Total Tayangan Halaman

Sabtu, 31 Maret 2012

Agama dan Kekerasan




 
ISLAM FOBI DAN AKSI-AKSI RADIKAL:




Ajengan-ajengan cing sing boga kekenyos, ulah datang ka elat, sumawona lamun mundur, era ku batur jeung moal aya kasukaan, sorban bae gedekeun.
Kangrama di Cipari
     Haji Mugni[1]

Kalimat di atas merupakan kutipan dari surat Haji Mugni, salah seorang ulama asal Cipari, Garut. Surat itu merupakan surat terbuka yang ditujukan kepada para kiai (ajengan), yang isinya meminta agar mereka tidak hanya membesar-besarkan simbol keulamannya saja, tetapi juga tekad untuk memajukan dan meneruskan perjuangan. Surat tersebut ditemukan oleh para penyidik pemerintah kolonial Belanda dari berkas-berkas yang dikumpulkan dalam upaya mengungkapkan latar belakang serta para pelaku peristiwa yang terjadi di Cimareme, kabupaten Garut tahun 1919. Peristiwa ini juga dikenal sebagai kasus “SI-Afdeling B”. Seperti telah diungkapkan dalam beberapa karya sejarah, pada 17 Juli 1919 bupati Garut yang didampingi Asisten Residen Priangan telah melakukan tindakan keras terhadap perlawanan keluarga Kiai Haji Muhammad Hasan Arif beserta para pengikutnya.[2] Haji Hasan dinilai oleh penguasa setempat, telah membangkang dan melawan terhadap kebijakan pemerintah setempat. Pemerintah telah menetapkan bahwa dia wajib menjual hasil panennya sebesar 42 pikul, tapi diserahkan kepada pemerintah hanya 10 pikul saja.[3] Alasannya karena hasil panennya tidak cukup untuk membiayai hidup keluarganya. Apalagi sebelumnya pihak pemerintah telah memaksa mengubah kebin jeruknya menjadi lahan sawah (padahal hasil kebun jeruknya jauh lebih menguntungkan disbanding padi). Dalam peristiwa itu Haji Hasan beserta sanak keluarganya dan beberapa pengikutnya meninggal diterjang timah-timah panas yang dimuntahkan senapan-senapan prajurit yang mengepung rumahnya di bawah pimpinan bupati dan asisten residen Garut.
Peristiwa Cimareme ternyata membawa dampak tidak kecil pada kehidupan pesantren-pesantren tidak hanya di wilayah kabupaten Garut saja, tetapi juga pesantren-pesantren di luar kabupaten Garut, seperti di wilayah Priangan Barat. Banyak pesantren di wilayah itu yang kehilangan kyai atau gurunya karena dipenjara dengan tuduhan terlibat Sarekat Islam atau SI Afdeling B (Afdelng-B). Dengan sendirinya, proses pembelajaran di pesantren-pesantren tersebut menjadi terganggu. Tidak sedikit pula kader kyai yang semula akan bersekolah ke Al-Azhar” di kota Kairo, Mesir, terpaksa membatalkan rencananya karena dicekal oleh pemerintah setempat, misalnya Yusuf Tojiri dari pesantren Cipari, Garut. Ia terpaksa harus mengurungkan niatnya untuk menimba ilmu di universitas idamannya karena ayahnya Kyai Haji Ajengan Harmaen dinilai telah membantu gerakan Afdeling B dan dirinya pun harus tetap tinggal sebagai saksi.[4] Demikian pula dengan Pesantren Babakan Loa terpaksa kehilangan gurunya karena Kiai Adra’i yang disebut-sebut di depan pengadilan oleh para saksi sebagai ketua Afdeling B wilayah Priangan, terpaksa harus melarikan diri ke luar Hindia Belanda (ke Semanjung Malaysia dan menetap di sana).
Peristiwa Cimareme secara langsung merugikan nama baik Sarekat Islam (SI) pimpinan Cokroaminoto. Pemerintah Hindia Belanda menilai SI Afdeling-B mempunyai kaitan erat dengan SI. Sebab, berdasarkan barang-barang bukti yang ditemukan di rumah Haji Hasan, serta pengakuan para saksi dan terdakwa, menunjukkan bahwa sikap radikal yang diperlihatkan keluarga Haji Hasan dan pengikutnya antara lain disebabkan oleh pengaruh ajaran sesat yang dibawa oleh SI Afdeling-B.[5] Pemerintah meyakininya bahwa kelompok Afdeling-B merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sarekat Islam (SI). Kelompok ini dipersiapkan untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka akan membunuh semua orang-orang Eropa dan Cina yang dinilai telah menyengsarakan rakyat pribumi. Serta merta pihak SI menolak dengan tegas semua tuduhan itu. Pimpinan SI mengatakan tidak tahu-menahu tentang eksistensi Afdeling B, apalagi ikut terlibat dengan segala aktivitasnya dalam mempersiapkan suatu pemberontakan.
Meskipun demikian, pihak pemerintah tetap mencurigai SI dan menuduh afdeling B semacam sayap radikal yang rahasia sifatnya. Apalagi dalam tahun itu, peristiwa yang hampir serupa terjadi pula di Toli-Toli, Sulawesi. Oleh karena itu pemerintah “membekukan” untuk sementara keanggotaan Cokroaminoto pada lembaga Volksraad.
Sikap Islam fobi yang diperlihatkan penguasa kolonial Belanda dalam kasus Afdeling-B pada dasarnya bukan hal yang baru.[6] Sikap seperti itu sudah nampak sejak pertengahan abad ke-19, terutama dengan maraknya aksi-aksi kolekatif petani yang tidak jarang membawa simbol-simbol keislaman. Kenyataan itu paling tidak dijadikan dasar oleh pemerintah kolonial untuk memisahkan Islam sebagai agama dan Islam sebagai politik. Pemerintah kolonial, termasuk komunitas Belanda di Hindia Belanda, selalu mewaspadai setiap perkembangan di dunia Islam dengan penuh curiga. Bertambahnya jumlah mesjid, pesantren atau jemaah haji ditengarai sebagai kebangkitan Islam yang membahayakan; atau meningkatnya peserta pada pengajian-pengajian atau meningkatnya peserta tarekat, dipandang sebagai akan munculnya perang suci atau perang salib baru yang harus segera dicegah.[7]
Ide-ide keagamaan dalam aksi-aksi kolektif.
Dalam lembaran sejarah Indonesia, aksi-kasi kolektif, baik yang disebut “kerusuhan”, “protes”, “perlawanan”, “makar”, atau “pemberontakan”, yang di dalamnya terkait isu-isu dan simbol-simbol keagamaan, dapat dikatakan relatife banyak, terutama yang terjadi pada masa pemerintah kolonial Belanda. Seperti telah disinggung di atas, dalam peristiwa Cimareme, muncul kasus SI Afdeling-B yang dituduh merencanakan pemberontakan. Kecurigaan Belanda terhadap SI bahkan sudah ada sejak para pendiri organisasi itu meminta pengakuan hukum dari pemerintah. Jika mundur lagi ke abad XIX, banyak aksi-aksi kolektif para petani dikategorikan oleh pemerintah waktu itu sebagai aksi kerusuhan, protes atau pemberontakan yang didalangi oleh ide-ide Islam. Sebut saja misalnya “pemberontakan petani Ciomas” tahun 1886, “pemberontakan petani Banten” tahun 1888, peristiwa Gedangan tahun 1904, dan peristiwa pak Jebrak tahun 1919.[8] Akan tetapi jika diteliti kembali semua laporan-laporan baik yang disebut mailrapport, verbal, process-verbal, atau politiek verslag, pada umumnya yang menyebutkan ideologi atau ajaran Islam sebagai biang keladinya, umumnya berasal dari interpretasi para pejabat atau tokoh-tokoh Belanda waktu itu. Dari kalangan pribumi sendiri yang didakwa atau saksi, umumnya mengaku mengadakan aksi kolektif karena tekanan ekonomis seperti, beban pajak dan herendiensten. Hal ini tidak berarti tidak ada perlawanan yang secara jelas menggunakan ide-ide keagaman dalam perlawanannya, contohnya adalah dalam perang Belanda di Aceh.
Dalam perang Belanda di Aceh, yang dimulai sejak tahun 1873, yang berkobar lebih dari 40 tahun, telah beredar banyak sekali hikayat perang yang dinamakan Hikayat Perang Sabil (HPS). Salah satu contoh kutipan HPS yang beredar, yang terjemahan berbunyi sebagai berikut:
Waktu kafir menduduki negeri
Semua kita wajib berperang
Jangan berdiam bersunyi diri
Di dalam negeri bersenang-senang
Di waktu itu hukum fardhu ‘ain
Harus yakin seperti sembahyang
Wajib berjalan cukup waktu
Kalau begitu dosa hai abang
Tak sempurna sembahyang puasa
Jika tak mara ke medan perang
Fakir miskin, kecil, dan besar
Tua, muda, pria, dan perempuan
Yang sanggup melawan kafir
Walaupun dia budaknya orang
Hukum fardhu ‘ain di pundak kita
Meski tak sempat lunaskan hutang
Wajib harta disumbangkan
Kepada siapa yang mau berperang.[9]
Gema HPS yang dikutip di atas terbukti antara lain pada pertempuran yang terjadi pada 11 Mei 1904 di Penosan, telah gugur 95 perempuan dan kanak-kanak. Di Tupeng pada 18 Mei 1904 telah gugur 51 perempuan dan kanak-kanak. Pada 24 Juni 1904 di Kute Reh juga telah gugur 248 orang perempuan dan kanak-kanak; dan di Lengat Baru pada 24 Juni 1904 telah gugur pula 316 orang perempuan dan kanak-kanak.[10] Meskipun tidak begitu jelas apakah gema HPS itu sampai pula ke daerah atau tidak, namun gema perang Aceh itu sendiri sebagai perang sabilillah sampai pula ke daerah Priangan. Salah satu buktinya, di daerah Cicalengka, Bandung telah muncul gerakan untuk menghimpun berbagai jenis tanaman guna membantu orang-orang Aceh yang sedang berperang.[11]
Seperti dikatakan oleh Teuku Ibrahim Alfian, kepercayaan akan mendapat kebahagiaan setelah gugur dalam pertempuran melawan Belanda yang disebut oleh orang Aceh sebagai orang kaphé, tidak hanya dianut rakyat yang beragama Islam di Aceh, palembang, dan pulau Jawa, tetapi juga diyakini oleh rakyat Indonesia yang beragama Hindu di pulau Bali.[12] Besarnya pengaruh agama dalam kehidupan, terutama ide perang sabilillah memang membuat para pejabat kolonial Belanda ektra hati-hati, terutama yang berada di daerah yang pengaruh Islamnya cukup kuat. Hal ini antara lain tercermin dalama laporan Residen Priangan, Oosthout tahun 1907. Dalam laporannya itu ia mengatakan bahwa orang-orang Sunda lebih bersemangan dan lebih teguh dalam mempraktekan ajaran Islam ketimbang orang Jawa. Oleh karena itu meminta kepada Gubernur Jenderal agar tidak mengizinkan orang-orang Arab melakukan perjalanan ke daerah Priangan.[13]
Di pulau Jawa memang tidak ada lagi perang besar seperti di Aceh setelah berakhirnya perang Dipenogoro (Perang Jawa) tahun 1830, yang dalam perekrutan pengikutnya juga menggunakan ide-ide keagamaan, perang sabil.[14]Akan tetapi tidak adanya perang besar tidak dapat diartikan bahwa rakyat di Jawa berhenti melawan penguasa kolonial Belanda. Perlawanan rakyat atau petani justru bermunculan walaupun dalam skala kecil, tapi cukup memusingkan pemerintah kolonial waktu itu.
Perlawanan rakyat itu sendiri sebenarnya sudah muncul sejak Vereenigde Oost Indische Compagne (VOC) atau Kompeni mulai mengukuhkan kekuasaannya di kepulauan Indonesia. Pada tahun 1710 misalnya, dilaporkan bahwa di daerah Jampang, Sukabumi terjadi perlawanan dari para petani yang menolak semua peraturan yang telah ditetapkan Kompeni yang dinilainya menyengsarakan rakyat. Sekitar 1000 orang petani di bawah pimpinan seorang ulama telah melakukan perlawanan.[15] Tiga tahun kemudian muncul gerakan yang dipimpin Dermakusuma yang hendak membunuh para bupati Priangan selatan. Dalam rekruitmen pengikutnya itu, Dermakusuma dibantu oleh dua orang ulama.[16] Oleh karena banyaknya kyai, ulama atau seorang haji yang terlibat dalam gerakan perlawanan itu, maka penguasa Kompeni mempunyai dugaan bahwa kunci perlawanan atau dalang pemberontakan itu adalah para kiai atau para haji itulah. Atas dasar dugaan itulah maka Kompeni berupaya memotong penyebaran ide-ide perang sabil itu dengan cara melakukan pengawasan terhadap arus balik para jemaah haji. Para haji yang dinilai cukup membahayakan atau dinilai berpotensi menimbulkan kesulitan bagi VOC, diupayakan untuk ditahan di Batavia, atau diasingkan ke tempat lain, jauh dari daerah asalnya.
Pada masa Hindia Belanda, terutama sejak terjadinya ekploitasi ekonomi secara besar-besaran melalui cultuurstelsel, radikalisasi petani di pedesaan pun semakin marak. Masuknya kapitalis-kapitalis Barat, baik pemerintah maupun swasta ke daerah pedesaan atau wilayah pedalaman, tidak saja sekedar menghadirkan perusahaan-perusahaan besar saja, melainkan juga budayanya. Dampaknya, bukan saja kesejahteraan masyarakat dalam arti keonomis yang terkena imbas, melainkan juga secara budaya. Banyak institusi desa yang hancur atau setengah hancur. Juga berbagai tradisi desa yang semula menjadi tumpuan masyarakat tersisihkan. Oleh karena itulah tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat petani menjadi lebih terasa. Dan oleh karena itu, jika dilihat dari ciri-cirinya, gerakan radikal para petani yang sering disebut oleh pemerintah kolonial sebagai pemberontakan, cukup bervariasi.
Sartono Kartodirdjo mengelompokan gerakan pemberontakan itu dalam empat kelompok, sesuai dengan isu-isu serta penyebab yang menjadi pendorong terjadinya pemberontakan tersebut. Keempat kelompok atau kategori itu ialah: (1) gerakan antipemerasan, (2) gerakan mesianistis, (3) gerakan revivalisme dan sektarian, dan (4) gerakan Sarekat Islam (SI) lokal.[17] Dari keempat kategori itu, hampir semua gerakan menggunakan ide-ide keagamaan, seperti ide perang suci atau sabilillah, termasuk penggunaan tarekat, dalam masa perekruitmen pesertanya, maupun selama pemberontakan itu terjadi. Misalnya dalam pemberontakan petani di tanah partikelir Ciomas tahun 1886, yang dikategorikan sebagai gerakan antipemerasan, pihak tuan tanah menuduh fanatisme keagamaan (Islam) sebagai bensinnya.[18] Demikian pula dalam pemberontakan Achmad Ngisa yang terjadi pada tahun 1871, yang mengaku dirinya sebagai Ratu Adil atau Erucakra, yang dikategorikan sebagai gerakan mesianistis, juga dipergunakan ide perang suci dan penggunaan tarekat.[19] Barangkali yang agak berbeda sifatnya adalah gerakan revival dan sektarian, yang peristiwanya tidak hanya melakukan perlawanan terhadap dominasi kolonial, melainkan juga melawan terhadap tradisi agama yang dominan, misalnya terhadap Islam, seperti terlihat dalam gerakan agama Jawa atau Sunda.[20]
Politik Penguasa Kolonial
Politik Kompeni dalam menangani masalah pengaruh agama seperti yang telah disebutkan di atas, kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya, Hindia Belanda, walaupun caranya tidak persis sama. Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dipusingkan oleh berbagai pemberontakan rakyat atau petani, juga berkesimpulan bahwa radikalisme para petani itu disebabkan oleh ajaran agama, khususnya ajaran Islam. Kesimpulan itu diambil dari banyaknya para kyai, ulama atau haji yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu kalau faktor ini tidak secepatnya ditangani, tidak mustahil kesulitan tidak akan pernah dapat diselesaikan, tidak saja ditingkat lokal, melainkan juga tingkat yang lebih luas; bahkan tidak mustahil akan berkembang semakin besar. Apalagi ada beberapa kasus tertentu yang menguatkan dugaan semacam itu, yaitu gerakan pengumpulan tanaman di Cicalengka untuk membantu orang-orang Aceh, seperti yang telah disinggung sebelumnya.
Secara resmi pemerintah kolonial Belanda mengaku netral agama, dalam arti tidak akan ikut campur dalam urusan agama, terutama yang menyangkut masalah peribadahan. Sifat pemerintah, terutama berkaitan dengan masalah ibadah, adalah membantu agar penyelenggaraan ibadah dapat berjalan lancar. Bahkan kalau perlu justru pemerintah akan membantunya seperti dalam pelaksanaan ibadah haji. Akan tetapi, karena banyaknya pemberontakan petani yang diilhami oleh “ideologi” Islam, maka sikap netral itu seringkali dilanggarnya. Untuk mencegah munculnya sikap-sikap seperti itu, pemerintah kolonial melakukan tindakan seperti yang pernah dilakukan oleh Kompeni, yaitu dengan mengawasi para haji. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah waktu itu adalah keputusan untuk melarang para jemaah menggunakan titel haji dan berpakaian putih-putih seperti umumnya para haji waktu itu; kecuali jika para jemaah itu telah lulus tes yang dilakukan pihak pemerintah. Meskipun peraturan itu cukup membingungkan dan mendapat kritikan keras dari berbagai pihak, termasuk dari para birokrasi pribumi, seperti dari bupati Serang, Pangerah Ahmad Djajadiningrat; namun pemerintah sempat melaksanakannya, sampai akhirnya dicabut kembali.
Salah satu lembaga yang dicurigai sebagai tempat pendidikan dan pelatihan orang-orang radikal adalah lembaga pesantren.[21] Dalam bahasa yang lebih halus, para pejabat pemerintah menyebut lembaga pesantren dengan para kyai dan ulamanya sebagai yang menghalangi modernisasi dan pembangunan. Para kyai dan ulamanya dikatakan hanya bisa mengajarkan ajaran yang meningkatkan sikap fanatis buta yang berujung kepada munculnya sikap radikal yang anti pemerintah. Sikap Islam phobia itu kemudian tercermin pula dengan diluncurkannya peraturan tahun 1905 (yang dikenal dengan nama ordonansi guru). Dalam peraturan itu disebutkan bahwa setiap orang yang hendak menyelenggarakan pendidikan Islam, harus meminta izin secara tertulis, dan juga harus menyebutkan apa yang hendak diajarkan serta jumlah para santrinya.[22] Untuk mengawasi penerapan peraturan itu, pemerintah membentuk satu tim pengawas. Di setiap wilayah, ketua tim dipegang oleh bupati atau patih dengan penghulu sebagai salah satu anggotanya. Tentu saja banyak protes diajukan kepada pihak pemerintah yang dianggap telah melanggar ketentuannya sendiri, yaitu netral terhadap agama.[23]
Protes-protes itu pun akhirnya hanya membuahkan hasil yang tidak begitu memuaskan. Peraturan 1905 dicabut dan digantikan dengan peraturan tahun 1925. Dalam peraturan yang lebih baru ini, memang tidak ada lagi keharusan melaporkan jumlah santri dan masalah izin tertulis, namun tidak berarti para kiai dan para ustadz terbebas dari kewajiban membuat laporan. Berdasarkan peraturan baru itu, mereka masih tetap diwajibkan memberikan laporan tentang kegiatan pengajarannya kepada tim pengawas.[24]
Salah satu ajaran yang sering dianggap menjadi biangkeladi meningkatnyaa radikalisme di kalangan masyarakat Islam, khususnya para santri adalah ajaran tarekat. Oleh karena itu seringkali para pejabat pemerintah menilai tarekat sebagai ajaran sesat yang membahayakan yang perlu mendapat pengawasan dan kalau perlu dilarang diajarkan. Jauh sebelum ordonansi guru terbit, tepatnya pada 5 September 1886, K.F. Holle mengirimkan sebuah laporan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bahwa di daerah Priangan Barat telah berkembang tarekat Naqsabandiah yang sangat membahayakan, yang disebutnya sebagai “kebangkitan Naqsabandiyah yang membahayakan”. Ia meminta agar pemerintah segera menanganinya secara serius.
Laporan yang hampir sama juga disampaikan oleh Residen Priangan pada tahun 1892. Dalam laporannya itu ia menyebutkan bahwa di kabupaten Cianjur berkembang tarekat Naqsabandiyah dan Qadiriyah. Kedua tarekat itu ternyata telah menjerat hati masyarakat setempat, sehingga banyak masyarakat yang melupakan kewajiban-kewajiban agama.[25] Dalam laporan ini Holle tidak memperinci alasan yang dijadikan tolok ukur kesesatan kedua tarekat itu.
Demikian pula Adviseur voor Inlandsche Zaken, R.A. Kern dalam laporannya tahun 1925 mengutarakan rasa kekhawatirannya dengan perkembangan tarekat Naqsabandiyah di daerah Cianjur. Dasar kekhawatiran itu karena di daerah kabupaten Cianjur banyak sekali pesantren dengan kiai-kiainya yang kharismatis. Kemungkinan besar karena dia menduga bahwa pesatren-pesatren itu akan menjadi ladang yang subur bagi persemaian tarekat yang dinilai sering menjadi semacam premium mobile bagi pemberontakan para petani. Padahal dari laporan yang dibuat oleh penghulu Tasikmalaya atas pesanan penguasa kolonial, kecurigaan semacam itu tidak terbukti. Dari beberapa ratus pesantren yang ada di Priangan, hanya beberapa pesantren saja yang mengajarkan tarekat.[26]
Penutup
Sejak menjelang akhir abad ke-20, penguasa Republik Indonesia, seperti halnya para penguasa negeri industri, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, disibukkan dengan isu-isu teroris. Meskipun tidak secara inklusif menyatakan Islam sebagai penyulut maraknya aksi teroris, namun secara tidak langsung tuduhan itu sudah diarahkan ke kelompok Islam. Hal seperti itu misalnya dapat terlihat dalam menanggapi peristiwa serangan terhadap World Trading Centre di New York. Meskipun dalam retorikanya Presiden Amerika Serikat George W. Bush mengatakan bahwa kampanye itu bukanlah perang melawan Islam, tetapi dalam praktiknya, Islam yang disalahkan.[27]
Demikian pula kecurigaan penguasa Republik Indonesia dalam hal-hal tertentu tidak jauh berbeda dengan Bush. Seringkali kaum musliman dituding sebagai pihak yang selalu memaksakan ingin mengubah negara atau dasar Negara, Pancasila dengan hukum Islam. Banyak gerakan rakyat atau kelompok tertentu yang berbau “kebangkitan Islam” atau semacamnya, ditumpas begitu saja dengan isu-isu sebagai gerakan komando jihad, atau aliran sesat, atau gerakan merongrong stabilitas nasional. Kebijakan pemerintah RI yang seringkali mirip dengan kebijakan pemerintah kolonial, seringkali meremehkan penyebab utama yang mendorong terjadinya gerakan-gerakan radikal yang dikatagorikannya sebagai perongrong stabilitas nasional itu tidak diungkapkan secara terbuka kepada khalayak ramai. Dari beberapa kejadian yang kemudian dikaji secara ilmiah, seperti peristiwa Tanjung Priok (1984) dan peristiwa Warsidi (1989), ternyata apa yang dituduhkan oleh pihak pemerintah Orde Baru, masih perlu dipertanyakan lagi.
Sebagai penutup makalah ini, dapat dikemukakan di sini bahwa penyebutan gerakan radikal, atau aliran sesat, seringkali muncul begitu saja, terutama dari pihak penguasa, yang kadangkala tidak disertai oleh penyelidikan yang seksama terhadap akar permasalahan yang sebenarnya. Suatu peristiwa tidak akan muncul begitu saja seperti permainan sulap atau sihir. Semuanya melalui proses, apalagi menyangkut budaya atau agama. Keterlibatan para peserta dalam satu gerakan, tentu bukan tanpa dasar atau pemikiran. Ada aspek untung-rugi yang diperhitungkan dalam peran sertanya itu, baik keuntungan materil maupun spiritual. Seperti telah disinggung dalam Perang Aceh atau gerakan antipemerasan dan mesianistis, banyak peserta gerakan radikal itu tidak mengharapkan keuntungan duniawi semata, tetapi keuntungan akhirat, sesuai dengan pemahaman keagamaannya.[28]

Daftar Acuan
Arsip
Algemeen Rijksarschief (ARA), Den Haag.
Verbalen 3 Juni 1874 No.31.
Arsip Nasional Republik Indonesia. (ANRI), Jakarta
Arsip Residensi Priangan No.75
Memorie van Overgave G. Oosthout, 4 November 1907
Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde (KITLV), Leiden
Koleksi R.A. Kern No. 343
Sumber tercetak
Staatsblad voor Nederlandsch-Indiё. 1905, No.550
Staatsblad voor Nederlandsch-Indiё. 1925, No.219.
Buku, artikel, dan skripsi
Alfian, Teuku Ibrahim, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999
Amstrong, Karen, Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. Jakarta: Serambi, 2001.
Djajadiningrat, P.A.A. Achmad. Kenang-kenangan. Batavia, 1936.
Djamhari, Saleh A., Strategi Menjinakkan Dipenogoro: Stelsel Benteng 1827-1830. Jakarta: Komunitas Bambu, 2003.
Ensering, Else, “De ontdekking van de Afdeeling B van de Sarekat Islam al seen case study in de locale geschiedenis van de Preanger Regentschappen” (Skripsi doctoral Universitas Amsterdam, Amsterdam, 1982)
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987
Iskandar, Mohammad, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Para Kyai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.
Kartodirdjo, Sartono, Protest Movements in Rural Java. Institute of Southeast Asian Studies – Oxford University Press, 1978.
----------------, Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and early Twentienth Centuries. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978
----------------. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1984
Klandermans, Bert, Protes Dalam Kajian Psikologi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Tilly, Charles, From Mobilization to Revolution. Addison-Wesley Publishing Company, 1978.
Waal, E. de, Onze Indische Financien, Nieuwe reeks aanteekeningen. Vol.I s’Gravenhage, 1876.
X, “Koning” Otto een branierdrager. S’Gravenhage: M. Van der Beek, 1888.

Koran
Balantentara Islam. No. 1, 27 Desember 1924
Kaoem Moeda No.27, 9 Februari 1920


[1] Inventaris R.A. Kern No. 343, Koningklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Leiden, Netherland.
[2] Sartono Kartodirdjo. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1984, h. 76-77.
[3] Else Ensering, “De ontdekking van de Afdeeling B van de Sarekat Islam al seen case study in de locale geschiedenis van de Preanger Regentschappen” (Skripsi doctoral Universitas Amsterdam, Amsterdam, 1982), hal. 16.
[4] Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987,  h. 83-84
[5] Kern, Op.cit. ; Kaoem Moeda. No.21, 31 Januari 1920.; Nama lain dari Si afdeling-B adalah: “Gunaperlaya”, “Bargo” dan “ Adhidarma, Lihat Verklaring Wedana Banjar 14 Juli 1919 dalam Mailrapporten Geheim No. 510X/19, Algemeene Rijksarschief (ARA), Den Haag, Netherland.; dan Kaoem Moeda No.27, 9 Februari 1920.
[6] Lihat misalnya Lihat surat Hollen kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda 20 Agustus 1873 No. 126 dalam Verbalen 3 Juni 1874 No.31, ANRI. ; lihat juga anomim (X), “Koning” Otto: Een Banierdrager. S’Gravenhage: M. van der Beek, 1888.
[7] I b i d. dan lihat juga E. de Waal, Onze Indische Financien, Nieuwe reeks aanteekeningen. Vol.I s’Gravenhage, 1876.
[8] Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and early Twentienth Centuries. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978
[9] Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999, h. 171.
[10] I b I d. h. 172
[11] Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001, h.56.
[12] I b I d.
[13] Memorie van Overgave G. Oosthout, 4 November 1907, h.9, Algemeene Rijksarchief (ARA), Den Haag.
[14] Saleh A. Djamhari, Strategi Menjinakkan Dipenogoro: Stelsel Benteng 1827-1830. Jakarta: Komunitas Bambu, 2003, h. 43.
[15] Dr, F.de Haan, Priangan: De Preanger Regentscappenonder Het Nederlandsch Bestuur tot 1811. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weteschappen, 199, h. 470.
[16] I b I d.
[17] Lihat Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java. Institute of Southeast Asian Studies – Oxford University Press, 1978.
[18] I b i d. h. 29.
[19] I b i d. h. 77.
[20] I b i d. h. 116.
[21] Salah satu karya otobiografi yang mengungkapkan tentang kecurigaan pemerintah terhadap lembaga pesantren adalah karya bupati Serang, Banten. Lihat Djajadiningrat, P.A.A. Achmad. Kenang-kenangan. Batavia, 1936.
[22] Staatsblad voor Nederlandsch-Indiё. 1905, No.550.
[23] Balantentara Islam. No. 1, 27 Desember 1924.
[24] Staatsblad voor Nederlandsch-Indiё. 1925, No.219.
[25] Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Para Kyai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001, h. 59.
[26] Lihat arsip Residensi Priangan No.75, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
[27] Karen Amstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. Jakarta: Serambi, 2001.
[28] Lihat Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, Addison-Wesley Publishing Company, 1978 dan Bert Klandermans, Protes Dalam Kajian Psikologi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar