Total Tayangan Halaman

Selasa, 03 Januari 2012

Epistemologi metafisika (Al-Farabi)


BAB I PENDAHULUAN
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, maka al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam, yang sejak itu terus dibangun dengan tekuni.

Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan dokrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaserii. Maka pada kesempatan kali ini, penulis ingin mencoba mengupas lebih dalam pemikiran al-Farabi tentang metafisika. Yang mana pemikiran beliau disadari atau tidak telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yunani kuno, yang pada akhirnya tulisan-tulisan beliau akan mendapat kritikan-kritikan dan pertentangan dari semisal Imam al-Ghozali (1058 M/450 H – 1111 M/505 H), berkat prestasi Tahafut al-Falasifah dan Ihya’ ‘ulum al-Din.


BAB II PEMBAHASAN

Riwayat Hidup al-Farabi .

Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 Miii. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudian menetap di Damaskus, sedangkan Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.

Sebagai pembangun sistem filsafat, Ia telah mengabdikan diri untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik, walaupun Ia juga menulis karya-karya politik yang monumental. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnyaiv. Al-Farabi hidup ditengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam.

Pemerintah pusat Daulah Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan karena pada saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang ingin mengambil alih kekuasaan. Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, Ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam pondasi filsafat.

Walaupun al- Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka, namun Ia lebih terkenal dikalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politikv. Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika kepada Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al- Kindi. Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa, Ia mempelajari Fiqh, Hadis, dan Tafsir al-Qur’an. Ia juga mempelajari Bahasa Arab, Turki dan Persia. Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke-10M. Disana Ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka adalah Abu Bisyr Matta ibn Yunusvi. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya. Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana.


Kota kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun yan terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat ilham menulis buku-buku filsafat vii. Begitu mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari julukan al-Mu’ alim ats-Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia.

Al-Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik, yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik Indiaix. Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian.

Buku-buku ini masih berupa naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’ Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari secara mendalam. Pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan dengan kemampuan logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun. Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain.

Tentang logika, al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama, baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika. Dikatakan “lebih dahulu” dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.

Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles “Organon”, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politikxi. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al- Farabi sangat berafiliasi dengan system pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.

Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah : Maqalah fi Aghradhi ma Ba’ da al-Thabi’ ah, Ihsha’ al-Ulum, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al- Fadhilah, Kitab Tahshil al-Sa’ adah, ‘ U’ yun al-Masa’ il, Risalah fi al-Aql, dan masih banyak lagi.

Pemikiran Beliau Tentang Metafisika. Menyibukkan diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, melainkan merupakan salah satu ciri kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan salah satu kemungkinan yang terbuka bagi setiap orang., seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan sehari-hari. Salah satu cabang filsafat adalah metafisika. Kebutuhan manusia akan metafisika merupakan dorongan yang muncul dari hidup manusia yang mempertanyakan hakikat kenyataan.


Manusia adalah produk masyarakat tertentu. Ia adalah anak zamannya. Manusia tidak membentuk diri sendiri. Opini-opini pribadi dibentuk oleh masyarakat tempat tinggalnya. Setiap pemikiran selalu mewakili zamannya dan hasil dialektika dengan sejarahnya. Hasilnya terkadang spekulatif dan terkadang pula hasil pengembangan pemikiran yang sudah ada.

Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :
1. Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.
2. Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta
    derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu wujud
    sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip
    terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi.
3. Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu
    khusus.

Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat.

Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelekaktif. Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk (yang diciptakan). Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam. Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja menimbulkan berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ulama merespons dengan ilmu mereka masing-masing.

Filsafat dan ilmu pengetahuan timbul sebagai produk pemikiran manusia. Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting. Sementara di dalam Islam, akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis. Ayat yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang berarti berpikir. Pandangan luas dari ulama pada zaman itu membuat para filosof Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd dapat menerima filsafat Pytagoras, Plato, Aristoteles, dan lain-lain, walaupun sesungguhnya menurut Harun filosof-filosof Yunani itu bukan orang yang beragama, seperti yang dikenal dalam Abrahamic Religion. Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan oleh filosof-filosof Islam itu dengan ajaran dasar dalam al-Quran. Idea Tertinggi Plato, Penggerak Pertama Aristoteles, dan Yang Maha Satu Plotinus. mereka identikkan dengan Allah SWT. Bahkan al-Farabi berpendapat bahwa Plotinus dan Aristoteles termasuk dalam jumlah Nabi-Nabi yang tidak disebutkan namanya dalam al-Quran. Oleh karena itu ia berusaha untuk mendamaikan filsafat Aristoteles dengan gurunya Plato.

Ada beberapa respons akan kedatangan filsafat Yunani ini:
1.      Pertama, respons yang sangat antusias di kalangan para filosof.
2.      Kedua, sikap yang gembira yaitu oleh para ahli Kalam. Mereka menggunakan metode-metode filsafat untuk ilmu kalam yang berguna mempertahankan akidah dari serangan musuh yang menggunakan metode filsafat Yunani. Ketiga, respos yang sangat kritis yaitu oleh para fukaha’ dan ahli bahasa yang tidak senang dengan kedatangan filsafat Yunani ini. Sedangkan sikap yang cenderung tenang adalah para sufi. Dari berbagai sikap ini tentu saja karena ada perbedaan pandangan tentang kebenaran yang dibawa oleh filsafat Yunani. Karena selama ini semenjak Rasulullah meninggal mereka hidup dengan mempedomani ajaran al-Qur’ an dan Hadis.

Para ahli Fiqh yang menguasai mayoritas wacana umat merasa berkewajiban untuk membela pandangan al-Qur’an dan Hadist. Mereka berpendapat bahwa kebenaran hanyalah yang terdapat dalam al-Quran. Titik debat ini dikarenakan selama ini umat hanya mengenal kebenaran dengan paradigma wahyu sementara para filosof membawa pandangan tentang kebenaran dengan paradigma filsafat. Al-Kindi memang telah berusaha menelaah wacana Neo-Platonisme akan tetapi Ia belum secermat al-Farabi. Misalnya, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “alam yang pluralis” ini merupakan masalah falsafi yang telah menjadi tema pembahasan utama dalam kalangan filosof Yunani. Masalah ini juga telah menduduki tempat yang khusus dalam pemikiran filosof Islam.

Dalam filsafat Yunani, problema ini dibahas dalam tingkat fisika, sedangkan dalam filsafat Neo-Platonisme dan Islam, ia dikaji sebagai problema keagamaan. Kendati cara pengkajian masalah tersebut tidak berbeda dalam dua mazhab tersebut, namun tujuannya tidak sama. Dalam mazhab Neo-Platonisme dan filsafat Islam, tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akalxvi. Dalam sistem yang semacam ini, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “pluralitas alamiah” ini merupakan titik berangkat atau dasar utama dalam membangun filsafat seluruhnya. Alam semesta muncul dari yang Esa dengan proses emanasi. Bertentangan dengan dogma ortodoks tentang penciptaan, filsafat Islam mengemukakan doktrin kekekalan alam.

Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
4. Benda-benda bumi (teresterial).

Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al- Farabixviii. Proses emanasi itu adalah sebagai berikut: Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu wujud lain.
Tuhan merupakan wujud pertama
dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi.
Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi.
Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua.

Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul
langit pertama.

Wujud III/Akal II ------ Tuhan =
Wujud IV/Akal Ketiga ------ dirinya =
Bintang-bintang Wujud IV/Akal III ------ Tuhan =
Wujud V/Akal Keempat ------ dirinya=
Saturnus Wujud V/Akal IV ------ Tuhan =
Wujud VI/Akal Kelima ------ dirinya=
Jupiter Wujud VI/Akal V ------ Tuhan=
Wujud VII/Akal Keenam 11 ------ dirinya=
Mars Wujud VII/AkalVI ------ Tuhan=
Wujud VIII/Akal Ketujuh ------ dirinya=
Matahari Wujud VIII/Akal VII ------ Tuhan=
Wujud IX/Akal Kedelapan ------ dirinya=
Venus Wujud IX/AkalVIII ------ Tuhan=
Wujud X/Akal Kesembilan ------ dirinya=
Mercury Wujud X/Akal IX ------ Tuhan=
Wujud XI/Akal Kesepuluh ------ dirinya=
Bulan Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti,
terjadi timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur yaiti api, udara, air dan tanah. Sepuluh lingkaran geosentris yang disusun oleh al-Farabi berdasarkan sistem Ptolomeus (Kalau dibanding dengan kosmologi modern tentu saja gagasan ini harus dibaca ulang, karena fondasai teoritiknya sudah terbantah. Namun sebagai eksplorasi metafisika ini merupakan bahan pengkajian yang selalu menarik untuk ditelaah) Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Sina. Teori pengetahuan dan juga filsafat manusia serta filsafat ke-Nabian diturunkan dari teori emanasi ini.
Dalam risalahnya yang terkenal dengan klasifikasi ilmu pengetahuan berjudul Ihsha’ al-Ulum, al-Farabi memandang kosmologi sebagai cabang metafisika. Ia juga berpendapat bahwa kosmologi mungkin diturunkan dari prinsip-prinsip sains partikularxxii. Al-Farabi juga berpandangan bahwa penguasaan matematika tidak dapat dikesampingkan dalam upaya memiliki pengetahuan yang tepat mengenai pengetahuan-pengetahuan spiritual. Kemampuan al-Farabi di bidang matematika inipun mendapatkan posisi terkemuka di kalangan filosof Islam.
Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al-Kindi, jika terdapat perbedaan antara akal dan wahyu maka al-Farabi memilih hasil akal sedangkan al-Kindi memilih wahyu. Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran hasil spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya berbeda.
Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan filsafat.
Dasar yang dipakainya untuk itu dua:
1.      Pengadaan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-dasar Islam
2.      Pemberian tafsir rasional terhadap ajaran-ajaran Islam. Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi terhadap pemikiran Yunani.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide Plato, tetapi ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan tentang “sebab pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk Ilahiyah, yang eksistensinya, tak syak lagi mesti diperanggapkan dalam Akal Tertinggi Wujud Pertama.
Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan. Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi. Disini ia menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak melalui Kun-Fayakun seperti pemahaman tradisional.
Al-Farabi membagi ilmu kepada dua, yaitu konsepsi tasawwur mutlak dan konsep yang disertai keputusan pikiran (judgment-tasdiq). Diantara konsep itu ada yang baru sempurna apabila didahului oleh yang sebelumnya sebagaimana tidak mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan panjang, lebar dan dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada setiap konsep, melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang penghabisan yang tidak mungkin dibayangkan adanya konsep yang sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib dan mungkin. Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya, karena konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian yang jelas dan benar dan terdapat dalam pikiran. Adapun keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya ada yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun berarti baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal, seperti halnya dengan hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian.
Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan karena sudah jelas dengan sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut memberikan keyakinan dan juga merupakan dasar aksioma.
Ada tiga hal pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu ;
1. Segi esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.
2. Pokok utama segala yang maujud.
3. Prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Aristoteles hakikat sesuatu terdiri dari materi (hule) dan bentuk (form). Materi tidak akan dapat diketahui hakikatnya kalau belum ada bentuknya. Namun antara materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Misalnya papan tulis yang dibikin dari kayu. Kayu adalah materinya dan bangunan papan bersegi empat itulah bentuknya. Dengan adanya bentuk dapat diketahui hakikat. Sepintas lalu dapat dikatakan bahwa bentuk berubah-ubah, tetapi sebenarnya materilah yang berubah-ubah dalam arti berubah untuk mendapatkan bentuk- bentuk tertentu.
Dalam Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu, sedangkan wujud adanya sesuatu. Terdapat dua macam zat ;Pertama yang wajib ada.
Aristoteles membagi obyek metafisika kepada dua yaitu: Yang Ada sebagai yang Ada dan Yang Ilahi. Pengaruh Aristoteles kepada al-Farabi kelihatan. Pembahasan mengenai yang ada, yang ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya. Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah barang sesuatu itu memang sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir demikian berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai nisbi.
Al-Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi sendiri berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan: Kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya. Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para ahli tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil-dalil xxviii. Jadi argumentasi itu penting sekali dari pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang banyak terjadi di kalangan umat Islam.

BAB III KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu.
Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan seperti al-Ghazali, terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan.
Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.






DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Bagus, Lorens, Metafisika, Jakarta: Gramedia, 1991. Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan,1997.
Bakar, Osman, “Tawhid and Science : Essasy on the History and Philosophy Of Islamic Science”, alih bahasa: Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994.
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islami, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Delfgaauw, B., “Ontologia dan Metafisika” dalam Berpikir Secara Kefilsafatan, ed. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1988.
Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam: Sejarah dan Perkembangannya di Dunia Internasional, Jakarta: Bulan Bintang, 1964. Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1984.
al-Jisr, Nadim, Qissatul Iman, alih bahasa A. Hanafi, Kisah Mencari Tuhan, Jakarta: Bulan Bintang, 1966, Jilid I.
Madkour, Ibrahim, “Al-Farabi” dalam History of Muslim Philosophy, ed. MM. Syarif, alih bahasa Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1992.
Nasr, Seyyed Hossen, Theology, Philosopy, and Spirituality Word Spirituality, alih bahasa: Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam, Teolog, Filsafat dan Gnosis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Nasution, Harun, “Tinjauan Filosofis Tentang Pembentukan Kebudayaan dalam Islam” dalam Al-Quran & Pembinaan Budaya Dialog dan Transformasi, ed. Abdul Basir Solissa, Yogyakarta: LSFI, 1993.
Qadir, CA., Philosophy and Science in Islamic World, alih bahasa: Yayasan Obor Indonesia, Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
SA., Majid Fakhry, History of Islamic Philosophy, alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Siddik, Abdullah, Islam dan Filsafat, Jakarta: Triputra Masa, 1984.
SY., JMW. Bakker, Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Yazdi, Mehdi Ha’iri, The Principles of Epistemology in Islamic Philosopy, Knowledge by Presence, alih bahasa: Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri: Prinsip-prinsip Epistemology dalam Filsafat Islam, Bandung: Mizan, tanpa tahun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar