Filosofi Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif
Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah
harus ditentukan dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan
diterapkan, hal ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar
mempunyai landasan kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping
pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca
mengetahui pendekatan yang diterapkan.
Obyek dan masalah penelitian memang
mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun
metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah
penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan
pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan
diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan maka pendekatan
lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.
Secara umum pendekatan penelitian atau sering
juga disebut paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dari segi peristilahan para
akhli nampak menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun
mengacu pada hal yang sama, untuk itu guna menghindari kekaburan dalam memahami
kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan penamaan yang dipakai para akhli
dalam penyebutan kedua istilah tersebut
Sementara itu Noeng Muhadjir mengemukakan
beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang metodologi penelitian
kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik,
interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik . perbedaan
tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan
serta latar brlakang disiplin ilmunya, istilah grounded research lebih
berkembang dilingkungan sosiologi dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di
Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari
Universitas California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan
Penelitian Ilmu-ilmu soaial Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi
lebih berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang antara lain oleh
Bogdan , interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat
dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh
Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika dan
penelitian kuantitatif.
Secara lebih rinci Patton
mengemukakan-penamaan- macam-macam penelitian kualitatif (Qualitative inquiry)
istilah yang berbeda dengan pemberian
karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh semua itu lebih
bersifat saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian
kualitatif.
Oleh karena itu dalam wacana metodologi
penelitian, umumnya diakui terdapat dua paradigma utama dalam metodologi
penelitian yakni paradigma positivist (penelitian kuantitatif) dan paradigma
naturalistik (penelitian kualitatif), ada ahli yang memposisikannya secara
diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna
integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi
kedua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran
filosofis/teoritis maupun dalam tataran praktis pelaksanaan penelitian, dan
justru dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan
masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode
yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan
memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan
penelitian yang telah ditetapkan.
Meskipun dalam tataran praktis perbedaan
antara keduanya seperti nampak sederhana dan hanya bersifat teknis, namun
secara esensial keduanya mempunyai landasan epistemologis/filosofis yang sangat
berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili
paham positivisme, sementara itu penelitian kualitatif merupakan pendekatan
penelitian yang mewakili paham naturalistik (fenomenologis). Untuk lebih
memahami landasan filosofis kedua paham tersebut, berikut ini akan diuraiakan
secara ringkas kedua aliran faham tersebut.
1.
Positivisme
Positivisme merupakan aliran filsafat yang
dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste Comte seorang folosof yang lahir
di Montpellier Perancis pada tahun 1798, ia seorang yang sangat miskin,
hidupnya banyak mengandalkan sumbangan dari murid dan teman-temannya antara
lain dari folosof inggeris John Stuart Mill (juga seorang akhli ekonomi), ia
meninggal pada tahun 1857. meskipun demikian pemikiran-pemikirannya cukup berpengaruh
yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya antara lain Cours de Philosophie
Positive (Kursus filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive (Sistem
politik positif).
Salah satu buah pikirannya yang sangat
penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir
manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi,
tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada
tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab
akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan
Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah
memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri
dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap
politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada
dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis,
dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya
dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan
keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah
dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada
tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai
alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir
berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi
kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih
percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia
mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan
antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta
memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana
manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan sepertti
dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan
ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan
positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya
merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat
Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang
dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak
mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu
mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji
berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara
gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut
hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat
positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan
bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
2.
Fenomenologi
Edmund Husserl adalah filosof yang
mengmbangkan metode Fenomenologi, dia lahir di Prostejov Cekoslowakia dan
mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada tahun 1938 di
Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi, dengan membawa
seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia, sehingga kemudian
dapat dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara tulisan-tulisan
pentangnya adalah : Logische Untersuchungen (Penyeliddikan-penyelidikan Logis)
dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie
(gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi).
Dalam faham fenomenologi sebagaimana
diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu
sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk
berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala
(Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan
melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam,
antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi
obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat
intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa
sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal yaitu
: ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek.
Kesadaran tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah
sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan
kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek
kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl
berpandapat bahwa untuk menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam
reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchau
yaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita
harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi
kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari
sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga.
Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan
orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini
berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihaaaatkan dirinya sendiri/dapat
menjadi fenomin
3.
Perbandingan tataran Filosofis
Kedua aliran filsafat tersebut terus
berkembang dengan dukungan prngikut-pengikutnya, yang dalam wacana metodologi
penelitian telah mendorong lahirnya paradigma penelitian kuantitatif
(positivisme) dan paradigma penelitian kualitatif (fenomenologi). Kedua
paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak sekali mempunyai asumsi/aksioma
dasar filosofis dan paradigma berbeda yang menurut Lincoln dan Guba perbedaan
tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang kenyataan, hubungan pencari tahu
dengan tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas, dan masalah nilai,
untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel berikut :
Dalam pandangan positivisme dari sudut
ontologi meyakini bahwa realitas merupakan suatu yang tunggal dan dapat
dipecah-pecah untuk dipelajari/dipahami secara bebas, obyek yang diteliti bisa
dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam pandangan fenomenologi
kenyataan itu merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu obyek harus dilihat
dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang terfragmentasi.
Dari sudut epistemologi, positivisme
mensyaratkan adanya dualisme antara subyek peneliti dengan obyek yang
ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil yang
obyektif, sementara itu dalam pandangan Fenomenologis subyek dan obyek tidak
dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut
aksiologi, positivisme mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar
dicapai obyektivitas konsep-konsep dan hukum-hukum sehingga tingkat
keberlakuannya bebas tempat dan waktu, sedangkan dalam pandangan fenomenologi
penelitian itu terikat oleh nilai sehinggan hasil suatu penelitian harus
dilihat sesuai konteks.
4.
Perbandingan tataran Metodologis
Memahami landasan filosofis penelitian
kualitatif dalam perbandingannya dengan penelitian kuantitatif merupakan hal yang
penting sebagai dasar bagi pemahaman yang tepat terhadap penelitian kualitatif,
namun demikian bagi seorang peneliti penguasaan dalam tingkatan operasional
lebih diperlukan lagi agar dalam pelaksanaan penelitian tidak terjadi kerancuan
metodologis, dan penelitian benar-benar dilaksanakan dalam suatu bingkai
pendekatan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam tataran metodologis perbedaan landasan
filosofis terrefleksikan dalam perbedaan metode penelitian, dimana positivisme
dimanifestasikan dalam metode penelitian kuantitatif sedangkan fenomenologi
dimanifestasikan dalam metode penelitian kualitatif. Kedua pendekatan ini
sering diposisikan secara diametral, meskipun belakangan ini terdapat upaya
untuk menggabungkannya baik dalam bentuk paralelisasi maupun kombinasi, adapun
perbedaan antara metode kuantitatif dengan kualitatif adalah sebagai berikut :
Metode Kuantitatif
1.Menggunakan hiopotesis yang ditentukan sejak awal penelitian
2.Definisi yang jelas dinyatakan sejak awal
3.Reduksi data menjadi angka-angka
4.Lebih memperhatikan reliabilitas skor yang diperoleh melalui instrumen penelitian
5.Penilaian validitas menggunakan berbagai prosedur dengan mengandalkan hitungan
1.Menggunakan hiopotesis yang ditentukan sejak awal penelitian
2.Definisi yang jelas dinyatakan sejak awal
3.Reduksi data menjadi angka-angka
4.Lebih memperhatikan reliabilitas skor yang diperoleh melalui instrumen penelitian
5.Penilaian validitas menggunakan berbagai prosedur dengan mengandalkan hitungan
statistik
6.Mengunakan deskripsi prosedur yang jelas (terinci)
7.sampling random
8.Desain/kontrol statistik atas variabel eksternal
9.Menggunakan desain khusus untuk mengontrol bias prosedur
10. Menyimpulkan hasil menggunakan statistik
11.Memecah gejala-gejala menjadi bagian-bagian untuk dianalisis
12. Memanipulasi aspek, situasi atau kondisi dalam mempelajari gejala yang kompleks
6.Mengunakan deskripsi prosedur yang jelas (terinci)
7.sampling random
8.Desain/kontrol statistik atas variabel eksternal
9.Menggunakan desain khusus untuk mengontrol bias prosedur
10. Menyimpulkan hasil menggunakan statistik
11.Memecah gejala-gejala menjadi bagian-bagian untuk dianalisis
12. Memanipulasi aspek, situasi atau kondisi dalam mempelajari gejala yang kompleks
Sedangkan Metode Kualitatif
1.Hipotesis dikembangkan sejalan dengan penelitian/saat penelitian
2.Definisi sesuai konteks atau saat penelitian berlangsung
3.Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan
4.Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan
5.Lebih suka menganggap cukup dengan reliabilitas penyimpulan
6.Penilaian validitas melalui pengecekan silang atas sumber informasi
7.Menggunakan deskripsi prosedur secara naratif
8.Sampling purposive
9.Menggunakan analisis logis dalam mengontrol variabel ekstern
10.Mengandalkan peneliti dalam mengontrol bias
11.Menyimpulkan hasil secara naratif/kata-kata
12.Gejala-gejala yang terjadi dilihat dalam perspektif keseluruhan
1.Hipotesis dikembangkan sejalan dengan penelitian/saat penelitian
2.Definisi sesuai konteks atau saat penelitian berlangsung
3.Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan
4.Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan
5.Lebih suka menganggap cukup dengan reliabilitas penyimpulan
6.Penilaian validitas melalui pengecekan silang atas sumber informasi
7.Menggunakan deskripsi prosedur secara naratif
8.Sampling purposive
9.Menggunakan analisis logis dalam mengontrol variabel ekstern
10.Mengandalkan peneliti dalam mengontrol bias
11.Menyimpulkan hasil secara naratif/kata-kata
12.Gejala-gejala yang terjadi dilihat dalam perspektif keseluruhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar