Total Tayangan Halaman

Sabtu, 31 Maret 2012

Psikologi menurut Budaya & Agama dan Psikologi Indigenous


PSIKOLOGI TIMUR



BAB 1
PENDAHULUAN

            Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya.  Psikologi budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia.  Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya.  Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.
Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Karena manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama, manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Yang Maha Kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbagan manusia dilandasi kepercayan beragama. Sikap orang dewasa dalam beragama sangat menonjol, jika kebutuhan akan beragama tertanam dalam dirinya. Kestabilan hidup seseorang dalam beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kestabilan yang statis. Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya.
Indigenous psychology, sangat berkaitan erat dengan pengaplikasian teori psikologi “barat” ke dalam psikologi “timur.” Jika kita berbicara indigenous psychology, maka berarti kita juga akan berbicara mengenai perkembangan ilmu psikologi itu sendiri, kemudian mengarah kepada budaya orang setempat.
           


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Psikologi menurut Agama
A.    Definisi dan Perkembangan Psikologi Agama
Agama bersifat dogmatis yaitu mengandung nilai-nilai yang terkait dengan keyakinan kebenaran dalam agama tidak selalu dapat diterima dengan nalar (logika). Namun, agama juga menawarkan penjelasan pada manusia tentang fenomena tertentu. Penjelasan tersebut diperoleh melalui perasaan, intuisi, dan wahyu dari Tuhan. Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan dengan istilah ”Al-nafs”, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah ”Al-ruh”. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu Al-nafs atau ilmu Al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir. Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, dan kehendaknya.
Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup dua bidang kajian yang sama sekali berlainan, sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya. Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi.
Psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah darajat dikutip oleh Jalaludin, 2004:15) Berkaitan dengan ruang lingkup dari psikologi agama, maka ruang kajiannya adalah mencakup kesadaran agama yang berarti bagian atau segi agama yang hadir dalam pikiran, yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama, dan pengalaman agama berarti unsur perasaan dalam kesadaran beragama yakni perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah) dengan kata lain bahwa psikologi agama mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindakan agama orang itu dalam hidupnya.(Jalaludin, 2004: 17)  Dalam hal ini psikologi agama telah dimanfaatkan dalam berbagai ruang kehidupan, misalnya dalam bidang pendidikan, perusahaan, pengobatan, penyuluhan narapidana di LP dan pada bidang- bidang lainnya.
2.2  Psikologi menurut Budaya
A.        Pengertian
Psikologi menurut budaya yaitu perilaku yang cenderung untuk mengulang-ulang bentuk-bentuk perilaku tertentu, karena pola perilaku tersebut diturunkan melalui pola asuh dan proses belajar. Kemudian munculah struktur kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang merupakan ciri khas suku bangsa dan masyarakat tertentu. 
Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik.
Dalam konsep yang paling dominan kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Sejalan dengan  pengertian tersebut maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973),  kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial,  oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan cultural materialisme yang mencermati budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), kebutuhan dan hubungan sosial tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan orientasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang bermatra individual, sosial dan cultural sekaligus.
Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya merupakan tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk) memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan. Perkembangan kepribadian individu pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat diambil saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain, karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.
Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan keteraturan sifat di dalam organisasi intra psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead), apabila ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat (social character) dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan (watak masyarakat) dengan kebutuhan objektif masyarakat yang dihadapi suatu masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja : 1988 ) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan modifikasi karakterologi psiko analitik. Teori Erich Formm mengenai watak masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori lainnya mengenai tranmisi kebudayaan dalam hal membentuk “kepribadian tipikal’ atau kepribadian kolektif namun dia juga telah mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosio historical dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan  kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan dengan kebutuhan objektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk memutuskan hubungan itu secara efektif suatu masyarakat perlu menerjemahkannya kedalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus mereka lakukan. Unsur-unsur watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari dua proses yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan sebagai hasil hubungan manusia dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara dalam menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir metaphoric sehingga dapat memperluas atau mempersempit jangkauan dari lambang- lambang dalam sistem arti yang berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertian aslinya, sehingga kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas sistem nilai dan gagasan vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya pola tingkah laku bagi masyarakat pendukungnya.
Selain itu locus of control sangat berpengaruh kepada kepribadian. Locus of control kepribadian umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Locus of control adalah sikap seseorang dalam mengartikan sebab dari suatu peristiwa.  Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
            Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain ataupun lingkungan.

B.    Budaya dan Perkembangan Kepribadian
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orang tua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan.
Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).

C.   Budaya dan Konsep Diri
  1. Definisi konsep diri
Konsep diri adalah organisasi dari persepsi-persepsi diri. Organisasi dari bagaimana kita mengenal dan menerima diri kita sendiri. Suatu deskripsi tentang siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat hingga prinsip. Berpikir mengenai bagaimana mempersepsi diri adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya. Sebagai contoh, seseorang yang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang yang humoris. Deskripsi ini berimplikasi bahwa:
1)    Orang tersebut memiliki atribut sebagai seorang yang humoris dalam dirinya, yang boleh jadi merupakan kemampuan ataupun ketertarikan terhadap segala hal yang berbau humor.
2)    Semua tindakan, pikiran dan perasaan orang tersebut mempunyai hubungan yang dekat dengan atribut tersebut, bahwa orang tersebut selama ini dalam setiap perilakunya selalu tampak humoris.
3)    Tindakan, perasaan dan pikiran orang tersebut di masa yang akan datang akan dikontrol oleh atributnya tersebut, bahwa orang tersebut dalam perilakunya diesok hari akan selalu menyesuaikan dengan atributnya tersebut.
Asumsi-asumsi akan pentingnya konsep diri berakar dari pemimikiran individualistik barat. Dalam masyarakat barat, diri dilihat sebagai sejumlah atribut internal yang meliputi kebutuhan, kemampuan, motif, dan prinsip-prinsip. Konsep diri adalah inti dari keberadaan (existence) dan secara naluriah tanpa disadari mempengaruhi setiap pikiran, perasaan dan perilaku individu tersebut.

2.3  Psikologi Indigenous
A.    Sejarah Psikologi Indigenous
Psikologi dewasa ini mulai menguak dan mencari prinsip-prinsip universalitas, seperti munculnya Psikologi Positif, Psikologi Islami, dan psikologi-psikologi yang lain. Di satu sisi psikologi barat memang dibutuhkan, namun di lain pihak karakteristik kultural budaya setempat juga mulai mendapatkan perhatian. Artinya, untuk memahami perilaku manusia di belahan bumi lain harus digunakan basis kultur dimana manusia itu hidup. Selain itu, diperlukan juga adanya integrasi antara perspektif Barat dan Timur untuk mencari kesamaan-kesamaan dan atau menjawab permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat setempat.
Kuang-Kuo Hwang (2004) dalam artikelnya berjudul “The epistemological goal of indigenous psychology: The perspective of constructive realism,” psikologi indigenous muncul kali pertama pada tahun 1970an di kawasan Asia. Pada waktu itu, banyak psikolog di negara non-barat yang mengadopsi konsep-konsep dan metodologi penelitian yang berkembang di barat untuk diaplikasikan di tempat asal mereka.
Namun, setelah diterapkan di tempat asal, ditemukan adanya ketidakrelevanan antara konsep barat dengan bahasan psikologi masyarakat setempat waktu itu. Konsep dan metodologi penelitian dari barat juga tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi oleh masyarakat setempat dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga, dari situlah muncul indigenous psychology sebagai jawaban atas keprihatinan para psikolog non-barat. Bahasa mudahnya, indigenous psychology muncul mungkin sebagai ketidakpuasan atas konsep psikologi “barat” dalam menjawab permasalahan psikologi masyarakat “timur”.
B.    Definisi, Perkembangan dan Aplikasi
Indigenous Psychology merupakan suatu terobosan baru dalam dunia psikologi yang mana merupakan suatu untuk memahami manusia berdasarkan konteks kultural/budaya. Indigenous psychology dapat juga didefinisikan sebagai pandangan psikologi yang asli pribumi dan memiliki pemahaman mendasar pada fakta-fakta atau keterangan yang dihubungkan dengan konteks kebudayaan setempat. Definisi ini, menurut Prof. Kusdwiratri Setiono, ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.    Pengetahuan psikologi tidak dipaksakan dari luar, melainkan dimunculkan dari tradisi budaya setempat.
2.    Psikologi yang sesungguhnya bukan berupa tingkah laku artifisial (buatan) yang diciptakan (hasil studi eksperimental), melainkan berupa tingkah laku keseharian.
3.    Tingkah laku dipahami dan diinterpretasi tidak dalam kerangka teori yang diimport, melainkan dalam kerangka pemahaman budaya setempat.
4.    Psikologi indegenus mencakup pengetahuan psikologi yang relevan dan didesain untuk orang-orang setempat.
Dengan kata lain, psikologi indigenous mencerminkan realitas sosial dari masyarakat setempat. Psikologi indigenous menurut Prof. Kusdwiratri Setiono, juga merupakan psikologi yang appropriate (cocok; tepat; pantas) untuk setiap budaya yang ada di negara manapun.
Prof. Sarlito Sarwono, guru besar Psikologi UI, juga menjelaskan bahwa keberadaan Psikologi di Indonesia saat ini memang sedang menghadapi beberapa permasalahan, antara lain apa yang sudah berhasil diterapkan di Barat tidak selalu dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan etnik dan kondisi masyarakat Negara kita, misalnya masyarakat desa dan kota. Sehingga, apa yang sudah berhasil diterapkan di satu etnik belum tentu sesuai untuk etnik lain. Pada kenyataanya memang demikian. Selama ini, ilmu psikologi yang telah kita pelajari, masih difahami sebagai western psychology dengan mengasumsikan perilaku dan tingkahlaku manusia sebagai sesuatu yang universal. Padahal menurut Uichol Kim, seorang psikolog asal Korea, teori psikologi barat hanya memadai untuk memahami fenomena kejiwaan masyarakat barat saja sesuai dengan kultur sekuler dimana ilmu itu lahir.
Adanya indigenous psychology sebagai understanding people in context merupakan suatu terobosan baru dalam dunia psikologi karena mampu memahami manusia berdasarkan konteks kultural/budaya setempat. Hal ini juga sebagai bukti bahwa setiap perilaku manusia itu akan selalu dan pasti dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat setempat.
“Apakah indigenous psychology diperlukan?” Sangat. Karena hal ini terkait “masalah” yang ditimbulkan oleh teori western psychology yang selama ini kita gunakan. Jika ditelusuri lebih mendalam, teori western psychology merupakan suatu teori yang disusun berdasarkan sampel orang-orang—bahkan beberapa sampel justru bukan manusia—barat dengan budaya orang barat. Teori tersebut kemudian digeneralisasikan untuk bisa diaplikasikan hampir di semua orang di dunia ini, termasuk di Indonesia. Padahal belum tentu teori tersebut sesuai dengan budaya semua negara. Maka, dengan adanya perbedaan yang terdapat di dalam budaya di tiap-tiap daerah ini, sangat menitikberatkan akan pentingnya indigenous psychology.
Indigenous Psychology selalu saja dikaitkan dengan penelitian dan proses indigenisasi budaya. Proses untuk meng-indegenous psychology-kan suatu budaya itulah yang disebut dengan indigenisasi. Sehingga, tak jarang kita akan menemukan adanya istilah indigenisasi di beberapa penelitian tentang budaya pun demikian, menurut Prof. Kusdwiratri Setiono,
1.    Ada kedekatan antara pendekatan indigenous dengan pendekatan psikologi lintas budaya.
2.    Pendekatan ini berbeda, namun sama-sama perlu digunakan secara bersamaan. Pendekatan psikologi indigenus mencakup indigenization from within dan pendekatan psikologi lintas budaya mencakup indigenization from without. Pendekatan indigenization from without membicararakan isu, konsep dan metode yang dikembangkan oleh komunitas ilmiah di barat—kebanyakan Amerika Serikat dan Eropa Barat—dan yang dipelajari di timur—kebanyakan negara dunia.
3.    Adapun indigenization from within mencakup studi tentang isu dan konsep yang mencerminkan kebutuhan dan realitas dari budaya tertentu—dalam hal ini, tentu akan banyak upaya untuk memodifikasi instrumen guna memasukkan perspektif indigenus/setempat.
Kim & Berry (1993) memberi contoh mudah untuk proses indigenisasi ini. Isu buta-huruf, kemiskinan, pembangunan nasional, dan psikologi desa, kata Kim & Berry, adalah isu yang tepat untuk India, tetapi belum tentu tepat untuk negara Industri (baca: negara maju).  Contoh lain. Masih ingat waktu Amrozi yang justru tersenyum ketika dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan? Untuk memahami makna senyum dan aksi orang seperti Amrozi ketika dijatuhi hukuman mati, dibutuhkan proses indigenisasi juga. Memahami senyum Amrozi, menurut Prof. Dr. Achmad Mubarok, tidaklah cukup hanya dengan membandingkan senyuman orang barat karena senyumannya itu bukan hanya berdimensi horizontal, tetapi juga berdimensi vertikal. Ia harus dicari akarnya pada budaya orang Jawa Timur, budaya santri, budaya pekerja wiraswasta dan budaya pejuang bersenjata (mujahid). Apalagi, Amrozi dan teman-temannya (Imam Samudera CS) pernah terlibat dalam perang (fisik dan mental) melawan penjajah Uni Soviet di Afghanistan.
Indigenous psychology dianggap penting sejak munculnya teori-teori psikologi yang ingin bisa diberlakukan secara universal, tidak hanya di Eropa dan Amerika Utara saja. Tujuan ataupun goal dari indigenous psychology ini adalah untuk membuat science lebih teliti, sistematis dan universal yang secara teori maupun empirik bisa dibuktikan dimana pun berada.
Kultur yang ada di masyarakat setempat seperti sejarah, geografik, politik, bahasa, filsafat dan juga keyakinan (agama) sangat memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan psikologis seseorang. Kultur yang dalam hal ini juga bersifat genetik, mampu membentuk diri kita untuk berperilaku sedemikian rupa baik dalam keadaan normal atau dalam menghadapi satu keadaan tertentu. Dalam penerapan sebuah teori, dibutuhkan adanya kesesuaian konsep yang hendak dijadikan acuan secara universal sehingga mampu menjawab permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat setempat. Sehingga, adanya indigenous Psychology ini bukanlah untuk mematahkan teori psikologi barat melainkan ingin melengkapi tujuan utama psikologi yaitu menjadi science yang bisa berlaku secara universal.





BAB III
PENUTUP

Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup dua bidang kajian yang sama sekali berlainan, sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya. Psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
            Psikologi menurut budaya yaitu perilaku yang cenderung untuk mengulang-ulang bentuk-bentuk perilaku tertentu, karena pola perilaku tersebut diturunkan melalui pola asuh dan proses belajar. Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata khusus. Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya merupakan tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk) memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan.
            Indigenous Psychology merupakan suatu terobosan baru dalam dunia psikologi yang mana merupakan suatu untuk memahami manusia berdasarkan konteks kultural/budaya. Indigenous psychology dapat juga didefinisikan sebagai pandangan psikologi yang asli pribumi dan memiliki pemahaman mendasar pada fakta-fakta atau keterangan yang dihubungkan dengan konteks kebudayaan setempat. Adanya indigenous psychology sebagai understanding people in context merupakan suatu terobosan baru dalam dunia psikologi karena mampu memahami manusia berdasarkan konteks kultural/budaya setempat. Proses untuk meng-indegenous psychology-kan suatu budaya itulah yang disebut dengan indigenisasi.




DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar