Total Tayangan Halaman

Jumat, 01 Juni 2012

JAWABAN UTS PSIKOLOGI PENDIDIKAN 2012





1.  Tentang psikologi pendidikan dan pengajaran merupakan kolaborasi

a.      kontribusi psikologi pendidikan dalam proses pendidikan terutama dalam membantu mengembangkan kurikulum, pembelajaran dan penilaian, penyusunan jadwal dan pengembangan program pendidikan:

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sudah sejak lama bidang psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan dalam pengembangan teori dan praktek pendidikan dan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendidikan, diantaranya terhadap pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran dan sistem penilaian.
1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.
Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik individu lainnya.
Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa
2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.
Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :
  1. Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
  2. Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
  3. Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
  4. Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
  5. Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
  6. Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
  7. Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
  8. Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
  9. Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
  10. Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
  11. Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
  12. Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
  13. Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.
Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.



b.      yang dimaksud bahwa pengajaran merupakan kolaborasi antara seni dan ilmu pengetahuan:

Psikologi pendidikan merupakan sumbangsih dari ilmu pengetahuan psikologi terhadap dunia pendidikan dalam kegiatan pendidikan pembelajaran, pengembangan kurikulum, proses belajar mengajar, sistem evaluasi, dan layanan konseling merupakan serta beberapa kegiatan utama dalam pendidikan terhadap peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara sempurna dan tepat guna.( A Philosophical Study, Routledge :1974)
Keberhasilan seorang guru dalam mengajar sangat berkaitan dengan penguasaan sains serta seni dan keahlian mengajarnya. (Johnson, J. A.: 2002)




2. Berbagai kegunaan bagi seorang guru untuk perlu memahami psikologi
    perkembangan, yaitu:

1.      memahami siswa sebagai pelajar, meliputi perkembangannya, tabiat, kemampuan, kecerdasan, motivasi, minat, fisik, pengalaman, kepribadian, dan lain-lain
2.      memahami prinsip-prinsip dan teori pembelajarandan memilih metode -metode
3.      pembelajaran dan pengajaran
4.      menetapkan tujuan pembelajaran dan pengajaran
5.      menciptaka situasi pembelajaran dan pengajaran yang kondusif
6.      memilih dan menetapkan isi pengajaran
7.      membantu peserta didik yang mengalami kesulitan belajar
8.      memilih alat Bantu pembelajaran dan pengajaran
9.      menilai hasil pembelajaran dan pengajaran
10.  memahami dan mengembangkan kepribadian profesi guru
11.  membimbing perkembangan siswa


    Proses biologis, kognitif dan sosio-emosional saling berinteraksi membentuk
    periode perkembangan dalam psikologi perkembangan, yaitu :


a.              Periodesasi Perkembangan Manusia
Perkembangan merupakan perubahan fungsional yang dipengaruhi oleh pencapaian tingkat kematangan fisik dan intelek. Istilah perkembangan (development) mengandung pengertian sebagai suatu konsep perubahan manusia yang mengarah pada kualitas substansi perilakunya, akibat perubahan fisik maupun proses pembelajaran. Pertumbuhan memberi pengaruh pada kesiapan fisik untuk mengembangkan potensi menjadi suatu kompetensi setiap individu yang normal akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini dimulai sejak terjadinya peristiwa konsepsi hingga kelahiran menjadi seorang bayi, kemudian tumbuh kembang sebagai anak-anak, remaja, dewasa dan sampai mati. Dalam tentan waktu yang cukup panjang ini, guna kegiatan studi ilmiah yang bersifat sistematis, maka para ahli psikologi perkembangan  membagi menjadi tahap-tahap yang dapat dikenali ciri-cirinya.
Secara umum papalia, olds dan Feldman (1998: 2004) membagi perkembangan manusia menjadi sembilan (9) :
  1. Masa pra natal
  2. Bayi
  3. Anak-anak awal (early childhood)
  4. Anak tengah (middle childhood)
  5. Anak akhir (late childhood)
  6. Reaja (adolesrene)
  7. Dewasa muda (young adulthood)
  8. Dewasa tengah (middle adulthood)
  9. Dewasa akhir (late adulthood)

b.             Masa kanak-kanak awal
Anak-anak wal (early childhood) secara krnologis adalah mereka yang berada pada usia 2 – 7 tahun, walaupun masih terikat dan memfokuskan diri pada hubungan dengan orang tua atau keluarga, tetapi masa anak ini, ditandai dengan kemandirian, kemampuan control diri (self control) dan hasrat untuk memperluas pergaulan dengan anak-anak yang sebaya. Pergaulan yagn makin luas ini akan mengurangi kelekatan emosi dengan orang tua, mengurangi egosentrisme, mengurangi sifat irasional, karena dalam pergaulan itu masing-masing anak saling mengkritik, mencela, mengejek, mungkin terjadi konflik, pertengkaran, yang kemudian diikuti dengan proses pembuatan kompromi, adaptasi norma-norma social yang baru.
Masa anak-anak awal, masih ditandai dengan kegiatan bermain baik sendiri maupn bermaind engan kelompok tean sebaya lainnya. Bahkan, kegiatan bermain ini tetap dibawa sampai mas aremaja maupun dewasa. Hanya karakteristik permainan tiap fase perkembangan berbeda-beda. Hal yang penting permainan pada masa anak-anak awal ialah selain berguna bagi pengembangan kepribadian, bermain juga berguna untuk pengembangan psikomotirik halus dan kasar.

c.              Perkembangan kognitif pada asa awal anak-anak
Perkembangan kognitif masa awal anak-anak kali ini berfokus pada tahap pemikiran praoperasional piaget. Pada tahap masa awal anak seorang anak telah memasuki perkembangan kognitif tahap praoperasional.
Dunia kognitif masa anak-anak prasekolah adalah kreatif, bebas dan penuh imajinasi, di dalam seni mereka, matahari kadang-kadang berwarna hijau dan langit berwarna kuning, mobil mengambang di awan, dan manusia seperti kecebong, imajinasi anak-anak praseklah terus bekerja, dan daya serap mental mereka tentang dunia semakin meningkat. Pada tahap inilah konsep yang stabil dibentuk, penalaran mental muncul, egosentrisme mulai kuat dan kemudian melemah, serta keyakinan pada hal-hal magis terbentuk.
Pemikiran praoperasional adalah awal kemampuan untuk merekonstruksi pada tingkat pemikiran apakah seorang anak dalam melakukan sesuatu pemikirna operasional juga mencakup peralihan penggunaan symbol dari yang primitive kepada yang lebih canggih. Pemikiran praoperasional dapat dibagi dalam 3 sub tahap-sub tahap simbolis, subtahap egosentrisme dan intuitif.
Simbolis (symbolic function subtange) adalah subtahap pertama, pada sub tahap ini, anak-anak mengembangkan kemampuan untuk membayangkan secar amental suatu objek yang tidak ada. Hal yang paling bisa diamati adalah anak kecil menggunakan desain corat-coret untuk menggambarkan manusia, rumah, mobil, awan dan lain-lain. Anak-anak tidka terllau peduli dengan realitas gambar-gambar yang mereka buat.
Egosentrisme adalah suatu cirri pemikiran operasional yang menonjol. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan perspektif diri dengan perspektif orang lain. Anak belum memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan, dilihat dan dipikirkan oleh orang lain. Ia lebih cenderung untuk melihat sesuatu dari sudut pandang dirinya sendiri.
Sub tahap intuitif adalah anak-anak mulai menggunakan penalaran primitive dan ingin tahu jawaban atas semua bentuk pertanyaan piaget menyebut bahwa pada tahap ini anak-anak tampaknya begitu yakin tentang pengetahuan dan pemahaman mereka. Tetap belum begitu sadar bagaimana mereka tahu apa yang mereka ketahui itu. Lebih jelasnya mereka mengatakan mengetahi sesuatu tetapi mengetahuinya dengan cara tidak menggunakan pemikiran rasional.
Karakteristik lain anak-anak praoperasional adalah mereka menanyakan serentetan pertanyaan-pertanyaan, mereka membuat pusing orang dewasa disekitarnya karena lelah menjawab pertanyaan “mengapa” mereka. Pertanyaan-pertanyaan mereka menunjukan akan perkembangan mental dan mencerminkan rasa ingintahu intelektual mereka.

Perkembangan sosioemosional masa kanak-kanak awal
Sosialisasi adalah suatu proses seseorang belajar berprilaku tertentu sesuai dengan tuntutan budaya tempat ia hidup. Emosi didefinisikan sebagai perasaan yang melibatkan suatu campuran antara gejolak fisiologis dan perilaku yang tampak.
Selama masa ini anak-anak dalam proses sosioemosional yang anak-anak semakin belajar mandiri dan menjaga diri merkea sendiri, mengembangkan ketrampilan kesiapan bersekolah, dan meluangkan waktu bermain dengan teman-teman sebayanaya.
Perubahan yang pertama dalam proses sosiemosional adalha perubahan pada relasi anak dengan orang lain. Pada masa awal anak-anak, anak-anak biasanya keluar dan memasuki dunai ini, mereka bertemu dengan teman-teman baru, menghabiskan waktu dalam berbagai macam lingkungan dan belajar banyak hal baru yang menarik. Dalam menjalin relasi anak-anak semain tertarik pada anak lain. Mereka berkomunkasi dengan jelas, belajar berbagi dan memahami perasaan, keinginan atau kemauan orang lain. Oleh Karena itu, persahabatan merupakan landasan yang subur untuk perkembangan relasi anak pada masa ini.
Selain itu, anak-anak juga mulai mengembhangkan ketertarikan pada permainan simbolik dan permainan berpura-pura. Permainan berpura-pura dapat memfasilitasi perkembangan emosi anak karena ketika bermain pura-pura, mereka dapat mengekspresikan atau memunculkan emosi yang berkaitan dengan permasalahan yagn sensitive yang mereka pendam.
Perubahan dalam proses sosioemosional yang kedua adalah perubahan pada emosi anak. Dunia anak-anak dipenuhi dengan emosi dan pengalaman emosional. Emosi adalah bahasa pertama yang digunakan oleh anak untuk berkomunikasi dengan orang tuanya sebelum anak dapat berbicara dengan baik.
Berkaitan dengan emosi, anak-anak yang ada dalam masa awal anak-anak mulai memiliki bermacam-macam ketakutan atau kecemasan. Ketakutan atau kecemasan yagn dimiliki anak-anak ini juga cenderung memuncak. Contohnya adalha rasa takut ditinggalkan, rasa tahk terhadpa mimpi buruk, atau rasa takut pada gelap dsb.
Perubahan yang ketiga dalam prsoes sosioemosional adalah perubahan pada kepribadian anak. Menurut Erikson, tahap ini disebut thaap inisiatif versus rasa bersalah. Perkembangan anak pada tahap ini adalah belajarmemiliki inisiatif atau ide tanpa terlalu banyak melakukan kesalahan. Inisiatif atau ide berarti tanggapan positif terhadpa tangtantangan dunia luar, tanggung jawab, pelajaran tentang kemampuan-kemampuan baru, dan awal anak memiliki tujuan.
Pada tahap ini, anak juga mulai memiliki kemampuan untuk membayangkan. Hal ini berarti anak perlu didorong untuk berimajinasi, memunculkan rasa intin tahu dan ide-ide, serta mewujudkan ide-ide tersebut. Anak-anak yang mampu membayangkan apa yang akan terjadi, mampu membuat rencana, juga harus memiliki rasa tanggung jawab dan rasa sesal jika melakukan kesalahan.

Kesimpulan
Masa kanak-kanak awal adalah mereka yang berada pada usia 2-7 tahun, atau msa praoprasional, perkembangan kognitif anak pada masa ini dibagi dalam 3 fase atau sub tahap yaitu symbolic, egoisentrisme dan intuitif. Sedangkan perkembangan sosioemosionalnya melalui dalam 3 tahap perubahan yaitu

  1. Pada relasi anak dengan orang lain
  2. Pada emosi anak
  3. Pada kepribadian anak

Setiap anak harus menghadapi masa ini dengan sukses karena masa ini adalah masa pembentukan kondasi yang kemudian akan membentuk sikap, dan tingkah laku serta kepercayaan dikemudian hari.



3. Psikologi terapan (psikologi pendidikan, psikologi belajar dan psikologi
    perkembangan) dijadikan landasan dalam mengembangkan kurikulum, yaitu :


Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, para ahli berusaha untuk meningkatkan mengajar itu menjadi suatu ilmu atau science. Dengan metode mengajar yang ilmiah, diharapkan proses belajar mengajar itu lebih terjamin keberhasilannya. Inilah yang sedang diusahakan oleh teknologi pendidikan. Sebuah obsesi bahwa pada suatu saat, mengajar atau mendidik itu menjadi suatu teknologi yang dapat dikenal dan dikuasai langkah-langkahnya (Prawiradilaga, 2008). Teknologi pendidikan memberikan pendekatan yang sistematis dan kritis tentang proses belajar mengajar. Dalam pengembangan teknologi pendidikan diperlukan teori psikologi terapan ( psikologi pendidikan dan psikologi belajar serta psikologi perkembangan). Karena subjek dari teknologi pendidikan adalah manusia ( peserta didik ).  Berikut aplikasi teori psikologi pendidikan dan psikologi belajar dalam teknologi pendidikan , yaitu :
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan teknologi pendidikan.
Oleh sebab itu, dalam pengembangan teknologi pendidikan yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan teknologi pendidikan. Perkembangan (di pelajari dalam psikologi perkembangan) yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai pendidik harus mengupayakan cara / metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar
Selain itu aplikasi  psikologi pendidikan dalam teknologi pendidikan adalah yang menyangkut dengan aspek-aspek perilaku dalam ruang lingkup belajar mengajar. Secara psikologis, manusia adalah mahluk individual namun juga sebagai makhluk social dengan kata lain manusia itu sebagai makhluk yang unik. Maka dari itu kajian teori dalam psikologi dalam Teknologi pendidikan seharusnya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaan serta karakteristik-karakteristik individu lainnya.  Dan strategi belajar seperti itu terdapat dalam kajian ilmu Teknologi Pendidikan.
Dalam teknologi pendidikan diperlukan teori (psikologi pendidikan, psikologi belajar dan psikologi perkembangan), karena subjek dalam teknologi pendidikan adalah manusia ( peserta didik ). Setiap peserta didik memiliki karateristik tersendiri yang berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu diperlukanlah teori psikologi. Selain itu juga, dalam membuat strategi belajar dan untuk mengetahui tehnik belajar yang baik maka terlebih dahulu kita sebagai guru  harus mengerti ilmu jiwa.
Jadi dapat disimpulkan  bahwa pengaplikasian teori (psikologi pendidikan, psikologi belajar dan psikologi perkembangan)  terhadap teknologi pendidikan serta dijadikan landasan dalam mengembangkan kurikulum sangat erat karena dalam membuat strategi belajar dan untuk mengetahui tehnik belajar yang baik maka terlebih dahulu kita sebagai guru  harus mengerti ilmu jiwa.



4. Sikap dan keahlian yang dituntut dari seorang guru agar tujuan
    pembelajaran     terwujud secara efektif dan efisien,  yaitu:

a.      Sikap guru dalam pembelajaran (kode etik guru)
Suatu profesi dilaksanakan oleh profesional dengan mempergunakan perilaku yang memenuhi norma-norma etik profesi.
Kode etik adalah kumpulan norma-norma yang merupakan pedoman prilaku profesional dalam melaksanakan profesi.Kode etik guru adalah suatu norma atau aturan tata susila yang mengatur tingkah laku guru, dan oleh karena itu haruslah ditatati oleh guru dengan tujuan antara lain :
1)      Agar guru-guru mempunyai rambu-rambu yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari sebagai pendidik.
2)      Agar guru-guru dapat bercermin diri mengenai tingkah lakunya, apakah sudah sesuai dengan profesi pendidik yang disandangnya ataukah belum.
3)      Agar guru-guru dapat menjaga (mengambil langkah prefentif), jangan sampai tingkah lakunya dapat menurunkan martabatnya sebagai seorang profesional yang bertugas utama sebagai pendidik.
4)      Agar guru selekasnya dapat kembali (mengambil langkah kuratif), jika ternyata apa yang mereka lakukan selama ini bertentangan atau tidak sesuai dengan norma-norma yang telah dirumuskan dan disepakati sebagai kode etik guru.
5)      Agar segala tingkah laku guru, senantiasa selaras atau paling tidak, tidak bertentangan dengan profesi yang disandangnya, ialah sebagai seorang pendidik. Lebih lanjut dapat diteladani oleh anak didiknya dan oleh masyarakat umum.
Kode etik guru ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan pengurus daerah PGRI se Indonesia dalam kongres k XIII di Jakarta tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dalam kongres PGRI ke XVI tahun 1989 juga di Jakarta yang berbunyi sebagai berikut :
1)      Guru berbakti membimbing siswa untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2)      Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3)      Guru berusaha memperoleh informasi tentang siswa sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4)      Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5)      Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6)      Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7)      Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8)      Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9)      Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan.
Selain kode etik guru Indonesia, sebagai pernyataan kebulatan tekad guru Indonesia, maka pada kongres PGRI XVI yang diselenggarakan tanggal, 3 sampai dengan 8 Juli 1989 di Jakarta telah ditetapkan adanya Ikrar Guru

b.      Keahlian guru dalam pembelajaran (standar profesional guru)
Dibeberapa negara telah memperkenalkan “Standar Profesional untuk guru dan Kepala sekolah”, misalnya di USA dimana National Board of Professional teacher Standards telah mengembangkan standar dan prosedur penilaian berdasarkan pada 5 (lima) prinsip dasar (Depdiknas, 2005) yaitu :
1)      Guru bertanggung jawab (committed to) terhadap siswa dan belajarnya.
2)      Guru mengetahui materi ajar yang mereka ajarkan dan bagaimana mengajar materi tersebut kepada siswa.
3)      Guru bertanggung jawab untuk mengelola dan memonitor belajar siswa.
4)      Guru berfikir secara sistematik tentang apa-apa yang mereka kerjakan dan pelajari dari pengalaman.
5)      Guru adalah anggota dari masyarakat belajar
Standar di atas menunjukkan bahwa profesi guru merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebab guru akan selalu berhadap dengan siswa yang memiliki karakteritik dan pengetahuan yang berbeda-beda maka untuk membimbing peserta didik untuk berkembang dan mengarungi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara tepat berubah sebagai ciri dari masyarat abad 21 sehingga tuntutan ini mengharuskan guru untuk memenuhi standar penilaian yang ditetapkan. 



Faktor Pendidik

Pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik. Dwi Nugroho Hidayanto, menginventarisasi bahwa pengertian pendidik meliputi:

a. Orang Dewasa
b. Orang Tua
c. Guru
d. Pemimpin Masyarakat
e. Pemimpin Agama

Karakteristik yang harus dimiliki pendidik dalam melaksanakan tugasnya dalam mendidik, yaitu:
a.       kematangan diri yang stabil, memahami diri sendiri, mandiri, dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan.
b.      kematangan sosial yang stabil, memiliki pengetahuan yang cukup tentang masyarakat, dan mempunyai kecakapan membina kerjasama dengan orang lain.
c.       kematangan profesional (kemampuan mendidik), yaitu menaruh perhatian dan sikap cinta terhadap anak didik serta mempunyai pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunkan cara-cara mendidik.
Kriteria kualitas guru yang dibutuhkan dalam pendidikan adalah:
a. Guru sebagai perencana
b. Guru sebagai inisiator
c. Guru sebagai motivator
d. Guru sebagai observer
e. Guru sebagai motivator
f. Guru sebagai antisifator
g. Guru sebagai model
h. Guru sebagai evaluator
i. Guru sebagai teman bereksplorasi bersama anak didik
j. Promotor agar anak menjadi pembelajar sejati


5. Manfaat bagi dunia pendidikan dengan diketemukannya teori “Multi
    Intelegensi”, yaitu :


Pengelolaan multiple intelegensi dalam proses belajar mengajar dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas guru dan siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar adalah dengan mengembangkan multiple intelegensi yang dicetuskan Howard Gardner dalam dunia pendidikan di sekolah. Teori ini sangat relevan untuk menunjang profesi guru dalam menjalankan tugasnya karena membawa pandangan dan pikiran baru yang lebih komprehensif, akomodatif dan humanistis serta menyegarkan sekaligus menantang dalam pembelajaran di Indonesia.


a. Dampak/manfaat terhadap kurikulum
Dalam pengertian modern kurikulum lebih dimengerti sebagai semua pengalaman yang direncanakan untuk dialami siswa dalam proses pendidikan sejak awal. Maka, bentuknya dapat berupa: pengalaman dalam kelas, di luar kelas, atau bahkan di luar sekolah. Dalam pengertian ini, kurikulum dapat berisi antara lain materi atau topik pelajaran yang mau dipelajari siswa, metode pembelajaran yang mau dialami siswa dan dibantu oleh guru, peralatan dan buku yang digunakan, pengaturan waktu, cara evaluasi dan sebagainya.
Teori inteligensi ganda banyak mempengaruhi penyusunan kurikulum, terutama di Amerika Serikat. Pengaruh yang menonjol adalah pemilihan materi pelajaran lewat topik-topik tematik, bukan urutan daftar bab seperti model kurikulum klasik. Banyak sekolah mulai pada awal pelajaran menentukan topik-topik yang mau dipelajari siswa. Topik biasanya gabungan dari yang ditentukan pemerintah lokal dan pilihan siswa. Ini untuk menjembatani ketentuan pemerintah lokal dan minat serta kesenangan siswa. Dengan demikian, diharapkan siswa dalam satu semester sungguh senang belajar karena ikut andil dalam penentuan topik pelajaran. Model topik ini juga memungkinkan pendekatan secara interdisipliner dilihat dari berbagai sudut. Misalnya, topik energi: dapat didekati lewat pendekatan fisis, kimis, biologis, ekonomis, matematis, lingkungan. Dengan pendekatan itu, jelas inteligensi ganda diperlukan dalam pendekatannya, bukan hanya dengan pendekatan matematis dan linguistik.
Multiple intelegensi juga mempengaruhi bagaimana materi itu sendiri disajikan dan dipelajari. Pembelajaran berbeda dengan model klasik yang hanya dengan ceramah dan hitungan, tetapi lebih dengan inteligensi yang bervariasi, sehingga lebih menyenangkan bagi siswa yang sedang belajar. Pendekatan ini juga menekankan pendekatan yang lebih personal dalam pendidikan karena situasi dan kekhasan siswa diperhatikan. Karena proses pembelajaran bervariasi, maka evaluasinya pun berubah. Pengaturan waktu, pengaturan kelas, bahkan pengaturan sekolah banyak pula yang mengalami perubahan. Penyusunan buku teks pun bervariasi dengan memasukan gambar, hitungan, musik, skema, tugas kerja sama, refleksi pribadi. Dan yang tidak kalah penting adalah penggunaan CD-ROM dan peralatan elektronik untuk membantu proses pembelajaran yang menggunakan inteligensi ganda.
Beberapa sekolah memang tetap menggunakan susunan kurikulum klasik, tetapi dilengkapi dengan program dan kegiatan tambahan yang mengembangkan multiple intelegensi. Ini agar tidak terlalu mengubah kurikulum yang ada secara drastic, yang sudah berjalan lama, tetapi tetap ada pembaruan dan dilengkapi dengan unsur inteligensi ganda.


b. Dampak/manfaat Terhadap Pembelajaran
Teori multiple intelegensi mempunyai pengaruh besar dalam proses pembelajaran di sekolah. Di Amerika Serikat, banyak sekolah seperti Proyek Zero dari Harvard University yang dipimpin Gardner mulai mengembangkan pembelajaran yang menggunakan prinsip teori multiple intelegensi ini. Dan hasil yang dicapai adalah bahwa banyak siswa yang tadinya diperkirakan tidak dapat berhasil dalam study mereka ternyata dapat dibantu, dan berhasil dengan baik berkat pengajaran dengan multiple intelegensi. Demikian juga banyak guru yang tadinya merasa tidak dapat membantu anak didik karena mengajar dengan model yang sama terus-menerus ternyata dapat membantu anak didik untuk berhasil karena mereka dapat mengembangkan pengajaran yang bervariasi.
Apa yang diubah dalam proses mengajar guru serta anggapan mereka dalam relasi guru-siswa akan menjelaskan dalam bahasa berikut:


c. Dampak/manfaat Bagi Guru Yang Mengajar
Seorang siswa dengan kecewa mengungkapkan bahwa dia tidak pernah diajar oleh guru matematikanya. Waktu ditanya, apakah guru itu sering bolos, jawabnya “Guru itu selalu masuk.” Lalu, mengapa ia mengatakan tidak pernah diajar gurunya? Ternyata, setiap kali menjelaskan materi guru matematikannya selalu dengan cara yang sama: menuliskan rumus di papan, lalu memberi contoh, dan menyuruh siswa untuk mengerjakan soal. Bagi siswa, ternyata model mengajar seperti itu sama sekali tidak masuk ke dalam otaknya dan selama satu semester dia merasa tidak dibantu untuk mendalami matematika. Setelah diteliti, ternyata anak ini memang mempunyai inteligensi musikal dan kinestik badaniyang menonjol, sedangkan inteligensi matematis-logisnya kurang. Karena guru selalu menggunakan model mengajar matematis-logis, siswa tersebut sama sekali tidak dapat menangkap materi, bahkan merasa tidak diperhatikan. Siswa ini kecewa karena sudah membayar uang sekolah mahal, tetapi tidak mengalami pembelajaran yang tepat. Sayang siswa ini tidak berani bicara dengan guru tersebut.
Dalam penelitiannya, Gardner menemukan banyak guru seperti itu, guru yang mengajar hanya dengan satu model, yaitu yang sesuai dengan inteligensinya sendiri yang menonjol. Banyak guru mengajar selalu dengan cara yang sama. Padahal cara itu tidak sesuai dengan beberapa siswa yang berbeda inteligensinya. Maka, banyak siswa yang meskipun masuk sekolah, tetapi merasa tidak pernah dibantu belajar. Melihat hal itu, Gardner mencoba membantu guru-guru tersebut untuk mengubah cara mengajar mereka, yaitu menggunakan multiple intelegensi yang lebih bervariasi dan disesuaikan dengan inteligensi siswa.
Dalam penelitian dan percobaannya, Gardner menemukan setelah banyak guru mengubah model mengajar mereka, banyak siswa merasa dibantu dalam menekuni pelajaran. Dalam banyak pengalaman, guru sendiri merasa dikembangkan karena ternyata mereka dapat berubah dan menggunakan banyak model pengajaran.
Secara umum dampak multiple intelegensi bagi guru adalah sebagai berikut:

1. Guru perlu mengerti inteligensi siswa-siswa mereka.
2. Guru perlu mengembangkan model mengajar dengan berbagai inteligensi
    yang menonjol pada dirinya.
3. Guru perlu mengajar sesuai dengan inteligensi siswa, bukan dengan
    inteligensi dirinyasendiri yang tidak cocok dengan inteligensi siswa.
4. Dalam mengevaluasi kemajuan siswa, guru perlu menggunakan berbagai
    model yang cocok dengan multiple intelegensi.



d. Dampak/manfaat bagi siswa yang belajar
Menurut teori multiple intelegensi, siswa dapat belajar dengan baik, memahami suatu materi bila disajikan sesuai dengan inteligensi mereka yang dominan. Ini berarti, bila siswa mempunyai inteligensi matematis-logis tinggi, ia akan mudah mempelajari ilmu sosial itu disajikan atau diterangkan dengan model inteligensi matematis-logis, yaitu secara skematis, dengan bagan ataupun logika yang jelas. Seorang siswa yang berinteligensi musikal baik akan dengan mudah mendalami fisika, bila bahannya disajikan dalam model musik atau lagu. Siswa yang dominant dengan inteligensi interpersonal akan mudah mempelajari materi IPA bila dilakukan kelompok, dan sebagainya. Maka, untuk dapat membantu siswa belajar, pertama-tama siswa perlu dibantu untuk mengerti inteligensi mereka masing-masing.
Selanjutnya, mereka dibantu untuk belajar dengan inteligensi yang kuat pada mereka. Dengan demikian, mereka dapat melihat kekuatan dan cara belajar mana yang cocok dan mana yang kurang itulah nanti yang perlu dibantu oleh guru.
Ada baiknya sejak awal siswa dianjurkan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar, sehingga dapat menemukan cara-cara yang bagi mereka cocok dan memajukan beklajar. Sebaiknya siswa tidak merasa puas dengan menemukan satu cara saja, tetapi mau mencoba dengan banyak cara. Ini juga penting bagi guru untuk melihat mana cara yang cocok bagi siswa.
Dalam penelitian Gardner, kadang ada siswa yang merasa sudah puas bila belajar dengan membaca buku lalu mengerjakan soal yang tersedia. Bertahun-tahun dia hanya belajar dengan cara seperti itu. Memang siswa itu sudah mendapatkan sesuatu. Namun, sewaktu dikenalkan dengan berbagai cara belajar berdasarkan multiple intelegensi, siswa itu sendiri kaget karena ternyata ada beberapa cara belajar yang jauh lebih membantunya untuk berkembang. Di sinilah pentingnya guru memperkenalkan berbagai model pembelajaran dan digunakan.
Untuk membantu siswa belajar lebih baik, perlu juga bila materi pelajaran atau dalam penyusunan buku pelajaran memperhatikan berbagai model dan penyelasan multiple intelegensi. Sebagai contoh, buku sejarah disajikan dengan berbagai cara dan pendekatan, misalnya dengan gambar berwarna, tabel atau lagu yang sesuai, sejauh memungkinkan. Buku matematika juga disajikan dengan beberapa bentuk cerita, musik, visual, dan sebagainya. Tentu semua ini bila mungkin, karena buku setiap studi sering mempunyai kekhasan sendiri berdasarkan keilmuan.



e. Dampak/manfaat terhadap pengaturan kelas
Pendekatan pembelajaran yang berbeda, yang bervariasi karena inteligensi siswa dan guru yang berbeda, juga mempengaruhi pengaturan kelas. Kelas tidak hanya diatur dalam satu kedudukan yang tetapi berbaris dari depan ke belakang. Kadang kelas harus diatur dengan kursi melingkar, atau harus dikosongkan untuk menari, atau berkelompok kecil untuk diskusi, dan sebagainya. Jelas pengaturan kelas pun harus lebih fleksibel, bervariasi sesuai dengan model multiple intelegensi yang mau ditekankan.
Misalnya untuk lebih mengembangkan inteligensi lingkungan, siswa diajak untuk membuat klasifikasi macam-macam benda atau keluar ssekolah melihat hutan, taman, atau alam sekitar. Inteligensi kinestik-badani jelas membutuhkan ruang kelas yang lain dengan kelas ceramah atau penjelasan linguistik.
Perlu dicatat bahwa belajar tidak boleh dibatasi di dalam gedunng kelas atau sekolah. Kadang demi pemahaman yang lebih mendalam dan mudah, belajar harus dilakukan di luar sekolah, bahkan di tempat yang sungguh jauh. Maka, model studi banding, model pengamatan di candi dan pegunungan, semuanya membutuhkan belajar di luar sekolah. Pembelajaran model multiple intelegensi memerlukan model-model tersebut.

f. Dampak/manfaat terhadap evaluasi
Karena sistem pembelajaran dan juga pendekatan yang bervariasi, jelas bahwa system evaluasi pun harus berbeda. Sistem evaluasi yang hanya dengan tes tertulis tidaklah cukup karena tidak mengungkapkan inteligensi yang bermacam-macam.
Dalam penelitiannya, Gardner menemukan ada seorang siswa yang sangat cerdas dalam menganalisis flora dan fauna, dan sangat kreatif menjelaskan kepada siswa lain. Namun, siswa itu tidak berhasil, karena setiap kali ujian dengan cara menulis esai, dia selalu gagal. Gurunya tidak mengertol mengapa hal itu terjadi, maka siswa itu terpaksa tidak naik kelas. Ternyata siswa ini memang mempunyai intelegensi interpersonal dan juga inteligensi lingkungan tinggi, tetapi kurang menonjol dalam inteligensi linguistik. Jelas siswa seperti itu membutuhkan evaluasi yang lain, barang kali dengan lisan, atau diminta mengekspresikan dengan cara lain.
Menurut Gardner, evaluasi yang tepat haruslah juga menggunakan macam-macam inteligensi yang dipakai dalam pembelajaran. Evaluasi perlu menggunakan model yang memuat kemampuan inteligensi matematis-logis, linguistik, kinestik-badani, musik, ruang-visual, interpersonal dan sebagainya; sekurang-kurangnya sesuai dengan pembelajarannya. Bila mengajarkan dengan cara musikal, perlu ada evaluasi yang bernada musikal; bila ada yang mengajarkanya dengan kinestik-badani, perlu evaluasi dengan cara itu pula. Maka, evaluasi bukan hanya dalam bentuk tertulis.
Evaluasi yang dipandang cocok untuk model pembelajaran multiple intelegensi adalah lewat performa siswa dalam situasi yang real, seperti pentas musik, melakukan kerja nyata, menyelesaikan proyek bersama, lewat praktikum, dan sebagainya. Lewat performa itu siswa dapat menunjukkan apa yang telah mereka pelajari dan ketahui dalam konteks yang sesuai dengan lingkungannya.


g. Dampak/manfaat terhadap pendidikan
Multiple intelegensi merupakan pengelompokan kemampuan dalam diri seseorang sehingga dapat berfungsi secara lebih penuh. Inteligensi ini jelas mempengaruhi pula bila kita mau menenamkan naik pada anak. Karena siswa lebih dapat menangkap makna atau pun isi nilai dengan inteligensinya, maka penyampaian pendidikan nilai pun perlu memperhatikan multiple intelegensi tersebut. Misalnya, pendidik mau menyampaikan nilai kejujuran, tidak harus selalu dengan bercerita tentang kejujuran, tetapi bisa melalui kerja kelompok, permainan, pembahasan persoalan, musik, olahraga, tari, dan sebagainya. Dengan demikian, penyajian akan lebih bervariasi dan menarik bagi siswa.
Yang kiranya sangat penting dengan penemuan multiple intelegensi adalah bahwa setiap orang mempunyai inteligensi bermacam-macam. Setiap orang berbeda inteligensinya dan perlu diperlakukan berbeda pula. Dengan lain kata, manusia lebih dihargai sebagai pribadi dengan kekhasan masing-masing.

h. Dampak/manfaat bagi sekolah individual
Ide yang muncul dari teori multiple intelegensi, bahwa setiap anak dapat lebih dibantu belajar bila diajar sesuai dengan inteligensinya mereka yang menonjol, dengan cepat menjadi pendorong bagi mereka yang mau membuat sekolah individual. Kursus privat yang membantu siswa berdasarkan kekuatan dan kelemahan pribadi, yang berbeda dengan teman lain, sangat didukung oleh teori ini. Dengan model pendekatan pribadi ini, jelas seorang siswa akan lebih cepat maju dan guru lebih mudah menyesuaikan cara mengajarnya sesuai dengan inteligensi siswa.
Memang yang ideal di kelas besar pun, pendekatannya lebih pribadi dengan memperhatikan kekhasan, kekuatan dan kelemahan pribadi. Namun, karena siswanya terlalu banyak, tampaknya tidak mungkin seorang guru selalu memperhatikan setiap siswa dan mengajar dengan cara yang berbeda.itulah sebabnya ada pengkritik yang mengungkapkan teori Gardner ini terlalu idealistic, terlalu utopi, karena dalam praktek sekolah biasa sulit dilaksanakan. Menurut mereka, teori ini hanya dapat dipraktekkan dalam sekolah individual.




6. Tentang kepribadian dan faktor yang mempengaruhi kepribadian, yaitu :


a. Defenisi
Banyak para ahli yang memberikan perhatian dan mencurahkan penelitiannya untuk mendeskripsikan penelitiannya mengenai tentang pola tingkah laku yang nantinya merunut juga pada pola tingkah laku manusia sebagai bahan perbandingannya.
 Pola-pola tingkah laku bagi semua Homo Sapiens hampir tidak ada, bahkan bagi semua individu yang tergolong satu ras pun, tidak ada satu system pola tingkah laku yang seragam.  Sebabnya tingkah laku Homo Sapiens tidak hanya ditentukan oleh system organic biologinya saja, melainkan juga akal dan pikirannya serta jiwanya, sehingga variasi pola tingkah laku Homo Sapiens sangat besar diversitasnya dan unik bagi setiap manusia.
Dengan pola tingkah laku dalam arti yang sangat khusus yang ditentukan oleh nalurinya, dorongan-dorongan dan refleksnya.
Jadi “Kepribadian” dalam konteks yang lebih mendalam adalah “susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan seorang individu”.
 

b. Unsur-unsur Kepribadian (faktor yang mempengaruhi kepribadian)
Ada beberapa unsur-unsur dari kepribadian. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa orang yang sadar. Dalam alam sekitar manusia terdapat berbagai hal yang diterimanya melalui panca inderanya  yang masuk kedalam berbagi sel di bagian-bagian tertentu dari otaknya. Ddan didalam otak tersebutlah semuanya diproses menjadi susunan yang dipancarkan oleh individu kealam sekitar. Dan dalam Antropologi dikenal sebagai “persepsi” yaitu; “seluruh proses akal manusia yang sadar”.
Ada kalanya suatu persepsi yang diproyeksikan kembali menjadi suatu penggambaran berfokus tentang lingkungan yang mengandung bagian-bagian. Penggambaran yang terfokus secara lebih intensif yang terjadi karena pemustan secara lebih intensif di dalam pandangan psikologi biasanya disebut dengan “Pengamatan”.
Penggambaran tentang lingkungan dengan fokus pada bagian-bagian yang paling menarik perhatianya seringkali diolah oleh sutu proses dalam aklanya yang menghubungkannya dengan berbagai penggambaran lain yang sejenisnya yang sebelumnya pernah diterima dan diproyeksikan oleh akalnya, dan kemudian muncul kembali sebagai kenangan.
Dan penggambaran yang baru dengan pengertian baru dalam istilah psikologi disebut “Apersepsi”.
Penggabungan dan membandingkan-bandingkan bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis secara konsisten berdasarkan asas-asas tertentu. Dengan proses kemampuan untuk membentuk suatu penggambaran baru yang abstrak, yang dalam kenyataanya tidak mirip dengan salah satu dari sekian macam bahan konkret dari penggambaran yang baru.
Dengan demikian manusia dapat membuat suatu penggambaran tentang tempat-tempat tertentu di muka bumi, padahal ia belum pernah melihat atau mempersepsikan tempat-tempat tersebut. Penggambaran abstrak tadi dalam ilmu-ilmu sosial disebut dengan “Konsep”.
Cara pengamatan yang menyebabkan bahwa penggambaran tentang lingkungan mungkin ada yang ditambah-tambah atau dibesar-besarkan, tetapi ada pula yang dikurangi atau diperkecil pada bagian-bagian tertentu. Dan ada pula yang digabung dengan penggambaran-pengambaran lain sehingga menjadi penggambaran yang baru sama sekali, yang sebenarnya tidak nyata.
Dan penggambaran baru yang seringkali tidak realistic dalam Psikologi disebut dengan “Fantasi”.
Seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi merupakan unsur-unsur pengetahuan yang secara sadar dimiliki seorang Individu.

Perasaan
Selain pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam perasaan. Sebaliknya, dapat juga digambarkan seorang individu yang melihat suatu hal yang buruk atau mendengar suara yang tidak menyenangkan. Persepsi-persepsi seperti itu dapat menimbulkan dalam kesadaranya perasaan negatif.
“Perasaan”, disamping segala macam pengetahuan agaknya juga mengisi alam kesadaran manusia setiap saat dalam hidupnya. “Perasaan” adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengetahuannya dinilai sebagai keadan yang positif atau negative.

Dorongan Naluri
Kesadaran manusia mengandung berbagi perasaan berbagi perasaan lain yang tidak ditimbulkan karena diperanguhi oleh pengeathuannya, tetapi karena memang sudah terkandung di dalam organismenya, khususnya dalam gennya, sebagai naluri. Dan kemauan yang sudah meruapakan naluri disebut “Dorongan”.

c. Tujuh Macam Dorongan naluri
Ada perbedaan paham mengenai jenis dan jumlah dorongan naluri yang terkandung dalam naluri manusia yaitu ;
  1. Dorongan untuk mempertahankan hidup. Dorongan ini memang merupakan suatu kekutan biologis yang ada pada setiap makhluk di dunia untuk dapat bertahan hidup.
  2. Dorongan seks. Dorongan ini telah banyak menarik perhatian para ahli antropolagi, dan mengenai hal ini telah dikembangkan berbagai teori. Dorongan biologis yang mendorong manusia untuk membentuk keturunan bagi kelanjutan keberadaanya di dunia ini muncul pada setiap individu yang normal yang tidak dipengaruhi oleh pengetahuan apapun.
  3. Dorongan untuk berupaya mencari makan. Dorongan ini tidak perlu dipelajari, dan sejak baru dilahirkan pun manusia telah menampakannya dengan mencari puting susu ibunya atau botol susunya tanpa perlu dipelajari.
  4. Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesame manusia, yang memang merupakan landasan biologi dari kehidupan masyarakat manusia sebagai kolektif.
  5. Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya. Dorongan ini merupakan asal-mula dari adanya beragam kebudayaan manusia, yang menyebabkan bahwa manusia mengembangkan adat. Adat, sebaliknya, memaksa perbuatan yang seragam (conform) dengan manusia-manusia di sekelilingnya.
  6. Dorongan untuk berbakti. Dorongan ini mungkin ada karena manusia adalah makhluk kolektif. Agar manusia dapat hidup secara bersama manusia lain diperlukan suatu landasan biologi untuk mengembangkan Altruisme, Simpati, Cinta, dan sebagainya. Dorongan itu kemudian lebih lanjut membentuk kekuatan-kekuatan yang oleh perasaanya dianggap berada di luar akalnya sehingga timbul religi.
  7. Dorongan untuk keindahan. Dorongan ini seringkali saudah tampak dimiliki bayi, yang sudah mulai tertarik pada bentuk-bentuk, warna-warni, dan suara-suara, irama, dan gerak-gerak, dan merupakan dasar dari unsur kesenian.

d. Materi Dari Unsur-unsur Kepribadian
Dalam sebuah konsep kepribadian umum,makin dipertajam dengan terciptanya konsep basic personality structure, atau “kepribadian dasar”, yaitu semua semua unsur kepribadian yang dimiliki sebagian besar warga suatu masyarakat.
Kepribadian dasar ada karena semua individu warga masyarakat mengalami pengaruh lingkungan kebudayaan yang sama selama pertumbuhan mereka. Metodologi untuk mengumpulkan data mengenai kepribadian bangsa dapat dilakukan dengan mengumpulkan sample dari warga masyarakat yang menjadi objek penelitian, yang kemudian diteliti kepribadiannya dengan tes Psikologi.
Selain ciri watak umum, seorang Individu memilki ciri-ciri wataknya sendiri, sementara ada individu-individu dalam sample yang tidak memiliki unsur-unsur kepribadian umum. Pendekatan dalam penelitian kepribadian suatu kebudaya juga dilaksanakan dengan metode lain yang didasarkan pada ciri-ciri dan unsur watak seorang individu dewasa.
Pembentukan watak dan jiwa individu banyak dipengaruhi oleh pengalamannya di masa kanak-kanak serta pola pengasuhan orang tua.
Berdasarkan konsepsi Psikologi tersebut, para ahli Antropologi berpendirian bahwa dengan mempelajari adat-istiadat pengasuhan anak yang khas akan dapat mengetahui adanya berbagai unsur kepribadian pada sebagian besar warga yang merupakan akibat dari pengalaman-pengalaman mereka sejak masa kanak-kanak.
Penelitian mengenai etos kebudayaan dan kepribadian bangsa yang pertama-tama dilakukan oleh tokoh Antroplogi R. Benedict, R. Linton, dan M. Mead. Sehingga menjadi bagian khusus dalam antropologi yang dinamakan personality and culture.

 
            Kesimpulan
Dari penjabaran para ahli bisa diambil kesimpulan bahwa, kepribadian manusia itu terbentuk dari proses pembelajaran ataupun yang memang ada sejak lahir atau berupa naluri dan dorongan yang bersifat alami.
Dan kadang-kadang pembentukan pribadi seseorang ada juga yang berdasarkan pengalaman dimasa kanak-kanak, yang mana adanya pola pengasuhan oleh orang tua serta naluri alami yang memang memberikan respon ketika mengalami dan mempelajari sesuatu.
Sebagaimana unsur-unsur pengetahuan yang terdapat dalam pembentukan kepribadian manusia, yang dihimpun menjadi satu, juag tidak berasal dari naluri saja, tetapi juga pembelajaran. Karena dalam alam bawah sadar manusia berbagai pengetahuan larut dan terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang seringkali tercampur aduk tidak teratur.






7. Hubungan motifasi belajar dengan hasil belajar sehingga guru harus    
    berusaha meningkatkan motifasi belajar, yaitu :


Peningkatan kualitas sumber daya manusia sudah merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia apalagi pada era globalisasi yang menuntut kesiapan setiap bangsa untuk bersaing secara bebas. Pada era globalisasi hanya bangsa-bangsa yang berkualitas tinggi yang mampu bersaing atau berkompetisi di pasar bebas. Dalam hubungannya dengan budaya kompetisi tersebut, bidang pendidikan memegang peranan yang sangat penting dan strategis karena merupakan salah satu wahana untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia, oleh karena itu sudah semestinya kalau pembangunan sektor pendidikan menjadi prioritas utama yang harus dilakukan pemerintah.
Inovasi dan upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Berbagai inovasi dan program pendidikan juga telah dilaksanakan, antara lain penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan lainnya melalui pelatihan dan peningkatan kualitas pendidikan mereka, peningkatan manajemen pendidikan dan pengadaan fasilitas lainnya. Semuanya itu belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Di samping itu juga banyak pendekatan pembangunan dalam pendidikan hanya memfokuskan pada masalah kuantitas, sehingga usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa cenderung dipersempit dalam lingkup pendidikan formal dan pembelajaran yang terbatas pada perhitungan kuantifikasi dengan mengabaikan kualitas. Implikasi dari kebijakan tersebut, walaupun sekarang ini telah dilancarkan pengembangan pendidikan yang menyangkut kualitas, produktivitas dan relevansi, namun masalah pendidikan terus berkembang makin rumit.
Salah satu indikator pendidikan berkualitas adalah perolehan hasil belajar yang maksimal oleh siswa, baik itu hasil belajar dalam bentuk kognitif, afektif maupun psikomotor. Hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh kegiatan proses belajar mengajar yang didalamnya terdapat beberap faktor yang merupakan penentu lancar atau tidaknya kegiatan proses belajar mengajar. Faktor-faktor itu antara lain :
  1. Instrumen Input yaitu ; kurikulum, perpustakaan, guru dan sebagainya.
  2. Raw input yaitu ; siswa, motivasi, cara belajar dan sebagainya.
  3. Environmental input yaitu ; lingkungan fisik dan sosial budaya.
(Subagia dan Sudiana, 2002).6t
Dari ketiga faktor utama yang mempengaruhi lancar tidaknya proses pembelajaran tersebut di atas, dalam penelitian ini difokuskan pada usaha siswa meningkatkan motivasi belajarnya untuk mendapatkan prestasi belajar yang baik dan memuaskan yang sekaligus akan berpengaruh pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1991 dalam pendidikan diartikan sebagai proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya.
Sedangkan menurut Mortimer J. Adler dalam “Pendidikan adalah dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistic dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”
Dari kedua pendapat di atas, maka sudah jelas terlihat bahwa hanya dengan proses pendidikan yang baik, akan melahirkan manusia-manusia yang berkualitas yang sangat berguna bagi keberhasilan pembangunan. John C. Bock (dalam Zamroni, 2000 : 2), mengidentifikasi peranan pendidikan sebagai berikut : (a) memasyarakatkan idiologi dan nilai-nilai sosio kultural bangsa, (b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial dan (c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3, dirumuskan bahwa pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berorientasi pada fungsi dan tujuan pendidikan Nasional tersebut, maka sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan (formal), mempunyai misi dan tugas yang cukup berat. Selanjutnya dikatakan bahwa sekolah berperan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam arti menumbuhkan, memotivasi dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang mencakup etika, logika, estetika, dan praktika, sehingga tercipta manusia yang utuh dan berakar pada budaya bangsa (Sumidjo, 1999 : 71).
Tercapainya tujuan pendidikan tadi, akan ditentukan oleh berbagai unsur yang menunjangnya. Makmun (1996 : 3-4) menyatakan tentang unsur-unsur yang terdapat dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) yaitu :”(1) Siswa, dengan segala karakteristiknya yang berusaha untuk mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui kegiatan belajar, (2) tujuan, ialah sesuatu yang diharapkan setelah adanya kegiatan belajar mengajar, (3) guru, selalu mengusahakan terciptanya situasi yang tepat (mengajar) sehingga memungkinkan bagi terjadinya proses belajar.”
Dari pendapat tersebut tersirat bahwa dalam meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari peran guru sebagai pihak yang mengajar dan membimbing siswa. Hal ini mengimplikasikan bahwa Proses Belajar Mengajar (PBM) merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa yang didasari oleh hubungan yang bersifat mendidik dalam rangka pencapaian tujuan (Surakhmad, 1994 : 52).
Dalam proses belajar mengajar, motivasi merupakan salah satu faktor yang diduga besar pengaruhnya terhadap hasil belajar. Siswa yang motivasinya tinggi diduga akan memperoleh hasil belajar yang baik. Pentingnya motivasi belajar siswa terbentuk antara lain agar terjadi perubahan belajar ke arah yang lebih positif. Pandangan ini sesuai dengan Pendapat Hawley (Prayitno, 1989:3) : “Siswa yang termotivasi dengan baik dalam belajar melakukan kegiatan lebih banyak dan lebih cepat, dibandingkan dengan siswa yang kurang termotivasi dalam belajar. Prestasi yang diraih akan lebih baik apabila mempunyai motivasi yang tinggi.”
Begitu pula halnya bila kita lihat dalam proses belajar mengajar geografi. Siswa yang memiliki motivasi yang tinggi dalam mempelajari geografi  akan melakukan kegiatan lebih cepat dibandingkan dengan siswa yang kurang termotivasi dalam mempelajari geografi. Siswa yang yang memiliki motivasi yang tinggi dalam mempelajari geografi maka prestasi yang diraih juga akan lebih baik.

















DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih N, 2002. Kualitas dan Profesionalisme Guru. Pikiran Rakyat 15 Oktober 2002. http://www.Pikiran Rakyat.com/102002/15 Opini
Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.Suara Pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001).
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang.
Arikunto, S. 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
As’ad, Moh. 1995. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Badrun, A. 2005. Prospek Pendidikan dan tenaga kerja (guru) di kabupaten Dompu. Orasi Ilmiah disampaikan pada saat wisuda mahasiwa Diploma Dua program PGSD/MI-PGTK/RA STAI Al-Amin Dompu
Baharudin. dan Wahyuni, Nur Esa. Teori Belajar & Pembelajaran. 2008. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group

Brent D. Ruben. 1988. Communication and Human Behavior. New York: Macmilland Publishing Company.
Danim S., 2002. Inovasi Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Daryanto, 2001. Administrasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Davis, K. & Newstrom, J.W,. 1996. Perilaku dalam Organisasi, Edisi ketujuh. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dedi Supriyadi, 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru.. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Denny Suwarja, 2003. KBK, tantangan profesionalitas guru. 19 Juli 2003. Artikel. Homepage Pendidikan Network
Depdiknas, 2005. Pembinaan Profesionalisme Tenaga pengajar (Pengembangan Profesionalisme Guru). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Depdiknas.
Departemen Agama RI, 2003. Profesionalisme Pengawas Pendais. Jakarta: Direktorat Jenderal kelembagaan Agama Islam Depag RI.
Djamarah, S.B. 1994. Prestasi belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya. Usaha Nasional.
Drost. 1998. Sekolah: Mengajar atau Mendidik ?. Yogyakarta: Kanisius.
Education and Personal Relationships: A Philosophical Study, Routledge (1974)
Fatah, N. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Forsdale, 1981. Perspectives on Communication. New York: Random House.
Freud,S., 1950. The ego and the id. London: The Hogarth Press.
Furkan, Nuril, 2006. Perubahan Paradigma Guru dalam Konteks KBK. Orasi Ilmiah pada Wisuda Diploma Dua Program PGSD/MI-PGTK/RA dan Dies Natalis STAI Al-Amin Dompu.
Good, V. Carter, 1959. Dictionary of Education, New York: McGraw-Hill Book Company.
Gunawan, 1996. Administrasi Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan, Ani M, 2001. Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan, 13 Juli 2003. Artikel. Homepage Pendidikan Network.

Hasbullah. Dasar Ilmu Pendidikan. 2005. Jakarta. Penerbit: PT RajaGrasindo Persada


Hoy & Miskel, 1987. Education Administration.: Theory, Research and Practice. New York: Random Hause.
Idris, J, 2005. Kompilasi Pemeikiran Pendidikan,. Taufiqiyah Sa’adah Banda Aceh dan Suluh Press Yogyakarta: Banda Aceh dan Yogyakarta.
Imron, 1995. Pembinaan Guru di Indonesia, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online), http://www.members.aol.com/PTRFWEB/journal1040., diakses 7 Juni 2001).
Junaidin, Akh, 2006. Kepuasan Kerja Guru, Al-Fikrah Jurnal Studi Kependidikan dan Keislaman, Ed. I thn. I hal. 45-66.
Johnson, J. A. (Inggris) Introduction to the Foundations od American Education, Boston: Allyn & Bacon, 2002.
Kohler, Jerry. W., Anatol, karl W. E dan Applbaum, Ronald L. 1981. Organizational Communication: Behavioral Perspective. New York: Holt Rinehart and Winstons.
Khadijah, Nyayu. 2009. Psikologi Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo Press.
Maister, 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Mendiknas, 2005. Paradigma Pendidikan Indonesia, (Koran Berita). Mataram.
Miarso, Yusufhadi, 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan.Jakarta : Kencana
Mustaqim, dkk. 2010. Psikologi Pendidikan. PT Rineka Cipta : Jakarta
Muhammad, A. 2001. Komunikasi Organisasi. Ed. 1, Cet.4 Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
_______, 2003. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi) Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Nainggolan H, 1990. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online), http://www.suarapembaruan.com/News/081998/08Opini

Nugroho, Ali. Pengembangan Pembelajaran Sains Pada Anak Usia Dini. 2008. Penerbit: Jilsi Foundation.
Nur Syam, 2005. Pendidikan di era Globalisasi “Tantangan dan Strategi”. Orasi Ilmiah dalam wisuda Perdana STAI Al-Amin Dompu.
Owens, 1991. Organisational Behavior in education. Bonston: Allyn and Bacon.
Oemar Hamalik, 2002. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: PT. Sinar baru Algensindo.
Pantiwati, 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
Pidarta, 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT. Bina Rineka Cipta.
_______, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Prawiradilaga, Dewi Salma dan  Eveline Siregar. 2008. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana
Raka Joni, T, 1992. Pokok-pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Jakarta : Ditjen Dikti Depdiknas.
Robbins, S.P. 1996. Organization Behavior: Concep-Contraversies Application. New Jersey: Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Rusmini, 2003. Kompetensi Guru Menyongsong Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.Indomedia.com/bpost/042003/22 Opini.

Sadiman, Arief. dkk. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. 2009. Jakarta. Penerbit: RajaGrafindo Persada.

Semiawan, 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Sergiovanni, T.J., 1991. The Principalship of reflektive Practice prespectif, Boston : Allyn and Bacon.
Soetjipto, Raflis Kosasi. 1999. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
Stiles, K.E. dan Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sulistyorini, 2001. Hubungan antara Keterampilan Manajerial Kepala Sekolah dan Iklim Organisasi dengan Kinerja Guru. Ilmu Pendidikan: 28 (1) 62-70.
Supriadi, 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa.
Suparlan, 2004. Beberapa Pendapat tentang Guru Efektif dan Sekolah Efektif. Fasilitator : Edisi I Thn 2004(23-28).
Sukardjo,M dan Komarudin Ukim. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pres
Syah, Muhibbin. 2009. Psikologi Belajar. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta
Suryabrata, 2001. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sutadipura, 1994. Kompetensi Guru dan Kesehatan Mental. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sutaryadi, 1990. Administrasi pendidikan. Surabaya: Usaha nasional.
________, 2001. Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Slemato. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
S. Karim A. Karhami, 2005. Mengubah Wawasan dan Peran Guru dalam era kesejahteraan . Akses Internet.
Tempe, A. Dale., 1992. Kinerja. Jakarta : PT. Gramedia Asri Media.
The Liang Gie, 1972. Kamus Administrasi. Jakarta: Gunung Agung.
Uzer usman, Moh. 2002. Menjadi Guru yang Profesional. Edisi kedua. Bandung: Remadja Rosdakarya.
W.F. Connell, 1974. The Foundation of Education.
Wijaya, C. Dan Rusyan A.T, 1994. Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zain, Dr. Emma & Sati, Djaka Dt. Ilmu Mendidik (Metode Pendidikan). 1997. Jakarta. Penerbit: Mutiara Sumber Widya
Zahera Sy, 1997. Hubungan konsep diri dan kepuasan kerja dengan sikap guru dalam proses belajar mengajar, Ilmu Pendidikan, jilid 4 Nomor 3 hal. 183-194.
________, 1998. Pembinaan yang dilakukan Kepala Sekolah dan etos kerja guru-guru Sekolah Dasar., Ilmu Pendidikan, jilid 5 Nomor 2 hal. 116-128.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar