Total Tayangan Halaman

Minggu, 08 Januari 2012

Kemajuan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Bani Abbasyiah


 
Keberhasilan Dinasti Bani Abbasyiah dalam mengembangkan kebijakan-kebijakanya tidak lepas dari bantuan semua komponen masyarakat yang ada di dalamnya. Pengebangkan  kebijakan politik pemerintahan Bani Abbas terhadap masyarakat non-Arab (Mawaly), sangat berbeda dengan kebijakan politik pemerintahan Bani Umayyah. Kalau masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah terdapat kebijakan politik yang diskriminatif terhadap kelompok Mawaly, maka para penguasa Bani Abbas okomodatif dan toleran terhadap kelompok masyarakat non-Arab. Hal itu mungkin disebabkan karena kelahiran dinasti Abbasiyyah banyak dibantu oleh kelompok non-Arab, khususnya Persia dan mereka yang anti pemerintahan Umayyah. Selain itu, pusat pemerintahan baru Bani Abbas tidak berada ditengah-tengah masyarakat Arab, tapi berada jauh di luar kota Damaskus, yaitu di Bagdad. Sehingga boleh jadi untuk mendapatkan dukungan politik massa, pemerintah Bani Abbas harus mengubah pola kebijakanya, tidak lagi Arab Centris yang sangat homogen, melainkan lebih pluralis. Karena begitu pluralis dan sangat okomodatif terhadap kelompok masyarakat Mawaly, Majid menyebutnya sebagai sebuah pemerintahan yang mirip dengan pemerintahan Mawaly.
Kebijakan Bani abbasyiah yang selalu tidak mendistritsikan golongan satu dan lainnya telah memabawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang tentu saja membawa harum dinasti ini. Para Mawaly yang memiliki keunggulan dalam berbagai ilmu pengetahuan, bahasa dan ketrampilan, memainkan peran penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan bahkan kemajuan dinasti  Abbasiyyah. Kalau dilihat dalam perjalanan sejarah, banyak ahli ilmu agama dan non agama yang berasal dari Mawaly, misalnya tokoh Nahwu, Syibawaih, al-Zujaji dan al-Farisi, ketiganya adalah orang Persia, bukan Arab. Begitu juga dalam bidang lain, hampir sebagian besar, menurut Hasan Ibrahim Hasan, tokoh ilmu kalam dan filsafat berasal dari kelompok masyarakat Mawaly.
Selain beberapa kebijakan di atas juga ada beberapa faktor  yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan Sains pada masa dinasti Abbasiyyah, faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1.      Kebijakan Politik Egalitarian (AL-Musawah)

Seagaimana yang telah kami uraikan pada pembahasan sebelumnya bahwa pemerintah Bani Abbas banyak memberikan peluang kepada kelompok Mawaly untuk berkiprah dalam upaya mendukung politik pemerintahan Bani Abbas. Para Mawaly tidak hanya diberikan kebebasan mengembangkan kreatifitas keilmuan, juga diberikan kebebasan dalam karier politik. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan politik okomodatif dan egalitarianisme yang dikembangkan saat itu. Sehingga banyak juga diantara mereka, khususnya bangsa Persia yang menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Terjadinya hal tersebut, menurut beberapa penulis sejarah karena bangsa Persia sebelum Islam telah memiliki peradaban yang tinggi dan tradisi pemerintahan yang maju, sehingga ketika diberi kepercayaan, mereka mampu membangkitkan dan memelopori gerakan ilmiah di dunia Islam. Tradisi nenek moyang yang mereka warisi secara baik dalam pemeliharaan ilmu pengetahuan, merupakan faktor internal di antara mereka yang dapat menumbuh kembangkan kesadaran mereka untuk terus berkreasi dalam pencapaian ilmu. Tradisi ini kemudian mereka padukan dengan tradisi Islam yang mengharuskan umatnya terus melekukan kajian dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang baik, mulai dari ayunan hingga liang lahat. Sehingga ilmu pengetahuan pada masa Bani Abbasiyyah yang banyak melibatkan mereka, berkembang bahkan mencapai kemajuan yang sangat pesat.

2.      Stabilitas Politik dan Motivasi Penguasa

Meskipun untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para ahli secara induvidual tidak mengharuskan adanya pemerintahan yang stabil, tapi secara kelembagaan, stabilitas politik merupakan salah satu syarat yang tidak bisa diabaikan dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan.

Sejarah peradapan Islam telah mencatat bahwa tumbuh suburnya peradaban Islam ketika berada dalam masa pemerintahan yang stabil. Karena situasi ini sangat menentukaan bagi seorang kepala pemerintahan untuk membuat kebijakan yang benar dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam secara keseluruhan, selain tentu saja perhatian serius dan motivasi yang kuat dari para penguasa.

Dinasti Bani Abbas mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan, misalnya Abu Ja’far al-Mansur, sangat tertarik dengan ilmu kedokteran. Karena itu, ia mengajurkan kepada para dokter yang beragama apapun untuk mengembangkan bebagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran. Selain itu, ia juga menganjurkan kepada mereka untuk menyusun buku tentang ilmu kedokteran.

Pada masa khalifah al-Makmun ia telah memberikan perhatian yang sangat serius kepada para ilmuwan dengan memberikan gaji yang cukup. Ia menggaji para penerjemah beragama kristen untuk melakukan penerjemahan bebagai karya ilmu pengetahuan klasik ke dalam bahasa Syiria dan Arab. Untuk kegiatan ini, al-Makmun mendirikan pusat pengkajian bernama Bait al-Hikmah.

Selain lembag tersebut di atas, khalifah al-Makmun juga mendirikan sekolah-sekolah, selain fasilitas dan kemudahan-kemudahan, para khalifah juga memberikan imbalan atau honor bagi para ilmuwan.

Hal tersebut dilakukan oleh khaliafah dengan harapan agar para ilmuwan tidak lagi memikirkan kepentingan pribadi dan keluarganya, karena untuk semua itu mendapat jaminan dari pemerintah. Dampaknya, tentu saja para ilmuwan bekerja dengan serius dan menghasilkan banyak temuan penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam saat itu, yang kemungkinan banyak teori yang mereka temukan masih dipergunakan hingga kini, misalnya al-Qanun fi al-Thib, karya monumental Ibn Sina, angka Arab (Arabic Numaric: 1,2,3,4,5,....) dan lain sebagainya.

3.      Pusat Pemerintahan dan Kultur Yang Melingkupinya.

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam terwujudnya sebuah proses perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam pada masa Bani Abbas adalah karena lokasi pusat pemerintahan yang sangat strategis.

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Damaskus dijadikan sebagai basis kekuatan dan pusat pemerintahannya, lenbih disebabkan oleh faktor massa politik pendukung Muawiyyah ibn Abi Sufyan yang begitu kuat, maka pemerintahan Islam dibawah kekhalifahan Bani Abbas juga memiliki alasan politik yang hampir sama. Bani Abbas didukung oleh kelompok masyarakat Mawaly khususnya Persia, sehingga ketika Bani Abbas berkuasa, mereka tidak mungkin mengambil tempat kekuasaannya di kota Damaskus, karena tempat ini dianggap tidak strategis untuk kelangsungan kekuasaan selain kemungkinan masih ada sisa-sisa pengaruh Bani Umayyah. Oleh karena  itu, Bani Abbas berusaha mencari tempat yang akan dijadikan sebagai pusat kekuasaan yang tidak jauh dari para pendukungnya yakni Bagdad.

Menurut pandangan Abu Ja’far al-Mansur, Bagdad merupakan tempat yang strategis untuk dijadikan sebagai pusat kota pemerintahan baru. Tempatnya baik, berangin sejuk, udaranya nyaman dan dibentengi oleh alam, sehingga terasa cukup aman untuk bertahan dari serangan musuh. Selain itu, Bagdad terletak diantara sungai Furat (Eufrat) dan Dajlah (Tigris) yang menjadi jalur lalu lintas perdagangan internasional. Kota ini merupakan salah satu kota penting di Irak yang telah memiliki peradaban yang cukup maju.

Abu Ja’far al-Mansur sangat tepat menjadian Bagdad sebagai pusat pemerintahan dan pusat peradaban, karena secara kultural, masyarakat dan wilayah tersebut telah memiliki tradisi keilmuan yang relatif cukup bagus bila dibandingkan, misalnya kota-kota lain. Ini merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan Bani Abbas unggul dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kota Bagdad bukan hanya milik masyarakat kota tersebut, juga menjadi milik warga dunia, sehingga siapapun bisa singgah dan menetap di sana dan mengembangkan keahlian mereka bagi kepentingan karier dan pemerintahan Bani Abbas.

Demikian beberapa faktor pendukung penyebab kemajuan peradaban Islam pada masa pemerintahan Bani Abbas (750- 1258 M), sehingga masa ini dikenal dengan masa keemasan Islam yang banyak meninggalkan warisan intelektual yang mesti dikaji dan dipelajari secara seksama hingga waktu yang tidak dapat ditentukan oleh manusia.


Beberapa bidang ilmu pengetahuan yang dikembangkan

Ada beberapa kebijakan yang dikeliuarkan oleh pemerintah Bani abbasyiah yang dapat dijadikan sebagai motivasi bagi masyarakatnya sehingga dapat menghasilkan kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu adalah:

1.      Filsafat

Proses penerjemahan yang dilakukan umat Islam pada masa pemerintahan Bani Abbas, mengalami kemajuan yang cukup besar. Para penerjemah itu tidk hanya menerjemahkan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa Yunani-Romawi, Persia , India, Assyiria saja, juga mencoba mentrasfernya ke dalam bentuk pemikiran. Proses ini biasanya disebut dengan istilah Hellenisasi. Melalui proses ini, karya-karya bangsa-bangsa tersebut kemudian dimodifikasi, sehingga menjadi sebuah pemikiran khas Islam.

Di antara tokoh yang memberikan andil cukup penting di dalam prkembangan ilmu dan filsafat Islam adalah:

  1. Al- Kindi (185-260 H/ 801-873 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak bin Sabbah bin Imran al-Ash’ats bin Qays al-Kindi. Beliu adalah filosuf muslim pertama dalam Islam yang berasal dari suku Kindah yang mencoba memberikan penjelasan mengenai  filsafat dan agama. Dalam pendapatnya, antara filsafat dengan agama tidak ada pertentangan dan tidak perlu dipertentangkan, karena keduanya sama-sama mencari kebenaran. Titik temu opada kebenaran inilah yang kemudian banyak ilmuan muslim dan lainnya mengkaji pemikiran filsafat menjadi salah satu hasil dan bentuk pemikiran muslim yang sangat cemerlang saat itu.

Dalam catatan M.M Syarif al-Kindi memiliki karya sejumlah 270 buah, berupa tulisan yang mencangkup pemikiran ilmu pengetahuan lain, seperti filsafat, kedokteran, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, psikologi, politik dan lain-lain. Karya dan pemikirannya ini memberikan mitivasi bagi para filosuf dan ilmuan lain untuk melakukan kajian yang sama, sehingga ilmu pengetahuan dan filsafat mengalami perkembangan yang sangat pesat.

  1. Abu Nasr al-Faraby, (258-339 H / 870-950 M)

Nama lengkapnya Abu Nasr Muhammad al Farabi. Lahir di Wasi, sebuah desa di Farab wilayah Transoxania. Dalam jajaran ilmuan dan filosuf muslim, al-Farabi merupakan seorang filosuf yang memiliki wawasan pengetahuan cukup luas. Hal ini dapat dilihat dari karya dan pemikirannya dalam fusus al-hikam, al-mufarriqat, Ara’u ahl al-Madinah al-Fadhilah dan lain-lain. Di antara pemikirannya yang sangat cemerlang dalam bidang filsafat adalah filsafat emanasi (pancaran)

  1. Ibnu Sina ( 370-428 H / 980-1037 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husain bin Abdillah bin Sina. Lahir di Afsyana, sebuah tempat di dekat kota Bukhara. Dalam sejarah hidupnya diketahui bahwa Ibnu Sina adalah salah seorang ilmuan dan filosuf muslim yang gemar mencari ilmu pengetahuan. Pengembaraan ilmiahnya melewati batas-batas tempat kelahirannya, sehingga Ibnu Sina menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, selain filsafat. Di antara ilmu pengetahuan yang dikuasainya adalah imu kedokteran, yang kemudian ditungkan dalam bentuk karya yang sangat monumental yaitu al-Qanun fi al-Thib (ensiklopedia kedokteran). Karya ilmiahnya ini menjadi bahan rujukan para ilmuan dan dokter dunia hingga abad ke -18 M. Kemudian, diantara pemikiran filsafat yang dikembangkannya adalah filsafat jiwa, filsafat wahyu dan nabi serta filsafat wujud. Semua pemikiran itu menjadi bahan diskusi para filosuf muslim kemudian.

  1. Ibnu Bajjah (w. 533 H / 1138 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya al-Sha’igh. Di Barat dikenal dengan nama Avempace. Ia lahir di Saragossa, Spanyol. Selain menguasai filsafat, Ibnu Bajjah juga menguasai tata bahasa dan sastra Arab dengan bagus. Karenanya wajar kalau kemudian ia memiliki banyak karya. Di antara karyanya adalah risalatul wada, akhlak, kitab al-Nabat, risalah al-ittishal al-Aql bil Insan, Tadbir al-Mutawahhid, kitab al-Nafs, risalah al-ghayah al-insaniayah dan lain-lain.

  1. Ibnu Thufail (w. 581 H / 1186 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Thufail. Ia adalah seorang ilmuan dan fillosuf kenamaan pada masa itu. Selain menguasai bidang fisafat, ia juga menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, matematika dan sastra Arab. Di antara karya filsafat monumentalnya adalah Hay bin Yaqdzan (si hidup dan si bangkit).

  1. Al-Ghazali (1059-1111 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad l-Ghazali. Ia lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di dekat Thus, Khurasan. Di masa kecil ia belajar di Nisapur, kota ilmu pengetahuan dan peradaban Islam terkenal dan terpenting di Khurasan. Imam al-Ghozali menuntut ilmu dari imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di Madrasah Nidzamiyah Nisapur. Selain beljar ilmu kalam, ia juga banyak belajar ilmu pengetahuan lainnya, seperti filsafat, kimia, matematika, kedokteran dan sebagainya.
Pada masa awal perkenalannya dengan dunia pemikiran kalam, ia sempat ragu atas pemikiran kalam yang ada. Hal ini dapat dilihat dari karyanya yang berjudul al-Munqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan). Dalam karyanya ini sebenarnya ia ingin mencari kebenaran yang hakiki. Ia tidak mau percaya begitu saja dengan pemikiran orang lain dalam bidang kalam.

Pengembaraannya dalam bidang kalam dalam mencari kebenaran yang hakiki, juga dilakukannya dalam bidang filsafat. Ia meragukan banyak pemikiran para filosuf yang dikatakannya telah rancu. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya yang hingga saat ini dapat ditemukannya,yaitu; Tahafut al-Falasifah (kerancuan pemikiran para filosuf).

Ketika al-Ghazali tidak menemukan argumen yang kuat dalam bidang tersebut, akhirnya melakukan pencarian diri mengenai hakekat yang sebenarnya. Semua itu ditemukan dalam bidang tasawuf. Dalam bidang inilah ia baru mencapai kepuasan dalam usahanya mencari kebenaran yang hakiki.

  1. Ibnu Rusyd (520-595 H / 1126-1196 M)

Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H/ 1126 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terdidik, sehingga ia menjadi seorang yang terdidik pula. Selain menguasai ilmu filsafat, ia juga menguasai berbagai ilmu pengetahuan lain seperti ilmu fiqh, bahasa dan sastra Arab, matematika, fisika, astronomi, logika dan ilmu kedokteran. Di antara karyanya yang hingga kini masih dapat ditemukan adalah Bidayah al-Mujtahid, yang membahas ilmu hukum, dan Kitab al-Kuliya, yang membahas ilmu kedokteran. Selain itu, ia banyak melakukan komentar terhadap hasil karya pemikiran Aristoteles, sehingga ia dikenal sebagai seorang komentator Aristoteles kenamaan, karena kritikan dan komentarnya yang sagat tajam.

Dalam bidang filsafat, pendapatnya hampir sama dengan al-Kindi. Ia mengatakan bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan Islam, karena tugas filsafat untuk mengetahui pencipta alam dan segala isinya. Bahkan ia menganjurkan bahwa mempelajari filsafat itu wajib hukumnya,karena antara Islam dan filsafat memiliki tugas yang sama, yaitu mencari tahu tentang pencipta alam semesta dan isinya ini.

Kalau di Barat (Spanyol) Ibnu Rusyd dikenal sebagi komentator terhadap pemikiran filsafat Aristoteles, di dunia Timur, ia dikenal sebagai filosuf yang membela pemikiran para filosuf  dari serangan al-Ghazali. Karyanya dalam bidang ini tertuang dalam Fashl al-maqail fi ma baina al-Hikmah wa al-Syar’iyyah min al-ittishal.

Pemikiran dan karya para filosuf muslim yang hidup pada zaman pertengahan dan masa Bani Abbas menjadi bahan rujukan para ilmuan dan para filosuf  kemudian. Dari karya mereka inilah kemudian bangsa-bangsa Barat, mencapai masa kejayaan, karena mereka mulai terbuka pemikiran dan wawasannya semakin bertambah dengan menerjemahkan karya umat Islam ke dalam bahasa Yunani (Eropa). Dari situlah dikenal masa aufklarung, renaisance yang melahirkan suatu zaman industri yang disebut revolusi industri.

2.      Ilmu Kalam

Dalam beberapa sejarah Islam menyebutkan, bahwa lahirnya ilmu kalam karena dua faktor; Pertama, untuk membela Islam dengan bersenjatakan filsafat, seperti halnya musuh memakai senjata itu. Kedua, karena semua masalah termasuk masalah agama telah berkisar dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu.

Di antara para pelopor ilmu kalam yang tersebar yaitu; Washil Ibn Atha, Baqillani, Asyary, Ghazali, Sajastani dan lain-lain.

Pada masa Bani Abbas tidak hanya ilmu agama yang dapat berkembang, tetapi juga ilmu-ilmu lainnya. seperti dijelaskan terlebih dahulu, juga terdapat ilmu-ilmu lain yang juga tidak kalah pentingnya yang berkembang saat itu, seperti ilmu qiraat, ilmu bahasa, sastra, tata bahasa dan ilmu tasawuf.

3.      Ilmu Kedokteran

Pada  masa Bani Abbas diantara ilmu yang dapat berkembang pesat adalah Ilmu kedokteran.  Pada masa itu telah didirika apotik yang pertama di dunia, yaitu tempat menjual obat. Disamping itu juga telah didirikan sekolah farmasi. Sekolah kedokteran  dilengkapi rumah sakit sehingga menjadi lembaga yang menggabungkan usaha penyembuhan dengan pengajaran obat-obatan, farmakologi dan bidang-bidang yang terkait. Pada masa al-Makmun para apoteker telah diwajibkan menempuh ujian sebagaimana para tabib. Ujian ini dilaksanakan atas perintah khalifah, karena terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter, sehingga pada tahun 931 M diadakan ujian massal bagi seluruh dokter yang ada dalam negeri. Kemudian pemerintah mengeluarkan ijazah resmi untuk para dokter yang lulus ujian. Setelah itu dihapuskan para tabib yang kurang mampu dan tabib-tabib yang palsu.

Bahkan pada awal abad ke-9 khalifah Harun al-Rasyid sudah mendirikan rumah sakit Islam dengan mencontoh rumah sakit yang ada di Persia. Tidak lama setelah itu diikuti pendirian 34 rumah sakit Islam di seluruh dunia Islam.

Tokoh-tokoh Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran, antara lain al-Razi. Ia adalah seorang ahli fikir dan ahli klinik. Menurut cerita, ketika ia mencari tempat yang paling baik untuk sebuah rumah sakit besar, ia menggantungkan keratan-keratan yang paling lama bertahan tidak busuk, disitulah dipilih oleh al-Razi untuk dijadikan sebagai tempat rumah sakit. Ia dianggap sebagai orang yang menemukan benal pontanel untuk dipergunakan dalam ilmu bedah. Karangan al-razi yang terpenting adalah al-hawi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279. Karangan ini berabad-abad lamanya mempunyai pengaruh besar dalam pikiran dunia Barat.
Nama lain yang gemilang di dunia kedokteran ialah Ibn Sina. Karangannya yang berbentuk ensiklopedia al-Qanun fi al-Thib, yang diterjemahkan orang dengan nama Canon, dianggap sbagai bahan terbaik dalam bidang kedokteran di perguruan-perguruan Eropa. Karangan lain yang telah diterjemahkn ke dalam bahasa Inggris Materia Medica memuat kira-kira 760 obat-obatan, dipakai sebagai pedoman utama untuk ilmu kedokteran Barat. Pada abad 12 sampai dengan abad ke-17 M dengan demikian tidak mengherankan jika potret Ibn Sina dan al-Razi dijadikan hiasan diruang besar Fakultas Kedokteran Universitas Persia.

4.      Imu Kimia

Ilmu kimia juga termasuk salah satu ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum muslimin. Dalam bidang ini mereka memperkenalkan eksprimen obyektif, hal ini merupakan suatu perbaikan yang tegas dari cara spekulasi yang ragu-ragu dari Yunani. Mereka melakukan pemeriksaan dari gejala-gejala dan mengumpulkan kenyataan-kenyataan untuk membuat hipotesa dan untuk mencari kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar berdasarkan ilmu pengetahuan.

Tokoh dalam ilmu kimia adalah Jabir ibn Hayyan. Ia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia pun mencurahkan seluruh tenaganya untuk meneliti hal itu. Ia mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa dan aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak. Selain itu ia telah memperbaiki teori Aristoteles mengenai campuran logam, sehingga teori-teori itu berlaku hingga zaman permulaan ilmu kimia modern.

Selain ilmu kedokteran dan kimia masih banyak ilmu lain yang dikembangkan kaum muslimun saat itu, seperti matematika dan astronomi yang tidak diuraikan dalam buku ini.

5.      Matematika

Selain-ilmu-ilmu di atas yang berkembang pada masa Bani Abbasyiah  adalah ilmu hisab atau matematika. Ilmu ini berkembang karena kebutuhan dasar matematika untuk menentukan waktu yang tepat dalam setiap pembangunan. Semua sudut harus dihitung dengan tepat, supaya tidak terdapat kesalahan dalam pembangunan gedung-gedung dan sebagainya.

Pada mulanya, ilmu matematika yang dikembangkan umat Islam berasal dari berbagai saduran dan terjemahan karya-karya bangsa Yunani-Romawi dan India. Ketika Hajjaj ibn Yusuf menjadi gubenur di Persia, ia banyak menemukan manuskrip (naskah) ilmuan terkenal, seperti Euclides (ahli matematika yang hidup pada tahun 300 SM) bejudul elements yang sudah diterjemahkan kemudian diserahkan kepad Khalifah Harun al-Rasyid. Pengetahuan umat Islam  dalam bidang matematika diperkaya dengan warisan ilmu dari India, misalnya buku berjudul Zij al-Shindhind yang diterjemahkan dan disadur oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari. Karya ini kemudian diserahkan kepada khalifah al-Mansur. Ringkasan dari buku ini kemudian disadur dan dikembangkan oleh Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (780-850 M) menjadi sebuah ilmu hitung atau metematika bidang al-Jabar, yang mengabadikan namanya dalam ilmu logaritma.

6.      Sejarah

Selain ilmu pengetahuan tersebut di atas, umat Islam pada masa pemerintahan Bani Abbas mengembangkan ilmu sejarah. Pada masa ini, kajian sejarah masih terfokus pada tokoh atau peristiwa tertentu, misalnya sejarah hidup nabi Muhammad saw. Minat pada kajian bidang ini sangat besar, sehingga para khalifah pun banyak memberikan dukungan moral dan material, sehingga menghasilkan karya besar dalam ilmu sejarah. Dalam perkembangan awal, para ilmuan atau sejarawan tidak hanya menjadikan hadits, berupa perkatan dan perbuatan nabi Muhammad saw, dalam menentukan suatu hukum, juga masalah kronologis peristiwa tertentu. Dari sinilah lahir karya besar yang ditulis oleh sejarawan kenamaan, misalnya Muhammad ibn Ishaq (w. 152 H / 768 M). Ia berhasil menyusun kitab Sirat al-Nabawiyah Li ibn Ishaq, yang kemudian disunting oleh muridnya, ibn Hisyam (w. 230 H / 845 M), menjadi Sirah al-Nabawiyah li ibn Hisyam. Ilmuan lainnya yang juga berkecipung di dalam bidang sejarah adalah al-Waqidi (w. 208 H / 823 M), Muhammad ibn Sa’ad (w. 230 H / 845 M) yang menulis karya berjudul al-Thabaqat al-Kubra sebanyak 8 (delapan) jilid, dan Abu Ubaidah (w. 825 M).

7.      Ilmu Bumi

Dalam tradisi Islam, ilmu bumi tidak dapat dipisahkan dengan astronomi. Ahli ilmu bumi pertama dalam sejarah Islam adalah Hisyam al-Kalbi, yang termasyhur pada abad ke-9 M, khususnya dalam studinya mengenai kawasan Arab. Upaya al-Kalbi ini kemudian diikuti oleh beberapa orang ahli ilmu bumi lainnya,seperti Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi. Al-Khawarizmi ini tidak hanya melakukan revisi (kajian ulang) mengenai teori Ptolemaeus tentang geografi, juga mengoreksinya dalam beberapa rincian. Bersama 70 orang ahli bumi, al-Khawarizmi membuat peta dunia (globe) pertama pada tahun 830 M. Dia juga dilaporkan telah mengukur volume dan keliling bumi atas perintah Khalifah al-Makmun. Di antara karyanya berjudul Kitab Surah al-Ard  (Morfologi Bumi), sebuah koreksi atas karya Ptolemaeus, merupakan landasan ilmiah bagi para ahli ilmu bumi muslim sesudahnya.

Usaha al-Khawarizmi dilengkapi oleh al-Muqaddasi Abu Abdillah (w. 985) dengan melakukan pengembaraan panjang selama dua puluh tahun mengunjungi banyak negara, sehingga menghasilkan sebuah ensiklopedi ilmu. Kemudian pada abad ke-10, al-Astakhri menerbitkan buku geografi negeri-negeri Islam dengan peta berwarna. Al-Biruni pada awal abad ke 11, M melengkapi karya al-Astakhri ini dengan menerbitkan buku geografi Rusia dan Eropa Utara. Selain itu, al-Biruni juga memberikan sumbangan besar dalam bidang geologi dan geografi, terutama tentang ledakan geologis dan metalurgi, hingga pengukuran lintang bujur, serta metode menentukan posisi relatif suatu tempat terhadap tempat yang lain.

8.      Astronomi

Muhammad al-Fazani adalah seorang astronom resmi pertama pemerintahan khalifah Abbasiyyah, yang mengoreksi tabel yang ada berdasarkan teks astronomi India Shiddanta yang ditulis oleh Bramanagupta. Kitab ini merupakan rujukan utama hingga masa khalifah al-Makmun, ia juga mengarang beberapa syair astronomis dan dikenal sebagai pembuat astrolob pertama di kalangan muslim.

Selain al-Fazani, banyak ahli astronomi yang bermunculan saat itu, diantaranya adalah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (w. 847 M). Selain astronom, ia juga seorang ahli matematika. Dialah pembuat tabel astronomi Zij as-Sindin (tabel India) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Adelard dari Bath dan sangat populer di Eropa pada abad pertengahan.

Sementara Habasyi al-Hasib al-Marwazi telah melakukan observasi sejak usia lima belas tahun. Ia memimpin penyusunan tiga tabel Zij al-Makmun (tabel al-Makmun) pada masa pemerintahan khalifah al-Makmun. Tabel pertama mengkritik metode al-Khawarizmi, kedua menulis tentang al-Zij asy-Syah. Al-Mawarzi juga menulis beberapa karya astronomi yang dikutip dalam Fuhrist (indeks) karya al-Nadim. Selain mereka, masih banyak lagi astronom muslim yang hidup pada zaman pemerintahan Abbasiyyah; misalnya al-Farghani, al-Battani, al-Biruni, Abdurrahman al-Sufi, yang menulis banyak buku tentang astronomi, seperti al-Kawakib (planet-planet), al-Tazkirah, (pengingat) dan Matarib al-Syu’arat  (tempat-tempat sinar). Ia juga mencatat observasi astronomi atas ribuan bintang dan membuat gambar banyak planet.

Faktor Kemajuan dan Kemunduran ilmu pengetahuan

1.      Faktor Kemajuan

Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, bahwa pada bagian sebelumnya, diantara faktor yang memberikan dorongan kuat bagi terciptanya kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam pada masa pemerintahan Bani Abbas adalah kebijakan pemerintah dan keinginan kuat para ilmuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam kata lain, paling tidak ada dua faktor utama yang menjadi penyebab kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Bani Abbas, yakni faktor internal dan fakor eksternal.

Faktor internal adalah kebijakan pemerintah, terutama soal pengembangan ilmu pengetahuan dan sains, yang dikeluarkan oleh Abu Ja’far al-Mansur, Harun al-Rasyid, al-Makmun dan lain-lain, memberikan dorongan kuat bagi para ilmuan untuk melakukan eksprimen. Sedangkan  faktor eksternal adalah usaha menyalin ilmu-ilmu pengetahuan dan sains yang pernah berkembang di masa-masa sebelumnya, baik dari bangsa Yunani, Romawi, Persia, India dan Babilonia. Usaha ini menumbuhkan semangat dan minat serius para ilmuan untuk melakukan eksprimen mndalam mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan sains.

Dari hasil eksprimen yang mereka lakukan, lahirlah ilmu-ilmu baru, seperti ilmu kimia, fisika, matematika, geografi, astronomi dan sebagainya. Tokoh yang terkenal dalam bidang kimia adalah Jabir ibn Hayyan dan al-Razi (Razes), bidang fisika adalah Abu Raihan Muhammad al-Bayruni (Biruni), bidang matematika Muhammad ibn Musa al-Khawarizmy, yang menulis buku al-Jabr wa al-Muqabalah, karyanya ini dikenal di dunia ilmu pengetahuan modern dengan sebutan ilmu al-Jabar. Ahli geografi adalah Abu Hasan Ali al-Mas’udi. Karyanya adalah Muruj al-Zahab, yang berisi tentang geografi, adat-istiadat, agama dan lain-lain.

Tokoh kedokteran yang mampu mengukir nama baik Dinasti Bani Abbasyiah adalah : Ibnu Sina dan al-Razi. Ia berhasil mengembangkan ilmu kedokteran dan menjadi salah satu tokoh terpenting dalam bidang ini, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat. Ibnu Sina di Barat dikenal dengan sebutan Aviecena. Di antara karya monumentalnya dan menjadi bahan rujukan para ahli kedokteran dinia hingga abad ke-18 adalah al-Qanun fi al-Thib, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin the Canon. Sementara itu, al-Razi di kenal sebagai dokter kenamaan di dunia Islam. Karyanya yang juga sangat monumental adalah al-Hawi, yang ditulis sebanyak 20 jilid. Buku ini menjadi bahan rujukan dan terpampng di perpustakaan kedokteran Perancis tahun 1395 M.

Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di duni Islam, khususnya pada masa pemerintahan Bani Abbas yang kemudian dikembangkan umat Islam di spanyol, juga dinikmati masyarakat dunia sat itu. Hal terbukti banyak di antara pelajar Barat yang mencari ilmu pengetahuan di pusat-pusat ilmu pengkajian dan perpustakaan Islam, sehingga mereka mentrasfernya ke dalam tradisi ilmu pengetahuan mereka. Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang maju pesat di dunia Islam, diserap dan dikembangkan di Barat. Dari transfer ilmu pengetahuan ini, terutama dalam bidang ilmu fisafat, sains dan sebagainya, masyarakat Barat mulai memasuki masa aufklarung (pencerahan) dan Renaisance (kembali untuk melacak akar-akar peradaban Yunani-Romawi). Dari sinilah bangsa Barat mengalami kemajuan pesat, hingga melampaui kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang pernah dikembangkan di dunia Islam.

2.      Faktor Kemunduran

Kemunduran ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Bani abbasyiah tidak lepas dari persoalan politik saat itu yang mengakibatkan goyangnya stabilitas politik pemerintahan baik di dalam negeri maupun diluar negeri.

Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah Islam sebelumnya, pada periode akhir masa-masa pemerintahan Bani Abbas selalu diwarnai gejolak politik, baik di dalam maupun di luar kota Bagdad. Konflik internal yang berkepanjangan di masa-masa akhir, khususnya pasca al-Musta’shim bi Allah, sangat berpengaruh bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan sains, meskipun saat itu upaya ini dapat dilakukan secara induvidual, tetapi bagaimanapun kebijakan dan situasi politik sangat berpengaruh. Karena itu, situasi politik dalam negeri tidak stabil, ditambah tidak adanya kebijakan pemerintah untuk memberikan dorongan bagi upaya ke arah tersebut, menyebabkan banyak ilmuan yang kurang bergairah lagi untuk berkarya di kota pemerintahan tersebut.

Kondisi ini semakin parah pasukan Hulaghu Khan yang tengah berusaha menguasai dunia, termesuk dunia muslim. Serangan bangsa Mongol pada 1258 M yang meluluh lentakkan kota Bagdad, menjadi faktor pemicu utama hengkangnya kaum intelektual muslimke wilayah lain. Pembumihanguskan kota perdaban ini membawa dampak negatif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan sains pada masa itu. Masyarakat muslim, khususnya kaum intelektual, tidak lagi tertarik tinggal menetap dan melakukan berbagai eksprimen dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan sains. Hal itu disbabkan, selain karena mereka juga menjadi sasaran amuk bangsa Mongol, juga tidak ada lagi kebebasan untuk berkarya.

Dampak dari serangan dan krisis politik tersebut, banyak ilmuan yang berimigrasi (hijrah) ke luar kota Bagdad, misalnya Persia, Mesir, Spanyaol dan lain-lain. Di kota-kota inilah kemudian mereka berkarya dan menghasilkan temuan-temuan baru.




























La Tansa

-          Keberhasilan Dinasti Bani Abbasyiah dalam mengembangkan kebijakan-kebijakanya tidak lepas dari bantuan semua komponen masyarakat yang ada di dalamnya
-          Kebijakan Bani abbasyiah yang selalu tidak mendistritsikan golongan satu dan lainnya telah memabawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang tentu saja membawa harum dinasti ini
-          Selain beberapa kebijakan di atas juga ada beberapa faktor  yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan Sains pada masa dinasti Abbasiyyah, faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

-          Kebijakan Politik Egalitarian (AL-Musawah)
-          Stabilitas Politik dan Motivasi Penguasa
-          Pusat Pemerintahan dan Kultur Yang Melingkupinya.

-          Di antara tokoh yang memberikan andil cukup penting di dalam prkembangan ilmu dan filsafat Islam adalah:

a.       Al- Kindi (185-260 H/ 801-873 M)
b.      Abu Nasr al-Faraby, (258-339 H / 870-950 M)
c.       Ibnu Sina ( 370-428 H / 980-1037 M)
d.      Ibnu Bajjah (w. 533 H / 1138 M)
e.       Ibnu Thufail (w. 581 H / 1186 M)
f.       Al-Ghazali (1059-1111 M)
g.      Ibnu Rusyd (520-595 H / 1126-1196 M)

- Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu adalah:
1.      Filsafat
2.      Ilmu Kalam
3.      Ilmu Kedokteran
4.      Imu Kimia
5.      Matematika
6.      Sejarah
7.      Ilmu Bumi
8.      Astronomi



Bagian
2


PRESTASI DINASTI ABBASIYYAH


Kemajuan Ilmu Pengetahuan Agama

Sebagaimana telah disampaikan pada pelajaran sebelumnya, bahwa pada masa Bani Abbasyiah bidang pendidikan telah mengalami kemajuan yang luar biasa. Hal itu disebabkan karena sebagian khalifah Abbasiyyah merupakan orang yang berpendidikan, sehingga mereka begitu serius memperhatikan masalah pendidikan dan pengajaran. Karena hanya dengan cara-cara seperti itu, peradaban dan umat Islam akan mengalami kemajuan.
Pada masa bani Abbasyiah inilah mayoritas umat Islam mampu membaca dan menulis, sehingga mereka dapat memahami Al-Qur’an, hadits dan ilmu agama lainya. Kegiatan ini mereka lakukan tidak hanya di masjid, juga di tempat-tempat umum, seperti maktab dan madrasah. Dari aktivitas itulah kemudian mereka melakukan berbagai kajian ilmu dalam berbagai bidang, baik ilmu agama maupun non-agama.
Pada masa itu pendidikan tidak hanya diikuti oleh anak-anak pada tingkat dasar, juga terdapat pendidikan tigkat menengah dan tingkat tinggi, seperti Baitul Hikmah dan madrasah nidzamiyah yang tidak hanya ada di Bagdad, juga ada di Persia. Madrasah ini didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir sultan Saljuk antara tahun 1065-1067 M dan merupakan pusat lembaga pendidikan agama yang terbesar pada masa dinasti Abbasiyyah.
Pendidikan pada tingkat dasar pada saat itu terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadits, prinsip-prinsip dasar matmatika dan pelajaran syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran tafsir al-Qur’an, pembahasan kandungan Al-Qur’an, sunnah nabi, fiqh dan ushul fiqh, kajian ilmu kalam (teologi), ilmu mantiq(retorika) dan kesussastraan. Kaum terpelajar tingkat tinggi mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri di bidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri, musik dan kedokteran.
Sementara itu kajian-kajian ilmuiah keagamaan pada saat itu telah melahirkan beberapa cabang ilmu, diantaranya adalah :

1.      Ilmu Hadits

Munculnya ilmu Hadits ini adalah Berawal dari kepentingan untuk melakukan penafsiran (interprestasi) terhadap Al-Qur’an, maka para penguasa Bani Umayyah melakukan pencarian, pengumpulan dan pembukuan hadits-hadits Nabi. Padahal sebelumnya, para sahabat dan tabiin masih berselisih paham mengenai perlu tidaknya membukukan hadits itu. Namun akhirnya perselisihan itu hilang dan berganti dengan kesepakatan bahwa pengumpulan hadits itu perlu dilaksanakan.

Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayyah, mempunyai rencana dan sekaligus melaksanakan pembukuan hadits itu. Dalam masa pemerintahannya, beliu telah memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad Ibn ’Amr Ib Hazm, gubenur Madinah, (w. 117 H) untuk mengumpulkan dan membukukan hadits. Hanya saja hasil pengumpulan itu tidak sampai kepada kita. Hal itu disebabkan antara lain karena Umar Ibn Abdul Aziz keburu meninggal setelah satu tahun memerintahkan Abu Bakar mengumpulkan hadits, sehingga karya itu belum dapat diselesaikan. Karenanya, hasil tersebut tidak dapat tersosialisasikan dengan baik. Meskipun begitu, usaha yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz patut dihargai. Karena ia telah membuka jalan bagi upaya penulisan dan pembukuan hadits yang dilakukan para ahli sesudahnya.

Pada pertengahan abad ke-2 H telah terjadi bentuk baru dalam pembukuan hadits, yaitu pembukuan yang berdiri sendiri terlepas dari sistematika fiqih dan tidak dimasukkan ke dalamnya aqwal al Shahabah dan Fatawa al Tabi’in, sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama pada pertengahan abad kedua hijriah. Pada abad ke-2 H mulai diadakan kritik hadits dan kritik terhadap sanad.

Di antara tokoh di bidang ilmu Hadits yang sangat terkenal saat itu adalah: al-Bukhari, lahir di Bukhara pada tahun 194 H pada masa kanak-kanak ia mampu menghafal 70.000 hadits. Beliu mengetahui sebagian besar tanggal lahir, wafat dan tempat tinggal para perawinya. Pada umur 17 tahun beliu sudah hafal dua kitab karangan Ibn al-Mubarak dan Waqi’. Di samping kuat ingatannya, al-Bukhari mampu mengkritik para sanadnya. Di dalam mengumpulkan hadits beliu berkeliling ke Balkh, Naisabur, Rai, Bagdad, Bashrah, Kuffah, Makkah, Madinah, Mesir, Damaskus, Hims dan Qaisariyah. Perjalan ini memakan waktu 16 tahun. Kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih. Beliu wafat pada tahun 256 H. Selanjutnya ialah muslim, beliu bertempat tinggal di Naisabur. Dalam rangka mengumpulkan hadits beliu pergi ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir dan berkali-kali ke Bagdad. Ketika al-Bukhari datang ke Naisabur, beliu datang kepadanya dan mengambil hadits darinya. Muslim mengumpulkan hadits dalam kitab hadits yang dikenal dengan nama Shahih Muslim.

Selain al-Bukhari dan Muslim masih ada lagi tokoh-tokoh hadits lain yang cukup terkenal, seperti Ibnu Majjah (wafat tahun 273 H), Abu Daud (wafat tahun 275 H), al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i.

Munculnya ilmuwan Hadits di atas dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan keagamaan, khususnya dalam dalam bidang ilmu hadits, mengalami perkembangan yang sangat signifikan (berarti) pada masa pemerintahan Bani Abbas. Perkembangan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor situasi sosial politik dan keagamaan yang relatif aman, juga disebabkan oleh kecenderungan kuat para ilmuan muslim untuk mengabdikan diri mereka bagi kepentingan umat dan kemajuan peradaban Islam.

2.      Ilmu Tafsir

Sebagaimana yang telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya bahwa ilmu tafsir merupakan bagaian dari ilmu agama yang sangat penting untuk dikaji agar orang Islam  dapat memahmi al-Qur’an. Oleh karena itu pada abad ke-3 H. Ilmu tafsir mulai disosialisasikan kepada seluruh umat Islam. Khususnya orang islam yang bukan berasal dari non Arab.

Sebagaimana  para ahli hadits yang ingin melakukan pencarian dan pembukuan hadits, para ahli tafsir (mufassir), juga melakukan hal yang sama. Mereka melacak informasi tafsir suatu ayat.

Para mufassirin dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan dua metode. Pertama, metode Tafsir bi al ma’tsur, yaitu metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara memberi interprestasi Al-Qur’an dengan hadits dan penjelasan para sahabat. Dalam perkembangannya, kelompok ini memasukkan juga  pendapat ahl al-Kitab yang telah masuk Islam, juga pendapat orang-orang yang menguasai kitab Taurat dan Injil. Hal ini memicu perselisihan diantara para ahli tafsir yang kemudian memunculkan kelompok ke dua yang melakukan penafsiran Al-Qur’an dengan melihat kepada bahasa dan arti lafdzi, sehingga muncul kamus-kamus bahasa yang digunakan untuk mendalami arti, ahwal, alfadz dan memperjelas struktur kata yang sulit. Metode yang ke dua disebut Tafsir Dirayah atau Tafsir bi al-Ra’yi atau bi al-aqli, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada hadits. Pada masa Bani Abbas ini ditandai dengan munculnya kelompok Mu’tazilah yang tidak terikat oleh al-Hadits maupun aqwal al-Sahabah.

Di antara tokoh-tokoh mufassir bi al-ma’tsur adalah; al-Thabary, al-Suda, Muqatil Ibn Sulaiman. Al-Thabary dikenal sangat teliti dalam meriwayatkan, baik yang datang dari rasul, sahabat dan tabi’in. Beliu menulis tafsir yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz. Al-Suda, menyandarkan tafsinya pada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan sahabat-sahabat lain. Beliu wafat tahun 127 H. Sementara Muqatil Ibn Sulaiman dalam melakukan analisis tafsirnya, selain menyandarkan pada para sahabat, juga mengutip riwayat dari Taurat. Imam Syafi’i menganggap penting kitab ini, karena apa yang dianalisisnya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diketahui oleh banyak orang. Dalam konteks ini beliu mengatakan bahwa tiap orang memerlukan tiga hal, yaitu al-Muqatil dalam tafsir, Ali Zuhair Ibn Abi Salam dalam Syi’ir, dan Abu Hanifah dalam ilmu kalam.

Pada masa Bani Abbas, al-Qur’an sudah menjadi sumber bacaan (referensi) bermacam-macam ilmu. Sebagai contoh, para ahli bahasa telah menitikberatkan kaidah-kaidah Nahwu dalam al-Qur’an, ahli sejarah menitikberatkan pada berita-berita yang berhubungan dengan sejarah hidup nabi Muhammad, para ahli ilmu peradaban Islam mengkaji dari al-Qur’an unsur-unsur pikiran Islam yang penting dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.

3.      Ilmu Fiqh

Pada mana Bani abbasyiah para fuqaha’ mampu menyusun kitab-kitab fiqh terkenal hingga saat ini, misalnya Abu Hanifah (w. 150 H) menyusun kitab Musnad al-Imam al-A’dham atau fiqh al-Akbar,  Imam Malik (150-204 H), menyusun kitab al-Uml dan al-Fiqh al-Akbar fi al-Akbar fi al-Tauhid, Ibn Hambal (780-855 M) menyusun kitab al-Musnad.

Dalam kajian ilmu fiqihpun pendekatannya menggunakan dua cara, yaitu ahl-al-hadis dan ahl al-ra’yi. Ahl al-Hadis yaitu golongan yang menyandarkan kepada hadis dalam mengambil hukum (istinbath al-hukm). Pemuka golongan ini adalah Ahmad Ibn Hanbal. Sementara ahl al-ra’yi, adalah golongan yang menggunakan akal di dalam mengambil hukum (istinbath al-hukm). Salah seorang tokoh dalam bidang ini adalah Abu hanifah.

Pada saat itu ada sedikit konflik perihal mengambilan hukum. Konflik ini berkisar pada seputar pembahasan antara al-Sunnah, al-Qiyas, Ijma’ dan Taklif. Para ahli yang bertikai itu berpandngan apakah al-Sunnah merupakan satu sumber diantara sumber pengambilan hukum sebagai penyempurna al-Qur’an? Jika ya, bagaimana melaksanakannya? Selain itu, adalah al-Qiyas dan al-Ra’yi. Apabila tidak terdapat di dalam nash al-Qur’an dan al-hadis, apa diperbolehkan menggunakan akal?. Hal lain yang menjadi perdebatan  lebih lanjut adalah, soal ijma’. Apakah Ijma’ temasuk salah satu sumber pengambilan hukum fiqh? Begitu juga soal taklif yang diambil dari dua asal fi’il amr dan fi’il nahyi, apakah wajib?

Dari pertentangan itu, lahirlah ilmu Ushul al-Fiqh. Berbeda dengan masa sebelumnya, masa ini hasil pemikiran para fuqaha’ telah dibukukan dan kemudian disebarluaskan oleh murid-murid mereka ke berbagai penjuru dunia Islam.

Dari konflik intern ulama’ fiqih inilah lalu lahir, madzhab-madzhab dalam fiqih. Dan  madzhab-madzhab tersebutlah yang akhirnya dijadikan pegangan sampai sekarang: dianatara  madhab-madzhab tersebut adalah :

a.       Imam Abu Hanifah (80-150 H / 699-767 M)

Nama lengkapnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauthy. Beliu dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/ 699 M ketika Bani Umayyah mengalami masa kejayaannya. Imam mazhab yang dikenal sebagai saudagar penjual pakaian di Kufah ini hidup di antara dua masa, yaitu penghujung dinasti Bani Umayyah dan awal dinasti Bani Abbasiyyah. Beliu sempat berjumpa dengan Imam Anas bin Malik dan meriwayatkan hadisnya. Beliu sangat ketat  dalam penerimaan hadis. Beliu tidak mudah menerima hadis tanpa disertai dengan sikap kritis.

Dasar atau pokok pegangan mazhab yang dibangunnya adalah al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas dan istihsan. Al-Qur’an baginya adalah dasar hukum partama dalam menetapkan hukum. Jika tidak dijumpai dalam al-Qur’an, maka dasar hukum diambil dari sunnah. Jika tidak dijumpai dalam sunnah, maka diambil ijma’, yakni kesepakatan sahabat tentang pemaknaan atas al-Qur’an dan sunnah. Jika dalam ijma’ tidak dijumpai ketetapan hukum atas suatu perkara, maka digunakanlah qiyas. Apabila ketetapan suatu hukum tidak dijumpai dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas, maka digunakan istihsan.
Di antara karya Imam Abu Hanifah dalam bidang fiqih adalah al-fiqh al-Akbar, yang berisi pengetahuan tentang Allah SWT. Kitab fiqh Imam Hanafi peringkat pertama membahas masalah ushul yang disebut Zahir al-Riwayah, yang membicarakan masalah hukum yang diriwayatkan dari sahabat mazhab ini, yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad.

b.      Imam Malik (93-179 H / 716-795 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi. Beliu salah seorang keturunan Yaman, lahir di Madinah pada masa khalifah al-Walid bin Abdul Malik tahun 93 H ? 716 M dan wafat pada masa Harun al-Rasyid tahun 179 H / 795 M. Beliu terkenal dengan sebutan Imam Dar al-Hijrah, yang menjadi panutan penduduk Madinah. Kepakarannya dalam bidang ilmu fiqih dan ilmu hadis  setelah tabi’in, juga terkenal, sebagaimana tercermin dalam karyanya al-Muwaththa.

Imam Malik berguru mrnuntut ilmu dari Nafi Maula bin Amr (w. 117 H / 735 M) dan Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 124 H /742 M). Gurunya dalam bidang fiqih adalah Rabi’ah bin abdurrahman yang dikenal dengan nama Rabi’ah al-Ra’yi (w. 136 H / 753 M). Dalam hal lain, Imam syafi’i menganggap Imam Malik sebagai gurunya, karena beliu sempat menuntut ilmu dan bertanya banyak hal kepada Imam Malik.

c.       Imam Syafi’i (150-204 H / 767-820 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Hasyimi al-Muthalibi bin Abbas bin Usman bin As-Syafi’i. Lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 H / 767 M dan wafat di Mesir pada tahun 204 H / 820 M. Sejak kecil ia telah mnjadi yatim. Kemudian diajak ibunya pergi ke Makkah, tempat kelahiran nenek moyangnya. Sejak usia kanak-kanak beliu telah hafal al-Qur’an dan belajar sastra Arab dari sastrawan terkenal di pedalaman (al-Badiyah) kepada al-Huzail, hingga beliu menguasai  bahasa dan sastra Arab dengan baik. Bahkan dalam usia 15 tahun beliu telah diizinkan oleh gurunya, Muslim bin Khalid, seorang mufti Makkah untuk mengeluarkan fatwa. Setelah itu, beliu pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas. Di kota ini beliu belajar dengan Imam Malik dan mengkaji kitab al-Muwaththa dengan baik. Bahkan dalam tempo 9 malam beliu telah menghafal keseluruhan isi kitab tersebut dengan baik.

Setelah itu beliu melakukan pengembaraan ilmiahnya ke Yaman, Bagdad (182-195 H / 798-811 M), Makkah (187-195 H / 803-811 M) untuk berguru kepada Imam Ahmad bin Hambal mengenai ilmu fiqih dan ushul fiqih, hingga Mesir (200-204 H / 816-820 M). Di kota-kota inila beliu banyak bertemu dengan para ahli dalam berbagai bidang pengetahuan, sehingga wawasannya semakin bertambah. Di Bagdad, Imam Syafi’i menulis buku berjudul al-Hujjah, yang kemudian dikenal dengan istilah qalul qadim. Setelah kepergiannya ke Mesir, beliu mengarang mazhabnya yang baru.
Pokok mazhabnya secara berturut-turut merujuk kepada al-Qur’an, sunnah, ijma, dan qiyas. Beliu tidak mengambil  aqwal al-shahabah sebagai rujukan. Menurutnya, pendapat para sahabat adalah ijtihad yang mengandung kemungkinan salah dan benar. Beliu juga meninggalkan praktik istihsan yang dipakai oleh mazhab Malikiyah dan Hanafiyah. Di antara karyanya yang sangat monumental adalah  al-Umm dan al-Risalah.

d.      Imam Hanbali (164-241 H / 780-855 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah atau Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Lahir di Bagdad pada tahun 164 H / 780 M. Dalam perjalanan hidupnya, beliu banyak melakukan pengembaraan ilmiah untuk menuntut ilmu pengetahuan dari para ulama terkenal saat itu. Ketika berada di bagdad, beliu berguru kepada Imam Syafi’i. Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengalami masa-masa pahit ketika al-Makmun berkuasa. Beliu mengalami mihnah (ujian khusus bagi para hakim dan ulama mengenai kemakhlukan al-Qur’an), yang menyebabkan beliu di penjara karena tidak mau mengakui kemakhlukan al-Qur’an.

Pokok mazhabnya sama dengan mazhab Syafi’i yaitu al-Qur’an, sunnah, fatwa sahabat, ijma’,qiyas, istishab, almashalihul mursalah dan al-Zara’i. Beliu tidak menulis kitab fiqih, melainkan para muridnyayang menghimpun pemikirannya dikemudian hari. Meskipun begitu, beliu dikenal sebagai penulis kitab hadis, yaitu Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, yang memuat 40.000 hadis. Selain itu, beliu dikenal sebagai seorang tokoh yang menerima argumentasi dengan hadis mursal dan hadis dho’if  hingga klafisikasi hadis hasan.

Pemikiran para ahli fiqih tersebut kemudian tersebar melalui pemikiran murid-murid mereka yang ada di seluruh penjuru dunia Islam saat itu. Sehingga pemikiran para imam mazhab fiqih tersebut dikenal dan dipraktekkan di dalam kehidupan masyarakat muslim sehari-hari.

4.      Tasawuf

Pemikiran yang bersifat filosofis menimbulkan gejolak pemikiran di antara umat Islam pada masa itu, sehingga banyak diantara pemikir muslim mencoba mencari bentuk gerakan pemikiran lain, seperti tasawuf. Situasi politik dan perdebatan kalam, menjadi salah satu faktor penyebab banyak ulama Islam mencari jalan menuju Tuhan melalui pendekatan tasawuf. Mereka berusaha mendekatkan diri pada Tuhan melalui jalan atau tahapan-tahapan yang disebut maqam. Maqam-maqam inilah yang dijadikan dasar para sufi untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Para sufi banyak meninggalkan kenikmatan duniawi dan kesenangan sesaat, sehingga kegiatan mereka hanya berkisar pada kegiatan beribadah kepada Allah SWT. Tahapan atau maqam yang mesti dilalui oleh para sufi adalah;

  1. Zuhud, yaitu kehidupan yang telah terbebas dari materi duniawi. Setelah tahapan inilah baru seseorang bisa meninggalkan dirinya sebagai seorang sufi. Salah seorang tokoh sufi yang masuk ke dalam katagori ini adalah Sufyan as-Sauri (97-161 H / 716-778 M), Abu Hasyim, (w. 150 H), dan Jabir bin Hasyim (w. 190 H). Mreka telah menjadi sufi karena telah meninggalkan kehidupan dunia yang bersifat materialistis.
  2. Mahabbah, yaitu rasa cinta yang sangat dalam kpada Allah SWT. Dalam tahapan ini seorang zahid harus menambah kecintaannya yang mendalam kepada Allah SWT. Salah seorang tokoh yang terkenal dalam hal ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H / 801 M). Baginya zuhud harus dilandasi oleh mahabbah. Sebab kepatuhan kepada Allah SWT bukanlah tujuannya, karena ia tidak mengharapkan nikmat surga dan takut siksa neraka, tetapi ia mematuhi-Nya karena cinta yang mendalam kepada-Nya
  3. Ma’rifat, yaitu pengalaman ketuhanan. Pembicaraan tentang ma’rifat telah terlihat pada ucapan Zun nun al-Misri lahir di Akhmim pada tahun 155-245 H / 772-860 M. Pada tahun 214 H / 829 M ia ditangkap dengantuduhan melakukan bid’ah dan dikirimkam ke Bagdad untuk dipenjarakan. Tetapi setelah diadili, khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan di Mesir.
  4. Fana  dan Baqa, yaitu suatu keadaan dimana seorang sufi belum dapat menyatukan dirinya dengan Tuhan sebelum menghancurkan dirinya. Tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan masalah ini adalah Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M)
  5. Ittihad dan hulul, yaitu fase di mana seorang sufi telah merasakan dirinya bersatu dengan Tuhan. Tokoh sufi yang masuk ke dalam kategori ini adalah Abu Yazid al-Bustami. Sementara hulul adalah suatu fase di mana Tuhan, dalam kaum sufi, telah bersemayam dalam diri manusia. Tokoh sufi yang masuk ke dalam kategori ini adalah al-Hallaj (244-309 H / 859-913 M).

Selain mereka yang telah disebutkan diatas, masih banyak terdapat sufi lain yang terkenal, di antaranya adalah Imam al-Ghazali (w. 1111). Selain sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai filosuf dan mutakallim. Di antara karya besarnya dalam ilmu tasawuf adalah  ihya Ulum al-Din.















Bagian
1


KEMUNDURAN DINASTI BANI ABBASIYYAH


Sebab-sebab Kemunduran Dinasti Bani Abbasiyyah

Dinasti Bani Abbasyiah berkuasa dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu mulai dari tahun 132-656 H / 750-1258 M. Masa yang begitu lama tidak selalu membuat kerajaan tersebut berada diatas angin. Dinasti Bani Abbasiyyah mengalami pasang naik dan pasang surut. Keadaan ini terus menyelimuti kekuasaan dinasti bani Abbasiyyah hingga pada akhirnya kerajaan ini  mengalami kemunduran dan kehancuran pada tahun 1258 M, akibat serangan brutal yang dilakukan oleh tentara Hulugu Khan. Dalam catatan sejarah Islam, terdapat beberapa faktor penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Abbasiyyah, berikut faktor-faktor tersebut;

A.    Disintegrasi Politik

Persoalan disintegrasi politik ini sebenarnya bukan hanya terjadi di dalam pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyyah, juga terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah, dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Hanya saja semua persoalan tersebut pada awalnya dapat diatasi, tetapi lama-kelamaan persoalan disentegrasi politik tidak dapat diatasi lagi, sehingga Dinasti Bani Abbasiyyah mengalami kemunduran dan kehancuran.

Puncak disentegrasi politik kekuasaan pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah mengalami puncaknya ketika para khalifah tidak lagi memiliki kekuatan politik untuk menekan gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh lawan politik yang tidak menyukai kepemimpinan para khalifah tersebut. Hal itu disebabkan antara lain, karena pada masa-masa akhir kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyyah para khalifahnya tidak memiliki kekuatan dan hanya sebagai simbol kekuasaan saja. Mereka menjadi boneka para penguasa yang mengusai roda pemerintahan saat itu, seperti penguasa Bani Buwaihiyah, Bani Saljuk dan para perwira tinggi Turki lainnya. Hal itu diperparah dengan banyaknya daerah yang mencoba melepaskan diri dari pusat kekuasaan di Bagdad. Dalam kata lain, disintegrasi politik dan kekuasaan pemerintahan Bani Abbasiyyah muncul dalam beberapa bentuk. Berikut uraian singkatnya.

Pemberontakan

Sebagaimana sejarah yang telah kita pelajari sebelumnya, bahwa pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, hampir semua khalifah mengalami masa-masa pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kepemimpinan para khalifah-khalifah tersebut. Sebagian pemberontakan itu dapat diatasi, sehingga tidak menimbulkan kegoncangan sosial politik dan ekonomi. Tetapi sebagian lagi tidak dapat diatasi dengan baik, sehingga membawa dampak negatif bagi pemerintahan dan perekonomian negara. Diantara pemberontakan yang sempat menimbulkan kegoncangan sosial politik adalah sebagai berikut;

a). Pemberontakan Kaum Zanj

Bangkitnya Dinasti Bnai Abbasyiah tidak lepas dari peran politik yang dimainkan oleh kelompok syi’ah. Akan tetapi, setelah kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bani Abbas, peran mereka sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Bahkan mereka tidak dapat menikmati hasil perjuangan yang telah dilakukan bersama Abul Abbas dari Bani Abbas. Mereka disingkirkan dan tidak lagi diajak bermain di dalam proses pengembangan kekuasaan. Akibatnya mereka kecewa dengan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah Bani Abbas.

Akibat dari rasa kekecewaan mereka, kelompok Syi’ah membentuk oposisi (perlawanan) untuk memusuhi para penguasa dan pendukung kekuasan Bani Abbas. Dalam catatan sejarah ditemukan bahwa pada tahun 869 M diakhir masa pemerintahan al-Mu’taz, bangkit kaum Zanj di bawah pimpinan Ali bin Muhammad untuk melakukan pemberontakan.

Pemberontakan kaum Zanj ini berjalan cukup lama, mulai dari tahun 870-883 M. Ini artinya, hampir separuh masa awal pemerintahan khalifah al-Mu’tamid (256-279 H / 870-892 M), dihabiskan untuk mengatasi pemberontakan kaum Zanj ini baru dapat diatasi dan ditumpas secara tuntas pada masa pemerintahan khalifah al-Muwaffaq pada tahun 893 M.

b). Gerakan Kelompok Qaramithah

Hamdan Qarmath salah seorang tokoh golongan Syi’ah Islamiyah memimpin pemberontakan di Irak. Gerakan ini dilakukan untuk kekuasaan khalifah al-Mu’tamid (256-279 H / 870-892 M). Pada tahun 899 M, kaum Qaramithah berhasil mendirikan sebuah wilayah merdeka di Teluk Persia. Wilayah ini kemudian dijadikan basis kegiatan mereka untuk menentang kekuasaan Bani Abbas. Sekitar tahun 902 M, pemberontakan yang dipimpin oleh Abul Fawaris berhasil memasuki wilayah Syiria dan Palestina. Tetapi gerakan mereka terhenti ketika ingin melakukan penjarahan diwilayah Kufah pada tahun yang sama. Abul Fawaris, pimpinan pemberontak ini berhasil ditawan dan kemudian dihukum mati. Meskipun pimpinan mereka telah tewas, tetapi gerakan mereka tetap berjalan, sehingga pada tahun 930 M kelompok ini berhasil memasuki wilayah kota makkah. Ketika mereka ingin kembali ke basis kekuatan mereka, kelompok ini beehasil membawa lari hajar aswad. Batu keramat ini baru dapat direbut dan dikembalikan ke tempat asalnya semula setelah batu itu berada di luar kota Makkah selama lebih kurang 20 tahun.

Gerakan kelompok ini telah memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kekuasaan pemerintahan dinasti Bani Abbasiyyah. Karena sedikit banyak mempengaruhi jalannya pemerintahan dan perekonomian negara itu. Paling tidak, memperlemah sistem pemerintahan dan perpolitikan dalam negeri.

c). Gerakan Kelompok Assasins

Selain gerakan di atas, juga ada lagi kelompok Assasins. Kelompok  ini dapat dikatagorikan sebagai kelompok sparatis atau sempalan yang melanjutkan tujuan dari gerakan Qaramithah. Karena kelompok ini secara ideologis beraliran Syi’ah, sama seperti gerakan Qaramithah. Kelompok gerakan ini dipimpin oleh Hasan bin Sabah (w. 1124 M). Basis gerakan kelompok ini berada di kota Alamut, suatu tempat yang terletak di sebelah Selatan Laut Kaspia. Kelompok ini melancarkan gerakan karena meraka kecewa dengan ljalannya pemerintahan di Bagdad, karena tampuk pemerintahan sudah tidak lagi dipegang oleh orang-orang yang layak menjadi pemimpin.

Dalam pandangan mereka, pemerintahan yang dipegang oleh para penguasa saat itu tidak berjalan dengan baik, karena banyak diantara mereka tidak lagi berpegang pada prinsip-prinsip pemerintahan yang benar. Pemborosan keuangan negara oleh para pembesar negeri, menyebabkan perekonomian umat Islam merosot tajam. Para penguasa berfoya-foya menghabiskan uang negra yang berasal dari rakyat.

Selain persoalan tersebut di atas, tampaknya kelompok ini melakukan gerakan perlawanan sebagai bentuk kekecewaan mereka, karena kelompok Syi’ah tidak dilibatkan dalam pemerintahan. Karena itu, wajar kalau kemudian mereka melakukan gerakan anti pemerintah Bagdad.

Dalam usaha mewujudkan cita-cita gerakan ini, kelompok Assasins tidak segan-segan melakukannya dengan cara-cara kekerasan. Bahkan seringkali dilakukan dengan menghabisi nyawa lawan-lawan politik yang mereka anggap menghambat keinginginan mereka. Salah seorang pembesar pemerintahan yang menjadi sasaran mereka adalah Perdana Menteri Nizamul Muluk, seorang kepala pemerintahan Bani Saljuk yang ketika itu menguasai Bagdad.

Sama halnya dengan kelompok-kelompok pemberontak lain, pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Assasins ini membawa dampak yang kurang baik bagi jalannya pemerintahan Islam saat itu. Dalam perkembangan selanjutnya, pemberontakan ini berujung pada melemahnya sistem pemerintahan dan menciptakan situasi dan kondisi sosial politik yang tidak stabil. Kondisi ini lama-kelamaan memperlemah pemerintahan Dinasti bani Abbasiyyah.

Perebutan Kekuasaan

Sebagaimana yang telah kita baca dalam pelajaran sebelunya bahwa, pada masa-masa awal pemerintahan dinasti Abasiyyah, terlihat adanya indikasi perebutan kekuasaan di dalam keluarga khalifah. Di antara penyebabnya adalah kurang tegasnya para khalifah dalam menentukan putra mahkota. Contoh yang dapat dipelajari dari kenyataan ini adalah peristiwa perebutan kekuasaan antara al-Amin dengan al-Makmun. Masing-masing memiliki kelompok pendukung fanatik. Al-Amin yang beribukan orang Arab bernama Zubaidah, mendapat dukungan kuat dari klompok masyarakat Arab. Sementara al-Makmun yang beribukan orang Persia bernama Marajil, memiliki pendukung kuat dari kelompok masyarakat Persia.

Usaha saling merebutkan kekuasaan itu semakin tampak jelas ketika al-Amin memecat al-Makmun dari jabatannya sebagai gubenur di Khurasan. Posisinya sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak, digantikan oleh putra al-Amin yang masih kecil. Pemecatan dan pengangkatan putra mahkota ini menimbulkan amarah al-Makmun. Dengan kekuatan 40.000 personel tentara di bawah pimpinan Taher bin husein, titambah dengan dukungan perwira tinggi yang berasal dari Persia, akhirnya perang saudara tidak dapat dihindari. Kekuatan al-Amin yang berjumlah sekitar 10.000 personel tentara dapat dikalahkan dalam sebuah pertempuran di Ray pada tahun 811 M.

Kelompok al-Amin merasa bersalah setelah kemenangan ada dipihak al-Makmun. Akhirnya al-Amin menyatakan kalah dan menyerahkan kekuasaan kepada al-Makmun. Nasib al-Amin sungguh malang. Di tengah perjalanan menuju kota Merv di tepian sungai Tigris, segerombolan pasukan Persia berhasil membunuh Al-Amin sampai ke telinga al-makmun, dan ia menyesali peristiwa tragis tersebut. Sebab bagaimanapun ia adalah saudara seayah meski lain ibu. Kemudian al-Makmun memerintahkan kepada pengawalnya untuk mencari para pembunuh dan dihukum mati.

Peristiwa serupa juga terjadi pada masa pemerintahan khalifah al-Muntashir dan al-Mu’taz. Kedua orang ini adalah putra kandung Khalifah al-Mutawakil kecewa dengan kebijakan ayahnya yang lebih menyayangi dan mengutamakan al-Mu’taz, adik al-Muntashir. Terlebih ketika al-Mutawakil memberikan prioritas kepada al-Mu’taz untuk kedudukan khalifah daripada al-Muntashir. Kebijakan ini membuat al-Muntashir marah dan melakukan perbuatan makar dengan membunuh ayahnya lewat tangan al-Fath bin Kalqan, orang Turki. Setelah itu al-Muntashir berkuasa lebih kurang 6 (enam) bulan (247-248 H / 861-862 M).

Bagaimanapun perebutan kekuasaan di dalam istana membawa dampak yang negatif bagi pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyyah. Pada akhirnya juga memperlemah dan menghancurkan kekuasaan Bani Abbas.

Kedudukan khalifah yang lemah

Kekuasaan Dinasti Bani Abbasyiah nampak mulai melemah setelah kekhalifahan dipegang oleh al-Watsiq, al-Mutawakil dan sesudahnya. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempunyai kemampuan cukup untuk memimpin kerajaan. Mereka hanya menjadi boneka kekuasaan para wazir dan para menteri yang korup dan ambisius.
Kelemahan dan ketidakmampuan mereka dimanfatkan oleh para pejabat gubenur di berbagai propinsi untuk melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Sebagai contoh, sepeninggal al-Muntashir orang-orang Turki mengangkat al-Musta’in sebagai khalifah (248-252 H / 862-866 M). Sebagai seorang khalifah, mestinya ia memiliki kekuasaan penuh. Tapi nyatanya, ia banyak diatur oleh orang-orang Turki yang pernah mengangkatnya dan tidak diizinkan untuk menjalankan roda pemerintahan.

Realitas ini merupakan kondiasinyata dari peta politik kekuasaan pada masa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Abbasiyyah. Para khalifah tidak lagi memiliki kekuatan hukum dan poliotik untuk menentukan jalannya pemerintahan. Hal itu terjadi karena mereka hanya sebagai simbol kekuasaan dan bertindak hanya sebagai pejabat negara, bukan pejabat negara, bukan pejabat pemerintahan. Kenyataan ini sekali lagi menunjukan kelemahan-kelemahan khalifah Bani Abbas. Kelemahan ini tidak hanya membawa citra buruk bagi pemerintahan dinasti Bani Abbasiyyah, juga membawa dampak pad melemahnya sistem dan struktur pmerintahan. Pada akhirnya juga akan membawa pada kehancuran pemerintahan dinasti Bani Abbasiyyah.

Munculnya Kerajaan-kerajaan Kecil

Salah satu sebab munculnya kerajaan-kerajaan kecil pada masa Dinasti Abbasyiah adalah karena terlalu luasnya wilayah kekuasaan sehingga menyulitkan untuk mengadakan pengawasan. Peluang ini dimanfaatkan oleh para penguasa daerah yang jauh dari pusat pemerintahan untuk melepaskan diri dan kemudian menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Di antara kerajaan-kerajaan kecil yang dapat melepaskan diri adalah dinasti Bani Buwaihiyyah (945-1055 M), Dinasti Salajiqah (1037-1157 M).

Sementara Dinasti Bani Fathimiyah yang didirikan di Tunisia pada tahun (297-323 H / 909-934 M) oleh al-Mahdi. Dinasti ini bertahan cukup lama, hingga akhirnya dihancurkan oleh Shalahuddin al-Ayyubi.

Selain itu, terdapat daerah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan pusat Bagdad. Di antaranya yang sempat mendirikan kerajaan kecil adalah :
-          Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh Idris bin Abdullah (172-311 H / 788-932 M),
-     Dinasti Aglabiyyah didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab (184-296 H / 800-909 M), - Dinasti Thuluniyah, didirikan olehn Ahmad bin Thulun (254-292 H / 868-905 M), -  Dinasti Ikhsyidiyah, didirikan oleh nMuhammad bin Tugj (323-358 H / 935-969    M),
 -    Dinasti Hamdaniyah, didirikan oleh Hamdan bin Hamdan (293-394 H / 905-1004 M),
-     Dinasti Thahiriyah, didirikan oleh Thahir bin Husein (205-259  H / 821-873 M), --  Dinasti Shafariyah, didirikan oleh Ya’kub bin Layts al-Shaffar(254-290 H/867-903 M),
-     Dinasti Samaniyah, didirikan oleh Saman Khuda (261-389 H / 874-999 M).

Kemunculan kerajaan-kerajaan ini, sedikit banyak memperlemah kekuasaan dan wibawa kerajaan Bani Abbas. Sebab, paling tidak pemasukan dan pengaruh para khalifah Bani Abbas berkurang. Lama-kelamaan akan membawa kelemahan, kemunduran dan kemudian kehancuran Dinasti Bani Abbasiyyah.

A.    Krisis Ekonomi

Kemunduran yang terus berlangsnug pada akhir Dinasti Bani abbasyiah adalah karena diebabka faktor ekonomi. Krisis ini merupakan akibat langsung dari krisis politik yang terjadi pada saat itu. Sebab, pergolakan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah menyebabkan pendapatan negara yang terhambat masuk. Terhambatnya pemasukan kas negara dari berbagai pajak ini disebabkan banyak kelompok yang enggan membayar, bahkan ada beberapa wilayah yang dengan terang-terangan menytakan merdeka dan tidak lagi terikat dengan pemerintahan pusat di Bagdad. Di antara wilayah yang menolak dan menyatakan merdeka dari Bagdad adalah Tunisia dan kemudian Mesir ketika berada di bawah kekuasaan Dinasti Bani Fathimiyyah.

Krisis ekonomi yang terjadi ini disebabkan oleh membengkaknya jumlah pengeluaran negara yang dipergunakan untuk kepentingan kelompok istana. Semua pengeluaran diambil dari kas yang ada di Baitul Mal, sehingga jumlah uang yang ada pada kas tersebut terus berkurang. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika tidak ada lagi pemasukan dari kharraj (pajak bumi) dan jizyah (pajak perkepala/ jiwa), yang dipungut dari masyarakat, negara benar-benar mengalami krisis ekonomi yang sangat parah.

Akibat dari krisis ekonomi dan politik yang brkepanjangan,makaa masyarakat tidak lagi percaya kepada para pejabat pemerintah. Bahkan banyak pula di antara mereka yang kemudian menyusunkekuatan untuk melakukan kegiatan perlawanan terhadap pejabat pemerintah Bani Abbas. Gerakan-gerakan tersebut, seperti dikemukakan pada bagian terdahulu, memiliki dampak serius bagi kelangsungan pemerintahan Bani Abbas. Karena berimplikasi pada perekonomian negara. Lebih menyedihkan lagi, ketika negara mengalami krisis ekonomi seperti itu, para penguasa dengan seenaknya memakan uang negara untuk kepentingan diri dan kelompok masing-masing. Kondisi seperti ini terus brlangsung sejak masa-masa kemunduran Dinasti Bani Abbasiyyah hingga menjelang kehancurannya pada paruh pertama abad ke- 13 M.

a.      Ketergantungan pada Tentara Bayaran

Faktor lain yang menyebabkan semakin tambah melemahnya pemerintahan Dinasti Bani Abbasyiah adalah; ketergantungannya yang sangat tinggi kepada tentara bayaran. Sifat ketergantungan ini disebabkan antara lain oleh semakin canggihnya tegnologi perang, sehingga para khalifah tidak lagi bergantung pada kekuatan milisi. Para penguasa Dinasti Bani Abbasiyyah ini mulai melirik kepada kekuatan baru dalam upaya mempertahankan dan menjaga keamanan pribadi dan keluarga mereka. Mereka menginginkan adanya pengawal yang loyal, tegas dan berani menjalankan perintah atasan.

Sebagai konsekwensi dari pengangkatan tentara pribadi dan profesional itu, para khalifah harus memberi gaji atau bayaran yang sesuai dengan jabatan dan pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan demikian, pengeluaran dana belanja negara semakin bertambah. Perilaku ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh para khalifah, juga para gubenur. Bila mereka menginginkan keselamatan dan kekuasaan mereka terus bertahan, maka mereka harus mengangkat tentara bayaran.

Ketergantungan ini dimanfaatkan oleh para tentara bayaran yang kebanyakan berasal dari daerah Turki. Dengan kemampuan dan kelebihan yang mereka miliki, mereka dapat melakukan tawar-menawar dalam masalah tugas dan hak yang mereka akan peroleh. Biasanya para khalifah atau penguasa lokal tidak banyak pilihan, kecuali menerima tawaran mereka. Sebab, secara fisik mereka memiliki tubuh lebih besar dan sudah terbiasa dengan berbagai pertempuran.

Pada akhir pemerintahan dinasti Bani Abbasiyyah, banyak penguasa lokal yang memiliki tentara bayaran yang sangat loyal kepada atasannya. Perkembangan ini ternyata membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi para khalifah Bani Abbasiyyah. Sebab, banyak penguasa daerah memiliki tentara sendiri berusaha menentang kebijakan dan melakukan perlawanan. Gambaran ini dapat dilihat pada uraian sebelumnya bahwa banyak daerah yang telah berusaha memerdekakan diri dari pemerintah Bagdad.

Ketergantungan para khalifah Dinasti Abbasiyyah terhadap tentara bayaran akan sangat merugikan kelangsungan para khalifah dan kekuasaannya. Sebab, para tentara bayaran itu hanya akan mau menjalankan tugasnya bila mendapat bayaran yang besar dari atasannya. Bila khalifah tidak mau memberikan bayaran yang mereka tawarkan, maka mereka akan mengancam keselamatan khalifah dan keluarganya. Bahka mereka siap membunuh khalifah dan keluarganya, bila ada orang atau gubenur yang mau membayar lebih mahal.

Lama-kelamaan struktur sosial politik dan militer yang telah dibangun pemerintah Abbasiyyah semakin melemah. Hal ini disebabkan karena ketergantungannya pada tentara bayaran.  

Hancurnya Dinasti bani Abbasyiah

Multi krisis yang dialamai oleh pemerintahan Dinasti Bani Abbasyiah membuat semakin melemahnya kekuatan politik pada pemerintahan yang dipimpinnya. Kepercayaan dari berbagai pihak telah bekurang. Setelah mengalami perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya dinasti Bani Abbasiyyah mengalami masa keruntuhan dan kehancuran. Padahal dinasti ini berkuasa cukup lama (132-656 H / 750-1258 M), hampir 6 (enam) abad. Tetapi akibat manajemen pemerintahan yang tidak baik ditambah banyaknya pemberontakan dan krisis ekonomi berkepanjangan, dinasti ini harus mengalami nasib pahit dihancurkan oleh tentara Hulugu Khan pada tahun 1258 M.
Keberhasilan pasukan Mongol dalam menguasai kota Bagdad pada tahun 1258 M. bukan saja mengakhiri kekhalifahan Abbasiyyah, juga merupakan awal dari kemunduran politik dan kehancuran peradaban Islam. Sebab, kota Bagdad yang merupakan simbol peradaban dunia ketika itu dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam, luluh lantak di tangan kelompok masyarakat brperadaban rendah itu. Dengan kekuatan 200.000 personel militer, Hulughu Khan memasuki pintu kota Bagdad pada tahun 656 H / 1258 M. Kekuatan itu tidak dapat dibendung oleh khalifah al-Musta’shim, sebagai penguasa terakhir Bani Abbas. Sehingga pasukan Hulughu Khan dengan leluasa memporak-porandakan kota Bagdad yang dikenal sebagai kota seribu satu malam tersebut. Pusat-pusat peradaban dan peninggalan Islam dibumihanguskan tentara Hulughu Khan. Tidak hanya itu, masyarakat muslim juga menjadi sasaran biadab tentara Mongol. Mereka yang selamat berusaha melarikan diri dan menghindari kota Bagdad. Para ilmuan dan ulama banyak melarikan diri ke kota-kota lain, seperti Isfahan, Khurasan dan sebagainya.
Kehancuran kota Bagdad sebenarnya tidak sedahsyat itu, bila tidak ada penghianatan dari dalam. Diceritakan bahwa pada situasi krisis seperti itu, seorang perdana menteri khalifah bernama Muayyaduddin bin al-Alqami, seorang penganut Syi’ah, mengambil kesempatan dengan menipu Khalifah al-Musta’shim.
Menurut versi Al-Alqami, untuk menyelesaikan persoalan itu, ia telah mengadakan perjanjian dengan Hulughu Khan. Hasilnya, Hulughu Khan akan menikahkan putrinya dengan putra al-Musta’shim bernama Abu Bakar. Dengan demikian, keselamatan khalifah akan terjamin. Hanya saja, khalifah harus tunduk dibawah kekuasaan hulughu Khan.
Melihat gelagat seperti itu, akhirnya khalifah al-Musta’shim setuju untuk menukahkan putranya dengan putri Hulughu Khan. Untuk kepentingan itu, disusunlah rencana pertemuan antara kedua belah pihak. Al-Alqami keluar dengan membawa barang berharga berupa mutiara, permata dan hadiah lainnya untuk diserahkan kepada Hulughu Khan. Hadiah-hadiah tersebut diambil Hulughu Khan, tetapi dibagikan kepada panglima perangnya.
Karena tidak terjadi sesuatu yang membahayakan seperti yang mereka khawatirkan, akhirnya khalifah al-Musta’shim pergi diiringi oleh para pembesar istana dan fuqaha dan tokoh lainnya, untuk bertemu Hulughu Khan. Tetapi kedatangan khalifah dan orang-orang kepercayaannya, disambut dengan kekuatan pedang oleh Hulughu Khan dan tentaranya. Khalifah dan para pengikutnya, termasuk Wazir al-Alqami, tewas dibantai saat itu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 656 H / 12588 M.
Hancurnya kota Bagdad dan tewasnya khalifah al-Musta’shim, mengakhiri kekuatan Dinasti Bani Abbasiyyah. Dinasti ini yang semula kuat, secara perlahan melemah dan akhirnya mengalami masa kehancuran di tangan orang yang tidak memiliki peradaban. Hulughu Khan dan tentaranya melakukan pembantaian secara biadab terhadap umat Islam dan masyarakat kota Bagdad pada umumnya. Masa ini dalam sejarah Isalam di kenal dengan zaman keterpurukan umat Islam dan kehancuran peradaban Islam.





Bagian
2


DINASTI AL-AYYUBIYAH

Pembentukan dan perkembangan dinasti al-Ayyubiyah

Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyarbakr dan Yaman. Berdirinya Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan kekuasaan Imaduddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa dinasti Saljuk di Aleppo (Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imaduddin diangkat sebagai penguasa Aleppo, Mosul, al-Jazirah dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun (512 H / 1118 M-522 H / 1128 M).
Dalam sejarah kebudayaan Islam, Imaduddin dikenal sebagai seorang panglima yang mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia meninggal, kekuasaan Imaduddin terbagi di antara dua putranya, Nuruddin yang menguasai Utara Syam dan menjadi penerusn ayahnya dalam menghadapi tentara Salib, dan Saiffuddin Gazi yang menguasai Mosul dan daerah lain Irak. Dalam perkembangan selanjutnya, Nuruddin berhasil memperluas kekuasaannya yang membentang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepemimpinan keluarga Imadduddin Zangi jatuh ke tangan anknya, Ismail.
Dalam sejarah Islam telah disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Zangi, terdapat seorang bernama Bahruz yang hidup di sebuah kota di Ajerbaijan, dan kemudian berpindah ke Irak untuk bekerja kepada Sulta Saljuk, Mas’ud bin Giyatuddin. Bahruz diberikan kekuasaan sebagai gubenur di wilayah Bagdad, dan diberikan iqta’ di kota Takrit. Dalam mengelola iqta’ di kota itu, ia dibantu oleh seorang Kurdi yang bernama Syadi dan dua anaknya, Najmudin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. Ketika meninggal, Syahdi digantikan oleh Najmuddin sebagai gubenur di Takrit. Di kota inilah ia mendapat dukungan dari Najmuddin. Dalam aliansinya dengan kekuasaan Imadduddin, Najmuddin berhasil memperluas pengaruhnya. Ia ditunjuk menjadi penguasa Baalabek. Ketika Imaduddin terbunuh, terjadi pertentangan di kalangan keluarganya untuk merebut puncak kekuasaan. Akhirnya Nuruddin salah seorang putra Imaduddin bersekutu dengan Syirkuh, yang kemudian berhasil menguasai Aleppo dan Damaskus. Di samping itu, ia berpandangan bahwa Mesir sangat penting untuk menghadapi tentara Salib. Karena itu, di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin, pasukan Nuruddin menyerang Mesir pada tahun 559 H / 1163 M serangan ini berakhir dengan kegagalan akibat campur tangan tentara Salib. Serangan kedua kemudian dilancarkan pada tahun 562 H / 1166 M. Dalam pertempuran ini, Nuruddin mengalahkan tentara Salib, akan tetapi akhirnya kedua pihak sepakat untuk membebaskan Mesir.
Serangan yang ketiga dilaksanakan pada tahun 564 H / 1168 M. sebagai jawaban atas pemintaan khalifah al-Adid untuk melawan tentara Salib. Kemenangan atas tentara Salib dalam pertempuran itu melapangkan jalan bagi tampilnya Salahuddin sebagai wazir bagi khalifah Fathimiyah.
Salahuddin al-Ayyubi sebenarnya sudah mulai menguasai Mesir pada tahun 564 H / 1169 M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fathimiyah pada tahun 567 H / 1171 M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fathimiyah. Jatuhnya Daulah Fathimiyah ditandai dengan pengakuan Salahuddin atas khalifah Abbasiyyah, al-Mustadi dan penggantian Qadi’ Syi’ah dengan Sunni. Bahkan pada bulan mei 1175, Salahuddin mendapat pengakuan dari kekhalifahan Abbasiyyah sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hejas dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan. Sepuluh tahun kemudian ia menaklukkan Mesopotamia dan menjadikan penguasa setempat sebagai pimpinannya.
Selama berkuasa, Salahuddin selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahuddin telah berhasil menaklukkan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. Dalam peperangan ini pasukan perancis dapat dikalahkan, Yerussalem sendiri akhirnya menyerah tiga bulan berikutnya, tepatnya pada bulan Oktober 1187 M, pada saat itulah suara azan menggema kembali di Masjid Yerussalem.
Jatuhnya pusat kerajaan Hattin ini memberi peluang bagi Salahuddin al-Ayyubi untuk menaklukan kota-kota lainnya di Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat ditaklukkan pada tahun 1189 M, sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah, Tyre dan beberapa kota kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib.
Pasca perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua pasukan hidup dalam keadaan damai. Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian damai secara penuh pada bulan 2 november 1192 M. Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasi tentara Salib, sedangkan daerah pedalaman dikuasai kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gangguan terhadap umat kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Salahuddin al-Ayyubi hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun.
Sebagai panglima perang Salahuddin al-Ayyubi tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu ia adalah seorang yang sangat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan,serta mendirikan sekolah dan masjid. Salah satu karya yang monumental adalah  Qal’ah al-Jabal sebuah benteng yang dibangun di kairo pada tahun 1183.
Mayoritas, para wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi  al-Fadl dan al-Katib al-Isfani. Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian juga dikenal sebagai penulis biografinya.
Pasca meninggalnya Salahuddin al-Ayyubi, daerah kekuasaannya yang terbentang dari sungai Tigris hingga sungai Nil itu kemudian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al-Malik al-Afdhal, putra Salahuddin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz  berkuasa di Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab), dan al-Adil, adik Salahuddin memperoleh kekuassan di al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-Adil berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk mesir dan sebagian besar Suriah. Al-Adil yang bergelar Saiffuddin itu mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hammah dan Yaman. Sejak itu sering terjadi konflik internal diantara keluarga Ayyubiah di Mesir  dengan Ayyubiah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah.
Kemudian al-Kamil Muhammad, putra al-Adil yang menguasai Mesir (615-635 H / 1218-1238 M) termasuk tokoh Bani Ayyub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah menaklukan Dimyat tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan ayahnya.
Secara diam-diam tentara Salib tampaknya memang terus berusaha menaklukan Mesir dengan bantuan Italia. Penaklukan Mesir menjadi sangat penting karena dari negara itulah mereka akan menguasai jalur perdagangan Samudra Hindia malalui Laut Merah. Setelah hampir dua tahun (November 1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara Salib dengan pasukan Mesir tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara Salib untuk meninggalkan Dimyati. Di samping memberikan perhatian yang serius dalam bidang politik dan militer, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya yang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan-lahan pertanian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Eropa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup beragama antara umat Islam dengan Kristen Koptik, bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik.
Pada waktu itu kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al-Malik al-Saleh, putra Malik al-Kamil memerintah pada tahun 1240-1249 M, pasukan Turki dan Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan umat Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nil ditaklukan kembali oleh tentara Salib yang dipimpin oleh Raja Louis IX dari perancis. Ketika pasukan Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi  kesulitan dan akhirnya dapat dikalahkan pasukan Ayyubiah pada April 1250 m. Raja Louis IX dan beberapa bangsawan perancis ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan kembali setelah Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan makanan sebagai bahan tebusan.
Malik al-Saleh meninggal dunia tepatnya pada bulan November 1249 M. Semula ia digantikan oleh putra mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah dipanggil pulang dari Mesopotamia (Suriah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghindari kevakuman kekuasaan, sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu tirinya yaitu Sajaratuddur mengambil alih tampuk kekuasan. Akan tetapi, ketika Turansyah akan mengambil alih kekuasaan ia mendapat tantangan dari para Mamluk, hamba sahaya yang dimiliki tuannya, yang tidak menyenanginya. Belum genap satu tahun Turansyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para Mamluk tersebut atas perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sajaratuddur menyatakan dirinya sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan, seorang pemimpin Ayyubiah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyatakan dirinya sebagai sultan Ayyubiah meskipun hanya sebagai hanya sebatas lambang saja tanpa kedaulatan atau kekuasaan yang riil. Kekuasaan yang sebenarnya justru berada di tangan seorang mamluk bersama Izzuddin Aybak, pendiri Dinasti Mamluk (1250-1257 M). Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M, beakhirlah masa pemerintahan Dinasti al-Ayyubiyah, dan kekuasaan beralih ke pemerintahan Dinasti Mamluk (1250-1257 M).


Sejarah pertumbuhan dan perkembangan al-Azhar

Al-Azhar sebelumnya bernama al-Qohirah. Masjid ini didirikan oleh seorang panglima Dinasti Fathimiyah bernama Jauhar al-Katib al-Siqili pada tahun 970 M atas perintah Khalifah al-Muiz Lidinillah, sebagai tempat ibadah (masjid) yang sekaligus tempat melakukan propaganda ajaran Syi’ah dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam.
Sebelumnya masjid al-Azhar bernama masjid al-Qahirah atau al-Jami’ al-Qahirah, yang di jaman modern ini dikenal dengan al-Azhar. Pembangunan masjid ini dimulai pada tanggal 4 April 970 M / 24 Jumadi al-Ula tahun 359 H dan selesai pada tanggal 7 Ramadhan 361 H / 22 Juni 972 M dan pada tanggal itu pula  diresmikan sebagai masjid yang dapat dipergunakan sebagai tempat peribadatan. Bentuk peresmian itu ditandai dengan pelaksanaan sholat jum’at bersama. Luas bangunan masjid ini menurut perkiraan para sejarawan sekitar 6356 kaki
Sejarah tidak menyebutkannya secara rinci sejarah mengapa masjid al-Qahirah dalam perjalanan berubah nama menjadi masjid al-Azhar. Menurut sebagian para ahli, seperti Saniyah Qura’ah mengatakan bahwa penamaan tersebut berasal dari usulan Ya’kub ibn Killis, seorang wazir khalifah al-Aziz billah, untuk merubah nama masjid itu. Penamaan yang diusulkan itu dinisbatkan dengan nama istana Khalifah al-Qushur al-Zahirah, atau dikaitkan dengan nama putri Nabi Muhammad Fatimah al-Zahra.
Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penamaan tersebut dikaitkan dengan nama sebuah planet (Venus) yang memiliki cahaya cemerlang. Penamaan tersebut jelas mempunyai maksud tertentu yang diingini para pendiri dan pelindung masjid al-Azhar. Diharapkan masjid ini membawa sinar terang dan kejayaan umat Islam yang dapat menyinari dunia. Harapan itu dapat disaksikan dalam perjalanan sejarah Masjid ini saat fungsinya digandakan, tidak lagi sebagai tempat ibadah dan propaganda ajaran Syi’ah, tetapi berfungsi pula sebagai Madrasah Tinggi di Kairo, Mesir.
Pada bulan Oktober 975 M / Shafar  365 H. al-Azhar resmi menjadi Masjid Negara, kegiatan ilmiah dilakukan pertama kali ketika para ilmuan yang terdiri dari para fuqaha terkenal dan pejabat pemerintahan Fathimiyah berkumpul di al-Azhar untuk mendengarkan ceramah umum (Studium Generalle) yang disampaikan oleh Abu al-Hasan Nu’man ibn Muhammad al-Qirawany yang bergelar Hakim Agung (Qadi al-Qudat) Dinasti fathimiyah.
Dalam acara stadium generalle itu, al-Qirawaniy menguraikan tentang prinsip-prinsip fiqh Syi’ah, tujuan dan sasarannya. Kegiatan kuliah umum ini merupakan awal proses terbentunya Kuttab (tempat belajar) dan Halaqah (lingkaran study) di al-Azhar.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya, al-Azhar terus difungskan sebagai tempat pusat kegiatan belajar, baik di Halaqah atau Kuttab yang berada di al-Azhar itu. Para pengajarnya berasal dari Bani Nu’man yang mengajar di tempat tersebut sampai tahun 369 H / 979 M, saat Halaqah itu berubah menjadi sebush lembaga tinggi yang memiliki sistem pendidikan tinggi, ketika Ya’kub ibn Killis menjadi wajir dan memimpin lembaga tersebut.
Hal itu terjadi setelah ibn Killis memberikan ceramah umum yang dihadiri oleh para ulama dan umara. Dalam kesempatan itu Ibn Killis melihat adanya keseriusan mereka untuk terus mengkaji bidang-bidang ilmu seperti fiqh, sastra dan sebagainya. Untuk itu, Ibn Killis tahun 988 M / 378 H, memohon kepada khalifah al-Aziz  untuk memperhatikan 37 orang faqih yang melakukan kajian ilmiah di al-Azhar setelah sholat jum’at hingga datang waktu ashar. Atas permintaan itu, al-Aziz membuatkan mereka tempat tinggal dekat al-Azhar. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, Ya’kub ibn Killis memberikan sebagian uangnya untuk mereka.
Guru-guru pertama yang mengajar di al-Azhar adalah para fuqaha’. Sejak saat itulah al-Azhar tampak kelihatan karakteristiknya sebagai sebuah lembaga ilmiah sebenarnya, yang memiliki ciri akademis. Hal itu semua terjadi karena perhatian serius dari khalifah al-Aziz dan wazirnya ibn Killis, yang selalu memperhatikan kehidupan ilmu dan ilmuan. Peristiwa ini dinilai oleh Hasan Langgulung sebagai suatu tindakan yang tepat dan bijaksana, karena tindakan ini merupakan bukti kepedulian penguasa terhadap penguasa perkembangan al-Azhar untuk menemukan ciri-ciri akademik dan ilmuah dengan sistem belajar klasikal secara umum dan metode diskusi, dan ini merupakan awal dari timbulnya sistem pendidikan  tinggi di al-Azhar.
Lembaga al-Azhar dalam perjalanan sejarahnya mengalami perubahan-perubahan sangat penting bagi pertumbuhan ilmu dan kemajuan hasil yang dicapainya, saat masjid itu mengalami tambahan fungsi, dari hanya sekedar tempat ibadah dan pusat propaganda ajaran Syi’ah, menjadi sebuah lembaga atau madrasah tinggi dengan sistem baru. Peristiwa itu terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah al-Aziz billah dan wazir Ya’kub ibn Killis tahun 988 M / 399 H.
Kedatangan para ulama dan pencari ilmu untuk belajar di al-Ahzar, karena tertarik dengan ilmu yang digunakan Ibn Killis. Literatur yang dijadikan bahan kajianadalah kitab al-Ikhtishar karya Abu Nu’man, yang berisi tentang doktrin dan propaganda Syi’ah. Kitab Da’aim al-Islam fi al-Hakak wa al-Haram karya Abu Nu’man dan kitab al-Risalah al-Waziriah karya Ibn Killis. Dua kitab yang disebutkan belakangan merupakan kitab yang menjadi bahan rujukan utama pada khalifah al-Zahir. Mereka yang mempelajari dan menghafal kitab tersebut, dijamin biaya hidupnya oleh khalifah.
Kelompok-kelompok studi yang terdapat di al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah, menurut Dodge ada tiga kelompok. Pertama, kelompok yang terdiri dari murid yang semata-mata mendengar, membaca dan menjelaskan al-Qur’an. Kedua, mereka yang duduk melingkar mengelilingi guru, dan guru duduk di lantai. Guru itu mendekte dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan murid-murid (al-Mujawirin) mengenai pelajaran yang diberikan. Ketiga, kelompok yang sudah dianggap mampu ntuk menjadi tenaga pengajar dan menjadi propagandis-propagandis.
Metode ini belum terjadi sebelumnya, dimana guru dengan murid, terjalin begitu akrab. Guru sangat dihormati dan idmuliakan, tidak hanya oleh para murid, juga dihormati penguasa, karena kedudukannya dan peranannya sebagai ilmuan. Oleh karena itu, mereka sering disebut sebagai al-Janib al-Syarif, al-Imami, al-’Alimi, ’Umdat al-Muhaqqiqien, dan Facr al-Mudarrisin.
Khalifah Fathimiyah memberikan penghargaan kepada para guru al-Azhar, mereka mendapat tunjangan rutin dari pemerintah, begitu juga para murid yang belajar di sana. Sistem ini berlangsung hingga pada masa al-Hafidz. Pada masa kekuasaan Khalifah al-Hafidz li Dinillah (1130-1149 M), al-Azhar mengalami pengembangan fisik. Pada masanya dibangun Maqsurat Fatimah (serambi Fatimah). Akan tetapi, pada waktu al-Adid berkuasa (1160-1171 M), terjadi konflik intern. Syirkuh salah seorang menteri yang ambisius yang bekerja sama dengan Salahuddin al-Ayyubi, bersama-sama berusaha mengendalikan keadaan pemerintah. Akan tetapi setealh al-Adid meninggal dunia, terjadi masa kekosongan kekuasaan (Vakum of Power). Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Salahuddin al-Ayyubi untuk mengambil kekuasaan.

Al-Azhar pada masa Dinasti Al-Ayyubiyah

Pasca runtuhnya Dinasti Fathimiyah pada tahun (1171 M).  Salahuddin al-Ayyubi menghapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai penguasa baru atas Mesir, dengan nama Dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini lebih berorientasi ke Bagdad, yang Sunni. Nasib al-Azhar pada masa pemerinathan Dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fathimiyah, Sebab, setelah Salahuddin berkuasa, ia mengeluarkan kebijakan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh digunakan untuk sholat jum’at dan madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi’ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut Dinasti Ayyubiah, yaitu mazhab Sunni.
Salahuddin al-Ayyubi kemudian menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi yang tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafi’i. Di antara fatwa yang dikeluarkan adalah melarang  umat Islam saat itu untuk melakukan sholat jum’at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah jum’at dalam satu kota yang sama.
Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk sholat jum’at dan kegiatan pendidikan selama kurang lebih seratus tahun, yaitu sejak Salahuddin berkuasa sampai khutbah jum’at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.
Pasca penon aktifkan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa Dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti Dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian yang serius dari para penguasa Dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas  pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan kerajaan Ayyubiyah. Di antara kulliyat-kulliyat yang terkenal adalah Manazil al’iz al-Kulliyat al-’Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al-Fadilliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah  dan al-Kulliyat al-Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanaya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.
Meskipun pada saat itu khalifah melarangan untuk tidak menggunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian yang meninggalkan tempat itu. Itupun karena al-Azhar tidak mendapati subsidi (waqaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut.
Kondisi demikian tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Salahuddin al-Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Bagdadi yang datang ke Mesir tahun 1193 M / 589 H. Beliu mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi Mantiq dan Bayan.
Kedatangan al-Bagdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qasim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din ibn al-Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri dan Syams al-Din ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-’Ayan.
Selain mengajar mantiq dan bayan, al-Bagdadi juga mengajar hadis dan fiqh. Materi itu diajarkan kepada para muridnya pada pagi hari, tengah hari hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al-Bagdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al-Bagdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir.
Dalam kekuasaan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir (1171-1250 M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak lepas dari kontrol penguasa yang beraliran mazhab Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan Sunni. Para penguasa Dinasti Ayyubiyyah yang Sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyyah di Bagdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyyah mereka berusaha bersungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran dan penyebaran ajaran mazhab Sunni adalah al-Azhar.


La Tansa

-          Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyarbakr dan Yaman. Berdirinya Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan kekuasaan Imaduddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa dinasti Saljuk di Aleppo (Halab).
-          Dalam sejarah kebudayaan Islam, Imaduddin dikenal sebagai seorang panglima yang mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib
-          Selama berkuasa, Salahuddin selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahuddin telah berhasil menaklukkan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan
-          Sebagai panglima perang Salahuddin al-Ayyubi tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu ia adalah seorang yang sangat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan,serta mendirikan sekolah dan masjid
-          Al-Azhar sebelumnya bernama al-Qohirah. Masjid ini didirikan oleh seorang panglima Dinasti Fathimiyah bernama Jauhar al-Katib al-Siqili pada tahun 970 M atas perintah Khalifah al-Muiz Lidinillah, sebagai tempat ibadah (masjid) yang sekaligus tempat melakukan propaganda ajaran Syi’ah dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam.
-          Sebelumnya masjid al-Azhar bernama masjid al-Qahirah atau al-Jami’ al-Qahirah, yang di jaman modern ini dikenal dengan al-Azhar. Pembangunan masjid ini dimulai pada tanggal 4 April 970 M / 24 Jumadi al-Ula tahun 359 H dan selesai pada tanggal 7 Ramadhan 361 H / 22 Juni 972 M dan pada tanggal itu pula  diresmikan sebagai masjid yang dapat dipergunakan sebagai tempat peribadatan
-          Lembaga al-Azhar dalam perjalanan sejarahnya mengalami perubahan-perubahan sangat penting bagi pertumbuhan ilmu dan kemajuan hasil yang dicapainya, saat masjid itu mengalami tambahan fungsi, dari hanya sekedar tempat ibadah dan pusat propaganda ajaran Syi’ah, menjadi sebuah lembaga atau madrasah tinggi dengan sistem baru.
-          Khalifah Fathimiyah memberikan penghargaan kepada para guru al-Azhar, mereka mendapat tunjangan rutin dari pemerintah, begitu juga para murid yang belajar di sana.
-          Pasca runtuhnya Dinasti Fathimiyah pada tahun (1171 M).  Salahuddin al-Ayyubi menghapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai penguasa baru atas Mesir, dengan nama Dinasti Ayyubiyah
-          Dalam kekuasaan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir (1171-1250 M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak lepas dari kontrol penguasa yang beraliran mazhab Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan Sunni







DAFTAR PUSTAKA

-                    Abdur Raziq naufal, Kisah-kisah Teladan Sepanjang Sejarah Islam, Husaini, bandung, 1987

-                    Abdul Hamid Judas As Sahhar, Sejarah Nabi Muhammad, Mizan, Bandung, 1992

-                    Afzalur Rahman, Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer, Bumi Aksara, Jakarta, 1991

-                    Ali Syari’ati, Rasulullah SAW  Sejak Hijrah Hingga Wafat, Pustaka Hidayah, Bandung, 1995

-                    Al-Qur’an Al-karim dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Edisi Revisi 2002, Thaha Putra, Semarang, 2002

-                    Arifin Muhammad, Klasifikasi Ayat Al-qur’an, FIAD UMSurabaya, Surabaya, 2004

-                    A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan Bintang, jakarta, 1979

-                    A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1992

-                    Bisri M. Djailani, Sejarah Nabi Muhammad SAW, Buana Pustaka, Yogyakarta, 2004.

-                    Hamka, Sejarah Umat Islam, Bulan Bintang, jakarta, 1989

-                    Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Kota Kembang, Yogyakarta, 1989.

-                    Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Madrasah Tsanawiyah, Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2004.

-                    Rusli Ishaq, Sejarah Kebudayaan Islam, Thoha Putra, Semarang, 2003.

-                    M. Ebrahim Khan, Kisah-Kisah Teladan, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003

-                    Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Rosdakarya, Bandung, 1994.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar