Total Tayangan Halaman

Sabtu, 31 Maret 2012

Psikologi Agama 2




 
PSIKOLOGI AGAMA
A.    Pendahuluan
Para antropolog dan sosiolog mengatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat primitif dijumpai semacam norma yang mengatur kehidupan mereka. Dalam kehidupan masyarakat primitif sudah ada semacam institusi yang berfungsi mengatur hubungan kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap adikodrati dan suci. Di lain pihak, para agamawan dari berbagai agama yang ada memperkuat akan adanya kepercayaan terhadap mitos-mitos. Dari kenyataan-kenyataan yang ada, para psikolog mencoba melihat hubungan tersebut dari sudut pandang psikologi. Menurut merka hubungan manusia dengan kepercayaannya ikut dipengaruhi dan juga mempengaruhi faktor kejiwaan.
Perbedaan pendapat yang dilatarbelakangi perbedaan sudut pandang antara agamawan dan para psikolog agama ini sempat menunda munculnya psikolog agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, psikologi agama mulai mendapat perhatian. Layaknya cabang psikologi, seperti psikologi anak, psikologi perkembangan, dan sebagainya, ternyata psikologi agama pun dinilai sebagai ilmu terapan yang praktis dan fungsional. Psikologi agama yang mempelajari masalah kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia yang paling mendalam, yaitu agama, ternyata dapat dimanfaatkan diberbagai lapangan seperti dalam bidang kedokteran, bidang pendidikan dan bidang-bidang lainnya.
B.     Psikologi agama sebagai disiplin ilmu
Psikologi termasuk ilmu cabang dari filsafat. Psikologi dinilai sebagai ilmu yang otonom kemudian berkembang  berbagai disiplin ilmu cabangnya, maka psikologi agama dapat disebut sebagai cabang psikologi. Psikologi sebagai ilmu terapan (applied science) berkembang sejalan dengan kegunaannya. Dengan demikian psikologi yang diakui sebagai disiplin yang mandiri sejak tahun 1897 ini ternyata memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam memecahkan berbagai problema. Ternyata seabad setelah psikologi diakui sebagai disiplin ilmu yang otonom, para ahli melihat bahwa psikologi pun memiliki keterkaitan dengan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan batin manusia yang paling dalam, yaitu agama.
Kajian-kajian yang khusus mengenai agama melalui pendekatan psikologis ini sejak awal-awal abad ke-19 menjadi kian berkembang, sehingga para ahli psikolog yang bersangkutan melalui karya mereka telah membuka lapangan baru daam kajian psikologi, yaitu psikologi agama.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Dengan demikian psikologi agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku mansuia dalam hubungan dan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing.
Ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:
1.      Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar keadaan yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum).
2.      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individu terhadap Tuhanya.
3.      Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
4.      Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5.      Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kepuasan batinnya.
Semua hal tersebut di atas tercakup dalam kesadaran agama (religious consciousness) yaitu bagian/segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama dan juga tercakup dalam pengalaman agama (religious experience), yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliyah)
Hasil kajian psikologi agama tersebut ternyata dapat dimanfaatkan dalam berbagai lapangan kehidupan seperti dalam bidang pendidikan, psikoterapi dan mungkin pula dalam lapangan lainnya dalam kehidupan, psikologi agama disini sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam disini berfungsi dan berperan sebagai Pembina, pembimbing, pengembang serta mengarah potensi yang dimiliki anak agar mereka menjadi pengabdi Allah yang taat dan setia, sesuai dengan hakikat penciptaan manusia oleh karena itu hubungan antara psikologi agama dan pendidikan Islam sangat erat kaitannya bahkan pada awal-awal perkembangan agama pada zaman Rasulullah SAW.
C.     Perkembangan psikologi agama
Kita ketahui bahwa psikologi agama ini berkembang sejak awal-awal abad ke-19 kemudian makin lama makin berkembang, sehingga banyak para ahli psikologi yang membuka lapangan baru dalam karya mereka, yaitu psikologi agama, segala awal berkembangnya psikologi agama cukup panjang. Seperti dimaklumi, bahwa psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda, berdasarkan buku psikologi agama karangan Jalaluddin ini dapat disimpulkan bahwa kelahiran psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri memiliki latar belakang yang cukup panjang.
Adapun di tanah air perkembangan psikologi agama dipelopori oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang profesi sebagai ilmuan, agamawan dan bidang kedokteran. Di antara karya-karya awal yang berkaitan dengan psikologi agama adalah buku agama dan kesehatan badan/jiwa (1965), tulisan Prof. dr. H. Aulia kemudian tahun 1975, KH. S.S. Djam'an menulis buku Islam dan psikosomatik. Dr. Nici Syukur Lister, menulis buku pengalaman dan motivasi beragama: pengantar psikologi agama. Adapun pengenalan psikologi agama di lingkungan IAIN dilakukan oleh Prof. Dr. H.A Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat, antara lain: ilmu jiwa agama (1970), peranan agama dalam kesehatan mental (1970) dan kesehatan mental. Buku-buku tersebut hingga kini dilakukan beberapa kali cetak ulang dan dijadikan buku pegangan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN di Indonesia.
Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dengan diterkaitkannya buku-buku maupun artikel dan jurnal yang memuat kajian tentang bagaimana peran agama dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, psikologi agama kini telah memasuki berbagai bidang kehidupan manusia sejak dari rumah tangga, sekolah, institusi keagamaan, rumah-rumah sakit dan sebagainya.
Selanjutnya, dalam meneliti ilmu jiwa agama menggunakan sejumlah metode, antara lain:
1.      Dokumen pribadi (Personal document)
Digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan kehidupan batin seseorang dan hubungan dengan agama. Metode dokumen pribadi ini dilakukan dengan berbagai teknik-teknik tertentu, yaitu:
a.       Teknik nomotatik
Digunakan untuk memahami sifat-sifat dasar manusia dengan cara mencoba menetapkan ketentuan umum dari hubungan antara sikap dan kondisi-kondisi yang dianggap sebagai penyebab terjadinya sikap tersebut.
b.      Teknik Analisis Nilai (Value Analysis)
Teknik ini digunakan untuk dukungan analisis statistic
c.       Teknik Ideography
Teknik ini juga merupakan pendekatan psikologis yang digunakan untuk memahami sifat-sifat dasar (tabiat) manusia
d.   Teknik penilaian terhadap sikap (Evaluation Attitudes Technique)
Teknik ini digunakan dalam penelitian terhadap biografi, tulisan atau dokumin yang ada hubungannya dengan individu yang akn diteliti.
2.      Kuesioner dan Wawancara
Diantara cara yang digunakan adalah teknik pengumpulan data melalui:
a.       Pengumpulan pendapat masyarakat (Public opinion polis)
b.      Skala penilaian (rating skala)
c.       Tes-tes
d.      Eksperimen
e.       Observasi melalui pendekatan sosiologi dan antropologi (sociological and anthropological observation)
f.       Studi agama berdasarkan pendekatan antropologi budaya
g.      Pendekatan terhadap perkembangan (Development Approach)
h.      Metode klinis dan proyektivitas (clinical method and projectivity technique)
i.        Metode umum proyektivitas
j.        Apersepsi monotatik (nomothatic Apperception)
k.      Studi kasus (case study)
l.        Survey
Secara terminologis memang psikologi agama tidak dijumpai dalam kepustakaan Islam klasik, karena latar belakang sejarah perkembangannya bersumber dari literature barat. Meskipun begitu dikalangan ilmuan muslim kajian-kajian psikologi agam dimulai dilakukan secara khusus sekitar pertengahan abad ke- 20, namun permasalahan yang ada sangkut pautnya dengan bidang kajian ini sudah berlangsung sejak awal perkembangan Islam. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai konsep ajaran Islam yang dapat dijadikan acuan dalam studi psikologi agama. Banayak karya-karya para ilmuan muslim yang kuran dikenal, karena antara lain dinilai sebagai karya-karya ilmu keislaman yang ketika itu masih menyatu dalam filsafat, fiqih, tauhid maupun akhlak serta tasawuf, dan barulah pada abad ke-20 kajian-kajian khusus mengenai psikologi agama mulai dikembalikan oleh para ilmuan terutama di Mesir.
D.    Perkembangan keagamaan pada anak dan remaja
Beberapa teori tentang sumber kajian, antara lain:
1.      Teori monistik (mono: satu)
Bahwa yang menjadi sumber kajian adalah satu sumber kajian. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain: Thomas Van Aquino, Fredrick Hegel, Fredick Schleimacher, Rudok Otto, Sigmund dan William Mac Dougall.
2.      Teori fakulti
Bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah: fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
3.      Beberapa pemuka teori fakulti, antara lain:
a.       G. M. Straton
b.      Zakiah Darajat
c.       W. H. Thomas
Timbulnya jiwa keagamaan ini pada anak bahwa sanya seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip-prinsip yaitu: prinsip biologis, prinsip tanpa daya dan prinsip eksplorasi. Anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius, akan tetapi anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui bimbingan dan latihan. Teori-teori tentang pertumbuhan agama pada anak, yaitu: rasa ketergantungan (sense of dependent) dan insting keagamaan. Perkembangan agama pada anak ini melalui tiga tingkatan, yaitu: the fairi tale stage (tingkat dongeng), the realistic stage (tingkat kenyataan) dan the individual stage (tingkat individu). Selanjutnya mengenai sifat-sifat agama pada anak yaitu: vareflective (mendalam), segosentris, anthromorphis, imitative dan rasa heran.
Setelah pada tahap anak kemudian berlanjut pada perkembangan jiwa keagamaan pada remaja. Pada pembahasan yang pertama mengenai perkembangan rasa agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor menurut W. Starbuck adalah: (a) Pertumbuhan pikiran dan mental, (b) perkembangan dan perasaan, (c) Pertumbuhan sosial, (d) Sikap dan minat, (e) Ibadah. Pada masa remaja ini mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan, keadaan lembaga keagamaan dan para pemuka agama. Dari analisis W. Sturbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu antara lain: kepribadian, yang menyangkut salah satu tafsir dan jenis kelamin, kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama, pernyataan kebutuhan manusia, kebiasaan, pendidikan, dan percampuran antara agama dan mistik. Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja, sebenarnya benyak tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam diri. Secara fisik remaja mengalami pertumbuhan yang pesat, dan sudah menyamar fisik orang dewasa tetapi secara psikologis belum. Dalam upaya mengatasi kegalauan batin ini, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer group (teman sebaya), untuk saling berbagi rasa dan pengalaman. Kemudian untuk memenuhi kedutuhan emosionalnya, maka para remaja juga telah menyenangi nilai-nilai etika dan estetika. Dalam kaitan ini pula sebenarnya nilai-nilai agama dapat diperankan sebagai bimbingan rohaniah. Melalui pendektan dan pemetaan nilai-nilai ajaran agama yang lengkap dan utuh, setidaknya akan memberi kesadaran baru bagi remaja, bahwa agama bukan sebagai alat pemasung kreativitas manusia, melainkan sebagai pendorong utama. Dengan demikian, diharapkan remaja akan termotivasi untuk mengenal ajaran agama dalam bentuk yang sebenarnya. Agama yang mengandung nilai-nilai ajaran yang sejalan dengan fitrah manusia, universal, dan bertumpu pada pembentukan sikap akhlak mulia.
E.     Perkembangan jiwa keagamaan pada orang dewasa dan usia lanjut
Secara baris besar periode perkembangan itu terbagi menjadi: (1) masa pre-natal, (2) masa bayi, (3) masa kanak-kanak, (4) masa pra-pubertas, (5) masa pubertas (remaja), (6) masa dewasa, (7) masa usia lanjut.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tersebut, di sini terdapat macam-macam kebutuhan, yaitu: (1) Kebutuhan individual, terdiri dari teomeostatis, regulasi temperature, tidur, lapar, seks, melarikan diri, pencegahan, ingin tahu (curiosity), dan humor. (2) Kebutuhan skunder atau kebutuhan rohaniah: jiwa dan sosial.
Selain berbagai macam kebutuhan yang disebutkan di atas, masih ada lagi kebutuhan manusia yang sangat perlu diperhatikan, yaitu kebutuhan terhadap agama. Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Dalam ajaran agama Islam, bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia sebagai makhluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecendrungan terhadap agama. Dalam fitrah tidak terdapat kompnen psikologis apa pun, karena fitrah diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci dan bersih yang reseptif terbuka kepada pengaruh eksternal, termasuk pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau response (jawaban) terhadap pengaruh dari luar tidak terdapat dalam fitrah, karena adanya fitrah ini, maka manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama. Manusia merasa behwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang Maha Kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Hal semacam ini terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat modern, pra modern, maupun masyarakat primitif.
Sikap keagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain sikap itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang.
2.      Cenderung bersifat realis.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama.
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab.
5.      Bersikap terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama.
7.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing.
8.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial.
Sedangkan untuk perkembangan manusia pada usia lanjut (di atas 65 tahun) akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan merekan kehilangan semangat. Pengaruh dari kondisi penurunan kemampuan fisik ini menyebabkan mereka yang berada pada usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga atau kurang dihargai. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menunjukkan kecenderungan peningkatan dengan adanya penurunan pada fisik maupun secara biologis. Ciri- keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.       Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.       Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Sikap keagamaan cenderung mengarah pada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.      Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertumbuhan usia lanjutnya.
6.      Perasaan takut kepada kematian ini berdampat pada peningkatan pembentukan keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).
Manusia usia lanjut dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogoti mereka. Demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sisa-sisa umur menunggu datangnya kematian. Dalam konsep Islam perlakuan terhadap usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut dibebankan kepada anak-anak mereka, bukan kepada badan atau panti jompo. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih sayang dalam QS. 17:23.
Islam mengajarkan bahwa dalam perkembangannya, manusia mengalami penurunan kemampuan sejalan dengan pertambahan usia mereka, seperti dalam QS. 36:38. Dalam ayat tersebut bahwa kami kembalikan kepada kejadiannya, yaitu dikembalikan kepada keadaan manusia ketika ia baru dilahirkan, yaitu lemah fisik dan kurang akal. Menurut ash-Shobuny, yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bila manusia dipanjangkan umurnya ke usia lanjut, maka ia akan kembali menjadi seperti bayi, yaitu tidak mengetahui sesuatu pun. Dari penjelasan ayat, tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam yaitu bahwa sanya manusia usia lanjut harus dirawat dan diperhatikan secara khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang demikian haruslah dilakukan oleh anak-anak mereka tidak boleh diwakilkan dan juga harus diperlakukan dengan baik dan penuh kesabaran dan tidak boleh ditempatkan di panti jompo atau tempat penampungan karena itu merupakan perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
F.      Kriteria orang yang matang beragama
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai lihurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupan ciri-ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varietes of Religius Experience, William Jemes mengemukakan secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1.      Tipe orang yang sakit jiwa (the sick soul), terdiri dari:
a.       Faktor intern: temperamen, gangguan jiwa, konflik dan keraguan, jauh dari Tuhan.
b.      Faktor ekstern: musibah, kajahatan.
2.      Tipe orang yang sehat jiwa (the althy minded ness). Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa yaitu: optimes dan gembira, ekstrovet dan tak mendalam, dan mengenangi ajaran ketauhidan yang liberal.
Dalam pembahasan mengenai mistisme ini merupakan pokok bahasan dalam psikologi agama. Mistisme dijumpai dalam semua agama, baik agama telstik (Islam, Kristen, dan Yahudi) maupun di kalangan mistik non telstik (misalnya penganut agama Buda). Ciri khas mistisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan, kondisi ini digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.
Mengenai sejarah perkembangan aliran kepercayaan, Prof. Dr. Selo Sumarjan dalam symposium: mengamankan sila ketuhanan Yang Maha Esa tanggal 14 Februari 1966 di Jakarta. Dalam evaluasi sistem-sistem kepercayaan diuraikan sebagai berikut: Manusia dan masyarakat hidup dalam dua lingkungan, yaitu lingkungan alam dan lingkungan masyarakat. Lingkungan alam meliputi benda organis dan non organis yang hidup disekitar manusia dan lingkungan masyarakat adalah masa manusia yang manusia berada di sekitarnya. Hal-hal yang termasuk mistisme, antara lain: ilmu ghaib, magis, kebatinan dan schizophrenia.
G.    Agama dan kesehatan mental
Agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan. Bahkan menurut MC Guire, agama sebagai sistem nilai berpengaruh dalam kehidupan masyarakat modern dan berperan dalam mebuat perubahan sosial. Sementara itu, agama juga menunujukkan kemampuan adaptasi dan vital dalam berbagai segi kehidupan sosial, hingga perubahan-perubahan dalam struktur sosial dalam skala besar tak jarang berakar dari pemahaman terhadap agama (MC Guire, 1981: 255).
Dalam psikologi modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekatan psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologis agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.
Agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkunan masing-masing. Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan dalam al-Qur'an surat 30 ayat 30. Dalam ayat tersebut manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan. Dalam berbagai sumber, psikologi agama menurut pendekatan Islam telah mengungkapkan hubungan manusia dengan agama.
Hubungan antara kejiwan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai atau rasa aman, sikap emosi yang demikian merupakan bahagia dari kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Agaknya cukup logis kalau setiap ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajarannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama paling tidak akan ikut berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan yang setia, tindak ibadah setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menajdi lebih bermakna.
Dalam pendekatan teori keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi al-Qur'an sendiri sebagai kitab suci antara lain: dalam QS. Yunus: 57 dan QS. Al-Isra': 82. Kesehatan mentala adalah suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram. Upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dalam al-Qur'an petunujuk mengenai penyerahan diri cukup banyak. Ditemui ayat-ayat tentang kebahagiaan, yaitu: QS. al-Qashash: 77, QS. al-Nahl: 97, dan QS. Ali Imran: 104,) dan juga ayat-ayat tentang ketenangan jiwa yaitu: QS. al-Ra'd: 28, QS. al-'Araf: 35, QS. Al-Baqarah: 15 dan QS. al-Fath: 4.
 Kajian selanjutnya mengenai musibah, musibah merupakan pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan karena dianggap merugikan oleh korban yang terkena musibah. Dari pendekatan agama, musibah dibagi menajdi 2 macam. Pertama, musibah yang terjadi akibat dari ulah tangan manusia. Kedua, musibah sebagai ujian dari Tuhan.
Menurut pendekatan psikologi agama, sebenarnya derita batin yang dialami oleh korban musibah terkait dengan tingkat keberagamaan. Bagi mereka yang memiliki keyakinan yang mendalam terhadap nilai-nilai ajaran agama, agama menjadi pilihan dan rujukan untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam dirinya. Dalam mengahdapi musibah, orang-orang memiliki keyakinan agama terlihat lebih tabah. Mereka lebih mudah menetralisi kegoncangan dan konflik yang terjadi dalam batinnya. Deritanya dianggap sebagi ujian, maka ia akan berusaha untuk sabar dan tulus, hindgga derita yang berat akan terasa ringan. Keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan dijadikan sebagai pilihan tempat berlindung atau sebagai penyalur derita yang dirasakan. Keyakinan terhadap Tuhan, akan memberikan rasa damai dalam batin. Kedamaian dan keselamatan merupakan bagian dari insting mempertahankan diri yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, kembali kepada Tuhan dengan memohon perlindungan, merupakan saluran yang sejalan dengan dorongan istingtif manusia.
H.    Kepribadian dan sikap keagamaan
Istialah-istilah kepribadian antara lain: mentality, personality, individuality dan identity. Banyak para ahli mengemukakan pendapat mengenai kepribadian, yaitu Allport, Mark A May, Woodwonth dan sebagainya. Menurut W. Strem kepribadian adalah suatu kesatuan banyak (unita multi complex) yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifat-sifat khusus individu, yang bebas menentukan dirinya sendiri. Tipr-tipe kepribadian terdiri dari aspek giologis, aspek sosiologis dan aspek psikologis. Struktur kepribadian menurut Sigmund Freud terdiri dari IQ, ego dan super ego. Menurut Sukanto M. M, kepribadian terdiri dari empat sistem atau aspek, yaitu: qalb (angan-angan kehatian), fuad (perasaan/hati nurani/ulu hati), ego (aku sebagai pelaksana dari kepribadian), dan tingkah laku (wujud gerakan). Selain tipe dan struktur, kepribadian juga memiliki semacam dinamika yang unsur-unsurnya antara lain: energi naluriah (phychis energi) yang berfungsi sebagai pengatur aktivitas rohaniah, naluri yang berfungsi sebagai pengatur kebutuhan primer seperti makan, minum dan seks, ego (aku sadar) yang berfungsi untuk meredakan ketegangan dalam diri dengan cara melakukan aktivitas penyesesuaian dorongan-dorongan yang ada dengan kenyataan obyektif (realitas) dan super ego yang berfungsi sebagai pemberi ganjaran batin baik berupa penghargaan maupun berupa hukuman.
I.       Pengaruh keagamaan terhadap jiwa keagamaan
Di sini terlihat bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah, karena sudah menyau dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Tradisi sebagai kerangka acuan norma disebut pranata. Tradisi keagamaan di sini termasuk dalam pranata primer.
Dalam suatu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk agama, maka secara umum pranata keagamaan menajadi salah satu pranata kebudayaan yang ada di masyarakat tersebut. Bila kebudayaan sebagai cetak biru bagi kehidupan atau sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, maka dalam masyarakat pemeluk agama perangkat-perangkat yang berlaku umum dan menyeluruh sebagai norma-norma kehidupan akan rendering mengandung muatan keagamaan. Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik.
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Secara fenomena, kebudayaan dalam era globalisasi emnagarah pada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan, khususnya di kalangan generasi muda. Meskipun dalam sisi-sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya, namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung skuler barang kali akan ada penagruhnya terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan pada generasi muda, paling tidak ada dua kecenderungan yang tampak. Pertama, muncul sikap toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama. Kedua, muncul sikap fanatik keagamaan.
J.       Problema dan jiwa keagamaan
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar kekuatannya terhadap agama, sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif. Jadi, sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan sikap keagamaan hubungannya erat dengan gejala kejiwaan.
Beranjak dari kenyataan yang ada, maka sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Memang dalam kajian psikologi agama, beberapa pendapat menyetujui akan adanya potensi beragama pada diri manusia. Manusia adalah homo religius (makhluk beragama). Namun, peotensi tersebut memerlukan bimbingan dan pengembangan dari lingkungannya.
Jadi dapat disimpulkan pembentukan sikap dan tingkah laku keagamaan dapat dilakukan sejalan dari fitrah dalam pandangan Islam bila situasi lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang prinsipil, yaitu ketauhidan.
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi dalam individu dan juga pada kelompok atau masyarakat. Sedangkan perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang mungkin berbeda dan bergerak secara kontinu dan positif melalui area netral kearah negatif.
Dalam kaitannya dengan sikap keagamaan yang menyimpang, maka penegaruh stimulus yang relevan adalah segala bentuk objek yang berhubungan dengan keagamaan. Menurut teori pertimbangan sosial perubahan sikap ditentukan oleh faktor intenal, yaitu: (1) Resepsi sosial; (2) Posisi sosial dan proses belajar sosial. Dan faktor eksternal terdiri atas: (1) Faktor penguatan (reinforcement); (2) Komunikasi persuasive; dan (3) harapan yang diinginkan.
Dalam kehidupan keagamaan barangkali perubahan sikap ini berhubungan dengan konversi agama. Seseorang yang merasa bahwa apa yang dilakukannya sebelumya adalah keliru, berupaya untuk mempertimbangkan sikapnya. Pertimbangan tersebut melalui proses dari munculnya persoalan hingga tercapainya suatu keseimbangan, keempat fase dalam proses terjadinya perubahan sikap itu adalah: (1) Munculnya persoalan yang dihadapi, (2) Munculnya beberapa pengertian yang harus dipilih, (3) Mengambil keputusan berdasarkan salah satu pengertian yang dipilih, dan (4) Terjadi keseimbangan.
K.    Pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya. Namun dalam ketidak berdayaan itu, ia dibekali berbagai kemampuan (potensi) yang bersifat bawaan. Pendidikan dan niat memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada seorang anak. Kemudian, melalui pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap keagamaan tersebut.
Salah satu potensi tersebut adalah kecenderungan terhadap agama. Potensi-potensi yang ada tidak akan berkembang tanpa inter vensi dari luar, walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan. Untuk perkembangan itu anak bisa mendapatkan pendidikan darinya. Pertama, pendidikan keluarga sebagai Pembina pribadi anak dan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Yang kedua, yaitu pendidikan kelembagaan atau bisa dikatakan sekolah mempunyai pengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak dengan menyediakan mata pelajaran dan guru agama yang bisa mengarahkan anak didiknya kepada perkembangan agama yang sehat. Demikian juga pendidikan di masyarakat sekitar juga ikut andil dalam perkembangan jiwa keagamaan anak. Jadi ketiga lingkungan tersebut mempengaruhi terbentuknya jiwa keagamaan anak dengan memberikan lingkungan yang agamis untuk membentuk pribadi dan sikap keagamaan seorang anak.
Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religius cosciousness) dan pengalaman agama (religius experince), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuh kembangkannya, khususnya pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh, yakni dalam keluarga. Apabila di lingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit untuk memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai. Maka pengaruh dari lingkungan akan mengisi dan memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Di kota-kota besar, anak-anak yang kehilangan hubungan dengan orang tua cukup banyak. Mungkin dikarenakan faktor ekonomi ataupun yang lainnya, sehingga mereka menjadi anak jalanan. Dalam konteks ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan, demikian pula organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan kepada pemerintah, bagaimana pun bukanlah sikap yang arif. Kasus anak jalanan tampaknya memang memerlukan penanganan serius selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagian dari masalah keagamaan sebagai aplikasi dari kesadaran agama.
L.     Gangguan dalam perkembangan jiwa keagamaan
Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan bahwa jika jiwa keagamaan bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsur bawaan yang siap pakai, jiwa keagamaan juga mengalami proses perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya. Dengan demikian, jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.
Perkembangan jiwa keagamaan ditentukan oleh faktor intern (faktor dari dalam diri seseorang) terdiri dari hereditas tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang. Sedangkan faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat di lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) keluarga, (2) institusi, dan (3) masyarakat.
Selanjutnya mengenai tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Suatu tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan sejenisnya.
Menurut Gardon Allport (1937), Buss, dan Plomin (1975) perkembangan emosional merupakan sentral bagi konsep temperamen dan kepribadian (William T. Garison, 1987: 32). Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbentuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kpribadian, aspek emosional dipandang sebagai unsur dominant, fanatis dan ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tidak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional.
Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan yang dikatakan Davied Rusman bahwa tradisi cultural sering dijadikan penentu dimana seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang. Jika kecenderungan taqlid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme, sikap fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama, sifat ini dibedakan dari ketaatan, sebab ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (innerdirected) dalam meghayati dan mengamalkan ajaran agama.
M.   Agama dan  pengaruhnya dalam kehidupan
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adi kodrati (supernatural) ternyata seakan menyertai dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai individu dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif instrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri).
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas. Pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas.
Agama berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, Karena perbuatan yang dilakukan dengan latara belakang keyakinan agama dinilai merupakan unsur kesucian serta ketaatan. Sedangkan agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya.
Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:
1.      Berfungsi edukatif
Bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi
2.      Berfungsi penyelamat
Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat
3.      Berfungsi sebagai perdamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat menggapai kedamaian batin melalui tuntutan agama melalui: tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.
4.      Berfungsi sebagai social control
Agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok karena:
a.       Agama secara instansi. Merupakan norma bagi pengikutnya.
b.      Agama secara secara dogmatis (ajaran), merupakan fungsi kritis yang bersifat profetis (wahyu, kenabian).
5.      Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas.
Para penganut agama yang secara biologis akan merasa meiliki kesamaan dalam satu kesatuan: iman dan kepercayaan.
6.      Berfungsi transpormatif
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
7.      Berfungsi kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain.
8.      Berfungsi sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga bersifat samawi.
Prof. Dr. Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan:
1.      Sebagai etos  pembangunan
Bahwa agama yang menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
2.      Sebagai mutivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang belih baik.
Peranan-peranan positif ini telah telah membuahkan hasil konkret dalam pembangunan baik berupa sarana maupun perasaan yang dibutuhkan.
N.    Tingkah laku keagamaan yang menyimpang
Tingkah laku yang menyelahi norma yang berlaku ini disebut tingkah laku yang menyimpang, penyimpangan tingkah laku ini dalam kehidupan banyak terjadi, sehingga sering menimbulkan keresahan masyarakat. Di sini terdapat aliran yang mengandung kepercayaan yaitu aliran klenik-klenik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal. Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik dalam kegiatannya dukun ini melakukan pengobatan dengan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya.
Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat klenik memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu:
1)      Pelakunya menokohkan diri selaku orang yang suci dan umumnya tidak memiliki latar belakang yang jelas.
2)      Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang berhubungan dengan hal-hal gaib.
3)      Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4)      Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
5)      Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
Suburnya praktik ini antara lain ditopang oleh kondisi masyarakat yang umumnya awam terhadap agama maupun memiliki rasa fanatisme keagamaan yang tinggi.
Aliran-aliran klenik ini kemudian dapat pula berlambang menajdi aliran-aliran kepercayaan dan aliran kebatinan kadang-kadang orang menganut agama yang berdiri sendiri, bukan Islam, bukan Buda dan bukan Kristen.
Memang, terlihat agama sebagai bentuk kepercayaan kerap kali dijadikan tempat bernaung bagi aliran-aliran seperti itu, karena itu para ahli psikologi agama melihat tingkah laku menyimpang dalam kehidupan beragama erat kaitannya dengan pengaruh psikologis.
Selanjutnay, pembahsan mengenai konversi agama, konversi agama (religius coversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah agama atau masuk agama.
Untuk lebih jelasnya pengertian konversi di sini menurut etimologi,kovensi berasal dari kata latin "coversio", yang berarti tobat, pindah dan berubah agama. Berdasarkan kata-kata tersebut dapat disimpulkan kovensi: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama. Pengertian konversi menurut terminology. Max Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konversi agama, menurut para ahli mengemukakan pendapat bahwa konversi agama disebabkan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.
1.      Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor terjadinya konversi agama adalah petunjuk Ilahi.
2.      Para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial.
3.      Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menajadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern.
Berdasarkan gejala-gejala tersebut dengan meminjam istilah yang digunakan Starbuck ia membagi konversi agama menjadi dua tipe, yaitu:
1)      Tipe volitional (perubahan bertahap)
2)      Tipe self-surrender (perubahan drastis)
Faktor-faktor yang melatar belakangi timbul dari dalam intern (dalam diri) dan ekstern (dari lingkungan):
a)      Faktor intern yang mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah:
1.      Kepribadian
2.      Faktor Pembawaan
b)      Faktor ekstern (faktor luar diri), terdiri dari:
1.      status Faktor keluarga
2.      Lingkungan tempat tinggal
3.      Perubahan status
4.      Kemiskinan
4.      Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan.
Proses konvensi agama dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya. M.T.h. erido berpendapat, bahwa konvensi agama mengandung dua unsur, yaitu:
1)      Unsur dari dalam diri (endogeros origin).
2)      Unsur dari luar (exoderos origin).
Jika proses konvensi itu diteliti dengan seksama maka baik hal itu terjadi oleh unsur luar atau pun dalam ataupun terhadap individu atau kelompok, akan ditemui persamaan.
DR. Zakiah Darajat memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui lima tahap, yaitu:
1.      Masa tenang.
2.      Masa ketidak tenangan.
3.      Masa konvensi.
4.      Masa tenang dan tenteram.
5.      Masa konvensi.
Selama masa pemerintahan orde baru, pernah dimunculkan konsep kerukunan kehidupan beragama. Tujuan utamanyaadalah untuk menciptakan suatu kehidupan yang damai di bumi pertiwi ini yang sarat akan keberagamaan, suku, ras dan agama. Tapi sayangnya, konsep tersebut belum terealisasi secara tuntas, hingga setelah era reformasi, saat masyarakat lepas dari "tekanan kekuassaan politik otoriter" sejumlah kasus yang bermuatan SARA mulai mencuat kepermukaan. Agama sebagai keyakinan dan menyangkut kehidupan batin, memang erat kaitannya dengan berbagai faktor psikologis. Walaupun demikian, terjadinya konflik agama tidak semata-mata disebabkan oleh suatu faktor tunggal, melainkan kumpulan dari berbagai faktor. Konflik agama sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang, dapat terjadi karena adanya "pegasingan" nilai-nilai ajaran agama itu sendiri. Maksudnya, para penganut agama seakan "memaksakan" nilai-nilai ajaran agama sebagai "label" untuk membenarkan tindakan yang dilakukannya. Padahal, apa yang ia atau merekan lakukan sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama itu sendiri. Penyimpangan seperti itu antara lain oleh adanya sebab dan pengaruh yang melatar belakanginya yaitu:
1.      Pengetahuan agama yang dangkal
2.      Fanatisme
3.      Agama sebagai doktrin
4.      Simbol-simbol
5.      Tokoh agama
6.      Sejarah
7.      Berebut surga
selain itu ada gerakan-gerakan yang dilakukan untuk tujuan politik atau istilah tersebut sering kita dengar dengan sebutan "terorisme". Terorisme berasal dari kata teror yang secara etimologi berarti 1)perbuatan yang sewenang-wenang, 2)usaha menciptakan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan. Akhir-akhir ini terorisme dikaitkan dengan gerakan yang dilatar belakangi oleh keagamaa, akan tetapi geakan tersebut sebenarnya bukan dilatar belakangi oleh agana akan tetapi untik kepentingan politik. Gerakan yang seperti terorisme tersebut antara lain: Fundamentalisme, Radikalisme, dan lain sebagainya.
Kemudian yang terakhir yaitu Fatalisme. Fatalisme diartikan sikap pasrah tanpa pamrih. Secara etimologis, ada sejumah faktor yang melatar belakangi munculnya fatalisme yaitu pemahaman yang keliru dan otoritas agamawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar