Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Januari 2012

Perbedaan pandangan antar aliran ilmu Kalam


A. PERBUATAN TUHAN
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak Rasional, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al-qur’an pun jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat Al-qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat Al-anbiyaa (21):23 dan surat Ar-rum (30) : 8.
Qadi Abd Al-jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu di tanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik ., tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat yang kedua, menurut Al-jabar mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam satu hal yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini :
a. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia.
Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertetangan dengan faham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.
b. Kewajiban mengirimkan rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengtahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c. Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.

2. Aliran Asy’ariah
Menurut aliran asy’ariyah, faham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah , tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan Al-ghazali, perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa , aliran asy’ariyah menerima faham pemberian beban diluar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam Al-luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat di pikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian bebana yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.

3. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.

Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.



B. PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.

Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yangbersifat mutlak. Maka disini timbulllah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup ?, apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?.

1. Aliran Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2. Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.

Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak ayat Al-qur’an yangmendukung pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi ayat ke-29 yang artinya : “katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”

3. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil.l Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.

4. Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”(Q.S. Ash-shaffat : 96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.

5. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.

Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.


C.  Dosa Besar/Antara Mukmin atau Kafir


1.  MU’TAZILAH
Menurut golongan ini  bahwa orang yang beriman atau mikmin telah melakukan dosa besar dan mati sebelum taubat, maka orang tersebut sudah tidak lagi mukmin dan juga tidak lagi kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasik saja.
Dan nanti di akhirat ia akan dimasukan dengan kekal ke neraka, namun orang tersebut keneraka apinya tidak terrlalu panas tetapi agak dingin berbeda dengan nerakanya orang kafir. Dan orang tersebut tidak berhak masuk surga selamanya.
Pemahaman golongan ini menyebut faham  manzilatan baina manzilatain yaitu orang yang beriman berbuat dosa dan mati sebelum taubat maka akan ditempatkan di akherat antara surga dan neraka.
2.  KHAWARIJ
Golongan khawarij berpendapat bahwa orang yang beriman atau orang mukmin berbuat dosa baik kecil maupun besar, maka orang tersebut dihukumi kafir, wajib diperangi dan wajib dibunuh dan boleh dirampas hartanya..
Golongan ini berpendapat bahwa iman itu bukan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, tetapi juga amal ibadat itu rukun iman juga.
3.  AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
Menurut ahlus sunnah bahwa iman itu mengikrarkan dengan lisan dan dibenarkan dengan hati. Sedangkan iman yang sempurna yaitu mengikrarkan dengan ucapan, dibenarkan dengan hati dan di amalkan atau dikerjakan dengan anggota badan.
Orang mukmin yang berbuat dosa dan mati sebelum taubat, maka orang itu tetap mukmin. Dan apabila orang tersebut tidak mendapat ampunan Allah dan Syafa’at Nabi Muhammad saw. maka orang tersebut akan dimasukan keneraka buat sementara, kemudian akan dikeluarkan dari neraka untuk dimasukan ke surga.
Orang mukmin bisa disebut kafir kalau murtad (keluar aqidah), karena mengingkari rukun iman yang enam, seperti: ragu-ragu atas adanya Tuhan yang Esa, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.




D.  Tentang  Anthropomorphisme (Melihat Tuhan, Sabda Tuhan, Sifat Tuhan, Dzat Tuhan)
1.  Pendapat Golongan Syi’ah
Syi’ah yang berarti, pengikut partai, kelompok, perkumpulan, partisipan atau pendukung [16], yang dimaksud adalah suatu golongan atau pengikut setia yang fanatik kepada Ali dan keturunannya[17]. Yang mana dalam sejarahnya, golongan ini pecah menjadi tiga golongan besar, yakni : Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiah atau Istna ‘Asyriyah dan Syi’ah Ismailiyah. Dari ketiga golongan ini yang berpendapat lebih moderat ialah Golongan Syi’ah Zaidiyah. Ia tidaklah membenarkan tentang pengakuan adanya sifat yang berlebihan yang diberikan kepada Ali ra., sebagaimana pendapat Syi’ah Ismailiyah yang mengatakan bahwa Ali hingga kini masih hidup, bukan terbunuh. Sebab Ali telah dikaruniai sifat-sifat ke-Tuhanan yang tak akan pernah mati, bahkan dianggapnya sebagai Tuhan [18]. Anggapan  Syi’ah lainnya mengatakan bahwa roh itu dapat berpindah dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain. Dan Allah itu berjisim serta dapat menjelma kedalam tubuh manusia [19]. Dari pendapat ini nampaknya Syi’ah dalam hal anthropomorphisme sangat dekat dengan pengaruh Hindhu, sedangkan mensifatkan Ali dengan sifat ke-Tuhanan sangatlah dekat dengan faham agama Masehi.
2.  Pendapat Aliran Jabariyah
Adapun faham anthropomorphismenya terutama yang berhubungan dengan sifat Tuhan, aliran Jabariyah berpendapat bahwa, Tuhan tidaklah mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai Zat. Tuhan tidak layak disifati dengan sifat mahluk-Nya, sebab yang demikian berarti mentasybihkan (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya [21]. Fahamnya mengenai kalam Tuhan (al-Qur’an), Jaham berpendapat bahwa, al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Dan tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu [22]. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal.
3.  Pendapat Aliran Mu’tazilah
Adapun pandangan Mu’tazilah terhadap faham Mujassimah (anthropomorphisme), mereka menolak dengan keras.  Mengenai ayat-ayat al-Qur’an  yang mensifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia, seperti : Yadullah (tangan Allah), Kalamullah (perkataan Allah), dan sebagainya, haruslah ditakwilkan secara majazi (metafora atau kiasan). Mu’tazilah juga menolak konsep dualisme dan trinitas tentang Tuhan sebagaimana kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Masehi, bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilakhirkan dari Tuhan sebagai bapak sebelum masa dan jauharnya juga sama [25]. Selanjutnya Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Qur’an yang disebut dalam kalam atau sabda Tuhan yang tersusun dari huruf dan suara adalah makhluk yang dijadikan oleh Tuhan. Kalamullah tersebut tidak ada pada Zat Tuhan, melainkan berada di luar diri-Nya. Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan sebagi suatu yang qadim, juga mengingkari adanya faham bahwa, Tuhan nanti dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat kelak [26]..  Alasan Mu’tazilah  dalam masalah melihat Tuhan ini nampaknya cukuplah rasional, dimana Tuhan adalah bersifat Immateri, sedang mata kepala adalah bersifat materi. Sehingga tidaklah mungkin suatu  yang immateri dapat dilihat dengan suatu yang materi.
4.  Pendapat Aliran Al-Asy’ariyah
Pembangun aliran al-Asyi’aryah adalah, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asyi’ary, yang lakhir di Basrah (Iraq) tahun 260 H/ 873 M, dan wafat tahun 324 H/935 M [27]. Sewaktu kecil hingga berumur 40- tahun, al-Asyi’ary sempat berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal yaitu Abu Ali al-Jubbai Muhammad ibn Abdul Wahhab, bahkan  sebagai penganut faham Mu’tazilah yang  berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia itu sendiri yang menciptakan pekerjaan dan keburukan dan lain-lain[28]. Namun pada akhirnya al-Asyi’ary keluar dan tidak puas terhadap faham Mu’tazilah yang dianut oleh gurunya tersebut. Kemudian mendirikan aliran tersendiri yang dikenal dengan aliran “al-Asyi’aryah“, yang menurut Ali ibn Iwaji memasukkannya ke dalam kelompok  “Ahlu al Sunnah  wa al-Jamaah“, hal itu didasarkan pada catatan yang ada dalam kitab al-Asyi’ary yaitu dalam “Al-Ibanat an ‘Ushul al Diyanah“ [29]. Kitab tersebut berisi tentang penjelasan soal-soal pokok agama yakni tentang kepercayaan (akidah) ahlu al-sunnah wa al-jamaah, dan berisi kritik atau penyerangan terhadap aliran Mu’tazilah [30].
Dimasukkannya al-Asyi’ary ke dalam faham Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah, karena memiliki konsep jalan tengah sebagai seorang pendamai terhadap dua pandangan ekstrim (antara ahlu al-Hadis dengan ahlu al-Ra’yi) yang berkembang dalam masyarakat muslim waktu itu [31].
Adapun pandangan Al-Asyi’aruyah dalam hal Anthropomorphisme diantaranya meliputi :
Tentang Melihat Tuhan ( Ru’yah Allah )
Dalam masalah melihat Allah, al-Asyi’ary berpendapat bahwa Allah Swt. Dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat kelak seperti halnya mereka melihat bulan purnama [32]. al-Asyi’ary berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada (maujud) memungkinkan untuk dapat dilihat, karena Allah adalah sesuatu yang maujud maka sah untuk dilihat (sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Qiyamah (75) : 22)[33].
Tentang Sifat-Sifdat Tuhan
Pendapat al-Asyi’ary dalam masalah sifat Tuhan  adalah terletak ditengah-tengah antara aliran Mu’tazilah dan Mujassimah. Dimana Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, seperti wujud, qidam, baqa’, wahdaniyah, dan sifat Zat yang lain seperti : sama’, bashar dan yang lainnya, kesemuanya itu tidak lain hanya Zat Tuhan sendiri. Sedangkan aliran Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan tersebut dengan sifat yang ada pada mahluk-Nya. Al-Asyi’ary dalam hal ini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan tersebut yang sesuai dengan Zat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat mahluk-Nya, seperti Tuhan mendengar, tetapi tidak seperti kita mendengar dan seterusnya [34].
Jadi mengenai sifat-sifat Tuhan, al-Asyi’ary secara garis besar berpendapat bahwa, sifat-sifat itu adalah qadim sebagaimana Zat yang disifatkan. Maka Allah berkata itupun dengan kalam-Nya yang qadim, berkehendak dengan iradah-Nya juga yang qadim pula dan seterusnya.
Tentang Tasybih dan Tajsim ( Penyerupaan dan Personifikasi )
Al-Asyi’ary sangatlah hati-hati terhadap masalah tasybih (penyerupaan dengan mahluk), hal ini dapat dilihat pernyataan al-Asyi’ari dalam kitab “al- Luma’ “ sebagaimana dikutip oleh H.M. Laily Mansur : “Ketika engkau menyatakan bahwa Tuhan tidak menyerupai seluruh mahluk, maka katakanlah  bahwa sekiranya Tuhan menyerupai nmya, tentulah hukumnya sama dengan hukum hadis (yang baru), jika diserupakan, maka tidak terlepas dari keseluruhan atau sebagiannya. Jika keseluruhan, maka keadaannya sama dengan hadis keseluruhan, dan jika sebagian, maka keadaannya serupa untuk sebagian dengan yang hadis (baharu), yang demikian itu semuanya mustahil bagi Zat yang Qadim [35]. Dengan demikian al-Asyi’ary dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan adalah tanpa melalui ta’wil maupun tasybih.
Tentang al-Qur’an Bukan Mahluk
Telah dikemukakan di atas, al-Asyi’ary pernah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, kemudian ia mencabut pendapatnya itu dengan penuh penyesalan, akhirnya ia menyatakan bahwa kalam Allah itu adalah bukan mahluk [36]. Menurutnya kalam Allah itu Esa dan Qadim, adapun mengenai perintah dan larangan, wa’id dan sebagainya merupakan i’tibar-i’tibar dalam kalam-Nya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu sendiri [37].
Dari keterangan ini al-Asyi’ary melihat bahwa, kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu : sesuatu yang merupakan sifat Tuhan dan itulah yang qadim. Dan yang kedua adalah lafadz yang menunjuk atas kalam yang qadim tersebut, dan itulah yang hadis dan bersifat mahluk.
5.  Pendapat Aliran al-Maturidiyah
Tentang Sifat – Sifat Tuhan
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ariy, bahwa Tuhan mempunyai sifat, namun bukan sebagai Zat Tuhan, tetapi juga tidak lain dari Tuhan. Sebagai misal, jika dikatakan Tuhan maha mengetahui, maka buykanlah dengan Zat-Nya, akan tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya [42].
Dengan demikian , semua sifat-sifat Tuhan seperti sama’, bashar, ilmu dan seterusnya memang terdapat pada Tuhan , akan tetapi bukanlah sifat-sifat itu berdiri sendiri, sebab sifat dan Zat Tuhan adalah suatu hal yang terpisah.
Tentang Melihat Tuhan
Al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ary, bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di aherat kelak. Bagi al-Maturidy yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan adalah berwujud, oleh karena itu dapat dilihat [43].
Pandangan ini didasarkan pada al-Qur’an surat : al-Qiyamah ( 75 ) ayat : 22-23 yang berbunyi :
Artinya : “ Wajah-wajah ( orang –orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri . Kepada Tuhanyalah mereka melihat”.
Tentang Keyakinan Mengetahui Tuhan
Al-Maturidy berpendapat bahwa iman mesti lebih dari sekedar tasdiq, karena baginya akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Al-Maturidy juga berpendapat bahwa mengetahi Tuhan tidak harus dengan bertanya, bagaimana bentuknya. Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan sifat-Nya, dan tauhid adalah mengenal Tuhan dengan ke-Esaan-Nya[44].
Jadi al-Maturidy dalam hal mengetahui Tuhan, dapatlah dicapai melalui pengetauan akal dengan cara  mengetahui sifat-sifat yang ada pada Tuhan.
Tentang Kejisiman Tuhan (Anthropomorphisme)
Tentang  kejisiman Tuhan ini, al-Maturidy tidaklah sependapat dengan al-Asyi’ary, yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan itu mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interpretasi atau takwil, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Namun al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan  sama sekali tidak mempunyai badan dan jasmani [45]. al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya mesti di beri arti majazi atau kiasan , seperti tangan Tuhan harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan [46].
Dari pandangan ini terlihat bahwa dalam aspek  pemikiran tertentu al-Maturidy sependapat dengan Mu’tazilah, terutama pada masalah-masalah yang banyak menggunakan rasio.
6.  Pendapat Aliran Salaf
Aliran Salaf muncul sekitar abad ke-IV Hijriyah, dimana para pengikutnya selalu mempertalikan diri dengan pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, sehingga aliran salaf ini sering disebut sebagai golongan “Hanabilah“[47].
Pada abad ke- VII Hijriyah, aliran salaf mendapatkan kekuatan baru atas masuknya Ibnu Taimiyah (Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah) lakhir di Harran (Iraq) tahun 661 H. dan wafat sekitar tahun 728 H. di Damsyik (Syiria). Faham salaf berkembang dengan pesat pada abad ke XII H. setelah masuknya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang mendapat dukungan penuh dari raja Saudi Arabia ketika itu, yakni Muhammad ibn Sa’ud, yang akhirnya aliran tersebut terkenal dengan nama “aliran Wahabiyah”[48].  Sesungguhnya aliran Wahabiyah adalah merupakan kelanjutan dari aliran Salaf yang telah dibangun oleh Ibn Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya yang sangat berpegang teguh pada pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, baik dalam lapangan fiqih, maupun dalam lapangan teologi. Mereka juga menamakan diri  sebagai “muhjis sunnah“ (pembangun atau penghidup sunnah). Sistem pemikiran yang digunakan adalah tidak percaya kepada metode logika rasional yang dianggap asing bagi Islam, karena metode ini tidak pernah terdapat pada masa sahabat maupun pada masa tabi’in. Jadi jalan untuk mengetahui akidah dengan dalil-dalil pembuktiannya, haruslah dikembalikan  kepada sumber murninya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, tanpa embel-embel interpretasi apapun dengan memegangi arti  lakhir atau dengan tafsiran indrawi (sensible interpretation) secara leterlek [49].
Adapun aliran Wahabiyah dalam mendukung penyiaran faham ini adalah dengan jalan kekerasan dan memandang orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dianggap sebagai orang “bid’ah” yang harus diperangi sesuai dengan prinsip “amar ma’ruf nahi munkar” [50].
Adapun pendapat aliran salaf tentang persoalan sifat-sifat Tuhan, kemahlukan al-Qur’an, penyerupaan (tasybih) Tuhan dengan manusia, kesemua ini digolongkan hanya menjadi satu persoalan, yakni tentang “Ketauhidan” (keesaan) yang mencakup tiga segi, diantaranya :
Tentang Keesaan Zat Tuhan
Aliran Salaf telah memandang sesat terhadap golongan filosof, aliran Mu’tazilah dan golongan tasawuf, karena mereka mempercayai adanya persatuan diri dengan Tuhan ( ittihad ) atau peleburan diri pada Zat Tuhan ( fana’).51
Tentang Keesaan Sifat Tuhan
Aliran Salaf dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan, nama-nama atau perbuatan Tuhan yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis, seperti : al-Hayyu (yang hidup), al-Qayyum (yang tidak membutuhkan yang lain), al-Shamadu (yang dibutuhkan oleh yang lain), Zul ‘Arsy al-Majid (yang mempunyai arsy yang megah), Tuhan turun kepada manusia dalam gumpalan awan (baca al-Baqarah : 210), Tuhan bertempat di langit (baca QS. Fushilat : 11), Tuhan mempunyai muka (baca QS. Al-Baqarah : 115), Tuhan mempunyai tangan (baca QS. Ali Imran : 73) dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut dipercaya oleh aliran Salaf dengan memegangi arti lakhir semata, meskipun dengan pengertian bahwa sifat-sifat tersebut  hakekatnya tidak sama dengan sifat-sifat mahluk [51]. Seperti mereka mengatakan bahwa tangan Tuhan, adalah tidak dimaksudkan sebagaimana  tangan yang ada pada manusia, begitu seterusnya.
Jadi dengan perkataan lain,  bahwa aliran Salaf sesungguhnya dalam masalah faham anthropomorphisme, adalah berada diantara “ta’thil” (peniadaan sifat Tuhan sama sekali)

2 komentar:

  1. Terima kasih atas postingannya semoga dapat menambah wawasan kaum muslimin dan dapat bernilai dakwah yang bebrbuah pahala

    BalasHapus