Total Tayangan Halaman

Sabtu, 31 Maret 2012

Kesehatan Mental dan Psikopatologi




 
LATAR BELAKANG
            Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju atau yang sedang berkembang ini, ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Apa yang dahulu belum dikenal manusia, kini sudah tidak asing lagi baginya. Bahaya kelaparan dan penyakt menular yang dahulu sangat ditakuti, sekarang telah dapat dihindari. Kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya alamiyah yang dahulu menyulitkan dan menghambat perhubungan, sekarang tidak menjadi soal lagi. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya.
            Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental (psychis). Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan
Semakin maju suatu masyarakat, semakin banyak tuntutan hidup yang perlu dipenuhi oleh anggotanya. Kalau dahulu manusia sudah puas apabila ia telah dapat menjaga dirinya dari hawa dingin atau panas dengan pakaian sederhana, sekarang pakaian tidak saja untuk menjaga diri atau menutup aurat, akan tetapi mempunyai fungsi yang lebih penting, yaitu untuk menjaga prestise (harga diri). orang akan merasa malu atau rendah diri kalau pakaiannya tidak bagus, tidak mahal, seperti lazimn dipakai oleh kenalan-kenalan atau orang-orang yang setingkat dengannya. Di samping pakaian, diperlukan pula perhiasan-perhiasan yang juga harus mengikuti mode. Jika mode yang sedang berlaku tidak terikuti, orang merasa tidak puas. Hal ini tidak terbatas pada perhiasan dan pakaian saja, tetapi juga rumah dan perabotannyapun mengalami proses yang sama. Fungsinya berubah dari tempat berlndung dan istirahat menjadi suatu lambang prestise. Demikianlah seterusnya, sehingga kendaraan bermotor pun menjadi  lambang prestise, sedangkan fungsi sebenarnya dari barang-barang tersebut tidak penting lagi.
Betapa sedihnya orang yang merasa kekurangan benda-benda prestise semacam itu. Bahkan kadang-kadang menyebabkan rengganggnya persahabatan telah terjalin erat, apabila temannya tersebut mempunyai atau mampu memiliki barang-barang prestise itu lebih daripada yang dimilikinya. Maka kebutuhan disini beralih dari kebutuhan primer menjadi sekunder, tetapi kebutuhan yang sekunder itulah yang menguasainya. Akibatnya meningkatnya kebutuhan di masa modern itu maka orang selalu mengejar waktu, mengejar benda, mengejar prestise. Semuanya ini akan membawanya kepada kehidupan seperti mesin, tidak mengenal istirahat dan ketentraman. Hidupnya dipenuhi ketegangan (tension), karena keinginannya untuk menghindari perasaan tertekan, jika tidak tercapai semua apa yang diinginkan itu. Akibat lebih lanjut ialah munculnya kegelisahan-kegelisahan yang tidak jelas ujung pangkalnya yang menghilangkan kemampuan untuk merasa bahagia dalam hidup.
Dari sini mulailah orang merasa semakin jauh dari kegembiraan dan kebahagiaan, karena ketegangan dan kegelisahan batin yang selalu menghinggapinya dalam kehidupannya sehari-hari.maka akan timbullah pula perubahan dalam cara-cara pergaulan hidupnya selama ini. Rasa kekeluargaan dan persaudaraan akan berangsur hilan, ia akan menjadi asing dan terlepas dari ikatan-ikatan sosial, atau yang terkenal dengan individualistis dan egois. Masih banyak kenyataan pahit lainnya dengan melihat dan mencoba menganalisis kondisi zaman modern saat ini. Timbul pertanyaan,” Lalu apa penyebab terjadinya hal-hal di atas lalu bagaimana menghindarinya?”
Dampak dari fenomena di atas kekalutan, penyakit jiwa atau yang sering disebut mental disorder semakin kian maraknya menjangkit diri seseorang. Mental disorder adalah bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental, disebabkan oleh kegagalan mereaksikan mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan atau mental terhadap stimuli eksternal dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu bagian atau sistem kejiwaan (Kartono,2009). Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir dalam Hadiarni, gangguan mental atau psikopatologi adalah sakit yang tampak dalam bentuk perilaku dan fungsi kejiwaan yang tidak stabil. Gangguan merupakan totalitas kesatuan dari ekspresi mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor penyebab sekunder lainnya. Kekalutan mental ini memiliki banyak bentuknya dari neurosis dan juga psikotik.
Salah satunya yang jarang disorot adalah Histeria. Histeria adalah sejenis gangguan kejiwaan yang ditandai munculnya ketidakstabilan emosi, represi, disasosiasi, dan sugestibilitas. Histeria ini bisa mengakibatkan kelumpuhan atau kram sebagian anggota badan, hilangnya kesanggupan bicara, bahkan hilang juga ingatan, menyebabkan seseorang memiliki kepribadian ganda, mengelana tidak sadar (fugue). Di ilmu psikologi modern sudah cukup banyak hal ini dikaji lalu bagaimana Islam mengkaji hal tersebut. Makalah ini berusaha menjawab hal tersebut dari kedua sudut pandang Barat dan Islam, yang terkadang lebih sering dipertentangkan mencari celah kelemahan masing-masingnya. Namun makalah ini akan menggunakan pendekatan yang lebih mengarah pada integratif antara kedua pandangan dan perspektif ini. Bagaimana mencapai kesehatan mental yang di Islam terumuskan pada prinsip untuk menjadi an-nafsul muthma’innah.
  http://benyahya.student.umm.ac.id/files/2011/12/42-1024x141.jpg
Barangsiapa di antara kalian merasa aman di tengah keluargnya pada pagi hari, sehat fisik, dan memiliki bahan makanan untuk hari yang dijalaninya, maka seakan-akan seluruh dunia telah diberikan untuknya...” (Rasulullah)
PEMBAHASAN
A. Sejarah Histeria
Histeria adalah penyakit yang terkenal dan kuno. Dahulu orang menyangka bahwa penyakit  tersebut hanya menimpa wanita saja, karena berpindahnya rahim dalam tubuh wanita karena menuntut pemuasan seks. Pengobatan yang diberikan waktu itu adalah semacam minyak yang harum baunya, dengan minyak tersebut alat kelamin wanita diminyaki dengan itu dan ditolong untuk mengembalikan rahim ke tempatnya semula.
Pemikiran itu lama berkuasa sampai datangnya Freud, maka diperbaikinya keyakinan yang salah itu, ketika ia menemukan diantara pasiennya ada orang laki-laki. Freud dalam Fahmi (1977) menjelaskan bahwa histeria adalah akibat dari konflik yang terjadi antara super ego dan dorongan seks yang tidak diterima oleh super ego, maka terjadilah akibat konflik tersebut apa yang dinamakan represi. Apabila represi tidak terjadi dengan sempurna, maka dorongan-dorongan itu berusaha untuk mengungkapkan dirinya secara tidak langsung dengan jalan mengubahnya menjadi penyakit badaniah, dengan arti bahwa ia lari dari alam bawah sadar dalam bentuk selubung (gejala badaniah). Namun segelintir kasus kecil yang sudah diteliti Freud tidak dapat digeneralisir begitu saja.
Freud bermaksud penafsirkan penyakit tersebut dari satu segi tertentu saja, yaitu dari segi seks, sedangkan pendapat yang kuat sekarang ini tidak mengarah kepada pembatasan satu faktor tertentu saja seperti faktor seks, bahkan dianggap bahwa histeria ini terjadi akibat berbilang sebab, yang terpenting diantaranya adalah kurangnya penyesuaian diri dalam kehidupan nyata. Ungkapan tentang kebingungan dan keraguan terhadap situasi yang tidak sanggup individu untuk menghadapinya. Hal ini disebabkan oleh konflik jiwa dalam kehidupannya di masa lalu, akibat dari banyaknya hambatan, ekspresi emosi, dan frustasi. Maka orang yang seharusnya berusaha mengatasi kesukaran hidup, ia lari kepada kelakuan histeris sebagai pelarian yang tidak disadari yang menjadikannya menarik diri, mundur dan menjauh dari tanggung jawab. Maka hilanglah kemampuannya untuk mengendalikan kelakuannya dan menempatkan dirinya pada situasi yang menarik perhatian dan kasihan orang kepadanya. Namun alasan ini saja belum cukup.
Ada faktor lain yang penting selain faktor di atas. Faktor bawaan seorang histeria biasanya pemalu, kolot, bahkan agak aneh, mudah dipengaruhi dan penyayang (Fahmi, 1977). Diantara faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pembawaan umum yang dianggap sebagai keturunan bagi penyakit histeria (penyakit paru-paru dan pecandu minuman keras) yang menyebabkan berkurangnya susunan yang membantu terhadap tidak adanya penyesuaian diri.
Penelitian mengenai histeria terus berkembang dari zaman kuno hingga modern saat ini dengan macam-macam pendekatan. Jika pendekatan psikoanalisa sudah terulas dari tokohnya maka dengan bergesernya zaman mulai bermunculan pendekatan-pendekatan yang mengkaji ini begitu pula dengan Islam.
B. Pengertian Histeria
Histeria adalah gangguan psikoneurotik khas yang ditandai oleh emosionalitas yang ektrem. Mencakup macam-macam gangguan psikis, sensoris, motoris, vasomotor, dan alat pencernaan (Kartono, 2009). Semua itu adalah produk daripada represi terhadap macam-macam konflik internal, ditambah dengan adanya displin keluarga yang slah, serta menggunakan defence mechanism yang negatif serta maladjusment; yaitu cara penyesuaian diri yang salah, sehingga menimbulkan banyak kesulitan (Kartono, 2010).
Gangguan kepribadian histrionik ditandai oleh perilaku yang macam-macam, dramatik, ekstrovert pada orang yang meluap-luap dan emosional (Kaplan, 1997). Mereka yang memiliki kepribadian histrionik seringkali menggunakan ciri-ciri penampilan fisik, seperti pakaian yang tidak umum, rias wajah, atau warna rambut untuk menarik perhatian orang kepada mereka. Para individu tersebut walaupun menunjukkan emosi secara berlebihan, diperkirakan memiliki kedangkalan emosi. Mereka berpusat pada diri sendiri, terlalu memedulikan daya tarik fisik mereka, dan merasa tidak nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian. Mereka dapat menjadi provokatif dan tidak senonoh secara seksual tanpa mempedulikan kepantasan dan mudah dipengaruhi orang lain. Bicaranya seringkali tidak tepat dan kurang memiliki detail. Sebagai contoh, mereka dapat menyatakan pendapat secara tegas, namun tidak dapat memberikan informasi yang mendukung (Davidson, 2006.)
C. Karakteristik Gangguan Histeria
Kriteria gangguan kepribadian histrionik atau yang sering disebut histeria dalam DSM-IV-TR memiliki pola pervasif emosionalitas dan mencari perhatian yang berlebihan, dimulai pada masa dewasa muda dan tampak dalam berbagai konteks, seperti ditunjukkan oleh lima (atau lebih) berikut:
  • Kebutuhan besar menjadi pusat perhatian
  • Perilaku tidak senonoh secara seksual yang tidak pantas
  • Perubahan ekspresi emosi secara cepat
  • Memanfaatkan penampilan fisik untuk menarik perhatian orang lain pada dirinya
  • Bicaranya sangat tidak tepat, penuh semangat memperthankan pendapat yang kurang memiliki detail
  • Berlebihan, ekspresi emosional yang teatrikal
  • Sangat mudah disugesti
  • Menyalahartikan hubungan sebagai lebih intim dari yang sebenarnya
Ciri-ciri kepribadian dari penderita histeria antara lain sebagai berikut:
  • Sangat egoistis, selfish dan semaunya sendiri. Perangainya selalu menginginkan perhatian dan belas kasihan yang berlimpah yang disertai dengan pujian-pujian
  • Selalu merasa tidak bahagia. Sangat sugestibel dan sensitif sekali terhadap opini orang. Lalu ingin melakukan semua sugesti orang lain untuk mendapatkan pujian, perhatian, dan persetujuan. Akibatnya ia malah mengalami banyak kebingungan dan konflik batin.
  • Emosinya sangat kuat, dam semua penilaiannya ditentukan oleh rasa like atau dislike yang kuat.
  • Selalu berkecenderungan untuk melarikan diri dari kesulitan dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Lalu berusaha menghindar dengan simptom-simptom fisik yang dibuat-buat/ditiru atau dihebatkan berupa pingsan dan berpura-pura sakit untuk memperpanjang usaha melarikan diri juga untuk mendapatkan maaf atau belas kasihan dari orang luar. Tujuan utamanya adalah menghindari tugas-tugas tertentu atau menghindari situasi yang tidak menyenangkan.
Stigmata (ciri-ciri khas) yang sering menyertai gejala histeria (kepribadian histrionik) adalah sebagai berikut:
  • Sering merasa pusing. Bisa juga mengalami stupor, seperti terbius tidak merasa apa-apa. Kadang seperti dalam keadaan trance (seperti dalam mimpi yang spiritistis, merawankan jiwa)
  • Sangat pelupa/pikun. Sering dibarengi simptom somnabulisme (tidur berjalan), fugue (kondisi amnesis disertai disosiasi terhadap lingkungan), ataupun pribadi majemuk.
  • Adakalanya timbul kesakitan-kesakitan histeris, sekalipun tidak ada kesakitan organis disebabkan sugesti diri dan ide-ide fixed yang salah, misalnya dia merasa betul-betul sakit. Ada juga yang menderita kelumpuhan, anggota badan jadi kaku, buta, tuli, dan disertai invalidisme lain-lain yang sifatnya sementara.
  • Sangat sugestibel, egosentris, selfish, emosinya tidak stabil.
  • Ada tics (gerak-gerak facial, di wajah) dan tremor atau selalu bergetar/ gemetar. Ada juga yang kejang-kejang dan mau muntah-muntah.
  • Ada anaesthesia yaitu tidak bisa merasa apa-apa dan sering terdapat gangguan pada alat pernapasan.
D. Penyebab Histeria
Adapun penyebab histeria adalah sebagai berikut:
  1. Ada predisposisi pembawaan berupa sistem syaraf yang lemah.
  2. Tekanan-tekanan mental (stresses) yang disebabkan oleh kesusaha, kekecewaan, shocks, dan pengalaman-pengalaman traumatis/ luka jiwa.
  3. Kebiasaan hidup dan disiplin diri yang keliru, sehingga mengakibatkan kontrol pribadi yang lemah dan integrasi kepribadian yang miskin dan sangat kekanak-kanakan
  4. Sering atau selalu menggunakan escape mechanism dan defence mechanism sehingga mengakibatkan maladjustment  dan semakin banyak timbul kesulitan
  5. Kondisi fisik/ organis yang buruk, misalnya: sakit-sakitan, lemah, lelah, fungsi-fungsi organik yang lemah, gangguan pikiran dan badaniah
  6. Adanya sugesti diri yang buruk dan melemahkan mental. Berusaha untuk selalu melarikan diri dari realitas hidup, karena sifat pengecutnya
  7. Oleh kelenahan-kelemahan diri, individu berusaha untuk menguasai keadaan, lalu mentiranisasi lngkungan dengan tingkah lakunya yang dibuat-buat
  8. Charchot dalam Kartono (2009) berkata, histeria merupakan penyakit spesifik yang mempunyai dasar organis. Sebenarnya bukan penyakit, akan tetapi merupakan alat berupa kebiasaan yang dipelajari untuk mengontrol keadaan dan mengjindari satu situasi yang berat atau tidak menyenangkan.
  9. Babynski dalam Kartono (2009) menyatakan bahwa histeria disebabkan oleh sugesti diri dan kemauan sendiri untuk mengekspresikan simpyom-simptom bertujuan untuk menghindari satu situasi yang dianggap berat atau tidak menyenangkan.
  10. Janet dalam (Kartono) menjelaskan bahwa histeria disebabkan oleh shock-shock emosional atau individu ada dalam keadaan lelah, sehingga terjadi gangguan pada integrasi kepribadiannya dan disosiasi pribadi yang ditampilkan dalam macam-macam simptom histeris
  11. Aliran psikoanalisis menyatakan bahwa denga kelemahan-kelemahan pribadi berupa pembawaan, timbul fraksi ide-ide yang keliru dan bermacam-macam perasaan negatif seperti malu, bersalah, berdosa, gagap yang kemudian ditekan banyak konflik internal. Elemen-elemen yang ditekan ke dalam ketidaksadaran itu lalu ditampilkan keluar melalui perbuatan. Jadi simptom histeris itu merupakan ekspresi yang dikamuflase dari fiksasi ide-ide dan elemen-elemen yang ditekan tadi. Selanjutnya, terjadilah disosiasi antara dirinya dengan lingkungan dan pelbagai bentuk gradasi.
Dari penyebab di atas sungguh benar apa yang diungkapkan oleh Rasulullah SAW, bahwa hati itu ibarat panci yang dipanaskan di atas tungku, “ Hati manusia itu lebih mudah berbolak-balik dibandingkan dengan panci yang berisi penuh air mendidih.” (Diriwayatkan oleh Ahmad VI, dan Al hakim III :389)
Beliau juga pernah bersabda, “ Hati disebut qolb (yang berbolak-balik), karena kondisinya memang suka berbolak-balik. Perumpamaan hati itu seperti sehelai bulu yang menancap di akar pohon, ia akan berbolak-balik tak karuan digerakkan oleh angin.” (HR. Ahmad IV: 408. Lihat Shahihul Jami’ 2361)
Jiwa manusia amat mudah mengalami perubahan, dari kondisi gembira menuju sedih, dalam kondisi suka menjadi benci, dalam kondisi cerah menjadi berkabung. Perubahan suasana hati menimbulkan perubahan pula pada kondisi kejiwaan seseorang, terutama bila yang terjadi adalah perubahan-perubahan prinsipal pada titik keimanan dan keyakinan terhadap kebenaran. Masuknya jenis syubhat atau kerancuan dalam keyakinan hati terhadap kekuasaan Allah misalnya, amat berpengaruh pada kemampuan hati menerima terpaan musibah. Apalagi bila kerancuan itu merambati sisi-sisi terpenting dalam keimanan, seperti keimanan pada keberadaan Allah, atau kebenaran risalah Islam atau yang sejenis itu.
Dalam kondisi dasar iman yang belum terusik sekalipun, noda-noda maksiat dan kefasikan dalam hati dapat membuatnya tak lagi mampu bersikap teguh pada aturan-aturan syariat. Padahal, setiap kali seorang hamba berlari dari konsep penghambaan diri secara mutlak kepada Allah, saat itulah ia sudah menyimpang dari fitrahnya, maka hatinya menjadi keruh.
E. Dzikir Sebagai Penanganan Histeria
Metode pendekatan diri kepada nilai-nilai kehambaan, agar seorang hamba selalu menyadari keberadaan dirinya sebagai hamba Allah itulah yang disebut dzikir. Dalam sebuah Hadis qudsi diungkapkan;
Aku beserta hamba yang selalu menyebutKu dan kedua bibirnya selalu bergerak (berdzikir) kepadaKu.” (HR. Ahmad, 2/540 disahihkan Al Abani dalam shahih Ibnu Majah, No.93792, 2/317)
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. “  (QS. Al-Ankabut:45)
Ibnu Qayyim pernah menjelaskan, bahwa dalam tubuh manusiamengalir zat-zat makanan, anti toxin dan berbagai kebutuhan jasmani melalui darah. Itulah yang membuat saraf-saraf dan organ tubuh bekerja dengan baik, sehingga tubuh menjadi sehat. Agar sirkulasi darah lancar, jantung terus berdetak secara normal dan teratur. Ia tak mungkin berdetak normal dan teratur , bilahati tidak tenang dan tentram. Hati menjadi tenang dengan berdzikir. Maka berdzikir dapat membantu mengobati berbagai penyakit, termasuk penyakit jiwa dalam hal ini histeria.Jiwa yang tenang karena banyak berdzikir, tidak mudah terkena histeria dengan berbagai variannya. Dzikir mampu menyetabilakan jiwa, emosi dan kepekaan hati. (Basyier, 2011)
Dalam kondisi jiwa yang labil, seringkali orang kehilangan pertimbangan akal sehat. Ia bisa saja membenci hal-hal yang tidak selayaknya dibenci, menjauhi hal-hal yang tak sepatutnya dijauhi atau justru melakukan hal-hal yang dalam kondisi normal tak mungkin dilakukan. Sehingga banyak pakar kejiwaan yang menyebutkan bahwa kondisi ketidakstabilan jiwa yang terus-menerus akan melahirkan sejenis trauma dalam diri, sehingga seseorang sering tidur mengigau atau bahkan jalan sambil tidur. Akibat tekanan emosi tidak terkendali, titak jarang seseorang merasa asing di lingkungannya sendiri. Ia bisa saja merasa secara tiba-tiba tidak cocok dengan orang disekutarnya, dengan kawan-kawan karibnya, ilahbahkan dengan keluarga, isteri da anaknya. Kita sering mendengar istilah, “Aduh pikiran saya suntuk..” akibat perasaan suntuk seperti itu, seringkali orang menjadi tidak betah tinggal di rumah yang bahkan sudah menyediakan berbagai kesenangan untuk dirinya. Itulah kenapa berbagai jenis hiburan dari yang gratisan hingga yang mengharuskan seseorang merogoh kocek jutaan rupiah sekali menyaksikan satu penayangannya, dari yang halal hingga yang haram, dari yang sederhana hingga yang gemerlap memukau. Sekarang ini sudah banyak tersedia dimana-mana. Kebutuhan manusia terhadap hiburan semakin tinggi, karena tingkat kestabilan jiwa, kekeruhan hati dan kekacauan pikiran semakin menjadi-jadi seperti ilustrasi di atas.
Persoalannya, tidak setiap kondisi rumah tangga juga lokasi tempat tinggal, kondusif dan akomodatif untuk aktivitas berdzikir. Orang akan kesulitan membiasakan diri berdzikir, kalau dalam rumahnya bergantungan gambar-gambar makhluk hidup, patung sejenisnya, karena Malaikat rahmat tidak sudi memasukinya, bahkan jin setan senang berkerumun di sana. Dzikir juga akan sulit dilakukan secara khusyu’ dalam rimah yang hingar bingar musik terdengar setiap saat. Saat seseorang kesulitan untuk berdzikir secara tenang dan khusyu’, shalat dengan hikmat maupun membaca Al-Qur’an dengan hati teduh, akan sangat sulit seseorang bisa memperoleh ketentraman jiwa. Karena itu, hatinya akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai persoalan dan realitas hidup yang dihadapinya. (Basyier, 2011)
F. Kesehatan Mental
Secara umum para psikolog mendefinisikan kesehatan mental sebagai sebuah kematangan seseorang pada tingkat emosional dan kematangannya secara sosial untuk melakukan upaya adaptasi dengan dirinya sendiri dan alam sekitar, serta kemampuan untuk mengemban tanggung jawab kehidupan dan menghadapi kenyataan hidup dengan perasaan senang, tentram, dan bahagia. (Najati, 2003). Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan mental adalah kemampuan adaptasi seseorang dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitar secara umum, sehingga dia merasakan senang, bahagia, hidup dengan lapang, dan berperilaku sosial yang normal, serta mampu menghadapi dan menerima berbagai kenyataan hidup. Sementara Goble mengutip Assagioli dalam Ikhrom, menyatakan bahwa kesehatan mental aadalah terwujudnya integritas kepribadian, keselarasan dengan jati diri, pertumbuhan ke arah realisasi diri dan ke arah hubungan yang sehat dengan orang lain.
Para psikolog telah membuat indikator yang menunjukkan bahwa seorang individu telah meraih kesehatan mental. Di antara indikator tersebut adalah yang ditetapkan Maslow bahwa indikator seseorang mampu meraih kesehatan mental adalah adanya hubungan antara dirinya dengan beberapa nilai, seperti kejujuran seseorang kepada dirinya sendiri dan kepada orang lai, memiliki keberanian untuk mengungkap kebenaran, bertanggung jawab dalam melakukan sesuatu yang dikerjakan, berani mengaku siapa dirinya sebenarnya, apa yang dikehendaki dan apa yang dia sukai, serta mau mengakui mana hal-hal yang baik sekalipun tidak berasal dari dirinya, sekaligus mau menerima hal baik tersebut tanpa bermaksud untuk mengadakan pembelaan diri demi merusak hakikat kebenaran yang telag ada (Najati, 2003).
Sementara Utsman Labib Faraj dalam Najati (2003) meringkas indikator kesehatan sebagai berikut:
  • Seseorang merasakan keamanan dan ketentraman jiwa
  • Sadar akan kemampuannya, mau menerima orang lain, mau menerima perbedaan di antara mereka, dam mengakui adanya perbedaan antara dirinya dengan orang lain
  • Mampu menguasai diri secara proporsional ketika dituntut melakukan hal yang spontanitas dan memiliki kemamuan untuk memulai sesuatu.
  • Mampu menumbuhkan interaksi aktif dan memuaskan pihak lain.
  • Memiliki pandangan yang realistis dalam menjalani kehidupan dan bisa menghadapi berbagai problem dengan wajar sehingga mampu memunculkan solusi terbaik
  • Memiliki kepribadian yang sempurna
Dalam membentuk pribadi yang sempurna harus memperhatikan dimensi-dimensi yang ada dalam diribaik itu dimensi biologis, dimensi sosial, dimensi budaya dan tanpa mengabaikan dimensi spiritual. Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian dengan 4 dimensi tersebut yaitu:
1. Keseimbangan dalam kepribadian
Memenuhi ke empat dimensi tersebut dengan seimbang tanpa mengabaikan salah satupun di antaranya.
  • Dimensi Spiritual
a. Beriman, bertauhid dan beribadah kepada Allah
 http://benyahya.student.umm.ac.id/files/2011/12/Qs.-Al-an-aam-821-1024x89.jpg
Orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka denga kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’aam 6:82)
 http://benyahya.student.umm.ac.id/files/2011/12/Qs.-Ar-Rad-28-1024x90.jpg
“ (Yaitu) orang-orang yang ¾riman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram” (QS. Ar-Ra’ad 13: 28)
b. Ketakwaan
   Keimanan harus diiringi dengan ketakwaan. Diman ketakwaan merupakan faktor utama yang bisa menciptakan kematangan dan keseimbangan kepribadian seseorang. Ketakwaan juga merupakan faktor vital untuk mengantarkan seseorang pada kebahagiaan dan kesehatan mental.
c. Praktek Ibadah
 http://benyahya.student.umm.ac.id/files/2011/12/Qs.-An-Nahl-97-1024x156.jpg
“ Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan “ (QS. An Nahl 16:97)
  • Dimensi Biologis
a. Mengendalikan berbagai motivasi
 Islam mengajak umatnya untuk mengendalikan motivasi dapat dilihat salah satu firman Allah di bawah ini yang menjelaskan pemenuhan motivasi seksual dengan jalan yang benar yaitu menikah.
 http://benyahya.student.umm.ac.id/files/2011/12/3-1024x92.jpg
“ Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” ( QS. An-Nuur 24:33)
b. Mengendalikan emosi
Terbukti  dalam beberapa kajian medis dan psikologi dengan pengendalian emosi dapat membuat mental sehat. Hal ini juga diterangkan dalam AlQur’an dan Al Hadis.
2.Kepribadian yang mantab dan Kesehatan Mental
Manusia yang berkepribadian mantab tidak lain adalah yang memiliki an-nafsul muthmai’innah, yakni orang yang fisiknya sehar dan kuat, mampu melampiaskan kebutuhan primernya dengan cara yang halal, dan memenuhi kebutuhan spiritualnya dengan cara berpegang teguh pada akidah tauhid, meendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan ibadah dan beramal shaleh, serta menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan hal-hal yang mendatangkan murka Allah. Manusia yang berkepribadian mantab merupakan orang yang senantiasa stabil perilaknya. Semua ucapan maupun perbuatannya senantiasa sesuai dengan ajaran yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulnya.
 http://benyahya.student.umm.ac.id/files/2011/12/Qs.-Al-Qalam-4.jpg
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
 (QS. Al-Qalam 68: 4)
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin. 2008. Psikologi Agama Dalam Perspektif Islam. Malang: UIN –Malang-Press
Basyier. 2011. Kedoktern Nabi: antara realitas dan Kebohongan. Surabaya: Shafa
Davidson, Gerald. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: Grafindo Persada.
Fahmi, Musthafa. 1977. Kesehatan Jiwa: Dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta: Bulan bintang
Hadiarni. Psikologi Dalam Perspektif Islam : Hakikat dan Penanganannya. Jurnal
Ikhrom. Psikologi Islam: Titik Singgung Antara Tasawuf, Psikologi Agama, dan Kesehatan Mental. Jurnal
Kaplan & Sadock. 1994.Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Bina Rupa Aksara
Kartono, Kartini. 2010. Patologi Sosil: Gangguan Kejiwaan. Jakarta: Grafindo Persada
Kartono, Kartini. 2009. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press
Najati, Muhammad Utsman. 2003. Psikologi Dalam Tinjauan Hadits Nabi. Jakarta: Mustaqiin
Taufik. 2005. Fenomena Dzikir Sebagai Ekapisme Spiritual Masyarakat Modern. UMS: Skripsi
Utami, Sri. 2010. Pengaruh Dzikir Ratib Al Haddad terhadap Kesehatan Mental Masyarakat Gempa. Jurnal
Yosep, Iyus. Faktor Penyebab dan Proses Terjadinya Gangguan Jiwa. Jurnal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar