujudkan agenda dan tujuan politiknya.
Radikalisme Islam merupakan fenomena modern dan kontemporer, dan merupakan reaksi terhadap munculnya nasionalisme sekular. Jika revivalisme Islam mendapatkan inspirasi dari ide-ide normatif Islam, dan reformisme berusaha untuk menggabungkan unsur-unsur Islam dan Barat, ideologi radikalisme menggambarkan respons langsung terhadap munculnya negara-bangsa yang merdeka. Militansi dan atavisme radikalisme Islam menggambarkan sistesis kreatif revivalisme dan reformisme.[24]

Fundamentalisme Islam di Indonesia: Mapping Awal
Dalam konteks Indonesia, pemetaan orientasi ideologi gerakan Islam membutuhkan observasi dan identifikasi yang mendalam. Namun, jika kita mengikuti pendekatan Olivier Roy atau Nazih Ayubi, maka fundamentalisme Islam di Indonesia memiliki karakteristik dasar yang tidak jauh berbeda dari rekannya di kawasan Timur Tengah misalnya, meskipun terdapat keunikan dan paradoks-paradoks.
Fundamentalisme Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua: tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional diwakili oleh kelompok yang menekankan pendekatan literal dan skriptural terhadap sumber Islam, seperti Persatuan Islam (Persis), dan dalam konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa-fatwanya.[25]
Sementara itu, fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dalam politik diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam lain yang bercita-cita mendirikan “negara Islam” dengan dasar syari’ah dan ideologi Islam. Mereka yang memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara termasuk dalam kelompok fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Mereka tidak mempersoalkan watak negara-bangsa dengan demokrasi sekularnya. Namun, secara substansial sesungguhnya terdapat paradoks antara penerimaan mereka terhadap sistem politik sekular dengan perjuangan mereka menerapkan syariat Islam. Jadi, ditemukan adanya sikap kompromistis atau bahkan pragmatis di kalangan kelompok fundamentalis Islam ini, tidak lagi taktik politik.
Contoh fundamentalisme Islam lainnya adalah Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam sebagai dasarnya. Kelompok ini tidak mengakui negara nasional. Perjuangan mereka tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah gerakan Jama’ah Islamiyyah yang dianggap bertujuan untuk mendirikan negara regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang amir. Sangat mungkin, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) merepresentasikan model gerakan ini. Baik HTI maupun MMI memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak rejim sekular, demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika).[26] Meminjam Roy, mereka ini adalah kelompok political Islam (Islam politik) yang belum pernah berhasil mengubah landscape politik Indonesia.
Sementara itu, ekspresi fundamentalisme Islam yang lain adalah orientasi radikalisme Islam yang terwakili misalnya oleh gerakan Front Pembela Islam (FPI), dan Lasykar Jihad. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada penerapan syariah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Dengan mengikuti penjelasan Roy terdahulu, orientasi ini menggambarkan adanya pergeseran perjuangan kaum fundamentalis dari pengislaman negara (formalisasi syariah pada level negara) ke pengislaman (penerapan syariah pada level) masyarakat. Mereka berjuang tidak untuk mewujudkan negara Islam (setidak-tidaknya untuk jangka pendek), tetapi lebih pada penerapan syariah pada level keluarga dan masyarakat (Islamized space).





BIBLIOGRAFI

Abaza, Mona. “The Discourse on Islamic Fundamentalism in the Middle East and Southeast Asia: A Critical Perspective,” Sojourn 6 (1991): 203-239.
Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami (eds). Islamic Fundamentalism. Boulder, Colorado: Westview Press Inc., 1996.
Ahady, Anwar-ul-Haq. “The Decline of Islamic Fundamentalism,” Journal of Asian and African Studies XXVII, 3-4 (1992): 231.
Ayubi, Nazih. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London and New York: Routledge, 1991.
Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago: The University of Chicago Press, 1988.
Choueiri, Youssef M. Islamic Fundamentalism. Boston, Massachusets: Twayne Publishers, 1990.
Dekmejian, R. Hrair. “Islamic Revival: Catalysts, Categories, and Consequences.” Dalam The Politics of Islamic Revivalism: Diversity and Unity, ed. Shireen T. Hunter. 3-19. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1988.
Eickelman, Dale F. dan James Piscatori. Muslim Politics. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1996.
Huff, Peter. “The Challenge of Fundamentalism for Interreligious Dialogue,” Cross Current (Spring-Summer, 2002). http://www.findarticles.com/cf_0/m2096 /2000_Spring- Summer/63300895/print.jhtml
Ibrahim, Saad Eddin. “Anatomy of Egypt’s Militant Islamic Group: Methodological Note and Preliminary Findings.” International Journal of Middle East Studies 12, 4 (1980): 423-453.
Jainuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM, 2004.
Rahman, Fazlur. “Roots of Islamic Neo-Fundamentalism.” Dalam Change in the Muslim World, ed. Philip H Stoddard, David C. Cuthell and Margaret V. Sullivan (Syracuse: Syracuse University Press, 1981.
Rahman, Fazlur. Islam. Second Edition. Chicago: The University of Chicago Press,1979.
Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Trans. Carol Volk. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994.
Shepard, William. “Fundamentalism Christian and Islamic,” Religion 17 (11987): 355-378.
Shepard, William. “What is ‘Islamic Fundamentalism’?,” Studies in Religion 17, 1 (1988): 5-25.
Sihbudi, Riza, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005.
Sivan, Emmanuel. Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics. Enlarged Edition. New Haven and London: Yale University Press, 1985.
Voll, John Obert. “Relations Among Islamist Groups,” dalam Political Islam: Revolution, Radicalism, or Reform?. Ed. John L. Esposito. Boulder, Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc., 1997, 231-247.
Voll, John Obert. Islam Continuity and Change in the Modern World. Second Edition. Syracuse: Syracuse University Press, 1994.


DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Moderisme hingga Post-Modern.






[1] Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London and New York: Routledge, 1991), 67-68.
[2] Ibid.
[3] Ibid., 67-68, dan 73.
[4] Saad Eddin Ibrahim, “Anatomy of Egypt’s Militant Islamic Group: Methodological Note and Preliminary Findings,” International Journal of Middle East Studies 12, 4 (1980): 427. Military Academy didirikan atas inisiatif Salih Siriyya, seorang Palestina terpelajar dengan gelar Ph.D di bidang sains, anggota Ikhwan al-Muslimin cabang Jordania, yaitu Hizb al-Tahrir al-Islami. Ibrahim menemukan adanya kemiripan dalam basis sosiologis antara Military Academy (MA), Takfir wa al-Hijrah, Ikhwan al-Muslimin dan Mujahidin (Iran) menyangkut usia, latar belakang pendidikan, latar belakang desa dan kota kecil dan afiliasi kelas. Selain itu, MA dan Mujahidin sama-sama menggunakan kekerasan untuk menggulingkan rejim penguasa yang mereka anggap sekular, tidak Islami.
[5] Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, 67-68.
[6] Lihat William Shepard, “Fundamentalism Christian and Islamic,” Religion 17 (1987): 355-378.
            [7] William Shepard, “What is ‘Islamic Fundamentalism’?,” Studies in Religion 17, 1 (1988): 5-25.
[8] Huff, “The Challenge of Fundamentalism for Interreligious Dialogue,” Cross Current (Spring-Summer, 2002). Diakses dari http://www.findarticles.com/cf_0/m2096/2000_Spring-Summer/63300895/print.jhtml
[9] Fazlur Rahman, Islam, second edition (Chicago: The University of Chicago Press,1979), 222-223; Juga lihat Fazlur Rahman, “Roots of Islamic Neo-Fundamentalism,” in Change in the Muslim World, ed. Philip H Stoddard, David C. Cuthell and Margaret V. Sullivan (Syracuse: Syracuse University Press, 1981).
[10] Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism (Chicago: The University of Chicago Press, 1988).
[11] Olivier Roy, The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994), 12 dan 75.
[12] Roy, The Failure of Political Islam, 75.
[13] Anwar-ul-Haq Ahady, “The Decline of Islamic Fundamentalism,” Journal of Asian and African Studies XXVII, 3-4 (1992): 231. Juga Abdel Salam Sidahmed dan Anoushiravan Ehteshami (eds), Islamic Fundamentalism (Boulder, Colorado: Westview Press Inc., 1996), 3; mengutip Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, Fundamentalism Observed (The Fundamentalism Project) (Chicago: The University of Chicago Press, 1990).
[14] Youssef M. Choueiri, Islamic Fundamentalism (Boston, Massachusetts: Twayne Publishers, 1990), 21-24.
[15] R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival: Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam The Politics of Islamic Revivalism: Diversity and Unity, ed. Shireen T. Hunter (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1988), 12.
[16] John Obert Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World, Second Edition (Syracuse: Syracuse University Press, 1994), 53; John Obert Voll, “Relations Among Islamist Groups,” dalam Political Islam: Revolution, Radicalism, or Reform?, ed. John L. Esposito (Boulder, Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc., 1997): 231-247.
[17] Untuk kajian tentang perbandingan karakteristik orientasi ideologi gerakan Islam (tradisionalis, modernis, sekularis dan fundamentalis), lihat Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004).
[18] Roy, The Failure of Political Islam, 75.
[19] Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, 96-97; Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Muslim Politics (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1996), 139.
[20] Roy, The Failure of Political Islam, 90-93.
[21] Ibid.
[22] Ibid., 83.
[23] William Shepard, “What is ‘Islamic Fundamentalism’?,” Studies in Religion 17, 1 (1988): 11.
[24] Choueiri, Islamic Fundamentalism, 70.
[25] Lihat misalnya Kompas 30 Juli 2005, 1, 4-5; Tempo (21 Agustus 2005), 156-157.
[26] Lihat Riza Sihbudi, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005). Karya ini merupakan hasil riset tentang gerakan-gerakan fundamentalis atau radikal Islam di Indonesia, seperti MMI, HTI, Jamaah Salafi Bandung, FPI Surakarta dan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar