Total Tayangan Halaman

Selasa, 03 Januari 2012

ISU FEMINISME

Di Barat, wacana feminisme telah lama digunakan, seiring perkembangannya idiologi feminism juga merambah masuk ke dunia Islam. Para cendekiawan muslim melihatnya sebagai pendekatan baru. Disisi lain Islam sering sekali dikaitkan dengan isu diskriminasi terhadap wanita. Pada akhirnya umat Islam menghadapi dua pilihan yang bertolak belakang.

Konsep yang menjadi basis Gender ini terutamanya berasal dari masyarakat Barat yang telah lama mengalami problem hubungan antara wanita dan pria. Konsep itu terbentuk dari protes dari para wanita dalam sebuah gerakan yang disebut dengan gerakan feminism. Istilah feminism berasal dari bahasa Latin yaitu femina yang artinya perempuan. Konon dari kata fides dan minus menjadi fe-minus. Dalam buku Wiches Hammer yang ditulis oleh dua orang Inquisitor Diminican, yang diulas ulang oleh Ruth Tucker dan Walter Liefeld dalam buku yang berjudul Daughter of The Cruch.

“ The very word to describe woman, femina, according to the authors ( of Wiches Hammer) is derive from fe and minus, interpreted as less in faith”.

Kata yang paling tepat dalam mendeskripsikan wanita , femina menurut pengarang (Wiches Hammer) adalah berasal dari kata fed and minus atau fides minus yang dapat diartikan lemah dalam iman.

Terlepas dari apakah dasar etimologis kata femina itu benar atau sekedar olok-olok, yang jelas perempuan di Barat dalam sejarahnya memang diperlakukan seperti orang kurang iman. Sedangkan lawan katanya yakni masculine “Masculinus” atau “Masculinity” tidak juga berarti penuh iman tapi justru strength of sexuality, tidak heran jika wanita di Barat pada masa lalu menjadi korban penyiksaan atas kesalahan dalam beragama dan juga pemerkosaan. Jika kondisi tersebut merupakan factor penting dalam melahirkan wacana dan bahkan teori feminism dan gender maka dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan konstruk social masyarakat Barat yang misi utamanya adalah mengembangkan kesetaraan (equality).


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dasar Pemikiran

Pada mulanya para feminis menggunakan isu “hak” dan “kesetaraan” perempuan sebagai landasan perjuangannya, tetapi feminis akhir 1960-an mengunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan” yang kemudian feminism menyatakan dirinya sebagai “gerakan pembebasan Perempuan”. Secara umum kelahiran feminism dibagi menjadi tiga golongan yang mengangkat isu yang berbeda-beda.

1.      Gelombang Pertama
Ditandai dengan publikasi Mary Wollstonecraft yang berjudul “Vindication of The Right of Women” thaun 1792, ia mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang public.

Perhatian feminis gelombang pertama ialah memperoleh hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan. Kaum Feminis berargumentasi bahwa perempuan memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Akhirnya pada tahun 1920, perempuan berhasil mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu. Bukan hanya itu kaum feminis juga berhasil memenangkan hak kepemilikan bagi kaum perempuan, kebebasan reproduksi yang lebih dan akses yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan profesional.

2.      Teori Feminisme Gelombang Pertama
a.       Feminism Liberalism
Manusia adalah otonom yang dipimpin oleh akal. Dengan akal manusia mapu untuk memahami prinsip-prinsip moralitas, kebebasa individu. Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak individu. Isu yang mereka angkat adalah: akses pendidikan dan kebijakan Negara yang bias Gender, hak-hak sipil serta politik.

b.      Feminism Radikalism
Sistem seks atau Gender merupakan dasar penindasan terhadap perempuan. Isu yang mereka angkat ialah: adanya seksisme, masyarakat patriarki, hak-hak reproduksi, hubungan kekuasaan antara pria-wanita.

c.       Feminism Marxism
Matrialism historis Marx yang mengatakan bahwa modus produksi kehidupan material mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik dan intelektual. Bukan kesadaran yang menentukan eksistensi seseorang tetapi eksistensi social mereka yang menentukan kesadaran mereka. Isu yang mereka angkat adalah: ketimpangan ekonomi, kepemilikan property, keluarga dan kehidupan domestic dibawah kapitalisme dan kampanye pengupahan kerja domestic.







3.      Feminis Gelombang ke Dua
Pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya publikasi dari Simone de Beauvoir’s The second Sex. Ia berargumen bahwa perbedaan gender bukan berakar dari biologi, tetapi memang sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. Bagi feminis gelombang ke dua ini bahwa kesetaraan politik dan hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan, dalam sudut pandang mereka, penindasan seksualism tidak hanya berakar pada hokum dan politik, tetapi penyebabnya adalah penanamannya pada setiap aspek kehidupan social manusia, termasuk ekonomi, politik dan perencanaan social, serat norma-norma, kebiasaan, interaksi sehari-hari dan hubungan personal.

Feminism gelombang ke Dua juga menggugaat institusi pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis (heterosexual relationship), seksualitas perempuan dan lain-lain. Mereka berjuang keras untuk merubah secara radikal setiap aspek dari kehidupan politik dan pribadi.

4.      Teori Feminis Gelombang ke dua
Femisme Psikoanalis
Penjelasan mendasar penindasan perempuan terletak pada psyche (jiwa psikis) perempuan, cara perempuan berfikir. Isu yang mereka angkat adalah: egosentris laki-laki yang menganggap perempuan menderita “Penis envy”, dual parenting.

5.      Feminis Gelombang ke Tiga
Dimulai pada tahun 1980 yang menginginkan keberagaman perempuan untuk keragaman secara umum, secara khusus dalam teori feminis dan politik. Sebagai contoh kulit berwarna dipertahankan ketika dahulu pengalaman, kepentingan dan perhatian mereka tidak terwakili oleh fminis gelombang ke-2 yang mendominasi oleh wanita kulit putih kelas menengah. Sebagai contoh ketertindasan perempuan kulit putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang dialami oleh perempuan kulit hitam Amerika. Ketertindasan perempuan hetero sexual berbeda dengan ketertindasan yang dialami oleh kaum lesbi dan sebagainya.

6.      Teori Feminis Gelombang ke Tiga
a.       Feminism Post Modern
Seperti aliran Postmoderisme menolak pemikiran phalogosentris
b.      Feminism Multi Kultural
Sejalan dengan filsafat postmodern tetapi lebih menekankan kajian cultural. Penindasan terhadap perempuan tidakdapat hanya dijelaskan lewat patriarki tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas dan sebagainya. Didalam feminism Global bukan hanya ras dan etnisitas tetapi juga hasil kolonialisme dan dikotomi “dunia pertama” dan “dunia ketiga”.

Pada awal kemunculannya feminism tampak seperti gerakan reaktif terhadap penindasan gereja, tetapi perkembangannya di kemudian hari memperlihatkan akar dari gerakan ini adalah paham relativisme yang menganggap bahwa itu benar atau itu salah, begitu juga mengenai bai atau buruk tidak bersifat mutlak, tetapi beragam dan bias, berubah-rubah tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi. Salah satu efek dari paham relatifisme yang dianut oleh kaum feminis adalah menyuburkan prktik-praktik homoseksual dalam masyarakat, karena apa yang dianggap dulu salah, kini dengan dalih penghormatan terhadap HAM, telah berubah menjadi kebenaran.

Menurut pendapat Chris Beasly, lesbian merupakan antithesis paling jelas dari patriarki yang menjadi warna utama pada doktrin gereja. Selain itu Garnets juga berpendapat bahwa kaum lesbian pada umumnya mengalami perasaan bebas dari ikatan hambatan-hambatan peran Gender. Pasangan lesbian mampu menciptakan pola hubungan baru dan dapat mengurangi kekuatan yang tidak berimbang yang terkadang ditemukan dalam hubungan tradisional heteroseksual. Begitulah pandangan kaum feminis terhadap kaum lesbian, kini gerakan feminis juga telah memunculkan masalh-masalah sosial baru dengan menyuburkan praktik homoseksual, perzinahan dan juga seks diluar nikah. Pada akhirnya gerakan feminis juga telah menjauhkan wanita dari hangatnya keluarga. Kaum perempuan terlalu sibuk mengejar karir untuk membuktikan eksistensi mereka, banyak dari mereka yang kemudian mengalami deoresi dan masalah psikologi lainnya karena melawan kodrat dan nalurinya sebagai perempuan.


B.     Wanita di Barat
Mari kita lihat kondisi Barat(dalam hal ini Eropa) pada abad pertengahan yaitu saat suara-suara feminis mulai terdengar. Pada abad pertengahan, gereja berperan sebagai sentral kekuatan dan paus sebagai pemimoin gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Ssampai abad ke 17, gereja masih tetap mempertahankan posisi hegemoninya, berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja dianggap sebagai heresy dan dihadapkan ke mahkamah Inquisisi. Barat tidak luput dari kekejian doktrin-doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia. Pada decade 1560 dan 1648 banyak studi spiritual yang dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu perempuan yang dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia inu. Walaupun beberapa pendapat pribadi dan hokum puklik yang berhubungan dengan status perempuan di Barat cukup bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti yang kuat yang mengindikasiakn bahwa perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior.

Maududi berpendapat, ada dua doktrin dasar gereja yang membuat kedudukan wanita di Barat abad pertengahan tak ubahnya seperti binatang:
1.      Gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat.
2.      Wanitalah yang menjerumuskan pria kedalam doa dan kejahatan dan menuntunnya ke neraka. (kisah Adam dan Hawa)

Doktrin Gereja lainnya yang menentang kodrat manusia dan memberatkan kaum wanita adalah menganggap hubungan seksual antara pria dan wanita adalah peristiwa kotor, meskipun sudah dalam ikatan pernikahan sah. Hal ini berakibat bahwa menghindari pernikahan symbol kesucian, kemurnian dan ketinggian moral.

Pada awal abad ke-17, yang merupakan abad pencerahan bagi kaum feminis, saat Bacon menulis esainya tentang kondisi perempuan Inggris yang pada saat itu mengalami kehidupan sulit dank eras. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan Elizabeth. Pada saat itu yang bertindak sebagai penguasa adalah Raja James I, dan ternyata ia sangat membenci wanita. Pembunuhan dan pembakaran terhadap wanita yang dianggap “nenek sihir”, yang dipelopori oleh pendeta, pada dasarnya merupakan ekpresi anti perempuan. Jelaslah penindasan terhadap perempuan di Barat dibawah pemerintahan Gereja membuat suara-suara perempuan yang menginginkan kebebasan semakin menggema dimana-mana.


C.    Wanita dibawah kekuasaan Marxisme
KONSEP DAN TEORI MARXIS : IMPLIKASI FEMINISNYA
Feminis marxis mengidentifikasi bahwa kelasisme merupakan penyebab opresi kepada perempuan. Opresi tersebut merupakan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi. Komentar bagi pekerjaan perempuan sebagai contohnya. Pekerjaan perempuan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak pernah selesai sehingga terdapat konsepsi pada diri perempuan bahwa jika mereka tidak melakukan pekerjaan seperti itu, maka mereka bukanlah perempuan. Feminis marxis menjelaskan pula bahwa untuk mengetahui mengapa perempuan teropresi oleh laki-laki harus melakukan analisa pada hubungan di antara status pekerjaan

FEMINISME MARXIS KONTEMPORER
1.      Keluarga dan Rumah Tangga di Bawah Patriaki
Teori marxis hanya menyediakan sedikit ruang sempit bagi isu yang berbicara tentang reproduksi serta seksual perempuan. Hal ini yang menyebabkan kebanyakan feminis marxis fokus pada permasalahan tentang pekerjaan perempuan. Hal yang dibicarakan seputar pekerjaan perempuan sebagai contoh ialah pekerjaan perempuan seringkali hanya dianggap sebagai pekerjaan yang ringan serta tidak sulit dilakukan. Kita bisa dengan gampang menemukan hal tersebut di dalam suatu rumah tangga yang patriarki. Pada mulanya pekerjaan perempuan seperti memasak, merawat adalah pekerjaan yang sentral. Namun dengan industrialisasi dan transfer produksi barang-barang dari rumah tangga ke tempat kerja publik, perempun yang tidak bekerja di luar rumah mendapat cap sebagai orang yang nonproduktif.
Jika pekerjaan perempuan dianaktirikan sebagai pekerjaan yang nonproduktif, maka ketika perempuan bekerja di luar rumah pun mereka akan menjadi pekerja kelas dua dengan bayaran lebih rendah. Meskipun kebanyakan dari perempuan kelas proletar ikut bekerja membantu suaminya, tetap saja tidak merubah pandangan bahwa kebanyakan pekerjaan yang dilakukan perempuan lebih rendah jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan laki-laki.
2.      Sosialisasi Pekerjaan Rumah Tangga
Feminis Marxis melihat adanya gambaran sifat dan fungsi perempuan sebagai konsumen dalam arti pria di luar mencari uang dan perempuan yang menghabiskannya. Gambaran ini sama sekali salah karena menurut Margaret Benston, salah satu tokoh feminis, perempuan adalah produsen yang bertanggung jawab atas produksi nilai guna sederhana dalam kegiatan-kegiatan yang diasosiasikan dengan rumah dan keluarga. Karena produk yang dihasilkan perempuan seperti makanan keluarga atau jahitan pakaian anak ini tidak dijual, masyarakat cenderung melihat produksi yang dilakukan perempuan dalam keluarga itu lebih ringan daripada produksi yang hasilnya dipasarkan (seperti makanan instan). Menurut Benston, percuma jika perempuan diberikan peluang untuk memasuki ranah industri publik jika secara bersamaan sosialisasi pekerjaan rumah tangga seperti memasak, membershikan serta mengasuh anak tidak dilakukan. Kunci pembebasan perempuan menurut Benston adalah sosialisasi pekerjaan rumah tangga.
Sosialisasi pekerjaan rumah tangga yang dilakukan perempuan itu diakui Benston bukan berarti mampu membebaskan perempuan dari pekerjaan rumah tangga, akan tetapi perubahan ini akan memungkinkan setiap orang untuk menyadari betapa pentingnya pekerjaan rumah tangga secara sosial. Dengan melihat sulitnya pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukan perempuan, masyarakat tidak lagi melihat perempuan sebagai makhluk yang inferior dan parasit. Hal ini diperjuangkan Benston dengan cara mengkampanyekan upah untuk pekerjaan tumah tangga. Agar dapat disetarakan dengan pekerjaan-pekerjaan industrial lainnya, maka selayaknyalah pekerja-pekerja rumah tangga diberi upah oleh negara. Begitulah pendapat Dallas Costa dan James mengenai sosialisasi pekerjaan rumah tangga ini.
Sayangnya pemberian upah bagi pekerja rumah tangga ini menuai kritik dan argumen. Negara akan mengalami kesulitan untuk membayar tiap ibu rumah tangga yang pada akhirnya kesulitan itu akan dibebani kepada suami-suami mereka sebagai pajak. Feminis marxis yang bertujuan menghancurkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin menganggap upah pekerjaan rumah tangga sebagai pengalihan perhatian dari pencapaian tujuan itu, atau bahkan penghambat. Menurut feminis marxis, perempuan akan selalu menjadi orang yang mundur dari dunia publik dan kembali ke dunia pribadi selama upah perempuan tetap lebih rendah daripada laki-laki.

NILAI SETARA
Pada tahun-tahun terakhir, feminis marxis menjadi lebih tertarik kepada cara pembagian kerja berfungsi di tempat kerja. Saat perempuan masuk ke industri publik, ia cenderung melakukan ”pekerjaan perempuan” yakni mengajar, merawat, memasak, menjahit, dll. Pekerjaan tersebut tidak begitu dihargai dalam industri publik tersebut sehingga perempuan mendapatkan upah dua per tiga dari laki-laki walaupun pekerjaannya sebenarnya setara. Feminis marxis mendukung comparable worth atau nilai setara karena hampir setengah dari keluarga miskin dikepalai oleh perempuan yang tidak menikah. Jika perempuan-perempuan tersebut dibayar sesuapi dengan nilai pekerjaannya, maka perempuan ini mungkin akan mampu menghidupi dirinya dan keluarganya tanpa harus dipaksa bergantung kepada laki-laki. Lagipula, feminis marxis melihat bahwa dengan adanya nilai setara, jika pekerjaan yang secara tradisional dianggap sebagai pekerjaan perempuan menawarkan upah yang lebih tinggi daripada pekerjaan yang secara tradisional dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, maka akan banyak laki-laki yang tertarik pada pekerjaan perempuan tersebut sehingga secara perlahan nilai setara akan mampu menghapus pembagian kerja secara seksual di tempat kerja.

E. KRITIK TERHADAP FEMINIS MARXIS
1.      Kritik Dari Komunitarian
Tokohnya adalah Jean Bethke Elsthain. Ia melihat bahwa feminis marxis terlalu menganggap keluarga sebagai hasil konstruksi dari kapitalisme yang mereproduksi tenaga kerja dengan mengorbankan perempuan. Elshtain memperingatkan feminis marxis bahwa institusi keluarga adalah perlindungan terbaik manusia dalam melawan negara totaliter yang tidak bisa mentoleransi perbedaan apapun. Keluarga memungkinkan lahirnya perspektif kritis karena adanya perbedaan nilai yang dianut dengan nilai yang diajarkan dalam sosialisasi masyarakat. Feminis marxis tentu saja menuduh Elshtain menerima stereotipikal kapitalis Amerika tentang imej keluarga dimana perempuan mengandung anak lalu membiarkan anaknya diasuh dengan pola pengasuhan yang mengabaikan para perempuan. Tetapi, kebanyakan feminis marxis menganggap keluarga tradisional (suami pria-istri perempuan-anak) sebagai keluarga ideal sehingga mereka berspekulasi di dalam masyarakat yang sebenarnya, laki-laki akan menikahi perempuan tapi mereka akan menjadi setara, pasangan heteroseksual akan memiliki anak tapi anaknya akan menjadi tanggung jawab sosial, dan manusia akan membangun rumah tangga masing-masing meskipun hanya akan mengakomodasi kegiatan mengasuh anak, memasak, serta bersih-bersih. Banyak dari feminis marxis yang sebenarnya mendukung gambaran Elshtain tentang keluarga.
2.      Kritik Dari Feminis Sosialis
Kritik dari Allison Jaggar kepada feminis marxis merupakan kritik dari perspektif sosialis yang khawatir bahwa feminis marxis kurang memadai dalam membahas opresi terhadap perempuan oleh laki-laki. Feminis marxis dalam membahas mengenai opresi terhadap perempuan, mereka berargumentasi bahwa kapital sebagai opresor utama terhadap perempuan sebagai pekerja sementara laki-laki sebagai opresor sekunder terhadap perempuan sebagai perempuan. Namun apakah laki-laki benar-benar hanya merupakan opresor sekunder terhadap perempuan? Bukankah masih banyak isu-isu perempuan yang tidak berhubungan dengan sifat dan fungsi pekerjaan perempuan? Bagaimana feminis marxis menganalisa isu-isu tersebut?
Bagi Jaggar, feminis marxis jarang sekali mengangkat isu yang berkaitan dengan seks. Sekalinya diangkat, mereka membandingkan seks dengan pekerjaan seperti hubungan suami-istri terhadap hubungan borjuis-proletar, seolah hubungan suami-istri tersebut adalah eksploitatif dan mengalienasi sebagaimana hubungan majikan-pekerja.

Jika di Barat wanita terkungkung oleh doktrin gereja, maka lain halnya dengan wanita yang dibawah kepemimpinan paham Marxis, dimana mereka mempersalahkan struktur sosial yang berkembang di masyarakat pada masa itu. Menurut mereka ketimpangan gender antara pria dan wanita, tidak disebabkan oleh factor biologis atau pemberian Tuhan, tetapi merupakan bagian dari penindasan dari kelas yang berkuasa terhadap kaum tertindas yang diterapkan dalam konsep keluarga. Seperti menurut Clara Zetkin (1857-1933) dan Rossa Luxemburg (1871-1919) adanya struktur masyarakat pada masa itu disebabkan terutama oleh perbedaan status sosial antara pria dan wanita. Itulah sebabnya Marxisme mempersoalkan hubungan pria-wanita, suami-istri serta institusi rumah tangga.



D.    Wanita dibawah kepemimpinan Islam
Mari kita tengok sekelumit kisah salah seorang sahabat. Diriwayatkan bahwa seorang pria mendatangi Umar bin Khottob r.a, hendak mengadukan akhlak istrinya. Sesampainya disana, dia berdiri dan menunggu didepan pintu, Umarpunhanya terdiam, tidak membalas omelan dari istrinya. Lelaki itupun pulang dan berkata pada dirinya: “Jika saja amirul mu’minin seperti ini, lalu bagaimana dengan diriku?” Dia menjawab:”Wahai Amirul Mu’minin, saya dating bermaksud untuk mengadukan akhlak istriku yang suka memarahiku kepadamu. Lalu aku kemudian mendengar iatrimu tengah memarahimu. Maka aku berkata pada diriku sendiri: “Jika Amirul Mu’minin saja sabar menghadapi omelan istrinya, lalu mengapa saya harus mengeluh?” Maka Umar berkata:”Wahai saudaraku, sesungguhnya saya bersabar karena sesungguhnya memang istriku mempunyai hak terhadapku. Dialah yang telah memasak untukku, mencuci pakaianku dan menyusui anakku, padahal semuanya itu tidak diwajibkan atasnya. Disamping itu dia telah mendamaikan hatiku untuk tidak terjerumus kedalam perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu aku bersabar ats semua pengorbanannya”. “Wahai Amirul Mu’minin, istriku pun demikian”, kata lelaki tadi. Maka Umar pun menasehatinya: “Bersabarlah wahai saudaraku, karena omelan istrimu hanya sebentar”. Begitulah kira-kira kedudukan wanita dalam Islam, sehingga sang Khalifahpun memberikan contoh teladan yang baik dalam berinteraksi dengan mereka.

Namun amat disayangkan, seiring perkembangan zaman Islam justru sering dikaitkan dengan isu diskriminasi terhadap wanita. Hal ini disebabkan oleh yang terjadi disebagian Negara yang membawa nama Islam. Semisalnya ada larangan mufti Mesir al-Syekh Hasanayn Muhammad Makhluf pada tahun 1952 tentang keterlibatan kaum wanita dalam segala bentuk aktifitas umum serta membatasi mereka dengan aktifitas dalam rumah saja, walau bagaimanapun fatwa ini menimbulakn kontroversi dikalangan ulama sendiri. Kemudian juga pemerintah Taliban yang suatu ketika telah menafikan hak pendidikan bagi wanita. Selanjutnya di Pakistan, terdapatnya hak wali untuk memaksa anak perempuannya menikah dengan orang yang tidak dikenali.

Ada sebagian umat Islam yang mempertahankan tindakan-tindakan tersebut, atas dasar telah diputuskan olehulama mereka dengan berdasarkan terhadap kitab-kitab fiqih. Dampak selanjutnya adalah, banyak kalangan cendekiawan Muslim justru berpandangan bahwa feminism merupakan pendekatan baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.

E.     Feminis Muslim
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa kini isu feminism mulai masuk kewilayah Islam. Banyak cendekiawan Muslim yang melihatnya sebagai pendekatan baru dalam studi Islam. Istilah feminis Muslim mulai diperkenalkan dan digunakan pada tahun 1990-an. Diantara tokoh yang pernah menggunakan istilah tersebut adalah Afsaneh Najmabedeh dan Ziba Mir-Hosseini dari Teheran, Yesim Arat dari Turki serta Mai Yamani dari Saudi Arabia melalui bukunya Feminisme and Islam yang diterbitkan pada tahun 19196> Sedangkan Mesir yang dikatakan sebagai tempat terlahirnya feminis muslim terkenal dengan tokohnya Huda Shaarawi yang mendirikan The Egyptian Femins Union pada 1923. Pada dasarnya asas dan pemikiran mereka sama dengan feminis Barat. Namun demikina, tidak semua secara terbuka merasa nyaman mengaikan diri mereka dengan perjuangan feminis muslim.

Priorotas ini kebanyakan kaum feminis muslim adalah merekonstruksi hukum-hukum agama berkaitan dengan wanita khususnya hukum keluarga dengan menilai dan menganalisa ulang teks agama, Al-Qur’an ad Al-Sunah, serta menafsirkannya dari perspektif yang berbeda dengan penafsiran klsik (ijtihat dan tafsir). Feminis muslim mendakwa bahwa prinsip keadilan dan kesetaraan yang ditekankan oleh Al-Quran tidak terlaksana disebabkan para mufasirin yang umumnya pria telah menghasilkan tafsir Al-Qur’an yang mendukung doktrin yang mengangkat martabat kaum pria dan menjustifikasi superioritas kaum pria. Feminis muslim juga berpendapat bahwa terdapat bias gender (foot note) yang kental dalam hukum-hukum syariah yang diambil dari hadis-hadis Rosulullah SAW atas alasan perawi hadist yang terdiri dari kalangan Sahabat adalah pria yang tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh amalan patriarki. Pada praktiknya feminis muslim justru bertindak antagonis terhadap beberapa hukum dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan wanita.




F.     Kesalahan Feminis Muslim
Penyimpangan pemikiran yang dilakukan oleh feminis muslim disebabkan adanya perbedaan cara pandang. Bagi femism, cara pandang mereka telah terwarnai oleh kacamata Barat, sehingga mereka memaknai Islam dengan cara yang berbeda. Semisalnya pada contoh kasus yang sering mereka permasalahkan yakni masyarakat patriarki. Menurut Hibah Rauf Izzat, konsep patriarki tidak dikenal dan tidak ada dalam masyarakat Islam. Konsep ini sebenarnya diperkenalkan oleh penulis-penulis Barat untuk menggambarkan masyarakat Islam tanpa memahami institusi keluarga dan masyarakat dalam Islam. Istilah patriarki pada asalnya digunakan untuk menggambarkan sistem kekuasaan bapak yang mutlak sifatnya terhadap anggota keluarganya. Istilah ini juga berkaitan dengan istilah “familia” yang dalam bahasa Latin bermakna lading dan harta pemilikan bagi seorang bapak. Dengan demikian konsep tersebut tidak sesuai diterapkan kepada ajaran Islam dan hukum Islam.

G.    Jalan Tengah
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa dari satu sisi ada sebagian umat muslim yang bertindak over protective atau biasa dikenal golongan konservatif, sedangkan disisi lain ada umat Islam yang berpandangan secara liberal. Hal ini membuat kita seolah-olah berada diantara dua titik ekstrim, dimana salah satunya berfikir secara tradisional dan yang lain berfikir secar liberal. Akan tetapi, pada hakikatnya dalam tradisi Islam terdapat alternative ketiga yang menjadi jalan tengah, yakni mereka dikenal dengan sebutan golongan Islamis, yang mengambil pendekatan sederhana dan seimbang antara dua pendekatan yang bertentangan yaitu konserfativ dan liberal. Sebagai contoh ketika Islam menetapkan kewajiban hijab, terdapat perbedaan pandangan dikalangan ulama, baik wajah dan pergelangan tangan termasuk aurat wanita yang wajib ditutupi. Sementara golongan konserfativ juga memilih hukum yang lebih ketat yaitu kewajiban menutup seluruh muka dan telapak tangan .untuk bersikap hati-hati. Namun demikian, pendapat gologan konservatif ini tidak disalahkan oleh golongan Islamis.
Dalam banyak perkara, pendekatan konserfativ adalah bersifat protektifbahkan terkadang dikatakan over protective, sehingga sebagian ulama Afganistan ketika zaman peerintahan Taliban tidak membenarkan kaum wanita mendapatkan haknya dalam pendidikan. Sedangkan bagi golongan Islamis, pendidikan bukan saja merupakan hak, akan tetapi ia adalah kewajiban bagi setiap muslim tanpa melihat jenis kelamin. Oleh karena itu, pendapat seperti di atas hanyalah berdasakan ijtihad subyektif ulama, karena baik nash Al-Qur’an maupun hadist sama sekali tidak memberikan justifikasi terhadap batasan hak wanita dalam pendidikan.



H.    Peran Wanita dalam Keluarga
Islam memberikan persamaan antara ppria dan wanita, prinsip ini diakui oleh seluruh cendekiawan Islam serta sebagian golongan feminis, meskipun ada sebagian feminis yang mengatakan Islam adalah sama dengan agama samawi lain yang misogynist. Konsep kesetaraan ini kemudian ditafsirkan dengan paradigm yang berbeda, sehingga akhirnya berlakulah pertentangan diantara golongan Islamis dan feminis. Bagi golongan feminis, persamaan semestinya bermaksud penyamarataan atau kesetaraan hak dalam semua bidang kehidupan yang digeluti oleh pria dan wanita, termasuk dalm hal ibadah. Oleh karena itu feminis menyerukan hak untuk menjadi imam dan khatib sholat jumat, menjadi pemimpin tertinggi (khalifah), mendapatkan hak yang sama rata dalam harta waris dan hak men-thalak suami? (melafazkan thalak).

Adapun bagi golongan Islamis. Kesetaran tidak semestinya bermakna penyamarataan. Dalam kacamata Islam, keadilan adalah meletakan sesuatu pada tempatnya sehingga perlu mempertimbangakn kesesuian, kelayakan, kesediaan dan fitrah dalam menempatkan seseorang yang terbaik untuk tugas tertentu. Islam meletakan nilai-nilai moral dikedudukan yang sengat tinggi sehingga dapat dilihat nilai tersebut mempengaruhi setiap peraturan dan ketentuan. Wanita diberikan peranan secar khas dan esklusif untuk membesarkan anak karena wanita diberikan keistimewaan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh kaum pria dari segi biologi-fisiologi, mental dan emosi.

Melihat dari sisi yang positif, kerjasama yang baik dari pria-wanita semestinya menghasilkan kesempurnaan dan keharmonisan. Berbanding jika pria-wanita memiliki keistimewaan yang sama, maka keadaan seperti itu akan menghilangkan perasaan saling membutuhakn antara satu sama liannya. Selain itu, kepemimpinan yang dikehendaki dalam Islam adalah atas dasar kasih saying dan kerjasama, bukanlah kepemimpinan satu arah.


I.       Kepemimpinan Pria dalam Keluarga
Kepemimpinan pria terhadap wanita disandarkan kepada ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34, sebagai berikut:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diriketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”

Para ulama dan mufasirin telah menafsirkan perkataan quwamah dengan tafsiran berbeda. At-Tabari menafsirkan kalimat tersebut sebagai pelaksana tugas (Naafidhii al-amr) dan pelindung. Ibn Kathir mengatakan Qawamah bermakna lelaki adalah ketua dan pembesar rumah tangga karena laki-laki lebih baik dari wanita. Dalam tafsir al_Jalalain pula maksud Qawaamuun ialah laki-laki sebagai mussallituun (penguasa). Walaupun penafsiran dua ulama terakhir diatas mungkin tampak bias dua gender, namun penafsiran ulama lain juga perlu dipertimbangakn. Ulama kontemporer seperti Muhammad Mutawwali Al-Sha’rawi pula berpendapat bahwa al-qawaamah sama sekali tidak bermakna tamlik dan tafdhil (pemilikan dan diskriminasilkelebihan). Sayyid Qutb dalam tafsirnya menulis yang dimaksud dalam qawaamah bukan semata-mata pemimpin tetapi adalah orang yang dibebankan dengan tadbir al-ma’ash (pengurusan kehidupan/penghidupan). Bagi Yusf Qaradawi pula, qawaamah ini perlu dipahami dengan kata persamaannya yaitu al-mas’uliyyah yakni tanggung jawab dan amanah. Oleh karena itu jelaslah bahwa dalam kacamata Islam kepemimpinan bukanlah suatu kemuliaan dan kelebihan melaikan suatu tanggung jawab dan beban yang berat. Ini tentunya berbeda dengan konsep kepemimpinan dari perspektif Barat yang telah memisahkan kuasa dengan moralitas.

Jika dilihat dan dikaji lebih teliti, sebenarnya terdapat kesatuan pendapat dalam perbedaan penafsiran terhadap perkataan qawamah. Secara dasarnya, para ulam setuju bahwa tugas pria adalah mengarahkan dan memberikan perlindungan bagi kaum wanita. Pemahaman ini tidak dapat dielakan karena memang jelas dalam pesan keseluruhan ayat tersebut. Golongan Islamis seperti Yusuf al-Qaradawi, Sayyid Qutb dan Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi mempertahankan tafsiran ulama-ulama terdahulu bahwa ayat tersebut meletakan pria sebagai pemimpin dalam rumah tangga.

Al-Qur’an telah menetapkan tugas yang seimbang bagi pria dan wanita. Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan kemampuan masing-masing, berdasarkan fitrah alami wanita yang berbeda dengan kaum pria. Oleh karena itu, bukanlah kerendahn bagi kaum wanita dan kelebihan bagi pria, akan tetapi memang fitrah semula lah bagi keduanya yang menjadi pertimbangan agar segala tugas dapat diemban dengan baik.



Bibliography

Abdulkarim, Bagian Aleyssa, Reproductive Rights and AIDS: Implementation of Statutory Muslim Laws, in: Gender, Muslim Laws and Reproductive Rights, Pilipina  Legal Resource Center, Inc., Davao City, Philippines, 2001, pp.20-36.

Abubakar, Asiri J.   To Win A Tausug Maiden  IN Filipino Heritage:  The Making of the Nation, Vol. III Philippines:  Lahing Filipino Publication, Inc. 1977. 

Abubakar, Carmen, Islamic Law and Reproductive Rights, in: Gender, Muslim Laws and Reproductive Rights, Pilipina Legal Resources Center,Inc., Davao City, Philippines, 2001, pp.13-20.

Adjerol-Morados, Macrina  Muslim Divorce Law Under P.D. 10033:  An Analysis of Its Application to Selected Cases Decided at the Sulu Shariah Circuit Courts.  MA Thesis, Institute of Islamic Studies, University of the Philippines, Diliman, Quezon City, Philippines.  2003 

Afkhami, Mahnaz, et. al., Safe and Secure: Eliminating Violence Against Women and Girls in Muslim Societies, Sisterhood is Global Institute. USA, 1998.

Afkhami, Mahnaz and Haleh Vaziri, Claiming Our Rights: A Manual for Women’s Rigths Education in Muslim Societies, Sisterhood is Global Institute,USA, 1996.

Afkhami. Mahnaz, (ed.) Faith and Freedom: Women’s Human Rights in the Muslim World.London/ New York: I.B. Taurus Publishers. 1995.

Ahajul, Amirul  The Marriage Practices and the Dowry problem in Jolo, Sulu (Lupah Sug)  Thesis (MA), Institute of Islamic Studies, University of the Philippines, Diliman, Quezon City, Philippines.  1987

Ahmed, Leila. Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. New Haven and London: Yale University Press, 1992.


Akbar, Ahmed and Hastings Donnan, (eds.). Islam, Globalization and  Postmodernity. London / New York: Routledge, 1994.This book examines the cultural responses of Muslims to the transformations, contradictions and challenges confronting contemporary Islam as it moves towards the twenty-first century. The diffusion of populations, the globalization of  culture and the forces of postmodernity have shaken the world like never before. These developments  have generated a debate among Muslims which, as the contributors to this volume show, will have far-reaching consequences not just for the Muslim world, but  for relations between Islam and the West more generally.This volume will interest anyone concerned  with understanding the dynamics of contemporary Muslim society or seeking insight into the direction in which the Muslim world is moving.

Al-Hibri, Azizah.Qur’anic Foundations of the Rights of Women in the twenty-first century, in M. Atho Mudzhar, et.al.,(eds.), Women in Indonesian Society: Access, Empowerment and Opportunity. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, June 2002. pp.3-26.

Angeles, Vivienne SM. Philippine Muslim Women: Tradition and Change, in Yvonne Yazbeck Haddad and John L. Esposito (eds.), Islam, Gender and Social Change. New York / Oxford: Oxford University Press, 1998.pp.209-234.

An-Naim, Abdullahi. The Dichotomy between Religious and Secular Discourse in Islamic Societies, in Mahnaz Afkhami, (ed.), Faith and Freedom: Women’s Human Rights in the Muslim World. London / New York: I.B. Tauris Publishers, 1995. pp.51-60.

An-Naim, Abdullahi, Islamic Foundations of Religious Human Rights, in John Witte,Jr./ Johan D. van der Vyver (eds.), Religious  Human Rights in Global Perspective: Religious Perspectives, The Hague/ Boston/ London 1996, pp.337-359.

An-Naim, Abdullahi (ed.), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book, London/ New York, 2002. This book is a uniquely comprehensive and up-to-date volume spanning nine regions and 38 Islamic countries around the world. More than a billion Muslims have their lives in such matters as marriage, divorce, maintenance, paternity and the custody of children governed by certain aspects of the Shar’a, commonly known as Islamic Family Law.  In particular, this volume documents the scope and actual manner of application of Islamic law worldwide.

An-Naim, Abdullahi, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law. Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1995. Following the teaching of Sudanese religious leader Mahmoud Mohamed Taha, a work arguing that many intellectual and historical foundations within Islam are more appropriate to modern times than the experience of Medina.

An-Na`im, Abdullahi Ahmed, Towards an Islamic Reformation:  Islamic Law in History and Society Today, in Othman, Norani (ed.) Shari`a Law and the Modern Nation-State:  A Malaysian Symposium, SIS Forum (Malaysia) Berhad, Kuala Lumpur, 1994.

An’Naim, Abdullahi, Islam and Women’s Rights: A Case Study. Dossier 21, Women Living Under Muslim Laws,(France,1991),pp.96-109.

Badlishah, Nik Noraini Nik, Marriage and Divorce under Islamic Law, International Law Book Services, Kuala Lumpur, 1998.This book seeks to provide a concise yet comprehensive description of the principles and provisions on the Islamic law of marriage ad divorce.It looks at the sources of Islamic family law in the Qur’an and the Sunnah of the Prophet(s.a.w.), as well as at the modern legislative provisions and judicial decisions on issues relating to marriage and divorce under Shari’a law.

Barlas, Asma. Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin: University of Texas Press, 2002. The author develops a believer’s reading of the Qur’an that demonstrates the radically egalitarian and antipatriarchal nature of its teachings.Beginning with a historical analysis of religious authority and knowledge, Barlas shows how read the inequality and patriarchy into the Qur’an to justify existing religious and social structures and demonstrates that patriarchal meanings ascribed to the Qur’an are a function of who has read it, how, and in what specific contexts. She goes on to reread the Qur’an’s position on a wide variety of issues in order to argue that its teachings do not support patriarchy in theory or practice.

Bruno, Junito  The Social World of the Tausug:  A Study in the Philippine Culture and Education  Manila:  Centro Escolar University, Research and Development Center.  1973.

Cook, Rebecca, et al. Reproductive Health and Human Rights: Integrating Medecine, Ethics, and Law. New York: Oxford Univesrity Press, 2003.Rebecca Cook, Bernard Dickens and Mahmoud Fathalla, leading international authorities on reproductive medicine, human rights, medical law, and bioethics, integrate their disciplines to provide an accessible but comprehensive introduction to reproductive and sexual health. They analyse fifteen case studies of recurrent problems, focusing particularly on resource-poor settings. Approaches to resolution are considered at clinical and health system levels. They also consider kinds of social change that would relieve the underlying conditions of reproductive health dilemmas. Supporting the explanatory chapters and case studies are extensive resources of epidemiological data, human rights documents, and research materials and websites on reproductive and sexual health.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini. Role Expectation and the Aspirations of Indonesian Women in Socio-Political and Religious Contexts, in M. Atho Mudzhar, et.al., (eds.),Women in Indonesian Society: Acces, Empowerment and Opportunity. Yogyakarta: Sunan Kaligaya Press, June 2002, pp.154-194.

El Fadl, Abou Khaled. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. England: Oneworld Publications, 2001.

Engineer, Ashgar Ali, Religion, Pluralism and Modern Society. (Islam and Modern Age),October 2003.

Engineer, Ashgar Ali, Religion and Economic Justice, Centre for the Study of Society and Secularism, Mumbai, January, 2003.

Engineer, Asghar Ali, Islam and Human Rights, Institute of Islamic Studies, Mumbai, 2002.

Engineer, Ashgar Ali, Polygamy in Islam, Centre for the Study of Society and Secularism, Mumbai, May 10, 2002.

Engineer, Ashgar Ali, On the Concept of Compassion in Islam, Centre for the Study of Society and Secularism, Mumbai, November, 2001.

Engineer,Ashgar Ali, Intellectual Approach to Islam, Centre for the Study of Society and Secularism, Mumbai, September, 2002.

Engineer, Asghar Ali, Islam, Women and Gender Justice, Centre for the Study of Society and Secularism, Mumbai, India.  2001

Engineer, Asghar Ali, Shari’ah Law, Civil Society and Human Rights, Centre for Study of Society and Secularism, Mumbai, September , 2003.

Engineer, Ashgar Ali, Islam, status of Women and Social Change. Islam and Modern Age (August 1990):pp.180-199.

Esmula, Wadja K.  The Islamic Foundation of the Political Religious Institutions of the Sulu Sultanate:  A Descriptive and Analytical Study, unpublished M.A. Thesis, University of the Philippines, May 1982. 

Esposito, John L. The Islamic Threat: Myth or Reality? Oxford: Oxford University Press, 1999.

Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1982. A comparative study of the evolution of law in relation to women in Muslim societies.

Essack, Farid, Quran Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, One World Publications, Oxford, England, 1997.

Haddad, Yvonne Yazbeck and John L. Esposito,(eds.). Islam, Gender and Social Change. New York / Oxford: Oxford University Press, 1998. The essays collected in this book place the issue of religious resurgence in the Muslim world in its historical context and present case studies of Muslim societies from North Africa to Southeast Asia. These fascinating studies shed light on the impact of the Islamic resurgence on gender issues in Iran, Eqypt, Jordan, Pakistan, Oman, Bahrain, the Philippines, and Kuwait. Taken together, the essays reveal the wide variety that exists among Mslim societies and believers, and the complexity of the issues under consideration. They show that new things are happening for women across the Islamic world, and are in many cases being initiated by women themselves. This volume as a whole militates against the stereoype of Muslim women as repressed, passive, and without initiative, while acknowledging the very real obstacles to women’s initiatives in most of these societies.

Haddad, Yvonne Yazbeck and Banks , Ellison,( eds.). Women, Religion and Social Change. Albany: State University of New York Press, 1985. Volume focusing on how women from numerous traditions have effected social change, and on how faith has motivated women’s participation in this process.


Hapas, Adjarail B.   Folk Islam in Sulu:  A Study of Changes and Development  Dissertation, Graduate Study Program,  College of Social Sciences and Philosophy, University of the Philippines, Diliman, Quezon City, Philippines, 1993.  

Hassan, Nasima  “Marriage and Divorce in Islam,” Wife:  Her Rights and Status in Islam  www.submission.org/women/ beatings.html   p. 4

Hassan, Riffat, Rights of Women Within Islamic Communities, in: John Witte,Jr./ Johan D. van der Vyver (eds.),Religious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspectives,The Hague/ Boston/ London 1996, pp. 361-386.

Hawley, John Stratton, (ed.). Fundamentalism and Gender. New York, Oxford: Oxford University Press, 1994. A concise  treatment of fundamentalism from a comparative perspective, examining the American Christian, Indian Muslim and Hindu, and “new Japanese religious” contexts. Contains a relevant introduction explaining the characteristics of fundamentalisms as related to gender construction.

Howland, Courtney. Religious Fundamentalisms and the Human Rights of Women. New York: Palgrave, 1999.

Ilkkaracan, Pinar. (ed.), Women and Sexuality in Muslim Societies. Turkey: Women for Women’s Human Rights, 2000.Control of women’s sexuality remains to be one of the most powerful tools of patriarchy in most societies.The essays in this volume  show that the sexual oppression of Muslim women is not the result of an “Islamic” vision of sexuality, but a combination of political, social and economic inequalities throughout the ages.However, within this context religion is often misused as a powerful instrument of control, with the goal of legitimizing violations of women’s human rights

Jajurie, Raissa, Human Rights, Women’s Reproductive Rights as Human Rights, in: Gender, Muslim Laws and Reproductive Rights, Pilipina Legal Resources Center, Inc., Davao City, Philippines,2001. pp. 45-61.

Jundam, Mashur Bin-Ghalib   Adat Law:  A Socializing Force in a Philippine Muslim Community MA Thesis, Asian Studies.  University of the Philippines, 1983.

Karmi, Ghada. “Women, Islam, and Patriarchy.”  In Mai Yamani, (ed.). feminism and Islam: Legal and Literary Perspectives. Berkshire, United Kingdom: Ithaca Press, 1996.pp.69-85. 

Kiefer, Thomas   The Tausug:  Law and Violence in a Philippine Moslem Society,  Holt, Rinehart, Winston Publishing.  1972

Kiefer, Thomas  Philippine Muslim (Tausug) Marriages on Jolo Island  http://www.zawaj.com/weddintways/tausag/tausag1. html

Lindholm, Tore and Kari Vogt.(eds.), Islamic Law Reform and Human Rights: Challenges and Rejoinders.Copenhagen / Lund / Oslo:Norwegian institute of Human Rights,1993. This book contains revised versions of the papers presented to the Seminar on Human Rights and the Modern Application of Islamic Law, hosted by the Norwegian Institute of Human Rights, Oslo, 14 and 15 February 1992. The seminar was organized in order to promote free and expert debate on issues presented by Prof. An-Naim in toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and international Law (1990).

Lerner, Gerda. The Creation of Patriarchy. Oxford: Oxford University Press, 1986.

Lerner, Natan, Religion, Beliefs, And International Human Rigths, New York: Orbis Books;  2000.The author, a distinguished Israeli jurist provides an authoritative distillation and analysis of modern international norms on religious rights and liberties—with particular attention to modern contraversies over religious and racial  discrimination, genocide and group libel, proselytism and conversion, and religious group rights and their limits.

Marcoses-Natsir, Lies, Islam and the Principles of Reproductives Rights: Searching for an Alternative Methodology, in: Gender, Muslim Laws and Reproductive Rights, Pilipina Legal Resources Center, Inc., Davao City , Philippines, 2001, pp.31-36.

Mas’udi, Masdar F., Islamic Women’s Reproductive Rights, in: Gender, Muslim Laws and Reproductive Rights, Pilipina Legal Resources Center, Inc., Davao City, Philippines, 2001.pp.62-72.

Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human Rights: Tradition and Politics. Boulder and San Francisco: Westview Press; London: Pinter Press, 1999. In this book  Ann elizabeth Mayer offers a critical assessment of recent  human rights schemes proposed by Muslim conservatives as alternatives to the International Bill of Human Rights. She argues that these schemes possess no direct antecedents in the premodern Islamic tradition but are legal hybrids of Islamic and international ptinciples.Dr. Mayer contrasts the position of Muslim conservatives with that of Muslims who endorse international human rights standards as fully compatible with Islam and offers evidence that the provisions of Islamic human rights schemes tend to dilute and nullify rights guaranteed by international law.Dr. Mayer persuasively demonstrates that it is not Islamic tradition that discourages respect for human rights but the selective interpretation and  application of Islamic law and tradition by Muslim groups who are threatened by the demand for  democratic freedoms throughout the Muslim world.

Mayer, Ann Elizabeth. Rhetorical Strategies and Official Policies on Women’s Rights: The Merits and Drawbacks of the New World Hypocrisy, in Mahnaz Afkhami,(ed.), Faith and Freedom: Women’s Human Rights in the Muslim World. London / New York: I.B. Taurus Publishers, 1995.pp.104-132.

Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human Rights: Tradtion and Politics. Boulder and San Francisco:Westview Press; London: Pinter Press, 1991. A sophisticated critique of Islamic human rights schemes in comparison with universal standards of human rights. Examines conceptions of human rights in the Egyptian, Iranian, Pakistani, and Sudanese contexts. Argues that those who selectively interpret and apply Islamic law  and tradition do so to reinforce hierarchical vested interesrts.

Mernissi, Fatima. Islam and Democracy: Fear of the Modern World. California/ New York: Addison-Wesley Publishing Company, 1993.

Mernissi, Fatima. The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam.Translated by Mary Jo Lakeland. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, Inc, 1991 ed. A feminist reading of Islamic texts that focuses on the issue of veiling to draw broader implications for women’s roles in society.

Mernissi, Fatima, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society, Indiana University Press. Bloomington/ Indianapolis,1987.The author argues that the present conservative wave against women in the Muslim world is a defense against recent profound changes in sex roles and in perceptions of sexual identity.Sexual inequality is a prominent feature of both Western and Islamic societies, but the underlying concepts of female sexuality in Christian and Muslim traditions are very different.The Islamic view of women as active sexual beings resulted in stricter regulation and control of women’s sexuality, which Muslim theorists regarded as a threat to civilized society.But the requirements of modernization are incompatible with traditional Muslim strictures, and the ensuing contradictions pervade nearly all Muslim countries.Drawing on popular source materials, the author explores the disorienting effects of modern life on male-female relations, looks at the male-female unit as a basic element of the structure of the Muslim system, and explores the sexual dynamics of the Muslim world

Munir, Lily Zakiyah, Living with Islam in the 21st century: Islam, Modernity and Justice for women. Unpublished Article. Jakarta, July 2003. 9pp.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
Munir, Lily Zakiyah, Islamic Fundamentalism and Its Impact on Reproductive and Sexual Health and Rights. Unpublished Article, 2003.22pp. This paper explores the impact of Islamic fundamentalism on sexual and reproductive health and rights by studying the literature and observing the realities in the current Indonesian context. It focuses on five crucial relevant issues: violence against women, safe abortion, and treatment of drug users, child prostitution, and stigmatization of HIV / AIDS victims. It is aimed at identifying the gap between the ideals of Islam and their realities among Muslim societies and unfolding an alternative discourse, which promotes tolerance, justice, and a more peaceful aspect of the religion.

Munir, Lily Zakiyah, Islam, Gender, and Formal Shari’a in Indonesia, Unpublished Article, 2003.

Munir, Lily Zakiyah,  Islam, Modernity and Justice for Women, A Paper presented at the Islam and Human Rights Fellow Lecture, October 14, 2003, organized by the Islam and Human Rights Project, School of Law, Emory University, Atlanta, GA, U.S.A.

Munir, Lily Zakiyah, Islam and Sexual Health From Ideals to Realities: A Case Study of Elderly Javanese Muslim Women, in: Gender, Muslim Laws and Reproductive Rights, Pilipina Legal Resources Center, Inc., Davao City, Philppines, 2001,pp.37-44.

Munir, Lily Zakiyah, Islam, Gender and Equal Rights for Women, The Jakarta Post,December 10,2002,

Munir,Lily Zakiyah, Misunderstanding of Polygamy Lingers in Islam, The Jakarta Post, May 24,2003, p.7.

Murata, Sachiko. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought.Albany: State University of New York Press, 1992. A rich anthology of Islamic teachings on the nature of the relationship between God and the world, the world and human beings, and human beings and God, which stresses gender symbolism. It argues that Muslim authors tend to analyze divine and human realities with a view toward complementarity that is similar to the Chinese idea of yin/yang.

Muzaffar, Chandra  Islam and the Legitimate Boundaries of Action When Struggling for Justice, Selangor, Malaysia.   2002

National Statistics Office, Socio-Economic Profile, the Province of Sulu,  2001.   

Omran, Abdel Rahim. Family Planning in the Legacy of Islam. London and New York: Routledge, 1992. A detailed study of the Qur’an, the Hadith, and commentaries by Muslim scholars on issues of family planning such as abortion, contraceptive use, and sterilization.

Peach, Lucinda Joy. Women and World Religions. New Jersey: Pearson Education, Inc., 2002.

Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982. Analysis of the effects of historical change on Islamic thought with particular reference to the role of education.

Roy, Oliver. The Failure of Political Islam. London: I.B. Tauris Publishers, 1994.

Rasul, Jainal D.  The Philippine Muslims Struggle for Identity (Manila Nueva Eva Press Inc., 1970) 

Shaaban, Bouthaina. The Muted Voices of Women Interpreters, in Mahnaz Afkhami, (ed.), Faith and Freedom: Women’s Human Rights in the Muslim World. London / New york: I.B. Tauris Publishers, 1995.pp.61-75.

Shaheed, Farida. Networking for Change: The Role of the Women’s Groups in Initiating Dialogue on Women’s Issues, in Mahnaz Afkhami, (ed.). Faith and Freedom: Women’s Human Rights in the Muslim World. London / New York: I.B. Tauris Publishers, 1995.pp.78-103.

Sisters in Islam. Are Muslim Men Allowed to Beat Their Wives? Sisters in Islam, United Selangor Press Sdn. Bhd, 1991. Pamphlet that examines thos verses from the Qur’an on men’s treatment of women and concludes that Islam prohibits mental and physical cruelty by men against women.

Sisters in Islam, Are women and Men Equal Before Allah? Malaysia: Sisters in Islam, United Selangor Press, Sdn. Bhd, 1991. Pamphlet that examines relevant verses from the Qur’an and concludes that Islam considers women and men equal in the eyes of God.

Sonbol, Amira El Ashary, (ed.). Women, the Family and Divorce Laws in Islamic history. Syracuse: syracuse University Press, 1996. An excellent collection of articles drawing on archival sources , aiming to achieve four goals: to focus on the history of women, family, and divorce in order to assess gender relations in Muslim societies; to raise questions about this history that have received little scholarly attention—such as the issue of domestic violence and laws regarding children; to examine non-Muslim communities within Ottoman empire in order to expose the fallacy of separating them analytically from Muslims; and to propose new methodologies and theories for understanding women and the family.

Stowasser, Barbara Freyer. Women in the Qur’an, Traditions, and Interpretation. New York, Oxford: Oxford University Press, 1994. A detailed study of women’s roles as presented in the Qur’an, the hadith, and commentaries and interpretations. Focuses on how modernists, conservatives, and fundamentalists have understood Islam’s female images and models according to their own socio-political agenda. It contains excellent bibliography, glossary of terms related to Islam.

Tagayan, Abdelnazer A.   The Tausug Pagtiyaun (Marriage):  Then and Now  M.A. Thesis, Institute of Islamic Studies, University of the Philippines, Diliman, Quezon City, Philippines.) April 2003

Taha, Mahmud Mohamed. The Second Message of Islam. Translated and introduced by Abdullahi Ahmed An-Naim. Syracuse,N.Y.,: Syracuse University Press, 1987.

Tan, Samuel K.  Decolonization and Filipino Muslim Identity, Philippine Social Science Review (January-December 1984). 

Tibi, Bassam. The  Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder. Berkeley: University of California Press, 1998.

Wadud, Amina. Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press, 1998.


Wadud-Muhsin, Amina. Qur’an and Women. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn Bhd, 1992. A concise work arguing that in order to maintain its relevance on the question of women’s role in society, the Qur’an must be continually reinterpreted.

Amina Wadud-Muhsin, The Qur`an, Shari`a and the Citizenship Rights of Muslim Women in the Umma.  IN Shari`a Law and the Modern Nation-State:  A Malaysian Symposium edited by Norani Othman and published by SIS Forum (Malaysia) Berhad, Kuala Lumpur.  1994

Wanyeki, Muthoni (ed.). Women and Land in Africa: Culture, Religion and Realizing Women’s Rights.London / New York:Zed Books Ltd, 2003.This volume on Women in Africa is the product of original research into the changing situations that rural African women are experiencing in relation to land rights.Its authors link research and analysis with advocacy and action—the purpose being to contribute towards equalizing gender relations and promoting the ability of African women to achieve greater economic independence as well as other human rights.

Watson, Helen. Women and the Viel: Personal Responses to Global Process, in Akbar Ahmed and Hastings Donnan, (eds.), Islam, Globalization and Postmodernity. London / New York: Routledge, 1994.pp.141-159.

Weiss, Anita. Challenges for Muslim Women in a postmodern World, in Akbar Ahmed and Hastings Donnan, (eds.), Islam, Globalization and Postmodernity. London / New York: Routledge, 1994,pp.126-140.

Women in the Qur’an: Qur’anic Interpretation by Women Meeting July 8-13, 1990, Karachi. Shirkat Gah: Pakistan, 1990. Information kit containing verses of the Qur’an—both in Arabic and in three, different English translations—pertaining to women and categorized by issue.


Young, Serenity. An Anthololgy of Sacred Texts by and about Women. New York: The Crossroad Publishing Company, 1994.A comprehensive collection and analysis of texts and traditions that uncovers the male-centered bias of most studies of religion and corrects this trend by focusing on women. Looks at Judaism, Christianity, Islam, the Ancient Near East, Greece, and Rome, Northern European Paganism, shamanism and Tribal Religion, Hinduism, Buddhism, Confucianism, Taoism, and alternative religious movements.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar