free download
PERSONALITY DEVELOPMENT “ERIK H. ERIKSON”
Erik
Erikson (lahir di Frankfurt-am-Main, Jerman, 15 Juni 1902 – meninggal
di Harwich, Cape Cod, Massachusetts, Amerika Serikat, 12 Mei 1994 pada umur 91
tahun) adalah seorang psikolog Jerman yang terkenal dengan teori tentang delapan
tahap perkembangan pada manusia. Sebenarnya Erikson adalah seorang psikolog Freudian,
namun teorinya lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan jika dibandingkan
dengan para psikolog Freudian lainnya.
Erikson
menjadi terkenal karena upayanya dalam mengembangkan teori tentang tahap
perkembangan manusia yang dirintis oleh Freud. Erikson menyatakan bahwa
pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip epigenetik yang menyatakan bahwa
kepribadian manusia berjalan menurut delapan tahap. Berkembangnya manusia dari
satu tahap ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilannya atau
ketidakberhasilannya dalam menempuh tahap sebelumnya. Pembagian tahap-tahap ini
berdasarkan periode tertentu dalam kehidupan manusia: bayi (0-1 tahun), balita
(2-3 tahun), pra-sekolah (3-6 tahun), usia sekolah (7-12 tahun), remaja (12-18
tahun), pemuda (usia 20-an), separuh baya (akhir 20-an hingga 50-an), dan
manula (usia 50-an dan seterusnya).
Masing-masing
tahapan juga memiliki tugas perkembangan sendiri yang bersifat psikososial. Misalnya
saja, pada usia bayi tujuan psikososialnya adalah menumbuhkan harapan dan
kepercayaan. Kemudian bila tujuan ini tak tercapai, maka bayi itu akan lebih
didominasi sifat penakut.
Teori
perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu
teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund
Freud, Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia
menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia;
satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak
berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek
kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Teori Erikson dikatakan
sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga
alasan. Alasan yang pertama, karena
teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan
ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya
perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran
kehidupan, dan yang ketiga/terakhir
adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan
pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan
kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari
mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna
memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman
modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk
menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan,
baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat
berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan
egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran
dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa
Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori
Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena
dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang
sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah
sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud,
dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika
dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika
kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar
biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan
jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai
dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa
tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan
dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital,
diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya
cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk
oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah
sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap
yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses
yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah
dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu
bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson
dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian
manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga
pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong,
mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk
memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna
berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat
berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan
untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam
psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan
manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic.
Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau
sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence”
atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap
tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini
sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap
tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan
adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri.
Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai
oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap
krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah
sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena
pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang
suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan
berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.
Erikson percaya “epigenetic
principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas
dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap
manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar Di mana gambar tersebut memaparkan tentang
delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap
manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris
diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan
positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk
tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan
kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan
manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat
dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih
menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut
dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang
dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial
Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar
teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori
perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara
mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu
diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud
dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku
bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana
dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing
untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan
yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada
Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif
(adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung
kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan
baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi,
selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola
tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme
yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan
tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun
secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami
ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat
berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut
Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat
biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis
diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang
dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat
digambarkan dalam tabel berikut ini :
Developmental Stage
|
Basic Components
|
Infancy (0-1 thn)
Early childhood (1-3 thn)
Preschool age (4-5 thn)
School age (6-11 thn)
Adolescence (12-10 thn)
Young adulthood ( 21-40 thn)
Adulthood (41-65 thn)
Senescence (+65 thn)
|
Trust vs Mistrust
Autonomy vs Shame, Doubt
Initiative vs Guilt
Industry vs Inferiority
Identity vs Identity Confusion
Intimacy vs Isolation
Generativity vs Stagnation
Ego Integrity vs Despair
|
- Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa bayi (infancy)
ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh
dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia
sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak
akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku
oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada
orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara
asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau
menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira
terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini
adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan
untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik
apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan
tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang
kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu
memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan
kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa
hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu
akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial
sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada
didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh
seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa
aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa
tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil
dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya
serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap
lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat
memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan
nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari
kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan
lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang
lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai
orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang
terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan
maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi.
Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan
bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh
upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka
akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi
apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah
pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa
terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan
munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap
manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa
ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan
tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya
untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu
mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya
dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada
perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya perbandingan yang
tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi
pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan
berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat
kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi
mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam
setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling
berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap
ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya
dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut
terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan
tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya
akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain,
dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut.
Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang
dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi
suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara
interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan).
Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya
sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang
lain.
- Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Masa kanak-kanak awal
(early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada
masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam
arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong
oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan
keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan
dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah
tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita
yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang
harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat
memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi
antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat
menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh
anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap
malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya
sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan
seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan
mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau
ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk
mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau
perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi
pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk
mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain.
Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk,
maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam
perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua
terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga
anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak
seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam mengasuh
anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus
mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada
sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua
dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat
tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa
mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan
ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri
bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap
maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu
menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan
malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi
yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak
selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang
mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna.
Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari
suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi
krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau
jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat
dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata
dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara
bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami
oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme.
Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat
menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku
orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola
pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni
merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak
yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada
penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa
ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
- Inisiatif vs Kesalahan
Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai
adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah memiliki
beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan
beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas
adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan
dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau
berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap
kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap
bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3
sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini
ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan
kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar
dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari
kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap
inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi
nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara
mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya
akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan
karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya
yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah
atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang
mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang
keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan
namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai
mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai
sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan
jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan
disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada
pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa
bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition).
Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk
mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan
merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir
suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi
yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam
pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak
dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani.
Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan
oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu,
rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa
keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan
pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan
sebelumnya.
- Kerajinan vs Inferioritas
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya
kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap
sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di
lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya
sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan
dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan
kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini
dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang
terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah
satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan
kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat
anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan
keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran,
misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman
harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada
awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia
bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam
belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya
berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan
tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak
dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu,
peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang
dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih
banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya
tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol
mereka. Kecenderungan maladaptif akan
tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana
peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain
jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi
yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred
Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian
tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan
mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap
sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan
begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap
pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap
sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada
aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal
dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai
dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak
akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku.
Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat.
Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
- Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja),
yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa
Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity – Identity
Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan
dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan
memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali
sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya
sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang
kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang
besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan
pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang
diberikan kepada masing-masing anggota
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari
peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini.
Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena
melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam
pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana
cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin
luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat
yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada
tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi
di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga
pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang
baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu
juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian
dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat
menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego
sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian
identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai
seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point
yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang
lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan
memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur
sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan
identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan
identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka
tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup
dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme.
Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara
maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih
kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini
dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari
keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan
mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang
menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui
mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif
yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan
identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna
tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah
masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya.
Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen
ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
- Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah
dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa
dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young
adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa
sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun
pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif,
dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham.
Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan
orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin
mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap
menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang
lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan
mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman
dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang
terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh
yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat,
tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara
dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu
kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta,
persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam
sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman
dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif
yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk
mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling
membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup
hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga,
sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu
adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik
dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan
sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang
kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
- Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi
ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60
tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan
generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini
individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya.
Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan
individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas,
tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan,
sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia
mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap
ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah
satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara
sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa
(stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah
kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat
dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda
dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang
dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap
terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri.
Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat
berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu
kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang
baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu
terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan
nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini
meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu
interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara
orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan
otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih
berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang
ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa
dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
- Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut
tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65
ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity
– despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas
pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik
pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang
mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang
akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan
untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan
untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia
seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali
menghantuinya
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada
tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang
menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan
putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut
pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari
lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat
berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika
di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson
terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh
karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini
akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang
mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya
integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan
maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka
tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika
kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara
malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai
sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri. Oleh karena itu,
keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam
masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Clifford T. Morgan, et. al.
1986. Introduction to Psychology. New York: McGraw-Hill Inc.
Erik Erikson,
91,.1994. Psychoanalyst Who Reshaped Views of Human Growth, Dies",
New York
Times, 13 Maret 1994.
Erikson, Erik H. 1979. Dimensions
of a New Identity: The Jefferson Lectures in the Humanities (W. W. Norton &
Company, Inc.
Friedman, Lawrence Jacob 2000.
Identity's
architect: a biography of Erik H. Erikson. Harvard University Press.
George Boeree. 2008. Personality
Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Yogyakarta:
Prismasophie.
George Stade, "Byways
of Our National Character," New York
Times, May 19, 1976 (review of Erikson's Dimensions of a New
Identity).
Friedman, Lawrence Jacob. 2000.
Identity's
architect: a biography of Erik H. Erikson. Harvard University Press.
Schickendanz, Judith A. 2001.
"Chapter 1 Theories of Child Development and Methods of Studying
Children". Understanding Children and Adolescents (4th ed.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar