1. Tentang psikologi pendidikan dan pengajaran merupakan kolaborasi
a.
kontribusi
psikologi pendidikan dalam proses pendidikan terutama dalam membantu
mengembangkan kurikulum, pembelajaran dan penilaian, penyusunan jadwal dan
pengembangan program pendidikan:
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sudah sejak lama bidang
psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan dalam pengembangan teori
dan praktek pendidikan dan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap
pendidikan, diantaranya terhadap pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran
dan sistem penilaian.
1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan
Kurikulum.
Kajian
psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan
terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar
mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan,
pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in
put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek
perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara
psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian
psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang
dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan,
kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik
individu lainnya.
Kurikulum
pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk
dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject
matter maupun metode penyampaiannya.
Secara
khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang
dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya
menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan
berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan
seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dengan
demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis
terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu
dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar
(learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa
2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem
Pembelajaran
Kajian
psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem
pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti :
teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt,
teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari
kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada
kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan
dalam proses pembelajaran.
Di
samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah
prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng
Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :
- Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
- Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
- Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
- Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
- Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
- Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
- Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
- Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
- Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
- Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
- Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
- Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
- Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain
pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami
seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita
dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik
setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di
samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam
pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama
setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat
kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal sejumlah
tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi
seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude
Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman
kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran
psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan
individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan
individu yang optimal.
Oleh
karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan
guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
b.
yang dimaksud
bahwa pengajaran merupakan kolaborasi antara seni dan ilmu pengetahuan:
Psikologi
pendidikan merupakan sumbangsih dari ilmu pengetahuan psikologi terhadap dunia
pendidikan dalam kegiatan pendidikan pembelajaran, pengembangan kurikulum,
proses belajar mengajar, sistem evaluasi, dan layanan konseling merupakan serta
beberapa kegiatan utama dalam pendidikan terhadap peserta didik, pendidik,
orang tua, masyarakat dan pemerintah agar tujuan pendidikan dapat tercapai
secara sempurna dan tepat guna.( A Philosophical Study, Routledge :1974)
Keberhasilan
seorang guru dalam mengajar sangat berkaitan dengan penguasaan sains serta seni
dan keahlian mengajarnya. (Johnson, J. A.: 2002)
2. Berbagai kegunaan bagi seorang guru
untuk perlu memahami psikologi
perkembangan, yaitu:
1.
memahami siswa sebagai pelajar,
meliputi perkembangannya, tabiat, kemampuan, kecerdasan, motivasi, minat,
fisik, pengalaman, kepribadian, dan lain-lain
2.
memahami prinsip-prinsip dan teori
pembelajarandan memilih metode -metode
3.
pembelajaran dan pengajaran
4.
menetapkan tujuan pembelajaran dan
pengajaran
5.
menciptaka situasi pembelajaran dan
pengajaran yang kondusif
6.
memilih dan menetapkan isi
pengajaran
7.
membantu peserta didik yang
mengalami kesulitan belajar
8.
memilih alat Bantu pembelajaran dan
pengajaran
9.
menilai hasil pembelajaran dan
pengajaran
10. memahami dan mengembangkan kepribadian profesi guru
11. membimbing perkembangan siswa
Proses biologis, kognitif dan
sosio-emosional saling berinteraksi membentuk
periode perkembangan dalam psikologi perkembangan,
yaitu :
a.
Periodesasi Perkembangan Manusia
Perkembangan
merupakan perubahan fungsional yang dipengaruhi oleh pencapaian tingkat
kematangan fisik dan intelek. Istilah perkembangan (development) mengandung
pengertian sebagai suatu konsep perubahan manusia yang mengarah pada kualitas
substansi perilakunya, akibat perubahan fisik maupun proses pembelajaran.
Pertumbuhan memberi pengaruh pada kesiapan fisik untuk mengembangkan potensi
menjadi suatu kompetensi setiap individu yang normal akan mengalami pertumbuhan
dan perkembangan. Hal ini dimulai sejak terjadinya peristiwa konsepsi hingga
kelahiran menjadi seorang bayi, kemudian tumbuh kembang sebagai anak-anak,
remaja, dewasa dan sampai mati. Dalam tentan waktu yang cukup panjang ini, guna
kegiatan studi ilmiah yang bersifat sistematis, maka para ahli psikologi
perkembangan membagi menjadi tahap-tahap
yang dapat dikenali ciri-cirinya.
Secara
umum papalia, olds dan Feldman (1998: 2004) membagi perkembangan manusia
menjadi sembilan (9) :
- Masa pra natal
- Bayi
- Anak-anak awal (early childhood)
- Anak tengah (middle childhood)
- Anak akhir (late childhood)
- Reaja (adolesrene)
- Dewasa muda (young adulthood)
- Dewasa tengah (middle adulthood)
- Dewasa akhir (late adulthood)
b.
Masa kanak-kanak awal
Anak-anak wal (early childhood) secara
krnologis adalah mereka yang berada pada usia 2 – 7 tahun, walaupun masih
terikat dan memfokuskan diri pada hubungan dengan orang tua atau keluarga,
tetapi masa anak ini, ditandai dengan kemandirian, kemampuan control diri (self
control) dan hasrat untuk memperluas pergaulan dengan anak-anak yang sebaya.
Pergaulan yagn makin luas ini akan mengurangi kelekatan emosi dengan orang tua,
mengurangi egosentrisme, mengurangi sifat irasional, karena dalam pergaulan itu
masing-masing anak saling mengkritik, mencela, mengejek, mungkin terjadi
konflik, pertengkaran, yang kemudian diikuti dengan proses pembuatan kompromi,
adaptasi norma-norma social yang baru.
Masa anak-anak awal, masih ditandai
dengan kegiatan bermain baik sendiri maupn bermaind engan kelompok tean sebaya
lainnya. Bahkan, kegiatan bermain ini tetap dibawa sampai mas aremaja maupun
dewasa. Hanya karakteristik permainan tiap fase perkembangan berbeda-beda. Hal
yang penting permainan pada masa anak-anak awal ialah selain berguna bagi
pengembangan kepribadian, bermain juga berguna untuk pengembangan psikomotirik
halus dan kasar.
c.
Perkembangan kognitif pada asa awal anak-anak
Perkembangan kognitif masa awal
anak-anak kali ini berfokus pada tahap pemikiran praoperasional piaget. Pada
tahap masa awal anak seorang anak telah memasuki perkembangan kognitif tahap
praoperasional.
Dunia kognitif masa anak-anak prasekolah
adalah kreatif, bebas dan penuh imajinasi, di dalam seni mereka, matahari
kadang-kadang berwarna hijau dan langit berwarna kuning, mobil mengambang di
awan, dan manusia seperti kecebong, imajinasi anak-anak praseklah terus
bekerja, dan daya serap mental mereka tentang dunia semakin meningkat. Pada
tahap inilah konsep yang stabil dibentuk, penalaran mental muncul, egosentrisme
mulai kuat dan kemudian melemah, serta keyakinan pada hal-hal magis terbentuk.
Pemikiran praoperasional adalah awal
kemampuan untuk merekonstruksi pada tingkat pemikiran apakah seorang anak dalam
melakukan sesuatu pemikirna operasional juga mencakup peralihan penggunaan
symbol dari yang primitive kepada yang lebih canggih. Pemikiran praoperasional
dapat dibagi dalam 3 sub tahap-sub tahap simbolis, subtahap egosentrisme dan
intuitif.
Simbolis (symbolic function subtange)
adalah subtahap pertama, pada sub tahap ini, anak-anak mengembangkan kemampuan
untuk membayangkan secar amental suatu objek yang tidak ada. Hal yang paling
bisa diamati adalah anak kecil menggunakan desain corat-coret untuk
menggambarkan manusia, rumah, mobil, awan dan lain-lain. Anak-anak tidka
terllau peduli dengan realitas gambar-gambar yang mereka buat.
Egosentrisme adalah suatu cirri
pemikiran operasional yang menonjol. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan
untuk membedakan perspektif diri dengan perspektif orang lain. Anak belum
memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan, dilihat dan dipikirkan
oleh orang lain. Ia lebih cenderung untuk melihat sesuatu dari sudut pandang
dirinya sendiri.
Sub tahap intuitif adalah anak-anak
mulai menggunakan penalaran primitive dan ingin tahu jawaban atas semua bentuk
pertanyaan piaget menyebut bahwa pada tahap ini anak-anak tampaknya begitu
yakin tentang pengetahuan dan pemahaman mereka. Tetap belum begitu sadar
bagaimana mereka tahu apa yang mereka ketahui itu. Lebih jelasnya mereka
mengatakan mengetahi sesuatu tetapi mengetahuinya dengan cara tidak menggunakan
pemikiran rasional.
Karakteristik lain anak-anak
praoperasional adalah mereka menanyakan serentetan pertanyaan-pertanyaan,
mereka membuat pusing orang dewasa disekitarnya karena lelah menjawab
pertanyaan “mengapa” mereka. Pertanyaan-pertanyaan mereka menunjukan akan
perkembangan mental dan mencerminkan rasa ingintahu intelektual mereka.
Perkembangan
sosioemosional masa kanak-kanak awal
Sosialisasi adalah suatu proses
seseorang belajar berprilaku tertentu sesuai dengan tuntutan budaya tempat ia
hidup. Emosi didefinisikan sebagai perasaan yang melibatkan suatu campuran
antara gejolak fisiologis dan perilaku yang tampak.
Selama masa ini anak-anak dalam proses
sosioemosional yang anak-anak semakin belajar mandiri dan menjaga diri merkea
sendiri, mengembangkan ketrampilan kesiapan bersekolah, dan meluangkan waktu
bermain dengan teman-teman sebayanaya.
Perubahan yang pertama dalam proses
sosiemosional adalha perubahan pada relasi anak dengan orang lain. Pada masa
awal anak-anak, anak-anak biasanya keluar dan memasuki dunai ini, mereka
bertemu dengan teman-teman baru, menghabiskan waktu dalam berbagai macam
lingkungan dan belajar banyak hal baru yang menarik. Dalam menjalin relasi
anak-anak semain tertarik pada anak lain. Mereka berkomunkasi dengan jelas,
belajar berbagi dan memahami perasaan, keinginan atau kemauan orang lain. Oleh
Karena itu, persahabatan merupakan landasan yang subur untuk perkembangan
relasi anak pada masa ini.
Selain itu, anak-anak juga mulai
mengembhangkan ketertarikan pada permainan simbolik dan permainan berpura-pura.
Permainan berpura-pura dapat memfasilitasi perkembangan emosi anak karena
ketika bermain pura-pura, mereka dapat mengekspresikan atau memunculkan emosi
yang berkaitan dengan permasalahan yagn sensitive yang mereka pendam.
Perubahan dalam proses sosioemosional yang
kedua adalah perubahan pada emosi anak. Dunia anak-anak dipenuhi dengan emosi
dan pengalaman emosional. Emosi adalah bahasa pertama yang digunakan oleh anak
untuk berkomunikasi dengan orang tuanya sebelum anak dapat berbicara dengan
baik.
Berkaitan dengan emosi, anak-anak yang
ada dalam masa awal anak-anak mulai memiliki bermacam-macam ketakutan atau
kecemasan. Ketakutan atau kecemasan yagn dimiliki anak-anak ini juga cenderung
memuncak. Contohnya adalha rasa takut ditinggalkan, rasa tahk terhadpa mimpi
buruk, atau rasa takut pada gelap dsb.
Perubahan yang ketiga dalam prsoes
sosioemosional adalah perubahan pada kepribadian anak. Menurut Erikson, tahap
ini disebut thaap inisiatif versus rasa bersalah. Perkembangan anak pada tahap
ini adalah belajarmemiliki inisiatif atau ide tanpa terlalu banyak melakukan
kesalahan. Inisiatif atau ide berarti tanggapan positif terhadpa tangtantangan
dunia luar, tanggung jawab, pelajaran tentang kemampuan-kemampuan baru, dan
awal anak memiliki tujuan.
Pada tahap ini, anak juga mulai memiliki
kemampuan untuk membayangkan. Hal ini berarti anak perlu didorong untuk
berimajinasi, memunculkan rasa intin tahu dan ide-ide, serta mewujudkan ide-ide
tersebut. Anak-anak yang mampu membayangkan apa yang akan terjadi, mampu membuat
rencana, juga harus memiliki rasa tanggung jawab dan rasa sesal jika melakukan
kesalahan.
Kesimpulan
Masa kanak-kanak awal adalah mereka yang
berada pada usia 2-7 tahun, atau msa praoprasional, perkembangan kognitif anak
pada masa ini dibagi dalam 3 fase atau sub tahap yaitu symbolic, egoisentrisme
dan intuitif. Sedangkan perkembangan sosioemosionalnya melalui dalam 3 tahap
perubahan yaitu
- Pada relasi anak dengan orang lain
- Pada emosi anak
- Pada kepribadian anak
Setiap anak harus menghadapi masa ini
dengan sukses karena masa ini adalah masa pembentukan kondasi yang kemudian
akan membentuk sikap, dan tingkah laku serta kepercayaan dikemudian hari.
3. Psikologi
terapan (psikologi pendidikan, psikologi belajar dan psikologi
perkembangan) dijadikan landasan dalam
mengembangkan kurikulum, yaitu :
Di zaman
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, para ahli berusaha untuk
meningkatkan mengajar itu menjadi suatu ilmu atau science. Dengan metode
mengajar yang ilmiah, diharapkan proses belajar mengajar itu lebih terjamin
keberhasilannya. Inilah yang sedang diusahakan oleh teknologi pendidikan.
Sebuah obsesi bahwa pada suatu saat, mengajar atau mendidik itu menjadi suatu
teknologi yang dapat dikenal dan dikuasai langkah-langkahnya (Prawiradilaga,
2008). Teknologi pendidikan
memberikan pendekatan yang sistematis dan kritis tentang proses belajar
mengajar. Dalam pengembangan teknologi pendidikan diperlukan teori psikologi terapan
( psikologi pendidikan dan psikologi belajar serta psikologi perkembangan).
Karena subjek dari teknologi pendidikan adalah manusia ( peserta didik ). Berikut aplikasi teori psikologi pendidikan
dan psikologi belajar dalam teknologi pendidikan , yaitu :
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku
individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat
belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya
dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
sekaligus mendasari pengembangan teknologi pendidikan.
Oleh sebab itu,
dalam pengembangan teknologi pendidikan yang senantiasa berhubungan dengan
program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi
mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan teknologi pendidikan. Perkembangan (di pelajari dalam psikologi
perkembangan) yang
dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru
sebagai pendidik harus mengupayakan cara / metode yang lebih baik untuk
melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal
ini proses pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan
memperhatikan psikologi belajar
Selain itu
aplikasi psikologi pendidikan
dalam teknologi pendidikan adalah yang menyangkut dengan aspek-aspek perilaku
dalam ruang lingkup belajar mengajar. Secara psikologis, manusia adalah mahluk individual namun juga sebagai
makhluk social dengan kata lain manusia itu sebagai makhluk yang unik. Maka
dari itu kajian teori dalam psikologi dalam Teknologi pendidikan seharusnya
memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu baik ditinjau dari
segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaan serta
karakteristik-karakteristik individu lainnya. Dan strategi belajar seperti
itu terdapat dalam kajian ilmu Teknologi Pendidikan.
Dalam teknologi
pendidikan diperlukan teori (psikologi pendidikan, psikologi belajar dan
psikologi perkembangan), karena
subjek dalam teknologi pendidikan adalah manusia ( peserta didik ). Setiap
peserta didik memiliki karateristik tersendiri yang berbeda satu sama lain.
Oleh sebab itu diperlukanlah teori psikologi. Selain itu juga, dalam membuat
strategi belajar dan untuk mengetahui tehnik belajar yang baik maka terlebih dahulu kita sebagai guru harus mengerti ilmu jiwa.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa pengaplikasian teori (psikologi
pendidikan, psikologi belajar dan psikologi perkembangan) terhadap
teknologi pendidikan serta dijadikan landasan dalam mengembangkan
kurikulum sangat erat karena
dalam membuat strategi belajar dan untuk mengetahui tehnik belajar yang baik
maka terlebih dahulu kita sebagai guru
harus mengerti ilmu jiwa.
4. Sikap dan
keahlian yang dituntut dari seorang guru agar tujuan
pembelajaran terwujud secara efektif dan efisien, yaitu:
a.
Sikap guru dalam
pembelajaran (kode etik guru)
Suatu profesi dilaksanakan oleh profesional dengan mempergunakan
perilaku yang memenuhi norma-norma etik profesi.
Kode etik adalah kumpulan norma-norma yang merupakan pedoman
prilaku profesional dalam melaksanakan profesi.Kode etik guru adalah suatu
norma atau aturan tata susila yang mengatur tingkah laku guru, dan oleh karena
itu haruslah ditatati oleh guru dengan tujuan antara lain :
1) Agar
guru-guru mempunyai rambu-rambu yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
bertingkah laku sehari-hari sebagai pendidik.
2) Agar
guru-guru dapat bercermin diri mengenai tingkah lakunya, apakah sudah sesuai
dengan profesi pendidik yang disandangnya ataukah belum.
3) Agar
guru-guru dapat menjaga (mengambil langkah prefentif), jangan sampai tingkah
lakunya dapat menurunkan martabatnya sebagai seorang profesional yang bertugas
utama sebagai pendidik.
4) Agar
guru selekasnya dapat kembali (mengambil langkah kuratif), jika ternyata apa yang
mereka lakukan selama ini bertentangan atau tidak sesuai dengan norma-norma
yang telah dirumuskan dan disepakati sebagai kode etik guru.
5) Agar
segala tingkah laku guru, senantiasa selaras atau paling tidak, tidak
bertentangan dengan profesi yang disandangnya, ialah sebagai seorang pendidik.
Lebih lanjut dapat diteladani oleh anak didiknya dan oleh masyarakat umum.
Kode etik guru ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh
seluruh utusan cabang dan pengurus daerah PGRI se Indonesia dalam kongres k
XIII di Jakarta tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dalam kongres PGRI ke
XVI tahun 1989 juga di Jakarta yang berbunyi sebagai berikut :
1) Guru
berbakti membimbing siswa untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa
Pancasila.
2)
Guru
memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3)
Guru
berusaha memperoleh informasi tentang siswa sebagai bahan melakukan bimbingan
dan pembinaan.
4)
Guru
menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses
belajar-mengajar.
5)
Guru
memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk
membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6)
Guru
secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan
martabat profesinya.
7)
Guru
memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan
sosial.
8) Guru
secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai
sarana perjuangan dan pengabdian.
9) Guru
melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan.
Selain kode etik guru
Indonesia, sebagai pernyataan kebulatan tekad guru Indonesia, maka pada kongres
PGRI XVI yang diselenggarakan tanggal, 3 sampai dengan 8 Juli 1989 di Jakarta
telah ditetapkan adanya Ikrar Guru
b.
Keahlian guru dalam
pembelajaran (standar profesional guru)
Dibeberapa negara telah memperkenalkan “Standar Profesional
untuk guru dan Kepala sekolah”, misalnya di USA dimana National Board of
Professional teacher Standards telah mengembangkan standar dan prosedur
penilaian berdasarkan pada 5 (lima) prinsip dasar (Depdiknas, 2005) yaitu :
1) Guru
bertanggung jawab (committed to) terhadap siswa dan belajarnya.
2) Guru
mengetahui materi ajar yang mereka ajarkan dan bagaimana mengajar materi
tersebut kepada siswa.
3) Guru
bertanggung jawab untuk mengelola dan memonitor belajar siswa.
4) Guru
berfikir secara sistematik tentang apa-apa yang mereka kerjakan dan pelajari
dari pengalaman.
5)
Guru
adalah anggota dari masyarakat belajar
Standar di atas menunjukkan bahwa profesi
guru merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang
memadai seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebab guru
akan selalu berhadap dengan siswa yang memiliki karakteritik dan pengetahuan
yang berbeda-beda maka untuk membimbing peserta didik untuk berkembang dan
mengarungi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara tepat berubah
sebagai ciri dari masyarat abad 21 sehingga tuntutan ini mengharuskan guru
untuk memenuhi standar penilaian yang ditetapkan.
Faktor Pendidik
Pendidik adalah orang yang memikul
pertanggungjawaban untuk mendidik. Dwi Nugroho Hidayanto, menginventarisasi
bahwa pengertian pendidik meliputi:
a. Orang Dewasa
b. Orang Tua
c. Guru
d. Pemimpin Masyarakat
e. Pemimpin Agama
Karakteristik yang harus dimiliki pendidik
dalam melaksanakan tugasnya dalam mendidik, yaitu:
a.
kematangan diri yang stabil, memahami
diri sendiri, mandiri, dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan.
b.
kematangan sosial yang stabil, memiliki
pengetahuan yang cukup tentang masyarakat, dan mempunyai kecakapan membina
kerjasama dengan orang lain.
c.
kematangan profesional (kemampuan
mendidik), yaitu menaruh perhatian dan sikap cinta terhadap anak didik serta
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan
perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunkan cara-cara mendidik.
Kriteria kualitas guru yang dibutuhkan
dalam pendidikan adalah:
a. Guru sebagai perencana
b. Guru sebagai inisiator
c. Guru sebagai motivator
d. Guru sebagai observer
e. Guru sebagai motivator
f. Guru sebagai antisifator
g. Guru sebagai model
h. Guru sebagai evaluator
i. Guru sebagai teman
bereksplorasi bersama anak didik
j. Promotor
agar anak menjadi pembelajar sejati
5. Manfaat bagi
dunia pendidikan dengan diketemukannya teori “Multi
Intelegensi”, yaitu :
Pengelolaan
multiple intelegensi dalam proses belajar mengajar dapat meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas guru
dan siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar adalah dengan mengembangkan
multiple intelegensi yang dicetuskan Howard Gardner dalam dunia pendidikan di
sekolah. Teori ini sangat relevan untuk menunjang profesi guru dalam
menjalankan tugasnya karena membawa pandangan dan pikiran baru yang lebih
komprehensif, akomodatif dan humanistis serta menyegarkan sekaligus menantang
dalam pembelajaran di Indonesia.
a. Dampak/manfaat terhadap kurikulum
Dalam pengertian
modern kurikulum lebih dimengerti sebagai semua pengalaman yang direncanakan
untuk dialami siswa dalam proses pendidikan sejak awal. Maka, bentuknya dapat
berupa: pengalaman dalam kelas, di luar kelas, atau bahkan di luar sekolah.
Dalam pengertian ini, kurikulum dapat berisi antara lain materi atau topik
pelajaran yang mau dipelajari siswa, metode pembelajaran yang mau dialami siswa
dan dibantu oleh guru, peralatan dan buku yang digunakan, pengaturan waktu,
cara evaluasi dan sebagainya.
Teori
inteligensi ganda banyak mempengaruhi penyusunan kurikulum, terutama di Amerika
Serikat. Pengaruh yang menonjol adalah pemilihan materi pelajaran lewat
topik-topik tematik, bukan urutan daftar bab seperti model kurikulum klasik.
Banyak sekolah mulai pada awal pelajaran menentukan topik-topik yang mau
dipelajari siswa. Topik biasanya gabungan dari yang ditentukan pemerintah lokal
dan pilihan siswa. Ini untuk menjembatani ketentuan pemerintah lokal dan minat
serta kesenangan siswa. Dengan demikian, diharapkan siswa dalam satu semester
sungguh senang belajar karena ikut andil dalam penentuan topik pelajaran. Model
topik ini juga memungkinkan pendekatan secara interdisipliner dilihat dari
berbagai sudut. Misalnya, topik energi: dapat didekati lewat pendekatan fisis,
kimis, biologis, ekonomis, matematis, lingkungan. Dengan pendekatan itu, jelas
inteligensi ganda diperlukan dalam pendekatannya, bukan hanya dengan pendekatan
matematis dan linguistik.
Multiple
intelegensi juga mempengaruhi bagaimana materi itu sendiri disajikan dan
dipelajari. Pembelajaran berbeda dengan model klasik yang hanya dengan ceramah
dan hitungan, tetapi lebih dengan inteligensi yang bervariasi, sehingga lebih
menyenangkan bagi siswa yang sedang belajar. Pendekatan ini juga menekankan
pendekatan yang lebih personal dalam pendidikan karena situasi dan kekhasan
siswa diperhatikan. Karena proses pembelajaran bervariasi, maka evaluasinya pun
berubah. Pengaturan waktu, pengaturan kelas, bahkan pengaturan sekolah banyak
pula yang mengalami perubahan. Penyusunan buku teks pun bervariasi dengan
memasukan gambar, hitungan, musik, skema, tugas kerja sama, refleksi pribadi.
Dan yang tidak kalah penting adalah penggunaan CD-ROM dan peralatan elektronik
untuk membantu proses pembelajaran yang menggunakan inteligensi ganda.
Beberapa sekolah
memang tetap menggunakan susunan kurikulum klasik, tetapi dilengkapi dengan
program dan kegiatan tambahan yang mengembangkan multiple intelegensi. Ini agar
tidak terlalu mengubah kurikulum yang ada secara drastic, yang sudah berjalan
lama, tetapi tetap ada pembaruan dan dilengkapi dengan unsur inteligensi ganda.
b. Dampak/manfaat Terhadap Pembelajaran
Teori multiple
intelegensi mempunyai pengaruh besar dalam proses pembelajaran di sekolah. Di
Amerika Serikat, banyak sekolah seperti Proyek Zero dari Harvard University
yang dipimpin Gardner mulai mengembangkan pembelajaran yang menggunakan prinsip
teori multiple intelegensi ini. Dan hasil yang dicapai adalah bahwa banyak
siswa yang tadinya diperkirakan tidak dapat berhasil dalam study mereka
ternyata dapat dibantu, dan berhasil dengan baik berkat pengajaran dengan
multiple intelegensi. Demikian juga banyak guru yang tadinya merasa tidak dapat
membantu anak didik karena mengajar dengan model yang sama terus-menerus
ternyata dapat membantu anak didik untuk berhasil karena mereka dapat
mengembangkan pengajaran yang bervariasi.
Apa yang diubah
dalam proses mengajar guru serta anggapan mereka dalam relasi guru-siswa akan
menjelaskan dalam bahasa berikut:
c. Dampak/manfaat Bagi Guru Yang Mengajar
Seorang siswa
dengan kecewa mengungkapkan bahwa dia tidak pernah diajar oleh guru
matematikanya. Waktu ditanya, apakah guru itu sering bolos, jawabnya “Guru itu
selalu masuk.” Lalu, mengapa ia mengatakan tidak pernah diajar gurunya?
Ternyata, setiap kali menjelaskan materi guru matematikannya selalu dengan cara
yang sama: menuliskan rumus di papan, lalu memberi contoh, dan menyuruh siswa
untuk mengerjakan soal. Bagi siswa, ternyata model mengajar seperti itu sama
sekali tidak masuk ke dalam otaknya dan selama satu semester dia merasa tidak
dibantu untuk mendalami matematika. Setelah diteliti, ternyata anak ini memang
mempunyai inteligensi musikal dan kinestik badaniyang menonjol, sedangkan
inteligensi matematis-logisnya kurang. Karena guru selalu menggunakan model
mengajar matematis-logis, siswa tersebut sama sekali tidak dapat menangkap
materi, bahkan merasa tidak diperhatikan. Siswa ini kecewa karena sudah
membayar uang sekolah mahal, tetapi tidak mengalami pembelajaran yang tepat.
Sayang siswa ini tidak berani bicara dengan guru tersebut.
Dalam
penelitiannya, Gardner menemukan banyak guru seperti itu, guru yang mengajar
hanya dengan satu model, yaitu yang sesuai dengan inteligensinya sendiri yang
menonjol. Banyak guru mengajar selalu dengan cara yang sama. Padahal cara itu
tidak sesuai dengan beberapa siswa yang berbeda inteligensinya. Maka, banyak
siswa yang meskipun masuk sekolah, tetapi merasa tidak pernah dibantu belajar.
Melihat hal itu, Gardner mencoba membantu guru-guru tersebut untuk mengubah
cara mengajar mereka, yaitu menggunakan multiple intelegensi yang lebih
bervariasi dan disesuaikan dengan inteligensi siswa.
Dalam penelitian
dan percobaannya, Gardner menemukan setelah banyak guru mengubah model mengajar
mereka, banyak siswa merasa dibantu dalam menekuni pelajaran. Dalam banyak
pengalaman, guru sendiri merasa dikembangkan karena ternyata mereka dapat
berubah dan menggunakan banyak model pengajaran.
Secara umum dampak multiple intelegensi bagi guru adalah sebagai berikut:
Secara umum dampak multiple intelegensi bagi guru adalah sebagai berikut:
1. Guru perlu mengerti inteligensi siswa-siswa mereka.
2. Guru perlu mengembangkan model mengajar dengan berbagai inteligensi
yang menonjol pada dirinya.
3. Guru perlu mengajar sesuai dengan inteligensi siswa, bukan dengan
3. Guru perlu mengajar sesuai dengan inteligensi siswa, bukan dengan
inteligensi dirinyasendiri yang tidak cocok
dengan inteligensi siswa.
4. Dalam mengevaluasi kemajuan siswa, guru perlu menggunakan berbagai
4. Dalam mengevaluasi kemajuan siswa, guru perlu menggunakan berbagai
model yang cocok dengan multiple
intelegensi.
d. Dampak/manfaat bagi siswa yang belajar
Menurut teori
multiple intelegensi, siswa dapat belajar dengan baik, memahami suatu materi
bila disajikan sesuai dengan inteligensi mereka yang dominan. Ini berarti, bila
siswa mempunyai inteligensi matematis-logis tinggi, ia akan mudah mempelajari
ilmu sosial itu disajikan atau diterangkan dengan model inteligensi
matematis-logis, yaitu secara skematis, dengan bagan ataupun logika yang jelas.
Seorang siswa yang berinteligensi musikal baik akan dengan mudah mendalami
fisika, bila bahannya disajikan dalam model musik atau lagu. Siswa yang
dominant dengan inteligensi interpersonal akan mudah mempelajari materi IPA
bila dilakukan kelompok, dan sebagainya. Maka, untuk dapat membantu siswa
belajar, pertama-tama siswa perlu dibantu untuk mengerti inteligensi mereka
masing-masing.
Selanjutnya,
mereka dibantu untuk belajar dengan inteligensi yang kuat pada mereka. Dengan
demikian, mereka dapat melihat kekuatan dan cara belajar mana yang cocok dan
mana yang kurang itulah nanti yang perlu dibantu oleh guru.
Ada baiknya sejak awal siswa dianjurkan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar, sehingga dapat menemukan cara-cara yang bagi mereka cocok dan memajukan beklajar. Sebaiknya siswa tidak merasa puas dengan menemukan satu cara saja, tetapi mau mencoba dengan banyak cara. Ini juga penting bagi guru untuk melihat mana cara yang cocok bagi siswa.
Ada baiknya sejak awal siswa dianjurkan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar, sehingga dapat menemukan cara-cara yang bagi mereka cocok dan memajukan beklajar. Sebaiknya siswa tidak merasa puas dengan menemukan satu cara saja, tetapi mau mencoba dengan banyak cara. Ini juga penting bagi guru untuk melihat mana cara yang cocok bagi siswa.
Dalam penelitian
Gardner, kadang ada siswa yang merasa sudah puas bila belajar dengan membaca
buku lalu mengerjakan soal yang tersedia. Bertahun-tahun dia hanya belajar
dengan cara seperti itu. Memang siswa itu sudah mendapatkan sesuatu. Namun,
sewaktu dikenalkan dengan berbagai cara belajar berdasarkan multiple
intelegensi, siswa itu sendiri kaget karena ternyata ada beberapa cara belajar
yang jauh lebih membantunya untuk berkembang. Di sinilah pentingnya guru
memperkenalkan berbagai model pembelajaran dan digunakan.
Untuk membantu
siswa belajar lebih baik, perlu juga bila materi pelajaran atau dalam
penyusunan buku pelajaran memperhatikan berbagai model dan penyelasan multiple
intelegensi. Sebagai contoh, buku sejarah disajikan dengan berbagai cara dan
pendekatan, misalnya dengan gambar berwarna, tabel atau lagu yang sesuai, sejauh
memungkinkan. Buku matematika juga disajikan dengan beberapa bentuk cerita,
musik, visual, dan sebagainya. Tentu semua ini bila mungkin, karena buku setiap
studi sering mempunyai kekhasan sendiri berdasarkan keilmuan.
e. Dampak/manfaat terhadap pengaturan kelas
Pendekatan
pembelajaran yang berbeda, yang bervariasi karena inteligensi siswa dan guru
yang berbeda, juga mempengaruhi pengaturan kelas. Kelas tidak hanya diatur
dalam satu kedudukan yang tetapi berbaris dari depan ke belakang. Kadang kelas
harus diatur dengan kursi melingkar, atau harus dikosongkan untuk menari, atau
berkelompok kecil untuk diskusi, dan sebagainya. Jelas pengaturan kelas pun
harus lebih fleksibel, bervariasi sesuai dengan model multiple intelegensi yang
mau ditekankan.
Misalnya untuk
lebih mengembangkan inteligensi lingkungan, siswa diajak untuk membuat
klasifikasi macam-macam benda atau keluar ssekolah melihat hutan, taman, atau
alam sekitar. Inteligensi kinestik-badani jelas membutuhkan ruang kelas yang
lain dengan kelas ceramah atau penjelasan linguistik.
Perlu dicatat
bahwa belajar tidak boleh dibatasi di dalam gedunng kelas atau sekolah. Kadang
demi pemahaman yang lebih mendalam dan mudah, belajar harus dilakukan di luar
sekolah, bahkan di tempat yang sungguh jauh. Maka, model studi banding, model
pengamatan di candi dan pegunungan, semuanya membutuhkan belajar di luar
sekolah. Pembelajaran model multiple intelegensi memerlukan model-model
tersebut.
f. Dampak/manfaat terhadap evaluasi
Karena sistem
pembelajaran dan juga pendekatan yang bervariasi, jelas bahwa system evaluasi
pun harus berbeda. Sistem evaluasi yang hanya dengan tes tertulis tidaklah
cukup karena tidak mengungkapkan inteligensi yang bermacam-macam.
Dalam penelitiannya, Gardner menemukan ada seorang siswa yang sangat cerdas dalam menganalisis flora dan fauna, dan sangat kreatif menjelaskan kepada siswa lain. Namun, siswa itu tidak berhasil, karena setiap kali ujian dengan cara menulis esai, dia selalu gagal. Gurunya tidak mengertol mengapa hal itu terjadi, maka siswa itu terpaksa tidak naik kelas. Ternyata siswa ini memang mempunyai intelegensi interpersonal dan juga inteligensi lingkungan tinggi, tetapi kurang menonjol dalam inteligensi linguistik. Jelas siswa seperti itu membutuhkan evaluasi yang lain, barang kali dengan lisan, atau diminta mengekspresikan dengan cara lain.
Dalam penelitiannya, Gardner menemukan ada seorang siswa yang sangat cerdas dalam menganalisis flora dan fauna, dan sangat kreatif menjelaskan kepada siswa lain. Namun, siswa itu tidak berhasil, karena setiap kali ujian dengan cara menulis esai, dia selalu gagal. Gurunya tidak mengertol mengapa hal itu terjadi, maka siswa itu terpaksa tidak naik kelas. Ternyata siswa ini memang mempunyai intelegensi interpersonal dan juga inteligensi lingkungan tinggi, tetapi kurang menonjol dalam inteligensi linguistik. Jelas siswa seperti itu membutuhkan evaluasi yang lain, barang kali dengan lisan, atau diminta mengekspresikan dengan cara lain.
Menurut Gardner,
evaluasi yang tepat haruslah juga menggunakan macam-macam inteligensi yang
dipakai dalam pembelajaran. Evaluasi perlu menggunakan model yang memuat
kemampuan inteligensi matematis-logis, linguistik, kinestik-badani, musik,
ruang-visual, interpersonal dan sebagainya; sekurang-kurangnya sesuai dengan
pembelajarannya. Bila mengajarkan dengan cara musikal, perlu ada evaluasi yang
bernada musikal; bila ada yang mengajarkanya dengan kinestik-badani, perlu
evaluasi dengan cara itu pula. Maka, evaluasi bukan hanya dalam bentuk
tertulis.
Evaluasi yang
dipandang cocok untuk model pembelajaran multiple intelegensi adalah lewat
performa siswa dalam situasi yang real, seperti pentas musik, melakukan kerja
nyata, menyelesaikan proyek bersama, lewat praktikum, dan sebagainya. Lewat
performa itu siswa dapat menunjukkan apa yang telah mereka pelajari dan ketahui
dalam konteks yang sesuai dengan lingkungannya.
g. Dampak/manfaat terhadap pendidikan
Multiple
intelegensi merupakan pengelompokan kemampuan dalam diri seseorang sehingga
dapat berfungsi secara lebih penuh. Inteligensi ini jelas mempengaruhi pula
bila kita mau menenamkan naik pada anak. Karena siswa lebih dapat menangkap
makna atau pun isi nilai dengan inteligensinya, maka penyampaian pendidikan
nilai pun perlu memperhatikan multiple intelegensi tersebut. Misalnya, pendidik
mau menyampaikan nilai kejujuran, tidak harus selalu dengan bercerita tentang
kejujuran, tetapi bisa melalui kerja kelompok, permainan, pembahasan persoalan,
musik, olahraga, tari, dan sebagainya. Dengan demikian, penyajian akan lebih
bervariasi dan menarik bagi siswa.
Yang kiranya
sangat penting dengan penemuan multiple intelegensi adalah bahwa setiap orang
mempunyai inteligensi bermacam-macam. Setiap orang berbeda inteligensinya dan
perlu diperlakukan berbeda pula. Dengan lain kata, manusia lebih dihargai
sebagai pribadi dengan kekhasan masing-masing.
h. Dampak/manfaat bagi sekolah individual
Ide yang muncul dari
teori multiple intelegensi, bahwa setiap anak dapat lebih dibantu belajar bila
diajar sesuai dengan inteligensinya mereka yang menonjol, dengan cepat menjadi
pendorong bagi mereka yang mau membuat sekolah individual. Kursus privat yang
membantu siswa berdasarkan kekuatan dan kelemahan pribadi, yang berbeda dengan
teman lain, sangat didukung oleh teori ini. Dengan model pendekatan pribadi
ini, jelas seorang siswa akan lebih cepat maju dan guru lebih mudah
menyesuaikan cara mengajarnya sesuai dengan inteligensi siswa.
Memang yang
ideal di kelas besar pun, pendekatannya lebih pribadi dengan memperhatikan
kekhasan, kekuatan dan kelemahan pribadi. Namun, karena siswanya terlalu
banyak, tampaknya tidak mungkin seorang guru selalu memperhatikan setiap siswa
dan mengajar dengan cara yang berbeda.itulah sebabnya ada pengkritik yang
mengungkapkan teori Gardner ini terlalu idealistic, terlalu utopi, karena dalam
praktek sekolah biasa sulit dilaksanakan. Menurut mereka, teori ini hanya dapat
dipraktekkan dalam sekolah individual.
6. Tentang
kepribadian dan faktor yang mempengaruhi kepribadian, yaitu :
a.
Defenisi
Banyak
para ahli yang memberikan perhatian dan mencurahkan penelitiannya untuk
mendeskripsikan penelitiannya mengenai tentang pola tingkah laku yang nantinya
merunut juga pada pola tingkah laku manusia sebagai bahan perbandingannya.
Pola-pola tingkah laku bagi semua Homo Sapiens hampir tidak ada, bahkan
bagi semua individu yang tergolong satu ras pun, tidak ada satu system pola
tingkah laku yang seragam. Sebabnya
tingkah laku Homo Sapiens tidak hanya
ditentukan oleh system organic biologinya saja, melainkan juga akal dan
pikirannya serta jiwanya, sehingga variasi pola tingkah laku Homo Sapiens sangat besar diversitasnya
dan unik bagi setiap manusia.
Dengan
pola tingkah laku dalam arti yang sangat khusus yang ditentukan oleh nalurinya,
dorongan-dorongan dan refleksnya.
Jadi “Kepribadian” dalam konteks
yang lebih mendalam adalah “susunan
unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan seorang
individu”.
b.
Unsur-unsur Kepribadian (faktor yang mempengaruhi kepribadian)
Ada
beberapa unsur-unsur dari kepribadian. Diantaranya adalah sebagai berikut :
v
Pengetahuan
Pengetahuan
merupakan suatu unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa orang yang sadar.
Dalam alam sekitar manusia terdapat berbagai hal yang diterimanya melalui panca
inderanya yang masuk kedalam berbagi sel
di bagian-bagian tertentu dari otaknya. Ddan didalam otak tersebutlah semuanya
diproses menjadi susunan yang dipancarkan oleh individu kealam sekitar. Dan
dalam Antropologi dikenal sebagai “persepsi” yaitu; “seluruh proses akal manusia yang sadar”.
Ada
kalanya suatu persepsi yang diproyeksikan kembali menjadi suatu penggambaran
berfokus tentang lingkungan yang mengandung bagian-bagian. Penggambaran yang
terfokus secara lebih intensif yang terjadi karena pemustan secara lebih
intensif di dalam pandangan psikologi biasanya disebut dengan “Pengamatan”.
Penggambaran
tentang lingkungan dengan fokus pada bagian-bagian yang paling menarik
perhatianya seringkali diolah oleh sutu proses dalam aklanya yang
menghubungkannya dengan berbagai penggambaran lain yang sejenisnya yang
sebelumnya pernah diterima dan diproyeksikan oleh akalnya, dan kemudian muncul
kembali sebagai kenangan.
Dan
penggambaran yang baru dengan pengertian baru dalam istilah psikologi disebut “Apersepsi”.
Penggabungan
dan membandingkan-bandingkan bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan
bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis secara konsisten
berdasarkan asas-asas tertentu. Dengan proses kemampuan untuk membentuk suatu
penggambaran baru yang abstrak, yang dalam kenyataanya tidak mirip dengan salah
satu dari sekian macam bahan konkret dari penggambaran yang baru.
Dengan
demikian manusia dapat membuat suatu penggambaran tentang tempat-tempat
tertentu di muka bumi, padahal ia belum pernah melihat atau mempersepsikan
tempat-tempat tersebut. Penggambaran abstrak tadi dalam ilmu-ilmu sosial
disebut dengan “Konsep”.
Cara
pengamatan yang menyebabkan bahwa penggambaran tentang lingkungan mungkin ada
yang ditambah-tambah atau dibesar-besarkan, tetapi ada pula yang dikurangi atau
diperkecil pada bagian-bagian tertentu. Dan ada pula yang digabung dengan
penggambaran-pengambaran lain sehingga menjadi penggambaran yang baru sama
sekali, yang sebenarnya tidak nyata.
Dan
penggambaran baru yang seringkali tidak realistic dalam Psikologi disebut
dengan “Fantasi”.
Seluruh
penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi merupakan unsur-unsur
pengetahuan yang secara sadar dimiliki seorang Individu.
v
Perasaan
Selain
pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam perasaan.
Sebaliknya, dapat juga digambarkan seorang individu yang melihat suatu hal yang
buruk atau mendengar suara yang tidak menyenangkan. Persepsi-persepsi seperti
itu dapat menimbulkan dalam kesadaranya perasaan negatif.
“Perasaan”,
disamping segala macam pengetahuan agaknya juga mengisi alam kesadaran manusia
setiap saat dalam hidupnya. “Perasaan” adalah suatu keadaan dalam kesadaran
manusia yang karena pengetahuannya dinilai sebagai keadan yang positif atau
negative.
v
Dorongan Naluri
Kesadaran
manusia mengandung berbagi perasaan berbagi perasaan lain yang tidak
ditimbulkan karena diperanguhi oleh pengeathuannya, tetapi karena memang sudah
terkandung di dalam organismenya, khususnya dalam gennya, sebagai naluri. Dan
kemauan yang sudah meruapakan naluri disebut “Dorongan”.
c. Tujuh
Macam Dorongan naluri
Ada
perbedaan paham mengenai jenis dan jumlah dorongan naluri yang terkandung dalam
naluri manusia yaitu ;
- Dorongan untuk mempertahankan hidup. Dorongan ini memang merupakan suatu kekutan biologis yang ada pada setiap makhluk di dunia untuk dapat bertahan hidup.
- Dorongan seks. Dorongan ini telah banyak menarik perhatian para ahli antropolagi, dan mengenai hal ini telah dikembangkan berbagai teori. Dorongan biologis yang mendorong manusia untuk membentuk keturunan bagi kelanjutan keberadaanya di dunia ini muncul pada setiap individu yang normal yang tidak dipengaruhi oleh pengetahuan apapun.
- Dorongan untuk berupaya mencari makan. Dorongan ini tidak perlu dipelajari, dan sejak baru dilahirkan pun manusia telah menampakannya dengan mencari puting susu ibunya atau botol susunya tanpa perlu dipelajari.
- Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesame manusia, yang memang merupakan landasan biologi dari kehidupan masyarakat manusia sebagai kolektif.
- Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya. Dorongan ini merupakan asal-mula dari adanya beragam kebudayaan manusia, yang menyebabkan bahwa manusia mengembangkan adat. Adat, sebaliknya, memaksa perbuatan yang seragam (conform) dengan manusia-manusia di sekelilingnya.
- Dorongan untuk berbakti. Dorongan ini mungkin ada karena manusia adalah makhluk kolektif. Agar manusia dapat hidup secara bersama manusia lain diperlukan suatu landasan biologi untuk mengembangkan Altruisme, Simpati, Cinta, dan sebagainya. Dorongan itu kemudian lebih lanjut membentuk kekuatan-kekuatan yang oleh perasaanya dianggap berada di luar akalnya sehingga timbul religi.
- Dorongan untuk keindahan. Dorongan ini seringkali saudah tampak dimiliki bayi, yang sudah mulai tertarik pada bentuk-bentuk, warna-warni, dan suara-suara, irama, dan gerak-gerak, dan merupakan dasar dari unsur kesenian.
d. Materi
Dari Unsur-unsur Kepribadian
Dalam
sebuah konsep kepribadian umum,makin dipertajam dengan terciptanya konsep basic personality structure, atau
“kepribadian dasar”, yaitu semua semua unsur kepribadian yang dimiliki sebagian
besar warga suatu masyarakat.
Kepribadian
dasar ada karena semua individu warga masyarakat mengalami pengaruh lingkungan
kebudayaan yang sama selama pertumbuhan mereka. Metodologi untuk mengumpulkan
data mengenai kepribadian bangsa dapat dilakukan dengan mengumpulkan sample
dari warga masyarakat yang menjadi objek penelitian, yang kemudian diteliti
kepribadiannya dengan tes Psikologi.
Selain
ciri watak umum, seorang Individu memilki ciri-ciri wataknya sendiri, sementara
ada individu-individu dalam sample yang tidak memiliki unsur-unsur kepribadian
umum. Pendekatan dalam penelitian kepribadian suatu kebudaya juga dilaksanakan
dengan metode lain yang didasarkan pada ciri-ciri dan unsur watak seorang
individu dewasa.
Pembentukan
watak dan jiwa individu banyak dipengaruhi oleh pengalamannya di masa
kanak-kanak serta pola pengasuhan orang tua.
Berdasarkan konsepsi Psikologi
tersebut, para ahli Antropologi berpendirian bahwa dengan mempelajari
adat-istiadat pengasuhan anak yang khas akan dapat mengetahui adanya berbagai
unsur kepribadian pada sebagian besar warga yang merupakan akibat dari
pengalaman-pengalaman mereka sejak masa kanak-kanak.
Penelitian
mengenai etos kebudayaan dan kepribadian bangsa yang pertama-tama dilakukan
oleh tokoh Antroplogi R. Benedict, R. Linton, dan M. Mead. Sehingga menjadi
bagian khusus dalam antropologi yang dinamakan personality and culture.
Kesimpulan
Dari
penjabaran para ahli bisa diambil kesimpulan bahwa, kepribadian manusia itu
terbentuk dari proses pembelajaran ataupun yang memang ada sejak lahir atau
berupa naluri dan dorongan yang bersifat alami.
Dan
kadang-kadang pembentukan pribadi seseorang ada juga yang berdasarkan
pengalaman dimasa kanak-kanak, yang mana adanya pola pengasuhan oleh orang tua
serta naluri alami yang memang memberikan respon ketika mengalami dan
mempelajari sesuatu.
Sebagaimana
unsur-unsur pengetahuan yang terdapat dalam pembentukan kepribadian manusia,
yang dihimpun menjadi satu, juag tidak berasal dari naluri saja, tetapi juga
pembelajaran. Karena dalam alam bawah sadar manusia berbagai pengetahuan larut
dan terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang seringkali tercampur aduk tidak
teratur.
7. Hubungan
motifasi belajar dengan hasil belajar sehingga guru harus
berusaha meningkatkan motifasi belajar,
yaitu :
Peningkatan
kualitas sumber daya manusia sudah merupakan suatu keharusan bagi bangsa
Indonesia apalagi pada era globalisasi yang menuntut kesiapan setiap bangsa
untuk bersaing secara bebas. Pada era globalisasi hanya bangsa-bangsa yang
berkualitas tinggi yang mampu bersaing atau berkompetisi di pasar bebas. Dalam
hubungannya dengan budaya kompetisi tersebut, bidang pendidikan memegang
peranan yang sangat penting dan strategis karena merupakan salah satu wahana
untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia, oleh karena itu sudah
semestinya kalau pembangunan sektor pendidikan menjadi prioritas utama yang
harus dilakukan pemerintah.
Inovasi
dan upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan.
Berbagai inovasi dan program pendidikan juga telah dilaksanakan, antara lain
penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar, peningkatan mutu guru dan tenaga
kependidikan lainnya melalui pelatihan dan peningkatan kualitas pendidikan
mereka, peningkatan manajemen pendidikan dan pengadaan fasilitas lainnya.
Semuanya itu belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Di samping itu juga
banyak pendekatan pembangunan dalam pendidikan hanya memfokuskan pada masalah
kuantitas, sehingga usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa cenderung
dipersempit dalam lingkup pendidikan formal dan pembelajaran yang terbatas pada
perhitungan kuantifikasi dengan mengabaikan kualitas. Implikasi dari kebijakan
tersebut, walaupun sekarang ini telah dilancarkan pengembangan pendidikan yang
menyangkut kualitas, produktivitas dan relevansi, namun masalah pendidikan
terus berkembang makin rumit.
Salah
satu indikator pendidikan berkualitas adalah perolehan hasil belajar yang
maksimal oleh siswa, baik itu hasil belajar dalam bentuk kognitif, afektif
maupun psikomotor. Hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh kegiatan proses
belajar mengajar yang didalamnya terdapat beberap faktor yang merupakan penentu
lancar atau tidaknya kegiatan proses belajar mengajar. Faktor-faktor itu antara
lain :
- Instrumen Input yaitu ; kurikulum, perpustakaan, guru dan sebagainya.
- Raw input yaitu ; siswa, motivasi, cara belajar dan sebagainya.
- Environmental input yaitu ; lingkungan fisik dan sosial budaya.
(Subagia dan Sudiana, 2002).6t
Dari
ketiga faktor utama yang mempengaruhi lancar tidaknya proses pembelajaran
tersebut di atas, dalam penelitian ini difokuskan pada usaha siswa meningkatkan
motivasi belajarnya untuk mendapatkan prestasi belajar yang baik dan memuaskan
yang sekaligus akan berpengaruh pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1991 dalam pendidikan diartikan sebagai
proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang
lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut
diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan
perilaku sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya.
Sedangkan
menurut Mortimer J. Adler dalam “Pendidikan adalah dengan mana semua kemampuan
manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh
pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara
artistic dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau
dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”
Dari
kedua pendapat di atas, maka sudah jelas terlihat bahwa hanya dengan proses
pendidikan yang baik, akan melahirkan manusia-manusia yang berkualitas yang
sangat berguna bagi keberhasilan pembangunan. John C. Bock (dalam Zamroni, 2000
: 2), mengidentifikasi peranan pendidikan sebagai berikut : (a) memasyarakatkan
idiologi dan nilai-nilai sosio kultural bangsa, (b) mempersiapkan tenaga kerja
untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial dan (c) untuk
meratakan kesempatan dan pendapatan.
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Bab II Pasal 3, dirumuskan bahwa pendidikan berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Berorientasi
pada fungsi dan tujuan pendidikan Nasional tersebut, maka sekolah sebagai salah
satu lembaga pendidikan (formal), mempunyai misi dan tugas yang cukup berat.
Selanjutnya dikatakan bahwa sekolah berperan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, dalam arti menumbuhkan, memotivasi dan mengembangkan nilai-nilai budaya
yang mencakup etika, logika, estetika, dan praktika, sehingga tercipta manusia
yang utuh dan berakar pada budaya bangsa (Sumidjo, 1999 : 71).
Tercapainya
tujuan pendidikan tadi, akan ditentukan oleh berbagai unsur yang menunjangnya.
Makmun (1996 : 3-4) menyatakan tentang unsur-unsur yang terdapat dalam Proses
Belajar Mengajar (PBM) yaitu :”(1) Siswa, dengan segala karakteristiknya yang
berusaha untuk mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui kegiatan
belajar, (2) tujuan, ialah sesuatu yang diharapkan setelah adanya kegiatan
belajar mengajar, (3) guru, selalu mengusahakan terciptanya situasi yang tepat
(mengajar) sehingga memungkinkan bagi terjadinya proses belajar.”
Dari
pendapat tersebut tersirat bahwa dalam meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari
peran guru sebagai pihak yang mengajar dan membimbing siswa. Hal
ini mengimplikasikan bahwa Proses Belajar Mengajar (PBM) merupakan suatu proses
interaksi antara guru dan siswa yang didasari oleh hubungan yang bersifat
mendidik dalam rangka pencapaian tujuan (Surakhmad, 1994 : 52).
Dalam
proses belajar mengajar, motivasi merupakan salah satu faktor yang diduga besar
pengaruhnya terhadap hasil belajar. Siswa yang motivasinya tinggi diduga akan
memperoleh hasil belajar yang baik. Pentingnya motivasi belajar siswa terbentuk
antara lain agar terjadi perubahan belajar ke arah yang lebih positif.
Pandangan ini sesuai dengan Pendapat Hawley (Prayitno, 1989:3) : “Siswa yang
termotivasi dengan baik dalam belajar melakukan kegiatan lebih banyak dan lebih
cepat, dibandingkan dengan siswa yang kurang termotivasi dalam belajar. Prestasi
yang diraih akan lebih baik apabila mempunyai motivasi yang tinggi.”
Begitu
pula halnya bila kita lihat dalam proses belajar mengajar geografi. Siswa yang
memiliki motivasi yang tinggi dalam mempelajari geografi akan melakukan
kegiatan lebih cepat dibandingkan dengan siswa yang kurang termotivasi dalam
mempelajari geografi. Siswa yang yang memiliki motivasi yang tinggi dalam
mempelajari geografi maka prestasi yang diraih juga akan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih N, 2002. Kualitas dan Profesionalisme Guru.
Pikiran Rakyat 15 Oktober 2002. http://www.Pikiran
Rakyat.com/102002/15 Opini
Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara
Pembaharuan. (Online) (http://www.Suara
Pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001).
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana
Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di
Universitas Muhammadiyah Malang.
Arikunto, S. 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi,
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
As’ad, Moh. 1995. Psikologi Industri. Yogyakarta:
Liberty.
Badrun, A. 2005. Prospek Pendidikan dan tenaga kerja
(guru) di kabupaten Dompu. Orasi Ilmiah disampaikan pada saat wisuda mahasiwa
Diploma Dua program PGSD/MI-PGTK/RA STAI Al-Amin Dompu
Baharudin. dan Wahyuni, Nur Esa. Teori Belajar & Pembelajaran. 2008. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Group
Brent D. Ruben. 1988. Communication and Human Behavior.
New York: Macmilland Publishing Company.
Danim S., 2002. Inovasi Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Daryanto, 2001. Administrasi Pendidikan, Jakarta: Rineka
Cipta.
Davis, K. & Newstrom, J.W,. 1996. Perilaku dalam
Organisasi, Edisi ketujuh. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dedi Supriyadi, 1999. Mengangkat Citra dan Martabat
Guru.. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Denny Suwarja, 2003. KBK, tantangan profesionalitas guru.
19 Juli 2003. Artikel. Homepage Pendidikan Network
Depdiknas, 2005. Pembinaan Profesionalisme Tenaga
pengajar (Pengembangan Profesionalisme Guru). Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Depdiknas.
Departemen Agama RI, 2003. Profesionalisme Pengawas
Pendais. Jakarta: Direktorat Jenderal kelembagaan Agama Islam Depag RI.
Djamarah, S.B. 1994. Prestasi belajar dan Kompetensi
Guru. Surabaya. Usaha Nasional.
Drost. 1998. Sekolah: Mengajar atau Mendidik ?.
Yogyakarta: Kanisius.
Education and Personal Relationships: A Philosophical
Study, Routledge (1974)
Fatah, N. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Forsdale, 1981. Perspectives on Communication. New York:
Random House.
Freud,S., 1950. The ego and the id. London: The Hogarth
Press.
Furkan, Nuril, 2006. Perubahan Paradigma Guru dalam Konteks
KBK. Orasi Ilmiah pada Wisuda Diploma Dua Program PGSD/MI-PGTK/RA dan Dies
Natalis STAI Al-Amin Dompu.
Good, V. Carter, 1959. Dictionary of Education, New York:
McGraw-Hill Book Company.
Gunawan, 1996. Administrasi Sekolah. Jakarta: Rineka
Cipta.
Hasan, Ani M, 2001. Pengembangan Profesionalisme Guru di
Abad Pengetahuan, 13 Juli 2003. Artikel. Homepage Pendidikan Network.
Hasbullah. Dasar Ilmu Pendidikan. 2005. Jakarta.
Penerbit: PT RajaGrasindo Persada
Hoy & Miskel, 1987. Education Administration.:
Theory, Research and Practice. New York: Random Hause.
Idris, J, 2005. Kompilasi Pemeikiran Pendidikan,.
Taufiqiyah Sa’adah Banda Aceh dan Suluh Press Yogyakarta: Banda Aceh dan
Yogyakarta.
Imron, 1995. Pembinaan Guru di Indonesia, Jakarta: PT.
Dunia Pustaka Jaya.
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales.
Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online), http://www.members.aol.com/PTRFWEB/journal1040., diakses 7 Juni 2001).
Junaidin, Akh, 2006. Kepuasan Kerja Guru, Al-Fikrah
Jurnal Studi Kependidikan dan Keislaman, Ed. I thn. I hal. 45-66.
Johnson, J. A. (Inggris) Introduction to the Foundations od American Education,
Boston: Allyn & Bacon, 2002.
Kohler, Jerry. W., Anatol, karl W. E dan Applbaum, Ronald
L. 1981. Organizational Communication: Behavioral Perspective. New York: Holt
Rinehart and Winstons.
Khadijah, Nyayu. 2009. Psikologi Pendidikan. Palembang:
Grafika Telindo Press.
Maister, 1997. True Professionalism. New York: The Free
Press.
Mendiknas, 2005. Paradigma Pendidikan Indonesia, (Koran
Berita). Mataram.
Miarso, Yusufhadi, 2009. Menyemai Benih
Teknologi Pendidikan.Jakarta : Kencana
Mustaqim, dkk. 2010. Psikologi Pendidikan. PT Rineka
Cipta : Jakarta
Muhammad, A. 2001. Komunikasi Organisasi. Ed. 1, Cet.4
Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.
_______, 2003. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep,
Strategi dan Implementasi) Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Nainggolan H, 1990. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil,
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan
Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online), http://www.suarapembaruan.com/News/081998/08Opini
Nugroho, Ali. Pengembangan Pembelajaran Sains Pada Anak
Usia Dini. 2008. Penerbit: Jilsi Foundation.
Nur Syam, 2005. Pendidikan di era Globalisasi “Tantangan
dan Strategi”. Orasi Ilmiah dalam wisuda Perdana STAI Al-Amin Dompu.
Owens, 1991. Organisational Behavior in education.
Bonston: Allyn and Bacon.
Oemar Hamalik, 2002. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung:
PT. Sinar baru Algensindo.
Pantiwati, 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru
Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah
Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
Pidarta, 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia. Jakarta: PT. Bina Rineka Cipta.
_______, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Prawiradilaga, Dewi Salma dan Eveline Siregar.
2008. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana
Raka Joni, T, 1992. Pokok-pokok Pikiran Mengenai
Pendidikan Guru. Jakarta : Ditjen Dikti Depdiknas.
Robbins, S.P. 1996. Organization Behavior:
Concep-Contraversies Application. New Jersey: Englewood Cliffs: Prentice-Hall,
Inc.
Rusmini, 2003. Kompetensi Guru Menyongsong Kurikulum
Berbasis Kompetensi, http://www.Indomedia.com/bpost/042003/22
Opini.
Sadiman, Arief. dkk. Media Pendidikan: Pengertian,
Pengembangan, dan Pemanfaatannya. 2009. Jakarta. Penerbit: RajaGrafindo Persada.
Semiawan, 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan
Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Sergiovanni, T.J., 1991. The Principalship of reflektive
Practice prespectif, Boston : Allyn and Bacon.
Soetjipto, Raflis Kosasi. 1999. Profesi Keguruan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Stiles, K.E. dan Horsley, S. 1998. Professional
Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet
the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional
Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet
the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sulistyorini, 2001. Hubungan antara Keterampilan
Manajerial Kepala Sekolah dan Iklim Organisasi dengan Kinerja Guru. Ilmu
Pendidikan: 28 (1) 62-70.
Supriadi, 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru,
Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa.
Suparlan, 2004. Beberapa Pendapat tentang Guru Efektif
dan Sekolah Efektif. Fasilitator : Edisi I Thn 2004(23-28).
Sukardjo,M dan Komarudin Ukim. 2009. Landasan Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Pres
Syah, Muhibbin. 2009. Psikologi Belajar. PT Raja Grafindo
Persada : Jakarta
Suryabrata, 2001. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Sutadipura, 1994. Kompetensi Guru dan Kesehatan Mental.
Bandung: Penerbit Angkasa.
Sutaryadi, 1990. Administrasi pendidikan. Surabaya: Usaha
nasional.
________, 2001. Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.
Slemato. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
S. Karim A. Karhami, 2005. Mengubah Wawasan dan Peran
Guru dalam era kesejahteraan . Akses Internet.
Tempe, A. Dale., 1992. Kinerja. Jakarta : PT. Gramedia
Asri Media.
The Liang Gie, 1972. Kamus Administrasi. Jakarta: Gunung
Agung.
Uzer usman, Moh. 2002. Menjadi Guru yang Profesional.
Edisi kedua. Bandung: Remadja Rosdakarya.
W.F. Connell, 1974. The Foundation of Education.
Wijaya, C. Dan Rusyan A.T, 1994. Kemampuan Dasar Guru
dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zain, Dr. Emma & Sati, Djaka Dt. Ilmu Mendidik
(Metode Pendidikan). 1997. Jakarta. Penerbit: Mutiara Sumber Widya
Zahera Sy, 1997. Hubungan konsep diri dan kepuasan kerja
dengan sikap guru dalam proses belajar mengajar, Ilmu Pendidikan, jilid 4 Nomor
3 hal. 183-194.
________, 1998. Pembinaan yang dilakukan Kepala Sekolah
dan etos kerja guru-guru Sekolah Dasar., Ilmu Pendidikan, jilid 5 Nomor 2 hal.
116-128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar