Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 April 2012

POLITIK PENDIDIKAN DALAM ARAH KEBIJAKAN SISDIKNAS


 Untuk Download klik link dibawah ini:




 
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
                Sejak zaman penjajahan, bangsa Indonesia telah memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Namun pelaksanaannya masih diwarnai oleh kepentingan politik kaum penjajah, sehingga tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan mereka.
                Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indonesiapun menunjukan kepeduliannya terhadap pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia. Sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
        Dengan demikian maka tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan pendidikan tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU sisdiknas) BAB II pasal 3.
Pembangunan nasional tidak hanya bertujuan untuk mencapai suatu masyarakat yang serba maju dan modern dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih jauh dari itu, yakni merupakan upaya yang harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan meliputi segenap aspek kehidupan guna meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia, sehingga dapat hidup layak sesuai dengan martabat dan nilai-nilai luhur bangsa serta nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan nasional di masa depan hendaknya menempatkan manusia sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan terpenting serta diarahkan untuk mewujudkan masyarakat dan bangsa Indonesia yang tinggi kualitasnya, tangguh, mampu mandiri, demokratis, dan meningkat kesejahteraannya, sehingga memiliki derajat yang sama dengan masyarakat dan bangsa lain.
Keinginan dan harapan tersebut dapat diwujudkan apabila segenap komponen bangsa menyadari bahwa pendidikan amatlah penting dan strategis dalam pembangunan sumber daya manusia yang menjadi handalan masa depan. Dengan demikian diharapkan pemerintah dan masyarakat memberikan perhatian serta dukungan yang sangat diperlukan dalam melakukan usaha-usaha pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional.
Secara filosofis, pendidikan nasional tidak hanya menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas, cakap, kreatif dan produktif, tetapi juga yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian bangsa, serta memiliki sikap dan semangat kejuangan yang tinggi untuk membela kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, pendidikan hendaknya mampu membentuk sikap dan perilaku masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menghargai kemajemukan budaya dan perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat Indonesia, menghargai nilai-nilai budaya yang baik dari bangsa lain, serta mampu memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nasional.
Upaya pendidikan yang dilaksanakan, selain mengacu pada nilai-nilai luhur budaya bangsa dan semangat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, juga harus mencerminkan berbagai perubahan dan tuntutan masyarakat tentang perlunya reformasi, demokratisasi, transparansi, dan kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perubahan dan tuntutan tersebut berkaitan dengan kemauan yang kuat untuk membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang makin sejahtera, berkeadilan, tangguh, dan mampu mengatasi tantangan-tantangan baru di masa depan, baik yang bersifat regional, nasional, maupun global.
Pendidikan nasional yang diselenggarakan selama ini, secara kuantitas, telah memberikan pengaruh yang cukup positif dalam perkembangan dan kehidupan bangsa Indonesia. Namun, dinilai dari segi kualitas, hasil pendidikan kita ini belum mampu menjawab berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi. Oleh sebab itu, sangatlah mendesak untuk segera dilakukan upaya-upaya pembaruan dan penyempurnaan yang menyeluruh, terpadu, dan bersifat strategis terhadap sistem pendidikan nasional kita.
     Politik pendidikan, yaitu penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan baik secara represive ataupun secara persuasive. Politik pendidikan dikategorikan represif apabila melibatkan kekuatan (fisik) untuk mendesakkan implementasi kebijakan tertentu. Sebaliknya, politik pendidikan yang persuasive menekankan implementasi kekuasaan secara halus (subtle) lewat strategi taktis (http:/ / www.kompas.com).  Pada politik pendidikan yang persuasif ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang selanjutnya dikenal dengan istilah politik kebijakan pendidikan.
    Dunia pendidikan tidak mungkin lepas dari politik dan kekuasaan. Bahkan, politik dan kekuasaan di suatu negara memegang kunci keberhasilan pendidikan. Menurut Paulo Freire masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Maka dalam konteks demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia peran politik (eksekutif dan legislatif) begitu besar. Sehingga, ranah politik dan kekuasaan mampu menjadi wahana bagi espektasi publik akan sebuah sistem pendidikan yang mencerahkan. 
Paulo Freire yang oleh banyak kalangan sering disebut sebagai salah satu tokoh liberalisme pendidikan, telah mengarang buku yang diberi judul The Politic of Education. Dalam buku ini, meski tidak diuraikan di dalam chapter yang tersendiri, secara implisit terdeskripsi betapa pentingnya politik pendidikan untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara.
Dalam buku tersebut dilukiskan persoalan menyangkut pemberantasan buta huruf, pemeranan guru, reformasi agraria, pemeranan pekerja sosial, pemberantasan buta politik, humanisasi pendidikan, peran gereja, dan sebagainya yang tidak terlepas dari politik pendidikan.
Negara yang politik pendidikannya buruk, kinerja pendidikannya pun juga buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga bagus.
Pertanyaannya kini, bagaimanakah politik pendidikan di negara kita? Inilah pertanyaan yang cukup menggelitik untuk diklarifikasi. Kalau kita enggan menyatakan politik pendidikan kita buruk, setidak-tidaknya kita dapat menyatakan bahwa politik pendidikan di negara kita belum sepenuhnya positif. Indikasinya tak sulit; komitmen yang rendah, besarnya anggaran yang tidak memadai, manajemen pendidikan yang lemah, dan sebagainya.
    Politik kebijakan pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 3 sebagai salah satu produk kebijakannya, menyebutkan bahwa:”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU. Sisdiknas, 20 th.2003)”.
    Untuk mencapai tujuan pendidikan ini, disusun kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan juga metode pembelajaran. Kurikulum tersebut mencakup fokus program, media instruksi, organisasi materi, strategi pembelajaran, manajemen kelas, dan peranan pengajar. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
   Selanjutnya untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi. Ujian Nasional (selanjutnya, istilah Ujian Nasional disingkat menjadi UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai produk dari sistem politik pendidikan di Indonesia.
    Di dalam tujuan pendidikan nasional terdapat beberapa kata kunci antara lain iman dan takwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan demokratis . Sebagai konsekuensinya, evaluasi yang diterapkan harus mampu melihat, sejauh mana ketercapaian setiap hal yang disebutkan dalam tujuan tersebut. Evaluasi harus mampu mengukur tingkat pencapaian setiap komponen yang tertuang dalam tujuan pendidikan. Demikian pula evaluasi harus mampu menjawab semua permasalahan tentang tingkat pencapaian tujuan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
    Relevansi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dengan pemberlakuan evaluasi secara nasional, UN sebagai produk kebijakan politik pendidikan, telah diberlakukan pada empat tahun terakhir. Seperti yang dikatakan Tilaar (2006), sumber kekacauan pendidikan di Indonesia secara umum bersumber dari politik kebijakan pendidikan oleh pemerintah. Selanjutnya Zen dalam Suparlan menyatakan, Selama ini, kebijakan pendidikan di Indonesia bercirikan trial and error, hit and run, dan proyekisme (yang dipelesetkan kick and rush, cekik dan peras (http:/ / www.suparlan.com). Terkesan urusan pendidikan sering digampangkan, sepertinya kebanyakan orang merasa paham dan mampu memberi solusi yang benar tanpa perlu studi dan teori. Pendidikan terkesan diselenggarakan berdasarkan impulse sesaat para penguasa sehingga ketika pejabat memberikan pernyataan tentang pentingnya nilai-nilai kejuangan 45, lahirlah Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), saat pemimpin negeri kebanyakan alumni Jerman,muncul kebijakan link and match. Ketika pemimpin negeri ini berusaha keras menciptakan sistem status que dengan rezim barunya maka lahirlah materi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) secara nasional, memperkuat moralitas bangsa dengan sistem totaliter dan represif.











B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah:
a.  Bagaimanakah Realitas Politik Pendidikan di negara kita dewasa ini?
b.  Bagaimankah Komitmen Politik untuk Pendidikan dewasa ini?
c.  Bagaimanakah Arah Baru Kurikulum Pendidikan Nasional itu?
       d.  Apa saja alternatif-alternatif pemecahan masalah serta solusinya yang
            terdapat di SISDIKNAS itu?
e.  Bagaimanakah gambaran
SISDIKNAS tersebut?
f.  Apa saja kebijakan tentang penyelenggaraan
SISDIKNAS itu?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
        a. Untuk menjelaskan arah baru kurikulum pendidikan nasional.
b. Untuk menjelaskan hal-hal alternatif pemecahan masalah serta
           solusinya yang terdapat di SISDIKNAS itu.
c. Untuk menjelaskan gambaran
SISDIKNAS itu sendiri, baik di
           Indonesia maupun dimata dunia.
d. Untuk menjelaskan kebijakan apa saja yang berkaitan dengan
            penyelenggaraan Pendidikan











BAB II
PEMBAHASAN


A. Realitas Politik Pendidikan
Untuk melihat realitas politik pendidikan di indonesia, kita bisa mengukurnya dari kebijakan dan praktik pendidikan yang ada. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2010 – 2012 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Karena itu, kebijakan pendidikan nasional harus mampu menghadirkan pemerataan pendidikan yang bermutu pada setiap sisinya. Dalam konteks outcome, pendidikan nasional harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akhlak mulia secara seimbang.
Pembangunan pendidikan hendaknya dapat membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu. Membangun manusia seutuhnya berarti mengembangkan seluruh potensi manusia melalui keseimbangan olah hati, olah pikir, olah rasa, olah raga, dan olah jiwa yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa.
Pemerintah Indonesia memang telah terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi kesejahteraan umum dan pelaksanaan ketertiban dunia serta berkompetisi dalam percaturan global.
Namun dalam realitasnya, kita menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh panggang dari api. Hal ini bisa kita lihat mulai dari kemampuan mengalokasikan anggaran pendidikan, pemerataan akses dan angka partisipasi pendidikan masyarakat, kualifikasi dan mutu profesionalisme serta kesejahteraan guru, dan daya saing lulusan pendidikan di dnia kerja,
Soal anggaran pendidikan, misalnya. Kita semua tentu paham bahwa sampai sekarang ini besarnya anggaran pendidikan di negara kita tidak saja terjelek di Asia Tenggara, di Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun anggaran pendidikan kita ternyata termasuk terjelek di dunia.
Kalau kita mengacu publikasi badan dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan kita lebih jelek tidak saja dari negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, nggris, Jerman dan Jepang; tetapi juga dari negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Brasilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih jelek dari negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia, Nepal, Congo, dan sebagainya.
Angka rata-rata anggaran pendidikan di negara maju mencapai 5,1 persen terhadap GNP, di negara berkembang 3,8 persen dan negara terbelakang 3,5 persen. Sementara itu, negara kita hanya mengalokasi dana kurang dua persen terhadap GNP.
Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia pendidikan nasional dan meningkatkan kualitas SDM bangsa sesuai dengan yang dicita-citakan, maka pemenuhan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Komitmen serius untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan adalah persoalan mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui pendidikan yang bermutu. Karena, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selama ini Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI telah sepakat untuk menempatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi prioritas tertinggi dalam penetapan APBN setiap tahun. Hal ini dapat dilihat pada kenaikan anggaran di Departemen Pendidikan dan Agama yang melonjak sangat tinggi pada tiga tahun terakhir. Upaya untuk memenuhi anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen dari dana APBN, diluar gaji dan pendidikan kedinasan, telah diupayakan untuk direalisasikan secara bertahap sampai tahun 2009. Rentang kenaikannya adalah dari yang semula hanya 6,6 % pada tahun 2004, menjadi 9,3 % untuk tahun 2005, kemudian menjadi 12 % untuk tahun 2006, lalu menjadi 14,7 % untuk tahun 2007, selanjutnya menjadi 17,4 % untuk tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 21,1 %. Anggaran fungsi pendidikan pada tahun 2006 memang telah mencapai Rp45,3 triliun, meningkat menjadi Rp52,4 triliun pada tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi Rp61,4 triliun pada tahun 2008.
Anggaran pendidikan di APBN sebenarnya terus naik cukup signifikan sejak 2003. Fenomena penurunan persentase anggaran hanya sempat terjadi pada 2002. Ketika itu, anggaran pendidikan hanya mendapatkan porsi 3,76 persen. Padahal, pada 2001 sudah mencapai 4,55 persen. 
Setelah itu, anggaran pendidikan terus bertambah menjadi 4,15 persen pada 2003; 6,6 persen (2004); 7 persen (2005); 9,1 persen (2006); dan 11,8 persen (2007). Dalam APBN 2007, pendidikan telah berhasil mendapatkan porsi terbesar. Begitu juga dalam RAPBN 2008. 
Dalam masalah partisipasi pendidikan juga begitu halnya. Anak usia SD, SMP, SMA dan SMK di Jepang, Republik Korea, Taiwan, Singapura, hampir seluruhnya sudah masuk sekolah. Mereka tidak saja sekadar disuruh bersekolah tetapi juga diberi kesempatan dan fasilitas belajar secara memadai.
Bagaimana di Indonesia? Sampai saat ini masih banyak anak usia SD, SMP, SMA dan SMK yang tidak bersekolah. Secara definitif angkanya sangat tinggi, mencapai jutaan anak. Angka partisipasi pendidikan untuk tingkat SD, SMP, SMA dan SMK ternyata masih rendah. Ditambah lagi dengan tingginya angka putus sekolah dan buta aksara.
Terkait dengan rendahnya partisipasi pendidikan, data Depdiknas 2006 menunjukan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/SDLB/Paket A baru mencapai 94,73%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/SMPLB/Paket B sebesar 88, 68%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/MA/SMK/SMALB/ Paket C sebesar 55, 22%, dan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi baru mencapai 16,70%.
Adapun mengenai tingginya angka putus sekolah, tercatat bahwa angka putus sekolah tingkat SD sebanyak 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Sementara, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk sebanyak 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas, berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki sebesar 5,8% dan perempuan sebesar 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 4,9% dan dipedesaan 12,2%.
Bahkan, berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, hingga akhir tahun 2006, masih 12,88 juta penduduk Indonesia, tersebar di pedesaan dan perkotaan, yang buta aksara. Kondisi ini memang sedikit lebih baik dibandingkan kondisi di tahun 2005 yang sebanyak 14.595.088 orang. Walaupun demikian, masih belum mampu mengeluarkan Indonesia dari kelompok negara-negara (ada 34 negara) di dunia yang jumlah penduduk buta aksaranya di atas 10 juta orang.
Tingginya angka buta aksara inilah yang memberi andil menempatkan peringkat IPM Indonesia di posisi bawah. Dua per tiga dari total penilaian atas kriteria pendidikan didasarkan pada jumlah penduduk di atas 15 tahun yang buta aksara. Artinya, jika angka buta aksaranya masih tinggi maka nilai atas pendidikan jadi rendah.
Kesulitan dalam upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia disebabkan oleh kenyataan bila masih sangat banyak anak yang putus sekolah bahkan tidak sekolah. Disamping itu, minimnya anggaran juga disinyalir menjadi penyebab terhambatnya memberantas buta aksara. Pada tahun 2006 lalu pemerintah hanya menanggarkan dana Rp. 175 miliar, padahal dibutuhkan sedikitnya Rp. 450 miliar untuk menekan angka buta aksara. Kondisi ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat terhadap pendidikan yang masih sangat rendah seiring dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007, yakni hanya 11,8 persen. Memang pemerintah kita selalu menganjurkan agar mereka mau masuk sekolah. Sayangnya, anjuran itu kurang disertai dengan penyediaan fasilitas yang memadai, baik dari sisi jumlah maupun mutu.
Soal peran dan posisi guru juga demikian halnya. Pemerintah di negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Brunei, Taiwan, Jepang, Vietnam, Singapura, dan sebagainya, sangat menghargai peran guru dan memposisikannya sebagai pribadi yang sangat dihormati dan disegani. Sebab, mereka tidak segan-segan menggaji guru dengan nilai yang tinggi.
Guru di Vietnam digaji 600.000 dhong (Dolar Vietnam) pada setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup setiap bulan untuk keluarga kecil hanya sekitar 200.000 dhong.
Guru di Jepang digaji sekitar 200.000 yen setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup di setiap bulannya rata-rata hanya sekitar 100.000 s/d 150.000 yen untuk keluarga kecil. Pendeknya, dengan mengandalkan gajinya saja para guru di negara-negara tersebut bisa hidup layak dan menabung.
Bagaimana dengan guru di Indonesia? Apakah para guru kita dapat hidup dengan layak dan menabung dengan mengandalkan gajinya? Apakah peran dan posisi para guru terandalkan di masyarakat luas? Tentunya kita semua sangat paham dengan kondisi yang senyatanya.
Ironisnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang jumlah guru berpendidikan primer setara S1 yang kurang dari 50 persen. Ini berarti dari jumlah 2,7 juta guru, sebanyak 1,35 juta orang guru belum mencapai kualifikasi S1. Laporan Diknas tahun 2006 menjelaskan bahwa guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV, baru mencapai target 35,6% saja. Jadi, sebanyak 64,4% guru belum memenuhi kualifikasi S1/D-IV. Sedangkan, dosen yang memenuhi kualifikasi S2/S3 baru mencapai 54,02%. Jadi, masih ada sebanyak 45,08 % dosen yang belum memenuhi kualifikasi S2/S3. Pada tahun 2007, depdiknas baru berhasil meningkatkan kualifikasi guru hingga S1/D4 sebanyak 81.800 guru dan melakukan sertifikasi guru sebanyak 147.217 orang. Padahal, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif guru, kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apa pun tetap akan sia-sia. Sebagus apa pun dan semodern apa pun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas, maka tidak ada gunanya. Artinya, pendidikan yang baik dan unggul tetap akan tergantung pada kondisi mutu guru.
Hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for Twenty-first Century, yakni "memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan" (Jacques Delors 1996). Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan para guru adalah suatu keniscayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang memutuskan bahwa gaji guru masuk dalam anggaran pendidikan 20 persen, tidak boleh menjadi hambatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa serius pemerintah menghormati dan menjunjung tinggi profesi guru yang telah banyak berperan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta mencerdaskan kehidupan bangsa? Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan mutu profesi guru sebagai pendidik? Lalu bagaimana dengan kesejahteraan dan nasib masa depan guru ditengah tuntutan dan himpitan ekonomi saat ini?
Terlepas dari masih banyaknya persoalan kebangsaan yang menjerat kita, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, komitmen serius untuk terus meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru merupakan suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, jika kita mau betul-betul serius ingin membangun bangsa ini menjadi lebih beradab. Sebab, guru yang bermutu dan sejahtera memegang peran amat sentral dalam proses pendidikan.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran pada program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan tahun 2008 untuk kegiatan sertifikasi pendidik bagi sekitar 200.000 orang guru, peningkatan kualifikasi akadeik guru ke S1/D4 sebanyak 270.000 guru, peningkatan kompetensi guru Dikdas sebanyak 3.049 guru, dan peningkatan kompetensi guru Dikmen sebanyak 12.828 guru.
Adanya komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan guru bisa dijadikan sebagai momentum pembangkit kembali idealisme guru dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Sehingga, masa depan Indonesia bisa lebih maju, berkualitas, berbudaya, cerdas, dan dapat bersaing dalam percaturan dunia. Namun, persoalannya adalah bagaimana agenda tersebut dapat diimplementasikan dan diwujudkan secara nyata, konkret, dan didasarkan atas kemauan politik dan keseriusan tekad pemerintah.
Kita masih tetap mengharapkan peran strategis pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan, harkat, martabat, dan wibawa guru. Pemerintah harus komitmen dalam melaksanakan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sehingga pembangunan peradaban bangsa melalui sektor pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mau memuliakan dan mensejahterakan guru.
Keadaan tersebut memberi gambaran mengenai politik pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kata-kata surga dan menjanjikan. Politik pendidikan kita belum mampu memberikan harapan konkret atas kemajuan bangsa ini di masa depan.
Pendidikan di negara kita masih berada (diletakkan) di ring marginal sehingga politik pendidikan kita sangat rentan terhadap ekspansi gemerlapnya politik lain yang lebih dominan; katakanlah dengan politik ekonomi, politik kebudayaan, politik keamanan, dan yang lebih khusus politik kekuasaan.







B. Komitmen Politik untuk Pendidikan
Tidak bisa dibantah bahwa politik pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya positif dan solid, bahkan ada yang menyatakan "runyam". Masalahnya sekarang ialah bagaimana upaya yang harus kita lakukan untuk membangun politik pendidikan yang solid dan menjanjikan itu.
Banyak cara dapat dilakukan untuk membangun politik pendidikan di suatu negara; namun keseluruhan cara itu umumnya berawal dari komitmen para penentu politik pendidikan itu sendiri, yang dalam hal ini antara lain ialah para elite politik, pejabat pemerintah serta para pengambil kebijakan negara.
 Mereka semua harus diketuk hatinya supaya memiliki komitmen yang memadai sehingga dapat bersikap "sadar didik" (sense of education). Artinya, menyadari pentingnya pendidikan untuk membangun manusia dan bangsanya. Tanpa pendidikan (yang baik) tidaklah mungkin suatu bangsa dapat berkembang secara konstruktif dinamis.
Komitmen seperti itulah yang belum dimiliki oleh kebanyakan elite politik, pejabat pemerintah, serta para pengambil kebijakan pemerintahan lainnya di negara kita pada umumnya. Para "petinggi" negara kita sampai hari ini masih lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat jangka pendek daripada jangka panjang. Mereka umumnya lebih senang membuat keputusan-keputusan politik untuk kepentingan hari ini daripada kepentingan hari esok. Mereka tampaknya lebih asyik bercengkerama dengan kepastian sekelompok orang yang ada sekarang daripada nasib bangsa seperempat atau setengah abad yang akan datang. Mereka harus disadarkan bahwa nasib bangsa kita sepuluh, dua puluh, dan tiga puluh tahun lagi sangat ditentukan bagaimana kita mengelola pendidikan hari ini. Hal itu berarti, kalau kita membuat kekeliruan dalam mengelola pendidikan di hari ini maka akibatnya akan dirasakan oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.
Di samping itu, dari kalangan pendidik juga harus ada kesadaran untuk bisa menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu, kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua dan berkubang kemunafikan, sehingga dengan mempolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela.
Paling tidak, kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan itu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, maka asumsi tersebut harus dirubah. Ke depan, pendidikan harus punya andil yang lebih besar dalam membentuk tata kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan kemajuan peradaban bangsa.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Bahkan, dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas ditegaskan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan bisa dijadikan sebagai sarana membangun kehidupan sosial politik dan peradaban bangsa yang unggul. Karena, manusia-manusia yang lahir dari rahim pendidikan adalah manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, berimanan, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Tentu saja, ada prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan agar berfungsi untuk mendorong memantapkan kehidupan sosial politik dan peradaban bangsa yang unggul tersebut, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 4, yaitu:
a)      Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
b)      Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
c)      Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
d)     Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
e)      Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
f)       Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, adil dan anti korupsi, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.
Komitmen dan kesadaran seperti itulah yang harus kita tumbuhkembangkan secara bersama untuk membangun politik pendidikan yang solid dan menjanjikan. Tanpa adanya politik pendidikan yang solid kita tidak akan mampu menjadi bangsa yang besar.




C. TINJAUAN KRITIS TERHADAP PERMENDIKNAS
Lahirnya Permendiknas (No. 45 tahun 2006, No. 34 tahun 2007 dan No. 77 tahun 2008) tidak hanya lahir dari gagasan personal seorang Menteri, tetapi juga merupakan hasil dari keputusan eksekutif dan legislatif (keputusan politik). Dalam hal ini pengambilan keputusan merupakan konsep pokok dari politik karena menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan mengikat publik.
Penentuan sebuah kebijakan UN ini dilatarbelakangi adanya pertimbanganpertimbangan subyektif masing-masing masyarakat berupa filosofi, nilai, serta suatu prinsip yang dipilih. Pertimbangan-pertimbangan subyektif tersebut sebenarnya bisa dimengerti, mengingat proses dan praktek pendidikan merupakan bagian dari bentuk aktualisasi atas keinginan-keinginan masyarakat dalam mewujudkan kehendaknya. Kehendak masyarakat yang dimaksud adalah sebuah cita-cita sosial (social ideal).
Merajut pada pertimbangan dan kehendak masyarakat atau cita-cita sosial tersebut maka praktek penentuan sebuah kebijakan pendidikan baik yang berlangsung di sekolah ataupun luar sekolah pada umumnya memiliki dua peran yang berbeda. Pertama, proses pendidikan berperan melegitimasi bahkan melanggengkan sistemserta struktur sosial yang ada (status quo); Kedua, proses pendidikan berperan sebaliknya yaitu membangun atau mengubah tatanan social menuju yang lebih adil.
Dua hal di atas yang mengarah pada otoritarianisme kepentingan, yang pertama yaitu melegitimasi dan melanggengkan sistem serta struktur sosial yang ada (status quo). Proses pelanggengan ini berwujud melalui lahirnya Permendiknas tentangUN. Inimerupakan kebijakan politik pendidikan yang telah digariskan oleh pemerintah. Kebijakan ini semestinya memiliki relevansi erat dengan sebuah norma yang dibangun.
Kedudukan norma sosial yang dibangun secara teoritis memiliki dua fungsi, yaitu fungsi direktif dan fungsi konstraintif. Fungsi direktif yakni memberikan arah atau acuan yang benar bagi tingkah laku anggotanya sebagaimana dikehendaki oleh kelompok. Sedangkan fungsi konstraintif yakni membatasi atau memaksa terhadap semua tingkah laku anggota masyarakat tersebut agar tidak menyimpang dari acuan rambu-rambu kelompoknya. Relevansi dengan kedua fungsi norma tersebut, kebijakan UN telah masuk pada fungsi konstraintif. Dalam hal ini, tidak boleh tidak masyarakat pendidikan melaksanakannya dan mematuhinya, walaupun masyarakat dengan rasa berat hati untuk mematuhinya.
Dari fungsi konstraintif ini pemerintah telah mengemasnya ke dalam sebuah Permendiknas tentang UN yang hingga dekade ini tetap dipaksakan. Diasumsikan bahwa ini merupakan kebijakan otoriter pemerintah di dalam konteks pendidikan. Kebijakan ini merupakan sebuah refleksi dari kehendak serta cita sosial yang paradoks dari suatu situasi masyarakat. Paradoksal ini didasari oleh perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan yang disebabkan oleh sebuah ideologi yang digunakan. Garis kebijakan pendidikan yang diambil sebagai sebuah keputasan final pemerintah, dalam konteks UN, diasumsikan berdasar dari ideologi konservatif yang memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan hukum alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta dianggap sudah merupakan ketentuan sejarah. Dalam bentuknya yang paling klasik, kaumkonservatif berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencakan perubahan atau paling tidak mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu dibalik semua itu. Pemahaman Tuhan merupakan analogi poweristik yang yang punya kekuatan dan kuasa atasnya.
Dikaitkan pada ideologi ini, kebijakan UN merupakan bagian dari penerapan ideologi konservatif pendidikan yang telah dianut pemerintah ke dalam sebuah ideologi politik pendidikan. Asumsi yang muncul dari analisis ini bahwa masyarakat merupakan komunitas yang lemah, dan dibentuk sekehendak orang-orang yang punya kuasa di atasnya.
Asumsi ini menjadi alat sekaligus media status quo dua arah. Pertama, masyarakat pada kalangan tertentu telah menganggap, bahwa kebijakan ini merupakan sesuatu yang given dan tidak mungkin dapat diubah. Pada pemahaman ini kecenderungan masyarakat telah mengarah pada kesadaran naif-fatalistik, karena penolakan terhadap pemberlakuan kebijakan ini tidak membuahkan hasil dan tidak melahirkan respon perubahan yang menguntungkan terhadap masyarakat. Kedua, pemerintah melalui ideologi ini akan meraup keuntungan untuk mempertahankan status quo yang diinginkan. Salah satunya adalah kebijakan yang dituangkan di dalamperaturan yang dibuatnya (Permendiknas) senantiasa berada dalam posisi aman dan senantiasa dikawal untuk melestarikannya.
Dengan demikian kebijakan-kebijakan ini meruapakan status quo pemerintah yang dikemas di dalam kebijakan politik pendidikan. Orientasi yang semestinya dibangun di dalam kebijakan politik pendidikan terwujudnya transformasi sosial. Orientasi inimengarah kepada ideologi kritis radikal yang memandang bahwa perhatian utama pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah perubahan sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berpikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan sistemserta struktur yangtidak adil danmenindas. Pendidikan tidak mungkin bersifat netral, obyektif, dan mengambil dengan
masyarakat (sebagaimana dianjurkan positivisme).
Maka visi pendidikan adalah  melakukan kritik terhadap sistem dominan kelas tertindas umumnya dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas pendidikan memanusiakan manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Pada tugas humanisasi ini, Permendiknas nomor 77 tahun 2008 tidak masuk di dalamnya. Yang ada hanyalah pressure-pressure dehumanis yang menutup ruang kesadaran kritis bagi masyarakat pendidikan, bagi anak didik khususnya.
Kebijakan UN secara politis, selama ini tampak telah melanggengkan dua bentuk kesadaran, yaitu kesadaran magis (magical consciousness) dan kesadaran naif (naival consciousness). Yang dimaksud kesadaran magis yakni tingkat kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dan faktor lainnya. Misalnya peserta didik yang tidak mampu melihat kaitan ketidaklulusan dirinya dengan sistem politik kebijakan dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih-lebih melihat faktor di luar manusia (natural ataupun supra natural) sebagai penyebab dari ketidakberdayaan. Proses kebijakan politik pendidikan ini tidak mampu memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat. Siswa/ masyarakat secara dogmatikmenerima kebijakan dari pemerintah, tanpa ada mekanisme untuk memahami makna ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. Yang kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah melihat aspek manusia menjadi akar penyebab permasalahan masyarkat/ siswa.Dalam kesadaran ini masalah etika, kreativitas, need for achevement dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa peserta didik terjebak dalam kebisuan, dan tidak lulus dalam UN, bagi mereka disebabkan karena salah sendiri, yakni karena mereka malas, tidak memiliki semangat atau tidak memiliki jiwa membangun, dan seterunya. Oleh karena itu manpower development adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah mapan dan benar, merupakan faktor given dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimna membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah ada.
Pada wujud kesadaran naif ini posisi status quo pemerintah mendapatkan dukungan. Secara umum Kepala Dinas Pendidikan cenderung mempersalahkan peserta didik yang tidak lulus. Klaim malas, tidak belajar dan semacamnya senantiasa disandangkan. Wujud auto-kritik tidak pernah dilakukan sebagai keberanian menolak sebuah kebijakan, sehingga kebijakan yang dijalankan pemerintah tetap dilaksanakan tanpa mengindahkan protes apapun, karena pada dasarnya kebijakan tersebut telah didukung oleh orang-orang berpengaruh di dalam komunitas birokrasi pendidikan. dengan demikian kebijakan pemberlakuan UN ini diprediksikan akan terus berjalan sesuai dengan kemauan dan kekuasaan pemerintah.
Pada realitas lain, terdapat pula komunitas tertentu yang menolak secara keras dengan pemberlakuan kebijakan ini. Secara dominatif, stakeholders pendidikan juga menyadari bahwa kebijakan ini sungguh sangat berat untuk dilaksanakan. Dominasi kekuasaan pemerintah diakui terlalu kuat. Secara defenitif kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif menjadi wajar terlepas dari siapa yang melakukan pemaksaan itu. Oleh karena itu, melalui kekuasaan pemerintah ini, tidak akan ada kekuatan tandingan yang dapat mengubah sebuah kebijakan otoritatif pemerintah bila kekuasaan ini diberlakukan, kecuali kekuatan masyarakat itu sendiri. Itupun juga memungkinkan akan terjadi perubahan kebijakan bila pemerintah sepenuhnya percaya dan menyadari bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka kebijakankebijakan tersebut hanya menjadi beban sosial bagi masyarakat selama kebijakan tersebut tidak diubah atau direvisi sesuai dengan aspirasi stakeholderss.








D.
The Hegemonions Kebijakan Pendidikan
Dari uraian permasalahan dictum yang tidak melibatkan stakeholders pendidikan di dalam Permendiknas, mengindikasikan bahwa pemerintah belum memiliki kepedulian yang tinggi terhadap stakeholders pendidikan. Stakeholders pendidikan merupakan bagian penting yang harus dilibatkan di dalam penentuan kebijakan pendidikan. Peran-peran penting antara pemerintah dan stakeholders pendidikan akan mampu mengarahkan dan melahirkan kebijakan yang populis.
Upaya tersebut dapat dilakukan melalui hubungan dialektis antara pemerintah dan stakeholders pendidikan, tidak hanya relasi dialektika instruktif tetapi yang jauh lebih penting adalah membangun relasi dialektika inklusif, sehingga tercipta kesadaran pendidikan yang prospektif. Kesadaran yang lahir adalah kesadaran kedua belah pihak, bersama-sama membangun integritas pendidikan menuju terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, relevansi dengan masalah diktum di atas, Permendiknas No. 77 tahun 2008 sangat perlu untuk ditinjau kembali mengingat diktum tersebut merepresentasikan stakeholders pendidikan, tidak hanya pada ranah teks tetapi juga konteks yang buktikan dengan serap aspirasi di lapangan.
Berkaitan dengan pelanggaran Permendiknas UN terhadap UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan pelanggaran Permendiknas UN terhadap UU. No. 22 tahun 2004, mengindikasikan bahwa kebijakan Ujian Nasional merupakan kebijakan yang in-konsistensional yang berdampak terhadap inkonstitusional. Secara internal kebijakan ini tentu sangat berpotensi masalah, tidak hanya permasalahan konsistensi dan konstitusional tetapi dampak sacara lebih luas adalah semakin tidak jelasnya orientasi pendidikan di Indonesia.
Orientasi pendidikan yang merujuk pada tujuan umum pendidikan nasional secara implementatif telah dimentahkan oleh pemberlakuan Ujian Nasional. Paradoksal yang terjadi antara tujuan UN dan tujuan pendidikan nasional menjadi wujud nyata bahwa kebijakan UN belum memiliki landasan yang mengakar, sehingga layak untuk dipertanyakan. Secara teoritis proses pembuatan kebijakan UN tentunya dibutuhkan sebuah pertimbangan yang matang, diantaranya melalui proses perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, lingkungan kebijakan, dan kinerja kebijakan. Sedangkan yang menjadi proses utamanya adalah terletak pada proses perumusan kebijakan. Tahapan perumusan kebijakan menjadi faktor utama dalam proses-proses kebijakan selanjutnya. Karena dalam proses perumusan tersebut, cakupan mengenai implementasi kebijakan, lingkungan kebijakan, dan kinerja kebijakan menjadi bagian materi inti di dalamnya.
Aspek penting yang akan menjadi pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan, salah satunya aspek yuridis. Pada aspek yuridis, sebuah kebijakan memiliki relevansi akomudatif terhadap payung hukum yang menaunginya. Dalam hal ini perumusan kebijakan UN merupakan proses perumusan kebijakan yang tidak tuntas di bahas, sehingga menyebabkan cacat hukum.
Selain dari aspek yuridis, aspek lain yang juga penting dipertimbangkan dalam proses perumusan kebijakan adalah mengedepankan kepentingan publik sebagai cerminan public will (stakeholders). Urgensitas dari aspek ini adalah bermula dari paradigma, bahwa segala sesuatunya bermula dan kembali pada stakeholders. Secara demokratis paradigma ini memenuhi stándar dari, oleh dan untuk. Dalam arti, bahwa stakeholders pendidikan akan menjadi pertimbangan utama dalampenyelenggaraan pendidikan. Jika dalamproses kebijakan UN dilakukan dengan cara-cara yang berpihak terhadap stakeholders, maka prospektifitas pendidikan akan menjadi lebih baik, begitu pula sebaliknya, jika proses kebijakan pendidikan dilakukan dengan pola-pola proyektif, maka stakeholders pendidikan tidak akan mendapatkan apapun, kecuali hanya menjadi target legalitas laporan formal dalam penyelenggaraan kebijakan. Oleh karena itu, mengingat Permendiknas tersebut sarat dengan pertentangan konstitusional,maka sangat perlu kiranya pemerintah meninjau ulang isi kebijakan Permendiknas agar menjadi landasan kebijakan UN yang sinergis Undang-undang di atasnya.
Permasalahan lain dari kebijakan UN adalah masalah politik kebijakan. Dipahami bahwa sumber masalah politik kebijakan pendidikan bersumber dari hegemoni kekuasaan yang dikendalikan pemerintah pusat. Kebijakan UN merujuk pada hasil analisa sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu, merupakan kebijakan murni kepentingan pemerintah yang dipaksakan terhadap stakeholders pendidikan. Wujud hegemoni pemerintah tersebut dalam bentuk formulasi kebijakan (diktum) yang tidak melibatkan stakeholders pendidikan, melampui undang-undang yang menaunginya dan menguasai daerah untuk tunduk dan patuh terhadap kepentingan pemerintah pusat.
Permasalahan-permasalahan di atas sangat berresiko tinggi di dalam dunia pendidikan. Hegemoni yang dilakukan pemerintah atas dasar kekuasaan dan kewenangan merupakan tindakan yang tidak bisa diterima dengan akal. Pemerintah diharapkan mampu membaca fenomina kebutuhan pendidikan secara riil di daerah. Kebijakan UN bukanlah jawaban yang tepat untuk mengatasi rendahnya mutu pendidikan di daerah. Sebaliknya yang sangat dibutuhkan daerah adalah kebijakan yang mampu meningkatkan mutu pendidikan, baik menyangkut SDMpendidikan, sarana dan prasarana bidang pendidikan.
Selain dari itu, bahwa kesadaran stakeholders pendidikan menjadi sesuatu yang urgent untuk terus dilakukan. Hal ini juga bagian dari usaha menghegemoni, dalam arti mempengaruhi pola pikir stakeholders pendidikan ke arah yang lebih memberdayakan. Pemahaman memberdayakan adalah mengarahkan stakeholders pendidikan untuk memiliki kesadaran kritis (critical consciousness), terutama untuk membangun daerahnya agar bisa sejajar atau bahkan lebih maju dibanding daerah lainnya. Ini semua, berkaitan dengan politik kebijakan yang lebih menguntungkan stakeholders pendidikan.
Keberhasilan sebuah hegemoni ditentukan oleh adanya kesepakatan. Oleh karena itu, kesepakatan yang dibangun merupakan kesepakatan tanpa dominasi penguasa, sehingga kesepakatan lahir secara murni atas dasar kesadaran stakeholders pendidikan. Kesadaran inilah yang semestinya menjadi target kebijakan. Lahirnya kebijakan diharapkan bermula dari permasalahan daerah yang dibutuhkan perubahan. Perubahan dalam hal ini berarti mutu pendidikan yang harus ditingkatkan melalui peran-peran strategis stakeholders pendidikan bersama pemerintah, bergandeng tangan menuju perubahan prospektif. Bukan sebaliknya pemerintah menunjukkan hegemoni dan kekuasaannya dalam mengatasi daerah, termasuk kebijakan pemberlakuan UN di daerah. Tetapi sebaliknya daerah menjadi wilayah penanganan khusus yang didampingi dalam proses pemberdayaan dan peningkatan mutu pendidikannya. Hal ini merupakah bagian dari pendekatan etika hegemonik yang lebih memberdayakan.
Dengan demikian, hegemoni dalam hal ini diarahkan pada public will, sehingga pemerintah hanya sebagai legislator yang memfasilitasi terwujudnya sebuah kesepakatan. Jika hal ini yang terjadi, tentu kebijakan pemberlakuan evaluasi akan mudah diberlakukan dan diterima dengan baik oleh stakeholders pendidikan dan pemerintah daerah. Dari permasalah kebijakan pemberlakukan UN di atas, terutama mengenai pertentangan konstitusi dan teks-teks hegemonis Permendiknas, dibutuhkan upaya-upaya dekonstruksi teks agar lebih populis dan humanis.






E. Arah Baru Kurikulum Pendidikan Nasional
Disahkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, oleh banyak kalangan dianggap sebagai titik awal kebangkitan pendidikan nasional.
Setelah berjalan beberapa tahun, nampaknya UU Sisdiknas itu pun sudah waktunya untuk direvisi pada beberapa pasalnya. Sebagaimana dikutip Armai Arief, menggaris-bawahi kaji ulang sistem pendidikan nasional sebagai berikut :
a.       Perlunya dikembangkan dan dimantapkan sistem pendidikan nasional yang dititikberatkan kepada pemberdayaan lembaga pendidikan, dengan cara memberikan otonomi seluas-luasnya kepada lembaga sekolah.
b.      Perlunya pengembangan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi keragaman budaya dan masyarakat dalam implementasinya.
c.       Program-program pendidikan nasional hendaknya dibatasi hanya pada upaya tetapnya integritas bangsa.
Untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional yang baru tersebut ada beberapa program yang harus dilaksanakan oleh pendidikan kita. Armai Arief menyebutnya ada lima agenda yang mendesak yaitu:
Pertama, perlunya mempersiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah yang meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi, fasilitas dan program kerjasama antar lembaga di daerah.
Kedua, perlunya debirokratisasi penyelenggaraan pendidikan dengan merestrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien, dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan pada tingkat sekolah (otonomi lembaga).
Ketiga, desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara bertahap, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota dengan mempersiapkan SDM, dana, sarana dan prasarana yang memadai pada daerah Tingkat Dua tersebut.
Keempat, perlunya penghapusan berbagai peraturan perundang-undangan yang menghalangi inovasi dan eksperimen menuju sistem pendidikan yang berdaya saing di masa depan.
Kelima, mengadakan revisi UU Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan perundangan pelaksanaannya. Revisi ini mencakup otonomi bagi sekolah untuk mengatur diri sendiri, peran masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan pendidikan yang diwadahi dalam bentuk Dewan Sekolah, fungsi pengawasan diarahkan untuk peningkatan profesionalisme guru, adanya otonomi guru untuk menentukan metode dan sistem evaluasi belajar, dan sebagainya.

F. Tantangan, Masalah dan Hambatan
Upaya pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional akan terlaksana dengan baik apabila berbagai tantangan, masalah, dan hambatan yang dihadapi dapat diatasi secara cepat dan tepat atau sejauh mungkin dikurangi dampaknya yang merugikan. Banyak kebijakan nasional yang telah ditetapkan berkenaan dengan semangat reformasi, demokratisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi serta keharusan Indonesia untuk memasuki era AFTA dan persaingan global membawa pengaruh yang sangat besar bagi dunia pendidikan.
a.      Tantangan
Banyak tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia, baik di tingkat daerah dan nasional, maupun dalam kehidupannya sebagai warga dari masyarakat dunia, yaitu:
1.      Pada tingkat propinsi dan daerah otonom kabupaten/kota, tantangan-tantangan yang dihadapi terutama berhubungan dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia serta kurang tersedianya sumber daya pembangunan lainnya, termasuk untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan. Di satu pihak, pemerintah dan masyarakat di daerah-daerah harus melaksanakan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan Nomor 25 Tahun 1999, sedangkan di lain pihak, terdapat kekhawatiran bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi yang diberikan yang belum didukung sumber daya manusia yang bermutu, termasuk di bidang pendidikan, akan menghasilkan sikap primordial dan semangat kedaerahan yang sempit, serta menimbulkan berbagai masalah yang lebih kompleks di masa depan.

2.      Secara nasional tantangan-tantangan yang dihadapi sangat terkait dengan kemauan pemerintah untuk secara sungguh-sungguh dan konsisten melaksanakan reformasi, demokratisasi, serta pendelegasian wewenang, dan distribusi sumber daya pembangunan secara adil dan merata. Di bidang pendidikan, selain perlu segera dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan penyelenggaraan pendidikan nasional, maka masalah manajemen, koordinasi antardepartemen terkait di pusat dan antara pemerintah pusat dan daerah, standarisasi mutu, struktur ketenagakerjaan yang tidak berimbang, serta anggaran pendidikan yang sangat kecil merupakan tantangan yang perlu diatasi.

3.      Secara global, tantangan-tantangan yang dihadapi antara lain berkaitan dengan perkembangan IPTEK yang amat cepat, arus informasi dan komunikasi yang sangat cepat di bidang perdagangan dan industri, serta tuntutan ketenagakerjaan. Tantangan lain berkaitan dengan kecenderungan perubahan pada sikap dan pandangan generasi-generasi mendatang terhadap nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sebagai akibat dari hubungan antar bangsa dan interaksi sosial antar manusia yang sangat intensif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Untuk itu, perlu mengantisipasi persaingan yang amat ketat di dalam menghasilkan kecakapan-kecakapan yang sungguh-sungguh diperlukan dan berorientasi pada kebutuhan pasar, baik lokal dan nasional maupun internasional.


b.      Masalah
Berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi dalam menata ulang sistem pendidikan nasional, khususnya sistem persekolahan, dan bersifat mendesak untuk ditanggulangi meliputi:

1.      Jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Pembagian jenjang yang ada sekarang yaitu pendidikan dasar yang meliputi SD dan SLTP serta pendidikan menengah, ditinjau dari perkembangan peserta didik, perkembangan zaman, dan tuntutan pembangunan kurang relevan. Demikian pula pemilahan jenis pendidikan pada jalur pendidikan sekolah yang meliputi pendidikan umum, kejuruan, luar biasa, kedinasan, keagamaan, akademik, dan profesional kurang sesuai untuk dapat menjawab tuntutan serta kebutuhan di masyarakat dan kepentingan nasional.

2.      Sumber daya pendidikan, khususnya guru, belum memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mutu, kesejahteraan, dan kedudukan sosialnya. Keadaan ini terkait pula dengan pola rekrutmen, pendidikan, pembinaan, dan sistem penghargaan yang kurang sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
3.      Paradigma dan budaya pendidikan yang berorientasi pada kepentingan pemerintah menyebabkan tujuan dan sasaran pendidikan nasional belum cukup menyentuh kebutuhan masyarakat dan pembangunan yang mensyaratkan output pendidikan yang bermutu, berdaya guna, dan berhasil guna. Sebagai akibatnya kebijakan yang bersifat top down, beban mengajar dan belajar yang terlampau besar, serta keseragaman pola pembinaan dan penilaian hasil belajar menambah kesulitan bagi para penyelenggara pendidikan di lapangan guna memacu perbaikan proses pembelajaran dan peningkatan mutu.

4.      Sebagai salah satu akibat dari permasalahan yang terkait dengan budaya pendidikan yang disebutkan pada butir 3, maka pola dan prinsip-prinsip manajemen yang dipraktekkan dalam mengelola pendidikan, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan, pada umumnya bersifat konvensional. Manajemen pendidikan belum mengacu pada prinsip-prinsip manajemen modern yang sesuai dengan tuntutan reformasi, demokratisasi, keterbukaan, dan otonomisasi, selain menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK dan perubahan lingkungan, baik lokal, nasional maupun global.

5.      Peranserta masyarakat, khususnya orang tua siswa, dalam memelihara hubungan kemitraan dan kekeluargaan dengan para guru, kepala sekolah, serta pimpinan lembaga pengelola pendidikan belum cukup memadai. Sebagian besar masyarakat Indonesia kurang menyadari perannya yang sangat menentukan dalam menunjang upaya-upaya pendidikan yang dilakukan.

6.      Peran asosiasi profesi pada berbagai bidang keilmuan untuk ikut membina, menjamin, dan meningkatkan standar mutu pendidikan nasional, terutama di lingkungan pendidikan tinggi, belum dilakukan secara intensif, terarah, dan berdaya guna. Hal ini antara lain disebabkan perhatian dan dukungan yang tidak memadai dari pemerintah dan masyarakat dalam mengimplementasikan hasil-hasil kajian dari organisasi profesi tersebut.

7.      Belum memadainya anggaran untuk pendidikan yang disediakan oleh pemerintah merupakan salah satu masalah utama yang menyebabkan terhambatnya upaya-upaya yang dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan, proses belajar-mengajar di sekolah, serta meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Kebijakan nasional dan kemauan politik dari pengelola pemerintahan dan DPR RI selama ini belum mencerminkan kesungguhan bangsa kita untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara signifikan menyebabkan makin merosotnya mutu pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita.





c.       Hambatan
Tantangan dan masalah yang dikemukakan di atas bersifat mendasar dan mendesak sehingga memerlukan perhatian serta partisipasi dari semua pihak untuk mencarikan pemecahannya. Dengan demikian diharapkan tantangan dan masalah tersebut tidak menghambat berbagai upaya pembaruan dan penyempurnaan yang hendak dilakukan.
Sejumlah hambatan yang dialami pada saat ini dan dalam beberapa tahun ke depan meliputi, antara lain:
1.      Hambatan yang bersifat legal yang berkaitan UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berbagai Peraturan Pelaksanaan yang sebagian isinya tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Semangat reformasi, demokratisasi, dan keterbukaan, serta pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 mengharuskan dilakukannya penyesuaian dan perubahan terhadap perangkat perundang-undangan di bidang pendidikan.

2.      Sikap ego sektoral dan mental sebagian pejabat pengambil keputusan pada instansi pemerintah tingkat pusat dan propinsi yang memerlukan perubahan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan paradigma dan budaya pendidikan yang baru serta mendukung para pelaksana pendidikan di lapangan.

3.      Kondisi riil masyarakat Indonesia yang multi-suku, multi-budaya dan bahasa, dan multi-agama dengan tingkat pendidikan yang sangat bervariasi merupakan hambatan yang juga memerlukan perhatian khusus dalam menentukan kebijakan baru di bidang pendidikan.

4.      Faktor geografis dan persebaran penduduk yang tidak merata merupakan kendala lain yang selama ini kurang diperhatikan pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang pendidikan. Sebagai akibatnya terjadi kesenjangan yang sangat besar antara hasil pendidikan di Pulau Jawa dan kota-kota besar lainnya di Indonesia dan di daerah-daerah yang jauh dan terpencil.

5.      Faktor kemampuan ekonomi orangtua dan masyarakat yang masih lemah belum cukup menunjang upaya bersama untuk memajukan pendidikan. Kondisi ini menyebabkan banyak anak usia sekolah tidak dapat belajar serta mereka yang sudah berada di sekolah atau kampus perguruan tinggi sulit melanjutkan pendidikannya.

6.      Kebijakan pemerintah tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan pendidikan yang belum diikuti dukungan yang signifikan berkaitan dengan bantuan pembiayaan, tenaga pengajar, dan fasilitas lain untuk memperlancar proses belajar-mengajar di sekolah, terutama berkaitan dengan wajib belajar.

7.      Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yang dikelola oleh IKIP dan FKIP di sejumlah universitas yang memerlukan orientasi visi, misi, dan kurikulum, serta kemungkinan perubahan struktur organisasi dan pola penanganan yang baru merupakan hambatan kelembagaan dan birokrasi yang perlu segera diatasi.

G. Komponen Kebijakan Politik dalam Mengelola Pendidikan
Beberapa komponen yang penting berkenaan dengan kebijakan politik dalam mengelola pendidikan, khususnya pada lembaga pendidikan formal, mencakup antara lain:
         1. Mutu Pendidikan
Apabila politik pendidikan diarahkan untuk membangun manusia Indonesia yang bermutu dengan mengembangkan bakat serta potensi yang ada pada semua pemuda Indonesia, maka pemerintah harus memikul tanggung jawab utama serta senantiasa memainkan peran terbesar dalam penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah harus dapat menyediakan jumlah sekolah yang memadai sesuai dengan kondisi penduduk, dengan terus mengusahakan peningkatan mutu.
Manajemen pendidikan mengusahakan pengendalian mutu terpadu yang dilakukan secara berkesinambungan. Setiap Kepala Sekolah mengelola sekolahnya dengan partisipasi aktif para tenaga pendidik, para siswa, orangtua, serta anggota organisasi sekolah lainnya untuk bersama-sama mewujudkan lingkungan pendidikan yang kondusif dengan menggunakan setiap sumber daya secara efektif dan efisien. Dengan demikian diharapkan mutu pendidikan akan meningkat pula.
Untuk lebih menjamin mutu pendidikan tinggi diperlukan peran asosiasi profesi pada setiap bidang keilmuan. Untuk itu kepada asosiasi profesi diberikan kewenangan untuk menangani, menguji, dan mengesahkan sertifikasi keahlian tertentu yang selama ini dilakukan oleh Depdiknas.


        2. Biaya Pendidikan
Pembiayaan yang memadai sangat berpengaruh terhadap upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Ketertinggalan Indonesia dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia serta dalam mengembangkan dan memanfaatkan IPTEK amat ditentukan oleh besarnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh pemerintah dan masyarakat.
Oleh sebab itu, dana pendidikan yang disediakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah hendaknya diprioritaskan bagi penyelenggaraan Pendidikan Dasar untuk melaksanakan Wajib Belajar dengan mutu yang tinggi tanpa membebani anak didik serta orangtuanya. Hal itu berarti bahwa pendidikan yang termasuk Wajib Belajar sepenuhnya dibiayai Pemerintah. Prioritas berikutnya diberikan kepada penyelenggaraan Pendidikan Menengah yang juga diusahakan agar tidak membebani anak didik dan orangtuanya. Sehubungan dengan itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu menetapkan anggaran pendidikan yang memadai, sekurang-kurangnya 20% dari APBN atau APBD setiap tahun, terutama untuk dapat membiayai seluruh pendidikan yang bersangkutan dengan wajib belajar (TK 2 tahun dan SD 6 tahun), baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
Pemerintah tidak dapat mengabaikan fungsi dan peranan Pendidikan Tinggi. Namun mengingat besarnya dana yang terpakai untuk dua prioritas tersebut di atas, maka lembaga Pendidikan Tinggi tidak dapat dibiayai sepenuhnya dengan dana Pemerintah. Oleh sebab itu, Lembaga Pendidikan Tinggi c.q. Perguruan Tinggi perlu memiliki otonomi dalam pengelolaan dana untuk membiayai pendidikan sehingga dapat mengusahakan pemasukan di luar dana Pemerintah. Karena itulah Pimpinan Perguruan Tinggi hendaknya terdiri dari pimpinan akademis yang dibantu oleh suatu lembaga yang dipimpin oleh wirausahawan yang mempunyai tugas khusus mengusahakan dana di luar dari SPP mahasiswa. Dengan jalan demikian akan dapat diwujudkan pendidikan tinggi yang bermutu dengan dukungan sumber dana yang memadai.
Keberhasilan manajemen pendidikan juga dipengaruhi oleh penghasilan yang cukup bagi semua pengelola lembaga pendidikan dan para pendidik. Merupakan suatu kewajaran bagi mereka yang bertugas di daerah yang tergolong berat untuk memperoleh kompensasi yang memadai, yang pada hakikatnya akan menjamin terselenggaranya pendidikan yang baik dan bermutu di semua daerah dan secara nasional.
         3. Perkembangan IPTEK
Manajemen pendidikan juga perlu memperhatikan perkembangan serta kemajuan ilmu dan teknologi modern dan memanfaatkannya untuk meningkatkan kemampuan manajemen para pengelola pendidikan. Pembentukan jaringan dengan mitra pendidikan lain, baik di dalam maupun di luar negeri, sangat perlu diusahakan. Pada setiap tingkat, jenis, serta lembaga pendidikan, para pimpinan lembaga pendidikan perlu terus berusaha mencapai hasil pendidikan yang bermutu melalui manajemen sekolah yang dilakukan secara konsisten dan seksama dengan memanfaatkan pula teknologi komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan.


H. Politisasi dan Komersialisasi Pendidikan
Menyaksikan kehadiran salah satu kontestan Pilpres 2009 yakni pasangan Mega-Pro di daerah yang telah tenggelam oleh Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo (14/06) mengundang keprihatinan yang mendalam. Hari ini, apa yang tidak dipolitisasi. Semua fenomena di lingkungan kita yang menarik perhatian publik, dipolitisasi dan dikomoditifikasi sebagai materi kampanye dan pijakan menarik simpati masyarakat. Fenomena terhangat seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Manohara, petaka email yang dirundung Prita Mulyasari, kelukaan lahir-batin yang dirasakan Siti Hajar, dll dipolitisasi dan dikomoditifikasi sedemikian rupa hingga mengalami kehilangan esensi terbelok oleh kepentingan-kepentingan yang sedang bermain.
Sebelumnya, Mega-Pro memproklamirkan diri di tempat pembuangan sampah akhir, Bantar Gebang. Di satu sisi, capres JK menggunakan akses kekuasaannya sebagai wapres mengintervensi keputusan institusi Kejaksaan dengan meminta konfirmasi tentang UU yang digunakan untuk menjerat Prita Mulyasari. Di sisi lain, SBY juga menggunakan akses kepresidenannya untuk menelepon Siti Hajar di Malaysia dan kemudian memamer-mamerkannya di setiap kampanye dirinya.
Keintensifan para politisi untuk menjaring massa memang terdorong oleh kreatifitas masing-masing tim sukses, yang mana mereka menggunakan berbagai cara dan membidik beragam fenomena, mulai dari yang wajar sampai jauh dari nilai-nilai kewajaran, bahkan melanggar peraturan perundang-undangan. Masing-masing kontelasi politik melakukan pendekatan langsung ke masyarakat, tak terkecuali dunia pendidikan.
1.      Paradoks Tujuan Pendidikan
Di tengah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Ulang di beberapa sekolah yang siswanya tidak dapat mencapai kelulusan 100 %, pendidikan menjadi komponen yang menggiurkan untuk dipolitisasi dan dikomoditifikasi sebagai materi kampanye. Bagi pasangan capres incumbent, SBY-Boediono, kebijakan pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) untuk melakukan UN Ulang, dipolitisasi sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia secara proporsional. Sebelumnya, Menteri Pendidikan Anton Soedibyo, yang notabene juga duduk dalam barisan tim sukses SBY-Boediono juga mengampanyekan pendidikan gratis. Sedangkan bagi pasangan Megawati dan Prabowo, celah menganga dalam ranah pendidikan yakni Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) juga digunakan sebagai materi program kepemimpinannya ke depan dan dikampanyekan guna menjaring simpati masyarakat. Pasangan nomor urut 1 ini mengkampanyekan penghapusan UU BHP.
Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) nomor :13090/CI.84 tanggal 1 Oktober 1984 telah mengatur penempatan wilayah pendidikan dalam perspektif Wawasan Wiyata Mandala sebagai sarana ketahanan sekolah. Wawasan Wiyata Mandala merupakan cara pandang sekolah adalah lingkungan atau kawasan penyelenggaraan pendidikan. Sekolah sebagai tempat mendidik, mengajar, dan melatih. Sekolah tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan di luar tujuan pendidikan. UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Pasal 3, telah mengatur Tujuan Pendidikan Nasional. Sesuai dengan perspektif Wawasan Wiyata Mandala, segala yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan meliputi; sistem, institusi, maupun personality tidak dibenarkan dipergunakan untuk kegiatan selain yang termaktub dalam Tujuan Pendidikan. Hal ini sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang terdapat pada Pasal 4, UU Sisdiknas.
Selain politik, kegiatan bisnis juga rawan memberikan pengaruh yang signifikan dalam dunia pendidikan. Komersialisasi buku pelajaran yang dilakukan oleh penerbit, guru, kepala sekolah, ataupun birokrat di lingkungan pendidikan; merupakan fenomena yang sulit untuk ditutup-tutupi oleh pemerintah. Bahkan secara sitemik pendidikan itu sendiri justru dikomersialisasikan oleh pemerintah melalui UU BHP.
Sebuah paradoks yang mengundang kegamangan dalam mencerna arah kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) nomor :13090/CI.84 tanggal 1 Oktober 1984 telah mengatur penempatan wilayah pendidikan dalam perspektif Wawasan Wiyata Mandala, sebagai lingkungan pendidikan (tempat mendidik, mengajar, dan melatih), sejalan dengan UU Sisdiknas. Akan tetapi, komersialisasi dalam dunia pendidikan yang sebelumnya dilakukan secara ilegal oleh korporasi dunia usaha dan birokrasi lembaga pendidikan, justru dilegalisasi oleh UU BHP.
Seperti halnya, penempatan UN sebagai penentu kelulusan (parameter keberhasilan proses pendidikan peserta didik) yang berseberangan dengan kurikulum yang berlaku dalam sistem pendidikan kita. Ketika UN hanya berpijak pada ranah kognitif pembelajaran secara parsial, kurikulum pendidikan kita telah menitiberatkan pembelajaran pada ranah vokasional. Kurikulum berbasis kompetensi (kurikulum 2004) mempromosikan bahwa belajar adalah proses membangun kecakapan hidup dan menjalankan kehidupan secara utuh, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan hidup sosial, kecakapan berpikir kritis, kecakapan melakukan penyelidikan untuk memecahkan masalah (kecakapan akademik) dan kecakapan vokasional (Depdiknas, 2002), sedangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan menekankan pada adanya otonomi pembelajaran dan menetapkan capaian hasil belajar yang lengkap dan komprehensif. Reformasi kurikulum diimplementasikan dengan diterapkannya strategi pembelajaran baru, yaitu pembelajaran konstruktivis yang kontekstual (pembelajaran kontekstual) dan penilaian belajar baru yaitu penilaian yang bersifat otentik (authentic assessment) yang juga disebut dengan penilaian berbasis kelas.
2.      Komoditas Politik
Ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan kita tidak semata disebabkan oleh kegagapan pemerintah mengembangkan oportunisme, menggunakan pendidikan sebagai wahana afiliasi berbagai kepentingan. Keprihatinan semakin menyesak di dalam dada ketika mendapati di antara kepentingan-kepentingan yang berafiliasi dalam pendidikan Indonesia, yang paling dominant dewasa ini adalah kepentingan politik.
Akibat berkembangnya politik dagang sapi, penempatan para menteri dalam kabinet pemerintahan cenderung lebih nampak sebagai bentuk bagi-bagi kekuasaan di antara partai politik. Contoh riilnya adalah Kabinet Indonesia Bersatu di bawah komando SBY-JK yang lebih dikenal sebagai Kabinet Pelangi. Kurang dari 10 % departemen atau lembaga negara yang dipimpin oleh figur yang benar-benar berlatar belakang kalangan profesional pada masing-masing bidang. 90 % departemen dan lembaga negara ditempati oleh kader-kader partai, termasuk di antaranya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Di level pemerintahan propinsi dan daerah tingkat II, banyak sekali fenomena penggunaan wilayah pendidikan sebagai wahana kampanye dan propaganda politik demi kesuksesan merebut kursi dalam Pilkada. Dinas Pendidikan bahkan ke sekolah-sekolah, secara riil, menjadi tempat kampanye yang menggiurkan.
Terlebih dalam pemilihan anggota legislatif kemarin, banyak caleg yang menggunakan komponen-komponen dalam dunia pendidikan seperti guru, siswa, dan birokrat Dinas Pendidikan sebagai ‘alat bantu’ dan ‘tim sukses’ pemenangan. Belum lagi, janji-janji yang berhubungan dengan ranah dunia pendidikan seperti pengangkatan guru bantu, janji-janji terhadap masa depan guru swasta, anggaran terhadap lembaga pendidikan swasta, dll.
Partai Demokrat sendiri pernah beriklan di televisi dengan visualisasi siswa-siswa SMA, yang dikenal dengan iklan politik abu-abu, yang disusul kampanye Pendidikan Gratis yang menggunakan sosok Cut Mini, aktris yang sukses melakonkan sosok guru dalam Film ‘Laskar Pelangi’. Tidak tertutup kemungkinan bagi partai lain melakukan politisasi pendidikan. Namun, partai atau pemimpin incumbent di pusat maupun di daerah, apapun partainya lebih berpeluang. Baik dalam bentuk iklan, pernyataan-pernyataan bernada kampanye di media, maupun membuat kebijakan-kebijakan ala mie instant menjelang pemilu.
3.      Dangerously Act
Politisasi dan komersialisasi pendidikan tergolong dalam dangerously act (tindakan berbahaya). Di dalamnya termuat unsur manipulatif baik secara finansial maupun merusak nilai-nilai pendidikan. Kejahatan yang menggerogoti kekayaan negara sekaligus menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa.
Politisasi dan komersialisasi pendidikan merupakan kepentingan beberapa orang ataupun kelompok yang bersifat temporer. Sementara, kepentingan yang lebih besar cenderung terabaikan. Manipulasi sumber daya alam (SDA) saja telah merugikan negara hingga trulyunan rupiah, bagaimana dengan manipulasi sumber daya manusia (SDM)? Andaikata pembangunan SDM dimanipulasi, pertanyaannya berapa lama lagi bangsa Indonesoa bisa mempertahankan eksistensinya?
Ketahanan pendidikan sebagai bagian ketahanan nasional, seyogyanya dijaga dan dipelihara dari pihak-pihak yang minim kesadaran tentang arti penting penyelenggaran pendidikan sejalan dengan tujuan nasional. Sebuah kesadaran bersama, apabila wawasan wiyata mandala mendesak untuk direaktualisasi, yang mana lingkungan pendidikan seyogyanya jauh dari kepentingan bisnis, apalagi politik.


I. Alternatif Pemecahan Masalah
1.      Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma pendidikan Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan dapat diselesaikan (yang antara lain dikelompokan menjadi masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan).
Solusi masalah mendasar tersebut adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan dan menyeluruh agar sistem pendidikan dapat berubah lebih baik maka harus pula dilakukan perubahan terhadap paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik pun dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan semacam ini pun perlu dikokohkan dengan aspek formal, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah Islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, semisal perbaikan hanya terhadap kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan sebagainya tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki. Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dan menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.

2.      Solusi Untuk Permasalahan Derivat (Turunan)
Permasalahan cabang dalam sistem pendidikan nasional kita diantaranya dapat dikelompokan sebagai berikut:

1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung
2) Kerusakan sarana dan prasarana
3) Kekurangan tenaga guru
4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal
5) Proses pembelajaran yang konvensional
6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai
7) Otonomi Pendidikan, Keterbatasan anggaran
8) Mutu SDM Pengelola pendidikan
9) Life skill yang dihasilkan belum optimal (Diknas Jabar. Makalah UPI EXPO
    2006).

Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian terhadap masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar terdapat dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik. Yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan, dimana pendidikan sebagai salah satu kewajiban negara yang harus diberikan kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital) untuk mengenyam pendidikan, karena pendanaan pendidikan harus dialokasikan dari kas negara, bukan dibebankan kepada rakyat sebagaimana Rasulullah Saw pernah mencontohkan dengan menetapkan tebusan bagi orang-orang kafir yang menjadi tawanan dalam perang Badar dengan mengajari masing-masing sepuluh anak kaum muslimin, padahal harta tebusan tersebut statusnya merupakan ghanimah yang akan disimpan dalam Baitul Maal (kas negara) dan menjadi milik kaum muslimin (Struktur Negara Khilafah hal.213: HTI Press). Atas dasar inilah jaminan pendidikan terhadap rakyat merupakan kewajiban negara.
Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat, dimana politik akan difahami sebagai aktifitas perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam menetapkan kebijakan bidang pendidikan, sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga masyarakat akan menyadari pula bahwa peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah sebagai pihak yang dapat memberikan tauladan sekaligus mengontrol aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda: “Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim).
Kedua, solusi teknis. Yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya, secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat, menyita kembali harta milik rakyat yang telah dicuri oleh para koruptor baik dari kalangan penguasa, aparat pemerintah mauapun para pelaku usaha. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. Merekrut jumlah tenaga pendidik dan kependidikan sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya peningkatan kualitas dan kompetensi yang tinggi, jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun dari non islam sepanjang bersifat umum) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.


















BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, oleh banyak kalangan dianggap sebagai titik awal kebangkitan pendidikan nasional, karena secara eksplisit UU tersebut menyebut peran dan kedudukan pendidikan, baik sebagai proses maupun sebagai lembaga.
Pendidikan merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul, hal yang harus menjadi perhatian, yaitu: sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga, serta kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi dan berorientasi pada pembentukan.
Inti dari upaya pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional yang berfokus pada sistem persekolahan terletak pada kemauan politik pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu yang diamanatkan oleh GBHN serta merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Atas dasar visi dan misi yang baru seiring dengan semangat reformasi, demokratisasi, dan dinamika perkembangan regional, nasional, dan global, maka arah kebijakan pendidikan yang hendak dikembangkan harus berorientasi pada peserta didik atau masyarakat belajar.
Dari berbagai pengalaman di bidang pendidikan nasional kita selama ini dicatat bahwa berbagai kebijakan dan inovasi baru yang ingin diterapkan tidak selalu diikuti oleh perubahan pada diri pemimpin dan pelaksana pendidikan. Karena itulah budaya pendidikan yang baru hanya akan menjadi suatu kenyataan apabila perubahan dan penyempurnaan yang dilakukan diikuti oleh perubahan pada cara pandang dan sikap dari berbagai komponen bangsa yang terkait, yakni pemerintah (eksekutif dan legislatif), masyarakat, pimpinan lembaga pendidikan, para guru, dan orangtua, sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Dengan pemahaman baru tersebut di atas diharapkan, selain memungkinkan terciptanya suasana dialogis, demokratis, dan proses pembelajaran yang kreatif dan bermutu, upaya pendidikan akan dapat melahirkan manusia pembelajar dan masyarakat Indonesia yang gemar belajar.
Usul perubahan pada struktur dan sistem persekolahan yang dibahas di muka akan memungkinkan langkah-langkah yang lebih konkrit dalam upaya penyiapan tenaga kerja dan sumber daya manusia yang handal di masa depan.
Perubahan dan penyempurnaan dalam bidang pendidikan sangat memerlukan dukungan sumber daya yang memadai, terutama sumber daya pendidik dan dana.


B.  Penutup dan Saran
Pendidikan nasional, sebagai bagian yang integral dari seluruh kebijakan dan program pembangunan Indonesia, memiliki nilai yang amat strategis untuk menyiapkan masyarakat dan bangsa kita yang bermutu tinggi guna memasuki masa depan yang lebih baik dengan rasa percaya diri yang lebih besar serta memiliki derajat yang sama dengan masyarakat dan bangsa lain di dunia. Tujuan ini akan dapat dicapai apabila hasil pendidikan nasional kita semakin baik dan semakin tinggi mutunya.
Tuntutan yang terus meningkat sejak awal era reformasi agar pemerintah mengambil langkah-langkah yang penting untuk segera melakukan pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional serta memberikan prioritas yang tinggi pada pembangunan sumber daya manusia yang bermutu menunjukkan bahwa apa yang menjadi cita-cita luhur tersebut masih jauh dari kenyataan. Bahkan, tuntutan seperti itu muncul karena masyarakat sendiri telah menyadari bahwa Indonesia jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain dalam upaya menyiapkan sumber daya manusia yang ahli, terampil, profesional, dan tangguh untuk memasuki dunia industri modern dengan persyaratan kerja yang semakin ketat.
Banyak hal yang menjadi tantangan, masalah, dan hambatan selama ini yang menyebabkan dunia pendidikan seolah-olah kurang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah. BPPN mencatat bahwa salah satu hambatan yang cukup serius adalah cara pandang dan sikap mental para penentu kebijakan yang lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah dan bukan pada kebutuhan peserta didik serta kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan kesungguhan semua komponen bangsa yang terkait dengan masalah pendidikan, terutama para pejabat pemerintah dan kaum politik, untuk melakukan upaya-upaya yang strategis dan tepat sasaran dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan yang relevan, bermutu, demokratis, dan mampu mendorong percepatan pembangunan nasional secara merata dan adil di masa depan.
Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan nasional dan berhasil menciptakan budaya pendidikan yang baru yang diinginkan, maka sudah dengan seharusnya BPPN menyampaikan saran pertimbangan sebagai berikut:
a.       Sebagai bagian dari proses reformasi nasional untuk membangun Indonesia baru, maka upaya pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional harus dilakukan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, transparan, dan demokratis, serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat belajar dan kepentingan bangsa. Untuk itu pula diharapkan agar semua pihak terkait berperan secara aktif untuk bersama-sama mewujudkan budaya pendidikan yang baru di sekolah dan lingkungan masyarakat yang berfokus pada peserta didik.

b.      Dalam kaitan dengan perubahan paradigma dan budaya pendidikan yang dimaksud, maka Pemerintah Pusat hendaknya tetap berperan dalam menentukan kebijakan yang bersifat nasional, sebagai pembina, pengawas, dan pengendali mutu, di samping penyediaan dana, sedangkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau masyarakat dipercayakan kepada para profesional, pimpinan lembaga pendidikan, kalangan dunia usaha dan industri, serta masyarakat belajar itu sendiri.

c.       Mengingat pentingnya pendidikan antara lain sebagai upaya untuk menyiapkan manusia dan masyarakat Indonesia yang bermutu serta memiliki pula sikap dan semangat kejuangan yang tinggi dalam membela kepentingan bangsa dan negara, maka Pemerintah Pusat tetap bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan pendidikan yang bersifat strategis, antara lain, dengan menetapkan kurikulum inti. Pemerintah Daerah menjabarkan ketentuan pelaksanaannya yang antara lain tercermin pada kurikulum institusional yang disesuaikan pula dengan kondisi daerah, kemampuan pengelolaan, dan kebutuhan khusus di masing-masing wilayah.

d.      Kebijakan tentang pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional perlu secara khusus difokuskan pada upaya pemberdayaan institusi sekolah (Kepala Sekolah, Pengawas, Guru), terutama pada tingkat pendidikan dasar (8 tahun), pendidikan kejuruan SLTP atau SMYK, dan sekolah menengah umum (SMSU) dan kejuruan (SMSK), serta program pendidikan profesional di lingkungan perguruan tinggi. Dengan demikian diharapkan dunia pendidikan di masa datang akan mampu menyiapkan sumber daya pembangunan yang bermutu tinggi, ahli, dan terampil di berbagai bidang kerja, serta sanggup menjawab tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, khususnya dalam memasuki era AFTA dan persaingan global yang terkait dengan dunia industri dan lapangan kerja. Usul struktur dan Sistem Penjenjangan pada jalur Pendidikan Sekolah sebagaimana terdapat di halaman 20 merupakan suatu alternatif pemecahan yang direkomendasikan.

e.       Mencermati perkembangan industri nasional dan global saat ini dan semakin meluasnya tuntutan lapangan kerja yang mensyaratkan berbagai keahlian serta keterampilan praktis, maka selain perubahan pada sistem persekolahan, upaya diversifikasi program pendidikan diperlukan pada pendidikan menengah, khususnya SMSU, untuk meningkatkan kemahiran berbahasa Indonesia, berbahasa Inggris, keterampilan komputer, dan kemampuan untuk belajar mandiri. Diversifikasi program pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi perlu diperluas dan disesuaikan dengan kebutuhan di masa depan, baik untuk pengembangan IPTEK, maupun untuk menyiapkan tenaga kerja yang ahli dan profesional memasuki lapangan kerja.

f.       Pendidikan Taman Kanak-kanak disarankan agar menjadi bagian dari sistem persekolahan di tingkat pendidikan dasar (8 tahun), sedangkan SLTP/SMY menjadi bagian dari pendidikan menengah dengan dimungkinkannya diversifikasi sekolah kejuruan pada tingkat tersebut.

g.      Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan serta menjamin mutu pendidikan tinggi nasional, maka persiapan yang baik hendaknya dilakukan pada jenjang SMSU. Untuk itu disarankan agar proses seleksi para siswa dilakukan pada akhir tahun kedua, sehingga pada tahun ketiga dan satu tahun pra-universitas proses belajar lebih ditekankan pada pendalaman bidang minat dan persiapan memasuki perguruan tinggi.

h.      Upaya-upaya untuk mewujudkan budaya pendidikan yang baru, pemberdayaan institusi pendidikan, dan peningkatan mutu hasil pendidikan bangsa kita juga amat dipengaruhi oleh besarnya dana yang disediakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Mengingat kondisi ekonomi nasional yang kurang menguntungkan masyarakat, maka Pemerintah (Pusat dan Daerah) perlu meningkatkan anggaran pendidikan secara signifikan, sekurang-kurangnya 20% dari APBN atau APBD.

i.        Penetapan kurikulum inti oleh pemerintah pusat dimaksudkan agar kemampuan dan kualitas umum peserta didik secara nasional dapat diukur dengan standar yang sama. Untuk itu, kurikulum nasional hendaknya mengacu pada komponen tujuan pendidikan nasional dalam hubungan dengan upaya melestarikan nilai-nilai budaya dan jatidiri bangsa, serta mengantisipasi perkembangan IPTEK. Di samping itu, diperlukan juga kurikulum institusional dengan standar tertentu yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan potensi masing-masing daerah di Indonesia.

j.        Dalam setiap kegiatan pendidikan yang merupakan proses untuk mencapai perubahan perilaku anak didik, sumber daya pengajar merupakan faktor utama yang bersifat strategis, di samping berbagai sumber daya lainnya yang diperlukan. Oleh sebab itu, kebijakan tentang guru, baik menyangkut kelembagaan dan mekanisme pengelolaan pendidikan guru hendaknya diberikan perhatian yang khusus. Pola pendidikan yang baru harus memungkinkan para calon mahasiswa yang memiliki motivasi tinggi untuk menjadi guru, bobot akademik pada kurikulum inti program S-1 sama dengan bidang studi non-kependidikan, serta waktu menempuh pendidikan sekurang-kurangnya satu tahun lebih lama dibandingkan bidang pendidikan lain di luar bidang kedokteran.

k.      Peran masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan sangatlah menonjol, namun masih lemah dalam pembiayaan. Oleh karena itu, disarankan agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ikut membiayai pendidikan yang diprakarsai masyarakat demi terjaganya mutu dan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Bahkan untuk pendidikan dasar wajib belajar 6 tahun dan pendidikan TK yang diselenggarakan oleh masyarakat dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah.

l.        Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan upaya pembaruan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional, termasuk pengendalian mutu, akuntabilitas, dan pengawasan terhadap penyalahgunaan lembaga-lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, untuk tujuan komersial hendaknya dilaksanakan secara konsisten dan tegas. Dalam hubungan ini pihak pemerintah dan pengelola pendidikan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, perlu melibatkan asosiasi profesi sesuai dengan bidang ilmu masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bangil-Jatim: Al-Izzah

Angka Kelulusan SMA Turun, UN Diumumkan Hari Ini (Online), http:/ / cetak.kompas.com/ beritautama, Minggu, 28 Desember 2008.

Aw. Astin. 1993. Assessment for Exellence: The Philosophy and Practice of Assessment
          and Evaluation in Higher Education. USA: Oryx Press.

Arif, Ujian Nasional Berbiaya Besar, Dana Pendamping Lebih dari Rp 100 Juta (Online); http:/ / www.diknas-padang.org/ , diakses tanggal 19 Nopember 2008

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi revisi V1. Jakarta: Rineka Cipta.

Belharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis terhadap Para Filosuf Terkemuka. Pustaka Pelajar; Yogyakarta

Biaya UN Mencapai Rp 3,6 Juta. Kompas Cyber Media (Online), http:/ / www. kompas.com/ , diakses tanggal 12 April 2007.

Bogdan & Biklen. 1982. Qualitative Research for Educativeon Introduction toTheory and Method. Boston, Allyn and Bacon, Inc.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Bulletin Epitech 2006, Disdik Prov.Jabar.

Bungin, Burhan (Ed). 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis
          ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Di SMA Koinonia Nyaris 100 % Tidak Lulus UN (Online). (http:/ / www.  kesbangpapua.com/ index.php) diakses, 8 Januari 2009.

Driyarkara, Tim Redaksi (ed). 1993. Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan.
          Jakarta: Gramedia.

Dunn, N. William. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada
          Universitas Press.Volume 13 Nomor 1 Januari - Juni 2010

Forgacs, David. 2000. The A ntonio Gramsci Readers. New York: New York University  
          Press.

Fredrik, Kande. 2008. Menyoal Kontraproduktif Kebijakan Pendidikan (Online), http:/
         / re-searchengines.com/ frederik, diakses tanggal 22 Juli 2008

Efendi, Mahfud. 2003. Assesmen Kebutuhan dan Perencanaan Pendidikan: Mata kuliah
          pokok. Pascasarjana MKPP Universitas Muhammadiyah Malang

Empat Ratus Enam Puluh Tiga (463) Siswa SMP / MTs di Kalteng Tidak Lulus (Online).
           (http://202.146.4.17/read/xml/2008/06/20/ 23155937, Sabtu, 21 Juni 2008.

Empat Ribu Empat Ratus Dua Puluh (4.420) Siswa SMP di Jabar Tak Lulus (Online).
             http/ / :newspaper.pikiran-rakyat. com/ prprint.php?, diakses 12 Januari 2008.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pèngantar Analisis Teks Media.Yogyakarta:LKIS.

Faisal, Sanafiah. 1999. Format-FormatPenelitianSosial:Dasar-Dasardan A plikasinya.
             Jakarta: Cv. Rajawali Press.

Halligan, J & J Power. 1992. Political Management In The Nineties. 26 Nopember 2007
              Online), http://ikmsatu.multiply.com/journal/, diakses tanggal diakses 23
              Agustus 2008.

Harian Umum, Pelita. Senin, 29 Desember 2008

Hartono, Bambang Dwi. 2002. Memimpin Orang Kota. Inti Jaya; Surabaya.

Hasanah, Aan. Ujian Nasional Sebuah Ironi Pendidikan (Online). http:/ /mediaindonesia.com/ index.php? diakses, 12 Mei 2008.


Hasil Lulusan UN SMA Kota Ambon Turun (Online). http:/ / www.tribuntimur. com, 17
              Juni 2008.

Herdjoko, S.U. & Piatu, Andreas. Kelulusan Ujian Nasional SLTA Meningkat.
Harian Umum Sore Sinar Harapan, 16 Juni 2007.

Imron, Ali. 2002. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, Proses, Produk dan Masa
              Depannya. Jakarta: Bumi Aksara.

Indrafachrudi, Soekarto. 1984. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Malang: P3T
              IKIP Malang.

Kartono, Kartini. 1990. Wawasan Politik; Mengeni Sistem Pendidikan Nasional.
              Bandung: Mandar Maju.

Kalimantan Timur Tidak Lulus Ujian Nasional. Tempo Interaktif, Samarinda, 13 Juni
              2008.

Kelulusan Siswa SMA di Jatim di A tas Lulusan 2006 (Online), http:/ / www.
               halamansatu.net/, diakses, tgl. 1 Maret 2009.

Kelulusan Siswa Jateng Jeblok. Hampir Merata di Semua Wilayah. Jawa Pos Nusantara
                 (Online), < http:/ / www.jawapos.co.id/ mandarin/ index.php, Minggu, 22 Juni
               2008.



Kelulusan UN Tingkat SMA Sederajat NTB Capai 83 Persen (Online). http:/ / www.globalfmlombok.com/ news, 14 Juni 2008

Kembalikan Kelulusan Siswa pada Sekolah (Online), (http:/ / www. vhrmedia.com/ vhr-news/ berita, -1601.html), diakses tanggal 07 April 2007

Koesoema, Doni A. Pengangguran Intelektual. Kompas. 15 Pebruari 2008.

5.804 Peserta Ujian Nasional di NTB Tidak Lulus (Online), http:/ / www.mediaindo.co.id/ berita.asp? id=103537, diakses 12 Januari 2009.

Latifah, Suharti. Polemik UN dan Ujian Sekolah. (http://www. hupelita.com), diakses tanggal 22 Juli 2008

Makalah UPI EXPO 2006. Diknas Jabar.


Maria, F.K. Namang. Neokolonisasi Pendidikan (Online). http:/ / jawabali. com/pendidikan/ neokolonisasi-pendidikan-48/ trackback. Diakses, 06 Desember 2007.

Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael. 1987. Qualitative Data Analysis ; A Sourcebook of New Methods. Sage Publication Beverly Hills London New Delhi.


Murdiyanto. Alb, 2006, Selamat Tinggal Ujian Nasional-Bangkitlah Roh IPTEK (Online), http:/ / www.akademi.tehnik.surakarta.com, diakses tanggal 22 Juli 2008

Ngadirin. Ujian Akhir Nasional (UAN) sebagai Isue Kritis Pendidikan (Online), http:/ / titoreds.wordpress.com/ 2008, diakses 19 Nopember 008.

Nugroho, Riant. 2008. Public Policy - Teori Kebijakan-Analisis Kebijakan-Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi,Risk Management dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai the Fifth Estate-Metode Penelitian Kebijakan. PT Elex Media Komputindo; Jakarta.

Nuryatno, M. Agus 2008. Madzhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi PengetahuanPolitik dan kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book.

Paulo Freire, 2002. Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: ReaD (Research, Education and Dialog) Pustaka Pelajar

Paulo Freire. 1995. Pendidikan Kaum Tertindas, terjemahan Utomo Dan Anjaya, Jakarta: LP3ES (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) 1995.

Pendidikan Ujian Nasional dan Ujian Moral (Online) http://jawabali.com/ 793/, diakses, 15 Juni 2007

Pendidikan Ujian Nasional Kejujuran (Online). http://jawabali.com/-792, diakses 13 Maret 2007

Pengadilan Nyatakan Pemerintah Lalai-Penuhi Hak Pendidikan (Online). http:/ /www.antara.co.id/ arc/ , diakses, 21Mei 2007

Pengamat Pendidikan Ujian Nasional Langgar HAM. (http:/ / www. vhrmedia.com/ vhr-news/ berita), diakses, 7 Maret 2007

PenggunaanDanadari APBN dan APBD untuk Ujian Nasional Harus Transparan. Harian mum, Pelita, Senin, 29 Desember 2008.

Pengumuman Hasil Ujian-Nasional UN 2008 Sumatera Utara Tingkat SMP, 15.421 Pelajar SMP Sumut Tak Lulus 21. Juni 2008 (Online), (http:/ /asahannews.wordpress. com/ diakses, 21 Juni 2008

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Ripublik Indonesia No. 153/ U/ 2003 tahun 2003 tentang UN.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2006 tentang UN.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2007 tentang UN.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 77 tahun 2008 tentang UN.

Presiden Minta Mendiknas Naik Banding Soal Kasus Ujian Nasional (Online). http:// www.antara.co.id/ arc, diakses 22 Mei 2007

Pro-Kontra PelaksanaanUAN (Online), http://www.pikiran.rakyat.com, diakses tanggal 03 Februari 2005

Pusat Pengembangan Kurikulum. 2003. Kurikulum 2004 Kerangka Dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Rohman, Arif. 2009. Politik Ideologi Pendidikan.Yogyakarta: LakBang Mediatama.

Ratna, Nyoman, Kutha. 2005. Sastra dan Culture Studies, Respresentasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santoso, Listiyono, dan Shaleh, Abd. Qadir. 2007. Seni Pemikiran Tokoh, Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar Ruzz Media Grup Santosa, Class Actions dan Kontroversi Konversi Nilai UAN (Online).

http://www.kompas.com/ bisnis/ index.htm. Kamis, 17 Juni 2004) diakses, tgl. 27 Nopember 2008.

Samawi, Ahmad. 2004. Problem Filosofis Pengembangan Kurikulum. Ilmu Pendidikan: Jurnal Kajian Teori dan Praktik Pendidikan, 31 (1): 1-13.

1.941 Siswa SMP Gagal UN di Maluku (Online). http:/ / www.balagu.com/ od.php? diakses Rabu, 25 Juni 2008.

119 Siswa SMP Tidak Lulus UN (Onlie). http:/ / www.kesbangpapua. com/ index.php, Senin, 23 Juni 2008 Diakses, 12 Januari 2009.

Seto Mulyadi. Evaluasi Hasil Belajar, Ujian Nasional dan Suara A nak (Online) http:/ / www.kompas.com/ kompas-cetak/ 0602/ 14/ Pend LN, diakses, 19 Juni 2006

Simon, Roger. 1991. Gramscis Political Thought: An Introduction. Lawrence and Wishart, London.

Sinar Harapan. Rabu, 19 November 2008

Sinar Harapan. Sabtu, 15 Nopember 2008, diakses 19 Nopember 2008

Sirozi, M. 2005. Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Soedijarto, 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka

Strinati, Dominic. 1995. An Introduction to Theories of Popular Culture. Routledge, London.

Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung: Lembaga Studi Pembangunan.

Sukandarumidi. 2002. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sunudyantoro. 2007. 6.575 Siswa SMA di Jawa Timur Tidak Lulus Ujian Nasional (Online), http:/ / www.tempointeractive.com, diakses Selasa, 12 Juni 2007.

Suparlan. 2007. Meluruskan Kebijakan Ujian Nasional (Online), (http://www.suparlan.com), diakses tanggal 4 Juli 2007.

Surbekti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo

Suwarna. Budi. Belajar dari Sistem Pendidikan Finlandia. Kompas. 12 Nopember 2007.

Suwignyo, Agus. Ujian Nasional 2008: Kembali ke Tengah. Kompas. 20 Juni 2008. Syah Nur, Agustiar, 2001, Perbandingan SistemPendidikan 15 Negara, Bandung: Lubuk Agung Bandung

Syaiful Amin. 10,25 Persen Siswa SMP/ MTs se-DIY Tak Lulus Ujian Nasional (Online). (http://www.tempointeractive.com /hg/nasional/) Kamis, 21 Juni 2007 Tempo Interaktif Yogyakarta, diakses, 01 Januari 2009.

Teror Ganda Buat Guru. (http://jawabali.com/editorial-media-indonesia/ 801/ Track), diakses 05 Nopember 2007

Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dari Perspektif Study Cultural, Magelang: Indonesia Tera Anggota IKAPI.

Tilaar, H.A.R. 2004. Standarisasi Nasional Pendidikan: Suatu Tinjauan Kritis. Bandung: Rineka Cipta.

Tilaar, H.A.R. dan Nogroho, Riant. 2008. Kebijakan Pendidikan, Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Jakarta: Pustaka Pelajar.

Tingkat Ketidaklulusan UN SMP di Jatim Turun. Sumenep-Kominfo News Room. Jumat, 22 Juni 2007.

Ujian Nasional 2007 dan Permasalahannya. http:/ / www.wordpress.com, diakses tanggal 26 Maret 2007

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)

Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia.

Wikipedia Indonesia. Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, http:/ / wikipedia.
org/wiki/kekuasaan.politik, diakses tanggal 22 Juli 2008

Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik; Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Media
Pressindo; Yogyakarta.

Wirasti, Murti, Kusuma. 2002. Wacana Ideologi Negara dalam Pendidikan: Analisis
Wacana Kritis dalamBuku-Buku Teks Untuk Pendidikan SD dan SLTP antara  
tahun 1975-2001, Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik  
Jakarta.

Yunus, Falah Menunggu lagi KebijakanUN 2006 (Online). http://www.kaltim.
com, diakses tanggal 8 Desember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar