Total Tayangan Halaman

Sabtu, 31 Maret 2012

Agama dan Globalisasi




 
AGAMA DAN GLOBALISASI[1]

1.      Pengantar.

Dunia kita sudah, sedang, dan akan terus berubah. Kemajuan teknologi informasi dan jaringan komunikasi massa di abad ini telah membuat kehidupan di atas planet bumi menjadi terintegrasi ke dalam sebuah komunitas global yang polisentris, multi-kultural dan multi religius.  Manuel Castelo menyebut masyarakat ini sebagai “Network Society” yang dicirikan oleh globalisasi ragam aktivitas ekonomi dan transformasi sejarah.[2]
Globalisasi sebagai sebuah proses sejarah dan sekaligus sebuah proyek ekonomi tentu saja  memberi pengaruh terhadap struktur sosial dan tingkat kesejahteraan manusia. Ada pengaruh  yang bersifat positif seperti tersedianya informasi yang dapat diakses secara cepat, massif, dan ekonomis serta terjalinnya kehidupan manusia oleh jaringan komunikasi dan transaksi global. Namun ada pula pengaruh yang bersifat negatif seperti persaingan sosial, budaya, agama, politik, dan bisnis. Menguatnya sentiment antar suku, ras, agama, dan bangsa-bangsa di beberapa tempat, melebarnya kesenjangan dan ketimpangan ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin,  dan kerusakan lingkungan alam akibat eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan adalah dampak-dampak negatif dari proses sejarah dan proyek ekonomi global yang sedang berputar sekarang ini.
Dalam konteks perubahan inilah kita akan mengkaji secara positif, kritis, dan konstruktif peran agama-agama sebagai sumber  moral, etika, dan spiritual bagi kehidupan manusia. Namun sebelum itu, kita akan mencoba untuk memahami realitas dan permasalahan globalisasi yang aktual sekarang ini. Makalah ini akan diakhiri dengan paparan tentang solusi etik yang ditawarkan oleh agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam meredam dampak negatif globalisasi terhadap kehidupan manusia. 


2.      Memahami Globalisasi dan Permasalahannya.
Globalisasi sering dipandang sebagai sebuah konsep kolektif yang mencakup  dimensi-dimensi tertentu, seperti yang dapat dilihat melalui pemaknaan berikut ini: 
·         Globalisasi sebagai internasionalisasi. Definisi ini menekankan relasi saling tergantung antar negara dalam bidang ekonomi dan perdagangan.
·         Globalisasi sebagai Liberalisasi. Definisi ini merujuk pada upaya negara-negara kapitalis besar untuk menembus proteksi ekonomi negara-negara lain dalam rangka terciptanya sebuah pasar bebas dan dunia ekonomi tanpa batas.
·         Globalisasi sebagai universalisasi. Segi ini berhubungan dengan upaya negara-negara atau asosiasi bisnis multinasional dalam memasarkan produknya.
·         Globalisasi sebagai westernisasi. Dengan sudut pandang ini, struktur sosial kapitalisme, konsumerisme, materialisme, dan hedonisme diwacanakan sebagai sebuah opini dunia yang terbaik, sehingga tak jarang membawa perubahan yang radikal pada tatanan sosial dan nilai-nilai kultural suatu bangsa.
·         Globalisasi sebagai deteritorialisasi. Dalam perspektif ini pergaulan manusia sejagad tidak dapat lagi dibatasi oleh pagar-pagar geografis, bahasa, budaya, idelogi, dan agama. Masyarakat dunia telah melebur menjadi satu komunitas sejati.[3]
Menurut Dewan Gereja-Gereja se Dunia (DGD), globalisasi dapat dilihat sebagai suatu proses sejarah yang multi wajah dan sebagai suatu proyek ekonomi dan politik kapitalisme global yang destruktif. Ia sedang mendekatkan dan menyatukan semua orang di “globe” ini ke dalam sebuah sistem ekonomi, sosial, budaya, politik yang terintegrasi dan termediasi oleh teknologi dan komputerisasi informasi.  
Sosiolog seperti Manuel Castelo melihat adanya tiga proses yang menjadi momentum globalisasi, yaitu:
Ø  Revolusi teknologi informasi,
Ø  Krisis ekonomi yang disusul oleh lahirnya sistem neo-liberalisme,
Ø  Berkembangnya gerakan-gerakan sosial budaya.
Interaksi antara ketiga proses ini dan cetusan-cetusan reaktifnya menimbulkan sebuah strutktur sosial dominan yang baru yang disebut “network society”, ekonomi global baru, dan budaya baru. Anthony Giddens memahami globalisasi tidak sekedar sebuah fenomena ekonomi dan tidak dapat disamakan dengan munculnya sebuah tata dunia baru, akan tetapi yang jauh lebih mendasar adalah bahwa globalisasi adalah sebuah proses transformasi kehidupan individu dan komunitasnya.  Hal ini terkait dengan munculnya media-media konsumsi baru yang menawarkan secara massif identitas-identitas dominan global bagi individu dan komunitas lokal. Oleh sebab itu Globalisasi dapat dilihat sebagai sebuah konsep kolektif yang mau menjelaskan ragam fenomena sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang terjadi pada millenium ketiga ini.
Akhir-akhir ini globalisasi mulai disikapi secara kritis oleh para sosiolog, budayawan, dan ulama. Hal ini terkait dengan persoalan-persoalan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang disebabkan oleh globalisasi tersebut.

a.      Masalah Kemiskinan dan Kesenjangan di era Globalisasi.
Krisis ekonomi yang melanda dunia, khususnya di Eropa pada pasca Perang Dunia II telah memunculkan sebuah konsep ekonomi yang baru yang disebut Neo-liberalisme.  Konsep ekonomi ini lebih mementingkan modal swasta yang dinamakan “pasar” yang tidak terkekang untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan meningkatkan pertumbuhan. Ia kemudian menggerakan kapitalisme neoliberal dan globalisasi neoliberal sehingga  pemerintahan nasional tidak berdaya melindungi barang dan jasa publik. Dengan demikian fungsi negara dan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan sosial yang berdasarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesetiakawanan hilang.[4]
Ideologi politik ekonomi inilah yang menjadikan orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Atau dengan kata lain, ia telah memperlebar kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta memperjelas ketimpangan dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Para pengusaha mendapat keuntungan yang berlipat ganda sementara para buruh menderita di dalam kemiskinan mereka. Negara-negara kaya semakin kaya karena dapat menguasai modal, sistem produksi dan distirubusi barang/jasa melalui perusahaan-perusahaan multinasional, sementara negara-negara miskin terbelit hutang dan menjadi tergantung terhadap negara-negara kaya.
Peran pemerintah dalam mengawasi sistem produksi dan sistem distribusi barang/jasa demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat menjadi lemah oleh liberalisasi ekonomi  dan sistem pasar bebas. Data yang dikeluarkan oleh UNICEF menunjukan dengan jelas bahwa seperlima orang terkaya di dunia mengkonsumsi 45 persen sumber protein dunia, sementara seperlima orang termiskin hanya mengkonsumsi 5 persen. Seperlima orang terkaya mengkonsumsi 58 persen dari total energi, sementara seperlima orang miskin mengkonsumsi kurang dari 4 persen.
Pada dekade ini ada 7,7 juta orang kaya yang memiliki kekayaan lebih dari 1 juta dolar AS. Jumlah kekayaan mereka mencapai 28,9 triliun dolar AS. Tetapi tragis, pada saat yang sama 840 juta orang di dunia menderita kelaparan. Enam juta anak-anak di bawah usia lima tahun meninggal setiap hari karena kelaparan. 1,2 milyar orang di dunia bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 1 dolar AS setiap hari. 12 juta orang meninggal setiap tahun karena kekurangan air dan 1,1 milyar tidak mempunyai akses air bersih. 40 juta orang mengidap AIDS. Lebih dari 113 juta anak-anak di dunia berkembang tidak mengenyam pendidikan dasar. 60 persen di antaranya adalah anak-anak perempuan. Di negara-negara miskin usia harapan hidup hanya sekitar 38 tahun, sementara di negara-negara maju usia harapan hidup mencapai 80 tahun. Asset 200 orang terkaya di dunia bernilai lebih dari total pendapatan tahunan 41 persen penduduk dunia. UN Human Development Index menyatakan bahwa 20 persen orang kaya dari total penduduk dunia memperoleh 150 kali kekayaan dari 20 persen orang termiskin.[5]
Institute for Global Justice (IGJ) dalam sosialisasi dan kritiknya terhadap globalisasi dan dampaknya bagi Indonesia menunjukkan secara gamblang kemiskinan dan penderitaan para buruh pabrik yang bekerja “overtime” tetapi dengan upah yang tidak dapat diandalkan untuk menopang kehidupan pribadi apalagi keluarganya sendiri. Sebagai hal yang tragis dilaporkan bahwa apabila gaji semua buruh pabrik sepatu Nike yang ada di Indonesia dijumlahkan, bayaran terhadap Tiger Woods sebagai bintang iklan sepatu Nike masih jauh lebih besar. Sedemikian halnya dengan sebuah keluarga kaya di Jakarta yang melangsungkan resepsi pernikahan di salah satu hotel berbintang dengan biaya lebih dari satu milyar yang dalam dua jam habis seketika, sementara itu ada lebih dari 70 juta orang di Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. 
b.      Masalah Konsumerisme dan  Materialisme di Era Globalisasi.
Di bidang sosio kultural, globalisasi menghasilkan ragam  media konsumsi baru yang segera  menjadi godaan dan tantangan bagi setiap individu dan masyarakat dewasa ini.[6]  Beberapa  media konsumsi baru yang umum dapat ditemukan dalam masyarakat kita adalah restoran makanan cepat saji (KFC, McDonald, Pizza Hut, Starbucks Coffee), produk-produk eksklusif perusahaan multi nasional (GAP, Nike, Adidas, Levi’s, Reebok, Calvin Klein Jeans), Supermarket dan Mall (hypermart dan carefour), jaringan televisi global, dan telephone seluler (Nokia, Siemens, Samsung, Motorola, LG, D-One). Ragam media konsumsi baru ini menyediakan identitas global dominan yang praktis, ekonomis, dan trendy serta  dapat menaikan prestise individu di dalam masyarakat. Karena itu maka kecenderungan orang untuk meraih identitas global dominan tersebut kelihatan dengan jelas melalui penambahan jumlah restoran cepat saji, pembangunan mega mall,  maraknya iklan di berbagai media, dan meledaknya jumlah pemakai telephone seluler dan jaringan internet. Atau sebaliknya, karena tidak setuju dan merasa terancam dengan identitas dominan tersebut, maka orang melakukan resistensi dengan cara yang membangkitkan semangat primordialisme yang radikal.
Proses sejarah dan proyek ekonomi yang sedang berjalan dewasa ini melahirkan sebuah gaya hidup dan budaya global (Global Culture) yang merasuki setiap sudut dunia dan mempengaruhi setiap orang.[7] Budaya ini biasa disebut sebagai budaya pop (Pop culture) yang menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik melalui reklame di media TV dan internet. Budaya pop inilah yang menjadi momentum utama menguatnya paham dan gaya hidup konsumerisme ala Amerika.[8] 
Orang berlomba-lomba untuk meraih identitas dominan dari berbagai media konsumsi baru tersebut yang diekspor oleh negara-negara kapitalis seperti Amerika. Seseorang akan merasa memiliki prestise di tengah komunitasnya apabila ia mempunyai akses dengan simbol-simbol identitas dominan tersebut. Misalnya saja, adalah sebuah kebanggaan apabila seseorang dapat berakhir pekan di sebuah mega mall, terlebih lagi apabila ia dapat membeli beberapa barang eksklusif dan  makan di lobi-lobi mall tersebut. Seseorang  akan merasa terpandang apabila berbelanja di mall dengan memakai kartu kredit. Seorang mahasiswa akan merasa percaya diri apabila pergi ke kampus dengan memakai produk perusahaan terkenal seperti Adidas, Nike, Live’s, Reebok, Calvin Clein Jeans, GAP atau yang lainnya yang dibelinya dari sebuah mall.  Inilah gaya hidup global dengan sebuah budaya baru yang disebut “Mallcondo culture.”[9]  Budaya material yang baru ini melahirkan sebuah penyakit sosial yang baru yang disebut “affluenza”, sebuah istilah  yang dipakai oleh para kritikus sosial terhadap materialisme dan konsumerisme ala Amerika. Gejala “affluenza” kelihatan melalui kegelisahan dan stress yang dialami oleh orang-orang yang tidak bisa mengendalikan keinginan untuk berbelanja dan memakai produk-produk eksklusif yang dibeli di mall sehingga harus mengabaikan kebutuhan-kebutuhan pokok, meminjam uang dan menanggung tagihan kartu kredit yang tidak dapat terbayarkan lagi.[10] 
c.       Masalah Militerisme dan Terorisme di Era Globalisasi.
Dalam konteks sosial politik, globalisasi tidak dapat dilepaskan dari semangat militerisme. Negara-negara maju yang merasa kepentingannya terancam oleh negara-negara lain akan mengembangkan sistem pertahanan dan keamanan dengan kekuatan senjata dan mereka tidak segan-segan untuk melakukan aksi offensif terhadap negara lain. Sementara negara-negara miskin dan berkembang terpaksa melakukan resistensi dan perlawanan dengan pendekatan dan metode terorisme. Infasi Amerika di Irak secara populer diperkenalkan sebagai upaya untuk menghentikan proyek senjata pemusnah masal dan demi membela serta  menegakan sistem demokrasi. Akan tetapi pada akhirnya sulit untuk dibantah kalau infasi tersebut terutama berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi Amerika dan Barat di Timur Tengah. Amerika dan Barat ingin tetap menguasai sumber-sumber energy konvensional dan mengamankan kelompok-kelompok radikal yang mengancam  kepentingan dagang mereka di Timur Tengah.
Selama masa pemerintahan George W. Bush, Amerika melakukan sejumlah besar operasi militer di Irak dan Afghanistan dengan melibatkan sejumlah besar tentara dan menghabiskan sejumlah besar biaya untuk perang.  Hasil yang diperoleh dari aksi militerisme tersebut bukanlah kedamaian dan kesejahteraan, tetapi meningkatnya aksi-aksi kekerasan dan aksi-aksi terror berdarah yang memakan sejumlah besar korban jiwa yang tidak bersalah.
d.      Masalah Pluralisme dan Eksklusifisme Agama.
Dalam konteks sosial keagamaan, globalisasi melahirkan masyarakat polisentris yang multi kultural dan multi religius. Istilah-istilah ini menunjuk tersedianya ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam identitas sosial seperti budaya, agama, ras, dan gender dalam proses interaksi yang setara dan koperatif. Dalam konteks kehidupan semacam ini maka satu-satunya jalan bagi terciptanya keadilan, perdamaian, dan integritas ciptaan adalah persaudaraan dan persahabatan di dalam perbedaan. Namun sayang sekali, di beberapa tempat visi ini tidak dapat diwujudkan, karena alih-alih menumbuhkan semangat dan sikap  toleransi yang inklusif transformatif, komunitas-komunitas primordial justru mempertebal   kesadaran subjektif universalistik dan eksklusifisme yang radikal. Karena itu tidak jarang masyarakat mengalami konflik terbuka atas nama identitas primordial seperti agama.
Di pihak lain, globalisasi dengan visi multi-kultural dan multi-religiusnya mengancam identitas-identitas lokal dan primordial. Tidak sedikit orang yang mengalami krisis identitas dan kehilangan orientasi nilai-nilai moral, etika, dan spiritual. Dalam konteks inilah peluang bagi lahirnya gerakan-gerakan keagamaan baru terbuka dengan lapang. Sistem kepercayaan dan komunitas iman yang lama ditanggalkan dan ditinggalkan lalu berpaling pada agama-agama modern yang bersifat mistik personalistik atau sebaliknya rasionalistik materialistik. Kedua kategori agama modern ini bersifat artifisial dan menjauhkan manusia dari eksistensi dan transendensi dirinya. David Ray Griffin mengatakan bahwa globalisasi telah membuat kita terancam oleh bahaya kehilangan banyak kualitas penting. Manusia dapat terlempar di dalam kekosongan tak bermakna dan menjadi makhluk asing bagi dirinya dan bagi lingkungannya.[11]


e.       Masalah Lingkungan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai salah satu motor penggerak proses globalisasi telah mengancam kelestarian dan keseimbangan alam sebagai tempat tinggal yang aman dan sehat bagi manusia. Muncullah ragam masalah lingkungan seperti pemanasan global, penipisan sumber daya alam, punahnya keanekaragaman hayati, dan polusi tanah, air, dan udara. Sebagai akibatnya bumi bukan lagi tempat yang aman untuk didiami.
Dengan memahami globalisasi dan berbagai permasalahan yang ditimbulkannya maka menjadi jelas bagi kita bahwa globalisasi harus disikapi secara positif, kritis, realistis, dan konstruktif. Pertanyaan yang urgen dan krusial bagi agama-agama sebagai dasar dan pilar kehidupan moral, etika, dan spiritual masyarakat  adalah sikap-sikap etis dan praktis seperti apakah yang ditawarkan oleh agama kepada masyarakatnya?
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut maka dalam pasal yang berikutnya akan dipaparkan beberapa prinsip etis dan konsep pembangunan yang dipikirkan oleh kekristenan dalam konteks globalisasi.

3.      Menyikapi Globalisasi.

Dari paparan sebelumnya menjadi jelas bagi kita bahwa globalisasi sudah menjadi sebuah realitas yang objektif. Bahkan kita semua sedang hidup dan bergelut di dalamnya. Globalisasi tidak dapat kita hindari, karena itu globalisasi mau tidak mau harus dihadapi. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya kita menyikapi globalisasi ini secara konseptual dan normatif sehingga di satu pihak ia memberi manfaat yang baik bagi manusia dan di lain pihak dampak negatifnya dapat diredam.
Berdasarkan kebutuhan etis tersebut di atas maka pada tanggal 28 Agustus – 4 september 1993 di kota Chicago USA komunitas agama sedunia melaksanakan pertemuan Dewan Parlemen Agama-Agama Dunia. Dengan jumlah peserta lebih dari 6.500 orang dari berbagai komunitas agama dunia, pertemuan itu  berhasil mendeklarasikan sebuah piagam yang disebut “Declaration Toward a Global Ethic.” Dokumen ini merupakan sebuah konsensus dasar (fundamental consensus) yang terkait dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tidak dapat diganggu gugat, dan sikap-sikap personal dalam menghadapi berbagai masalah dan ancaman global. Di dalam dokumen deklarasi tersebut komunitas agama sedunia mendeklarasikan beberapa hal, yaitu:
Ø  Kesadaran akan saling ketergantungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya,
Ø  Komitmen untuk menghormati kehidupan  dan martabat, individualitas dan keragaman, sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi dan setara tanpa kecuali.
Ø  Panggilan untuk mengikatkan diri pada budaya tanpa kekerasan, penghormatan, keadilan dan perdamaian.
Ø  Komitmen untuk berjuang bagi terwujudnya sebuah tatanan sosial dan ekonomi yang adil, di mana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih potensi yang penuh sebagai manusia.
Berangkat dari kesadaran, komitmen, dan panggilan tersebut komunitas agama sedunia merumuskan prinsip-prinsip etik global sbb:
Ø  Tidak aka nada tatanan dunia baru yang adil apabila tidak ada etika global.
Ø  Setiap orang harus diperlakukan secara manusiawi.
Ø  Empat petunjuk yang tak terbatalkan: komitmen pada budaya non kekerasan dan hormat pada kehidupan, komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil, komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus, komitmen pada budaya kesetaraan dan kerja sama.
Dengan etik global tersebut diharapkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dengan kebijaksanaan,  penerapan teknologi yang didasari oleh kekuatan spiritual, kemajuan industri yang dibarengi dengan perlindungan ekologi, dinamika demokrasi dengan moral, dan terciptanya masyarakat multi-kultural religius dengan semangat persaudaraan.[12]
            Pada waktu yang hampir bersamaan komunitas Kristen sedunia yang terhimpun dalam organisasi oikumenis Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) dalam Sidang Rayanya di Harare (1998) menggumuli pertanyaan bagaimana gereja-gereja dan keluarga oikumenis harus menanggapi tragedi-tragedi kemanusiaan yang berakar pada proyek globalisasi ekonomi. Atas dasar pergumulan etis tersebut maka lahirlah sebuah program oikumenis yang disebut “Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE)” (Globalisasi Alternative Mengutamakan Rakyat dan Bumi).
            Proses awal tersebut ditindaklanjuti oleh Sidang Raya DGD di Porto Alegre pada tahun 2006 yang menghasilkan desakan untuk segera melakukan beberapa aksi, antara lain:
Ø  Menegakkan tata ekonomi dunia yang adil.
Ø  Mempromosikan perdagangan yang adil.
Ø  Memperjuangkan sistem keuangan yang adil.
Ø  Melakukan aksi transformatif dan alternative kehidupan.
Ø  Mengembangkan kehidupan multi-kultural religius yang inklusif transformatif.
Ø  Mengkampanyekan dan mempelopori aksi perlindungan dan rehabilitasi ekologi[13]
Dokumen tersebut dijadikan sebagai pola dasar pelayanan gereja di tengah masyarakat termasuk di Indonesia. Karena itu pada tahun 2007 yang lalu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) melaksanakan sebuah pertemuan tingkat nasional di Bogor, yang dihadiri oleh wakil-wakil sinodal, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan teologi, dan beberapa organisasi keagamaan dalam rangka menyamakan persepsi dan merumuskan secara bersama aksi-aksi yang harus diambil oleh gereja dalam menghadapi globalisasi. Aksi-aksi yang berhasil disepakati untuk dilaksanakan antara lain:
Ø  Advokasi dan solidaritas terhadap kaum buruh dan anggota masyarakat lainnya yang menjadi korban sistem ekonomi yang tidak adil. Hal ini dapat dilakukan dengan tindakan boikot terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan nasional dan multi nasional yang mengabaikan hal-hal seperti hak-hak buruh untuk berkumpul dan berpendapat, jaminan perlindungan kerja, jaminan kesehatan, dan jaminan hari tua, dan melaksanakan diskriminasi gender, dan eksploitasi buruh anak (Amos 5: 24)
Ø  Penguatan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada sistem ekonomi kekeluargaan dan gotong royong. Hal ini dapat dilakukan dengan mendirikan koperasi simpan pinjam, agro industry dan agro bisnis kerakyatan, industri rumah tangga, dan penataan kembali pasar-pasar tradisional.  (Lukas 4: 18 – 19)
Ø  Penyediaan perangkat hukum yang melindungi anggota masyarakat yang rentan terhadap praktek diskriminasi, misalnya terhadap kaum perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas dalam masyarakat.
Ø  Peningkatan dialog dan kerjasama antar umat beragama melalui aksi-aksi sosial untuk menghadapi krisis ekologis dan HIV AIDS.
Semua usaha ini adalah sikap yang berhasil dirumuskan dan akan terus diperjuangkan oleh agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam konteks proses sejarah dan proyek ekonomi global yang sedang bergulir. Tantangan utama terhadap upaya ini datang dari paham-paham materialisme, individualisme, liberalisme, konsumerisme, eksklusifisme, radikalisme, dan militerisme. Karena itu, globalisasi harus juga dihadapi dengan sebuah transformasi yang mendasar akan pandangan hidup, sistem kepercayaan, ideologi, dan gaya hidup. Hanya dengan demikian kehidupan manusia di planet ini akan terhindar dari tragedi dan kehancuran yang datang belum pada waktunya.

4.      Penutup.
Globalisasi dan agama memang tidak dapat dipisahkan. Baik secara historis maupun ideologis agama akan selalu ada di balik setiap proses dan peristiwa sosial di era globalisasi ini. Bahkan disinyalir bahwa globalisasi adalah misi agama itu sendiri.  Oleh sebab itu adalah benar apabila membicarakan globalisasi dalam hubungan dengan agama dan adalah suatu keharusan untuk meminta pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari agama-agama tentang ragam persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang terjadi dewasa ini.
Mahasiswa sebagai bagian dari komunitas ilmiah dan komunitas beragama yang akan mewarisi masa depan sudah seharusnya memahami realitas globalisasi dan permasalahannya serta diperkenalkan dengan solusi-solusi konseptual agar mereka dapat mengambil sikap positif, kritis, realistis, dan konstruktif terhadap globalisasi itu sendiri.


œ






Kepustakaan
Castello, Manuel. The Power of Identity. Oxford: Blackwell Publishing, 2004.

Cobb, Kelton Theology and Popular Culture. Oxford: Blackwell Publishing, 2005.

Dewan Gereja-Gereja Se-Dunia. Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi.
           Diterjemahkan oleh Boni Sagi & Nina Hutagalung. Jakarta: PMK HKBP, 2006.

Kung, Hans & Karl Josef Kuschel. Etik Global. Diterjemahkan oleh Ahmad Murtajib.
               Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Ritzer, George. “The Postmodern Social Theory”.  Diterjemahkan oleh Muhammad Taufik,
               Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.

Seabrook, Jeremy.  Kemiskinan Global, Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme. Yogyakarta:
               Resist Book, 2006.  

Stuckelberger, Christoph (Ed.), Responsible Leadership, Global dan Contextual Ethical
               Perspective. Geneva: WCC, 2007.

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2004.

Therik, Tom. “Masa Depan Agama dalam Budaya Global”. Makalah dalam Seminar Agama-                                     Agama – PGI Cipayung Bogor, September 2008. (Tidak dipublikasikan)





[1] Makalah ini disampaikan dalam Studium Genarale Agama-Agama untuk Mahasiswa UKSW pada tanggal 7 November 2009 di Balairung UKSW.
[2] Istilah “network society” menunjuk pada format baru masyarakat yang disebabkan oleh revolusi teknologi informasi dan restrukturisasi kapitalisme. Format baru masyarakat ini dicirikan antara lain  oleh globalisasi ragam aktivitas ekonomi dan transformasi fondasi-fondasi kehidupan material, ruang dan waktu. Lihat: Manuel Castello, The Power of Identity (Oxford: Blackwell Publishing, 2004)
[3] Tom Therik, Masa Depan Agama dalam Budaya Global. Makalah dalam Seminar Agama-Agama – PGI Cipayung Bogor, September 2008. Hal. 2-3. 
[4] World Council of Churches, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006. 13.
[5] Jeremy Seabrook, Kemiskinan Global, Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book, 2006. 21. 
[6] George Ritzer, “The Postmodern Social Theory”.  Diterjemahkan oleh Muhammad Taufik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), 368.
[7] Kelton Cobb, Theology and Popular Culture (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), 27.
[8] Untuk mengetahui lebih jauh tentang budaya pop dan materialisme Amerika yang mengglobal melalui media iklan,  lihat: James B. Teitchell, Lead Us into Temptation: The Triumph of American Materialism. (Columbia University Press, 2003).
[9] Ibid. “Malcondo Culture” adalah sebuah konsep budaya material yang baru yang berpusat pada aktifitas jual beli  di pusat-pusat perbelanjaan modern  (Mall).
[10]James B. Twitchell, Lead Us into Temptation., 193
[11] David Ray Griffin, Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern. Diterjemahkan oleh A. Gunawan Admiranto. (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 30.
[12] Hans Kung dan karl Josef Kuschel, Etik Global. Diterjemahkan oleh Ahmad Murtajib. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
[13] Einar Sitompul (Ed.) Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi. Diterjemahkan oleh Boni Sagi & Nina Hutagalung. Jakarta: PMK HKBP, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar