Total Tayangan Halaman
Rabu, 30 Mei 2012
Mediasi Dalam Islam
A.
Pengertian dan Dasar Hukum
Mediasi
dalam bahasa Inggris disebut mediation yang berarti penyelesaian
sengketa dengan menengahi. Mediasi dalam literatur hukum Islam bisa disamakan
dengan konsep Tahkim yang secara etimologis berarti menjadikan seseorang
atau pihak ketiga atau yang disebut hakam sebagai penengah suatu
sengketa. Bentuk tahkim itu sudah dikenal oleh orang arab pada masa
jahiliyyah. Hakamlah yang harus didengar pendapatnya. Apabila terjadi suatu
sengketa, maka para pihak pergi kepada hakam. Kebanyakan sengketa yang terjadi
di kalangan arab adalah tentang: siapa yang paling pandai memuji golongannya
dan menjelekkan golongan lain.
Pada
ayat Alqur’an Allah menganjurkan kepada manusia agar dapat menyelesaikan
sengketa melalui musyawarah. Hal ini sejalan dengan sifat tahkim yang sifat
penyelesaian sengketanya bersifat konsensus (kesepakatan) dengan cara
negosiasi. Agar dapat diselesaikan tanpa melalui proses litigasi.
Dalam
hadits Nabi SAW di atas beliau secara tegas mengajukan semua sengketa yang
menyangkut permasalahan antar manusia (haq al adam) untuk diselesaikan
sendiri secara damai, peradilan diformulasikan sebagai diri Rasulullah dalam
jabatan hakim dan beliau melarang persengketaan sahabat sampai ke tangannya,
karena apabila hal itu terjadi, maka beliau akan memutuskannya sesuai dengan
hukum yang berlaku. Hal ini juga sejalan dengan sifat mediasi yang tidak
memutus (adjudikatif)
Juga
terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i bahwa Abu Syuraih menerangkan
kepada Rosulullah SAW bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara, lalu
mereka datang kepadanya dan diapun memutuskan perkara mereka. Putusan itu
diterima oleh kedua pihak, mendengar itu Nabipun berkata “alangkah baiknya”
Dalam
konteks ini tahkim sama dengan arbitrase. Secara umum arbitrase, mediasi
atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan di-equivalensi-kan
dengan pemeriksaan sengketa oleh orang-orang yang ahli mengenai objek yang
disengketakan dengan waktu penyelesaian yang relatif cepat, biaya ringan dan
pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang dapat merugikan
reputasi dan lain sebagainya. arbitrase, mediasi atau cara-cara lain
penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan mempunyai maksud untuk
menyelesaikan sengketa bukan sekedar memutuskan perkara atau perselisihan.
B.
Ciri Mediasi
Dari
pengertian tahkim di atas bisa ditarik sebuah gambaran bahwa unsur atau ciri
khusus tahkim sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (non litigasi) adalah sebagai berikut.
a.
Tahkim sebagai sarana penyelesaian sengketa informal dipimpin oleh seorang
mediator yang netral. Oleh sebab itu para pihaklah yang menentukan atau
menunjuk orang yang menjadi mediator sesuai kesepakatan. Hakam yang ditunjuk
tidak terbatas pada satu orang tetapi dapat lebih dari satu orang.
b.
Hakam bertugas membantu para pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan. Dalam
upaya tertib dan lancarnya proses mediasi, maka hakam seharusnya terlebih
dahulu menentukan waktu dan menyiapkan tempat dalam rangka mengadakan
pertemuan-pertemuan, menyusun proposal persetujuan setelah memperoleh data dan
informasi tentang keinginan-keingina para pihak yang bersengketa dalam rangka
menemukan solusi yang memuaskan dan menguntungkan masing-masing pihak (win-win
solution). Kelancaran dan ketertiban proses tahkim sangat menentukan
berhasilnya proses tahkim dengan baik.
Hakam
tidak mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Dengan demikian pada
dasarnya mediasi merupakan pengembangan dari negosiasi (negosiasi juga salah
satu bentuk sarana penyelesaian sengketa alternatif) yang dengan bantuan pihak
ketiga yang netral sebagai mediator. Mediator tidak bertindak sebagai hakim
karena mediator tidak mempunyai otoritas mengambil keputusan sendiri, yang
berhak mengambil keputusan atau menentukan keputusan adalah pihak-pihak yang
bersengketa yang disepakati selama berlangsungnya proses mediasi.
E.
Tahapan Mediasi
Sama
halnya dengan proses penyelesaian konflik yang lain mediasi juga mempunyai
beberapa tahapan yang harus dilalui. Secara global tahapan mediasi bisa dibagi
ke dalam tiga tahap yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap
pengambilan keputusan.
a.
Tahap Persiapan
Dalam
sebuah proses mediasi dibutuhkan bagi seorang mediator untuk terlebih dahulu
mendalami terhadap apa yang menjadi pokok sengketa para pihak yang akan
dibicarakan dalam mediasi tersebut. Dan pada tahap ini juga mediator biasanya
mengkonsultasikan dengan para pihak tentang tempat dan waktu mediasi, identisas
pihak yang akan hadir, durasi waktu dan sebagainya.
b.
Tahap Pelaksanaan
Dalam
tahap pelaksanaan yang pertama dilakukan adalah pembentukan forum yatu dimana
sebelum dimulai antara mediator dan para pihak menciptakan atau membentuk
forum. Setelah forum terbentuk diadakan rapat bersama dan mediator mengeluarkan
pernyataan pendahuluan.
c.
Tahap Pengambilan Keputusan
Pada
tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator untuk
mengevaluasi pilihan, mendapatkan trade off dan menawarkan paket,
memperkecil perdebatan-perdebatan dan mencari basis yang adil bagi alokasi
bersama. Dan akhirnya para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan
bersama. Dalam tahap penentuan keputusan mediator dapat juga menekan para
pihak, mencarikan rumusan-rumusan untuk menghindari rasa malu, membantu para
pihak dalam menghadapi para pemberi kuasa (kalau dikuasakan).
F.
Keputusan Hakam tidak sama dengan Keputusan Qadli
Keputusan
yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan oleh yang bersangkutan, menurut
Ahmad dan Abu Hanifah dan menurut suatu riwayat dari As-Syafi’i. tetapi menurut
riwayat yang lain, hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus diturutioleh
pihak iyang bersangkuta.
G.
Keuntungan Mediasi
Secara
umum pihak yang bersengketa menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian
sengketa dapat menemukan beberapa keuntungan yaitu:
a.
Proses cepat. Persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-pusat
mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua
hingga tiga minggu dan rata-rata waktu yang digunakan setiap pemeriksaan atau
setiap kali pertemuan hanya berkisar satu sampai satu setengah jam saja. Hal
ini sangat berbeda jauh dengan jangka waktu yang digunakan dalam proses
arbiterase dan proses litigasi.
b.
Bersifat rahasia. Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi
bersifat sangat rahasia. Hal ini dikarenakan dalam proses pemeriksaannya tidak dihadiri
oleh publik. Hal tersebut sangat berbeda dengan pemeriksaan lewat proses
litigasi. Untuk perkara-perkara yang pemeriksaannya atau persidangannya terbuka
untuk umum dapat dihadiri oleh publik atau diliputi oleh pers sehingga sebelum
pengambilan keputusan dan dapat bermunculan berbagai opini publik yang ada
gilirannya dapat berpengaruh pada sikap para pihak yang bersengketa dalam
menyikapi putusan majelis hakim.
c.
Tidak mahal. Sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan pelayanan dengan
biaya sangat murah dan juga tidak perlu membayar biaya pengacara karena dalam
proses mediasi kehadiran seorang pengacara kurang dibutuhkan.
d.
Adil. Solusi bagi suatu persengketaan dapat diserasikan dengan
kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan para pihak yang bersengketa dan
oleh sebab itu pulalah keputusan yang diambil atau dihasilkan dapat memenuhi
rasa keadilan para pihak.
e.
Pemberdayaan individu. Orang-orang yang menegosiasikan sendiri masalahnya
sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa daripada mereka yang melakukan
advokasi melalu wakil seperti pengacara.
Senin, 28 Mei 2012
KINERJA GURU
PROFESIONALISME KINERJA GURU
MENYONGSONG MASA DEPAN
=====================================================
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha membudayakan
manusia atau memanusiakan manusia, pendidikan amat strategis untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan diperlukan guna meningkatkan mutu bangsa secara
menyeluruh. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistem
pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (UU No. 20 Tahun 2003).
Fungsi pendidikan harus betul-betul diperhatikan dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan nasional sebab tujuan berfungsi sebagai pemberi
arah yang jelas terhadap kegiatan penyelenggaraan pendidikan
sehingga penyelenggaraan pendidikan harus diarahkan kepada (1) pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa, (2) pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan
yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, (3) pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat, (4) pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik
dalam proses pembelajaran, (5) pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan
budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, (6)
pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan ditentukan
oleh kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan. Guru
merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan
mempunyai posisi strategis maka setiap usaha peningkatan mutu pendidikan perlu
memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru baik dalam segi jumlah
maupun mutunya.
Guru adalah figur manusia sumber
yang menempati posisi dan memegang peran penting dalam pendidikan. Ketika semua
orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan figur guru mesti terlibat
dalam agenda pembicaraan terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal
di sekolah. Pendidik atau guru merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hal
tersebut tidak dapat disangkal kerana lembaga pendidikan formal adalah dunia
kehidupan guru. sebagai besar waktu guru ada di sekolah, sisanya ada di rumah
dan di masyarakat (Djamarah, 2000).
Guru merupakan faktor yang sangat
dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi
siswa guru sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi
diri. Di sekolah guru merupakan unsur yang sangat mempengaruhi tercapainya
tujuan pendidikan selain unsur murid dan fasilitas lainnya. Keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan kesiapan guru dalam mempersiapkan
peserta didiknya melalui kegiatan belajar mengajar. Namun demikian posisi
strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan profesional guru dan mutu kinerjanya.
Guru merupakan ujung tombak
pendidikan sebab secara langsung berupaya mempengaruhi, membina dan
mengembangkan peserta didik, sebagai ujung tombak, guru dituntut untuk memiliki
kemampuan dasar yang diperlukan sebagai pendidik, pembimbing dan pengajar dan
kemampuan tersebut tercermin pada kompetensi guru. Berkualitas tidaknya proses
pendidikan sangat tergantung pada kreativitas dan inovasi yang
dimiliki guru. Gunawan (1996) mengemukakan bahwa Guru merupakan perencana,
pelaksana sekaligus sebagai evaluator pembelajaran di kelas, maka peserta didik
merupakan subjek yang terlibat langsung dalam proses untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Kehadiran guru dalam proses
pembelajaran di sekolah masih tetap memegang peranan yang penting. Peran
tersebut belum dapat diganti dan diambil alih oleh apapun. Hal ini disebabkan
karena masih banyak unsur-unsur manusiawi yang tidak dapat diganti oleh unsur
lain. Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam
pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh
teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. (Wijaya dan Rusyan, 1994).
Guru dituntut memiliki kinerja yang
mampu memberikan dan merealisasikan harapan dan keinginan semua pihak terutama
masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina anak
didik. Dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat dipengaruhi
oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru
menjadi tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan. Secara umum
mutu pendidikan yang baik menjadi tolok ukur bagi keberhasilan kinerja yang
ditunjukkan guru.
Guru sebagai pekerja harus
berkemampuan yang meliputi penguasaan materi pelajaran, penguasaan profesional
keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri dan
berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya, disamping itu guru harus merupakan
pribadi yang berkembang dan bersifat dinamis. Hal ini sesuai dengan yang
tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban (1) menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis,
(2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan
dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan
sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Harapan dalam Undang-Undang
tersebut menunjukkan adanya perubahan paradigma pola mengajar guru yang pada
mulanya sebagai sumber informasi bagi siswa dan selalu mendominasi kegiatan
dalam kelas berubah menuju paradigma yang memposisikan guru sebagai fasilitator
dalam proses pembelajaran dan selalu terjadi interaksi antara guru dengan
siswa maupun siswa dengan siswa dalam kelas. Kenyataan ini mengharuskan guru
untuk selalu meningkatkan kemampuannya terutama memberikan keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran.
Menurut Pidarta (1999) bahwa setiap guru adalah merupakan pribadi
yang berkembang. Bila perkembangan ini dilayani, sudah tentu dapat lebih
terarah dan mempercepat laju perkembangan itu sendiri, yang pada akhirnya
memberikan kepuasan kepada guru-guru dalam bekerja di sekolah sehingga sebagai
pekerja, guru harus berkemampuan yang meliputi unjuk kerja, penguasaan materi
pelajaran, penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara
menyesuaikan diri dan berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya.
Guru pada prinsipnya memiliki potensi yang cukup tinggi untuk
berkreasi guna meningkatkan kinerjanya. Namun potensi yang dimiliki guru untuk
berkreasi sebagai upaya meningkatkan kinerjanya tidak selalu berkembang secara
wajar dan lancar disebabkan adanya pengaruh dari berbagai faktor baik yang
muncul dalam pribadi guru itu sendiri maupun yang terdapat diluar pribadi guru.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi dilapangan mencerminkan keadaan guru yang
tidak sesuai dengan harapan seperti adanya guru yang bekerja sambilan baik
yang sesuai dengan profesinya maupun diluar profesi mereka, terkadang ada
sebagian guru yang secara totalitas lebih menekuni kegiatan sambilan dari pada
kegiatan utamanya sebagai guru di sekolah. Kenyataan ini sangat memprihatinkan
dan mengundang berbagai pertanyaan tentang konsistensi guru terhadap
profesinya. Disisi
lain kinerja guru pun dipersoalkan ketika memperbicangkan masalah peningkatan
mutu pendidikan. Kontroversi antara kondisi ideal yang harus dijalani guru
sesuai harapan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003 dengan kenyataan yang terjadi dilapangan merupakan suatu hal yang
perlu dan patut untuk dicermati secara mendalam tentang faktor penyebab munculnya
dilema tersebut, sebab hanya dengan memahami faktor yang berpengaruh terhadap
kinerja guru maka dapat dicarikan alternatif pemecahannya sehingga faktor
tersebut bukan menjadi hambatan bagi peningkatan kinerja guru melainkan mampu
meningkatkan dan mendorong kinerja guru kearah yang lebih baik sebab kinerja
sebagai suatu sikap dan perilaku dapat meningkat dari waktu ke waktu.
Untuk itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru dipandang
perlu untuk dipelajari, ditelaah dan dikaji secara mendalam agar dapat
memberikan gambaran yang jelas faktor yang lebih berperan dan urgen yang
mempengaruhi kinerja guru.
BAB II
KINERJA GURU DAN FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
A.
PROFESI GURU
- Konsep Profesi Guru
Menurut Dedi Supriyadi (1999) menyatakan bahwa guru sebagai suatu
profesi di Indonedia baru dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) yang
tingkat kematangannya belum sampai pada yang telah dicapai oleh profesi-profesi
lainnya, sehingga guru dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau
semi profesional.
Pekerjaan profesional berbeda dengan pekerja non profesional karena
suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan
profesinya dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khususnya dipersiapkan
untuk itu.
Pengembangan profesional guru harus diakui sebagai suatu hal yang
sangat fundamental dan penting guna meningkatkan mutu pendidikan. Perkembangan
profesional adalah proses dimana guru dan kepala sekolah belajar, meningkatkan
dan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan nilai secara tepat.
Profesi guru memiliki tugas melayani
masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesi ini memberikan layanan
yang optimal dalam bidang pendidikan kepada msyarakat. Secara khusus guru di
tuntut untuk memberikan layanan professional kepada peserta didik agar tujuan
pembelajaran tercapai. Sehingga guru yang dikatakan profesional adalah orang
yang memeiliki kemamapuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia
mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
Ornstein dsn Levine, 1984 (dalam
Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan
yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini sebagai berikut :
a.
Melayani masyarakat,
merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat ( tidak
berganti-ganti pekerjaan )
b.
Memerlukan bidang
ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai ( tidak setiap
orang dapat melakukan )
c.
Menggunakan hasil
penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek ( teori baru di kembangkan dari
hasil penelitian )
d. Memerlukan pelatihan khusus
dengan waktu yang panjang
e.
Terkendali
berdasarkan lisensi buku dan atau mempunyai persyaratan masuk ( untuk menduduki
jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang
ditentukan untuk dapat mendudukinya ).
f.
Otonomi dalam
membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh
orang lain)
g.
Menerima tanggung
jawab terhadap keputusan yang diabil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang
berhubung dengan layanan yang diberikan ( langsung bertanggung jawab terhadap
apa yang diputuskan, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lain lebih
tinggi ). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
h.
Mempunyai komitmen
terhadap jabatan dan klien dengan penekanan terhadap layanan yang akan
diberikan.
i.
Menggunakan
administrator untuk memudahkan profesinya relatif bebas dari
supervisi dalam jabatan ( misalnya dokter memakai tenaga adminstrasi untuk mendata
klien, sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter
sendiri )
j.
Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
k.
Mempunyai asosiasi
profesi atau kelompok ‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan
anggotanya ( keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).
l.
Mempunyai kode etik
untuk mejelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berubungan
dengan layanan yang diberikan.
m.
Mempunyai kadar
kepercayaan yang tinggin dari publik dan kepercayaan diri sendiri anggotanya (
anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien
yang dilayaninya).
n. Mempunyai status sosial dan
ekonomi yang tinggi ( bila dibandingkan dengan jabatan lain ).
Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al
(1991), mengutarakan ciri-ciri umum suatu profesi itu sebagai berikut:
a.
Suatu jabatan yang
memiliki fungsi dan signifikansi sosisal yang menentukan (crusial).
b. Jabatan yang menuntut
keterampilan/keahlian tertentu.
c. Keterampilan / keahlian yang
dituntut jabatan itu dapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori
dan metode ilmiah.
d. Jabatan itu berdasarkan pada
batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistimatik, eksplisit, yang bukan hanya
sekedar pendapat khalayak umum.
e. Jabatan itu memerlukan
pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f. Proses pendidikan untuk
jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu
sendiri.
g. Dalam memberikan layanan
kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang
dikontrol oleh organisasi profesi.
h. Tiap anggota profesi
mempunyai kebebasan dan memberikan judgement terhadap permasalahan profesi
yang di hadapinya.
i.
Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari
campur tanggan orang lain,
j.
Jabatan ini
menpunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat,dan oleh karenanya memperoleh
imbalan yang tinggi pula. (Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999).
Khusus untuk
jabatan guru,sebenarnya juga sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya.
Misalnya Nasional Education Asociation ( NEA ) ( 1948 ) menyarankan kriteria
berikut.
a. Jabatan yang melibatkan
kegiatan itelektual.
b. Jabatan yang menggeluti
suetu batang tubuh ilmu yang khusus.
c.
Jabatan yang
memerlukan persiapan profesional yang lama ( bandingakan dengan pekerjaan yang
memerlukan latihan umum belaka ).
d. Jabatan yang memerlukan
“latihan dalam jabatan “ yang bersinambungan.
e.
Jabatan yang
menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
f. Jabatan yang menentukan baku
( standarnya ) sedndiri.
g. Jabatan yang mementingkan
layanan diatas keuntungan pribadi.
h. Jabatan yang mempunyai
organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik agar dapat meningkatkan mutu
pendidikan maka guru harus memiliki kompetensi yang harus dikuasai sebagai
suatu jabatan profesional. Kompetensi guru tersebut meliputi :
- Menguasai bahan ajar.
- Menguasai landasan-landasan kependidikan.
- Mampu mengelola program belajar mengajar.
- Mampu mengelola kelas.
- Mampu menggunakan media/sumber belajar.
- Mampu menilaik prestasi peserta didik untuk kepentingan pengajaran.
- Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
- Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah.
- Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengejaran.
2.
Syarat-syarat
Profesi Guru
Suatu pekerjaan dapat menjadi profesi harus memenuhi
kriteria atau persyaratan tertentu yang melekat dalam pribadinya sebagai
tuntutan melaksanakan profesi tersebut. Menurut Dr. Wirawan, Sp.A (dalam
Dirjenbagais Depag RI, 2003) menyatakan persyaratan profesi antara lain :
a.
Pekerjaan Penuh
Suatu profesi merupakan pekerjan penuh dalam pengertian
pekerjaan yang diperlukan oleh masyarakat atau perorangan. Tanpa pekerjaan
tersebut masyarakat akan menghadapi kesulitan. Profesi merupakan pekerjaan yang
mencakup tugas, fungsi, kebutuhan, aspek atau bidang tertentu dari anggota
masyarakat secara keseluruhan. Profesi guru mencakup khusus aspek pendidikan
dan pengajaran di sekolah.
b.
Ilmu pengetahuan
Untuk melaksanakan suatu
profesi diperlukan ilmu pengetahuan. Tanpa menggunakan ilmu tersebut profesi
tidak dapat dilaksanakan.
Ilmu pengetahuan yang diperlukan
untuk melaksanakan profesi terdiri dari cabang ilmu utama dan cabang ilmu
pembantu. Cabang ilmu utama adalah cabang ilmu yang menentukan esensi suatu
profesi. Contohnya profesi guru cabang ilmu utamanya adalah ilmu pendidikan dan
cabang ilmu pembantunya masalah psikologi.
Salah satu persyaratan ilmu
pengetahuan adalah adanya teori, bukan hanya kumpulan pengetahuan dan
pengalaman. Fungsi
dari suatu teori adalah untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Dengan
mempergunakan teopri ilmu pengetahuan, profesional dapat menjelaskan apanyang
dihadapinya dan apa yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi. Teori
ilmu pengetahuan juga mengarahkan profesional dalam mengambil langkah-langkah
yang diperlukan dalam melaksanakan profesi.
c.
Aplikasi Ilmu
Pengetahuan
Ilmu pengetahuan pada dasarnya mempunyai dua aspek yaitu
aspek teori dan aspek aplikasi. Aspek aplikasi ilmu pengetahuan adalah
penerapan teori-teori ilmu pengetahuan untuk membuat sesuatu, mengerjakan
sesuatu atau memecahkan sesuatu yang diperlukan. Profesi merupakan penerapan ilmu
pengetahuan untuk mengerjakan, menyelesaikan atau membuat sesuatu.
Kaitan dengan profesi, guru
tidak hanya ilmu pengetahuan yang harus dikuasai oleh guru tetapi juga pola
penerapan ilmu pengetahuan tersebut sehingga guru dituntut untuk mengusai
keterampilan mengajar.
d.
Lembaga
pendidikan Profesi
Ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh guru untuk
melaksanakan profesinya harus dipelajari dari lembaga pendidikan tinggi yang
khusus mengajarkan, menerapkan dan meneliti serta mengembangkan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu keguruan. Sehingga peran lembaga
pendidikan tinggi sebagai pencetak sumber daya manusia harus betul-betul
memberikan pemahaman dan pengetahuan yang mantap pada calon pendidik.
e.
Prilaku profesi
Perilaku profesional yaitu perilaku yang memenuhi
persyaratan tertentu, bukan perilaku pribadi yang dipengaruhi oleh sifat-sifat
atau kebiasaan pribadi. Prilaku profesional merupakan perilaku yang harus
dilaksanakan oleh profesional ketika melakukan profesinya.
Menurut Benard Barber (1985) (dalam Depag RI, 2003),
perilaku profesional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)
Mengacu kepada ilmu
pengetahuan
2) Berorientasi kepada
insterest masyarakat (klien) buka interest pribadi.
3) Pengendalian prilaku diri
sendiri dengan mepergunakan kode etik.
4) Imbalan atau kompensasi uang
atau kehormatan merupakan simbol prestasi kerja bukan tujuan dari profesi.
5) Salah satu aspek dari
perilaku profesional adalah otonomi atau kemandirian dalam melaksanakan
profesinya.
f.
Standar profesi
Standar profesi adalah prosedur dan norma-norma serta
prinsip-prinsip yang digunakan sebagai pedoman agar keluaran (out put)
kuantitas dan kualitas pelaksanaan profesi tinggi sehingga kebutuhan orang dan
masyarakat ketika diperlukan dapat dipenuhi.
Dibeberapa negara telah memperkenalkan “Standar
Profesional untuk guru dan Kepala sekolah”, misalnya di USA dimana National
Board of Professional teacher Standards telah mengembangkan standar dan
prosedur penilaian berdasarkan pada 5 (lima) prinsip dasar (Depdiknas, 2005)
yaitu :
1)
Guru bertanggung
jawab (committed to) terhadap siswa dan belajarnya.
2)
Guru mengetahui
materi ajar yang mereka ajarkan dan bagaimana mengajar materi tersebut kepada
siswa.
3)
Guru bertanggung
jawab untuk mengelola dan memonitor belajar siswa.
4)
Guru berfikir secara
sistematik tentang apa-apa yang mereka kerjakan dan pelajari dari pengalaman.
5) Guru adalah anggota dari
masyarakat belajar
Standar di atas menunjukkan
bahwa profesi guru merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan
yang memadai seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebab
guru akan selalu berhadap dengan siswa yang memiliki karakteritik dan
pengetahuan yang berbeda-beda maka untuk membimbing peserta didik untuk
berkembang dan mengarungi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara
tepat berubah sebagai ciri dari masyarat abad 21 sehingga tuntutan ini
mengharuskan guru untuk memenuhi standar penilaian yang ditetapkan.
g.
Kode etik profesi
Suatu profesi dilaksanakan oleh profesional dengan
mempergunakan perilaku yang memenuhi norma-norma etik profesi. Kode etik adalah
kumpulan norma-norma yang merupakan pedoman prilaku profesional dalam
melaksanakan profesi.Kode etik guru adalah suatu norma atau aturan tata susila
yang mengatur tingkah laku guru, dan oleh karena itu haruslah ditatati oleh
guru dengan tujaun antara lain :
1)
Agar guru-guru
mempunyai rambu-rambu yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
bertingkah laku sehari-hari sebagai pendidik.
2)
Agar guru-guru dapat
bercermin diri mengenai tingkah lakunya, apakah sudah sesuai dengan profesi
pendidik yang disandangnya ataukah belum.
3)
Agar guru-guru dapat
menjaga (mengambil langkah prefentif), jangan sampai tingkah lakunya dapat
menurunkan martabatnya sebagai seorang profesional yang bertugas utama sebagai
pendidik.
4)
Agar guru selekasnya
dapat kembali (mengambil langkah kuratif), jika ternyata apa yang mereka
lakukan selama ini bertentangan atau tidak sesuai dengan norma-norma yang telah
dirumuskan dan disepakati sebagai kode etik guru.
5)
Agar segala tingkah
laku guru, senantiasa selaras atau paling tidak, tidak bertentangan dengan
profesi yang disandangnya, ialah sebagai seorang pendidik. Lebih lanjut dapat
diteladani oleh anak didiknya dan oleh masyarakat umum.
Kode etik guru ditetapkan dalam suatu kongres yang
dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan pengurus daerah PGRI se Indonesia dalam
kongres k XIII di Jakarta tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dalam kongres
PGRI ke XVI tahun 1989 juga di Jakarta yang berbunyi sebagai berikut :
1)
Guru berbakti
membimbing siswa untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2) Guru memiliki dan
melaksanakan kejujuran profesional.
3) Guru berusaha memperoleh
informasi tentang siswa sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4) Guru menciptakan suasana
sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5) Guru memelihara hubungan
baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta
dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6) Guru secara pribadi dan
bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7) Guru memelihara hubungan
seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8)
Guru secara
bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana
perjuangan dan pengabdian.
9)
Guru melaksanakan
segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan.
Selain kode etik guru Indonesia, sebagai pernyataan
kebulatan tekad guru Indonesia, maka pada kongres PGRI XVI yang diselenggarakan
tanggal, 3 sampai dengan 8 Juli 1989 di Jakarta telah ditetapkan adanya Ikrar
Guru Indonesia dengan rumusan sebagai berikut :
IKRAR GURU
INDONESIA
1) Kami Guru Indonesia, adalah
insan pendidik bangsa yang beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2) Kami Guru Indonesia, adalah
pengemban dan pelaksana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
pembela dan pengamal Pancasila yang setia pada Undang-undang Dasar 1945.
3) Kami Guru Indonesia,
bertekad bulat mewujudkan tujuan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
4) Kami Guru Indonesia, bersatu
dalam wadah organisasi perjuangan Persatuan Guru Republik Indonesia, membina
persatuan dan kesatuan bangsa yang berwatak kekeluargaan.
5) Kami Guru Indonesia,
menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman tingkah laku profesi
dalam pengabdiannya terhadap bangsa, negara, dan kemanusiaan.
3. Ciri-ciri guru yang efektif
Guru yang efektif pada suatu tingkat tertentu mungkin tidak efektif
pada tingkat yang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam
tingkat perkembangan mental dan emosional siswa. Dengan kata lain para siswa memiliki
respons yang berbeda-beda terhadap pola-pola prilaku guru yang sama. Guru yang baik digambar dengan ciri-ciri sebagai berikut
:
a. Guru yang baik adalah guru
yang waspada secara profesional. Ia terus berusaha untuk menjadikan masyarakat
sekolah menjadi tempat yang paling baik bagi anak-anak muda.
b. Mereka yakin akan nilai atau
manfaat pekerjaannya. Mereka terus berusaha memperbaiki dan meningkatkan mutu
pekerjaannya.
c. Mereka tidak lekas
tersinggung oleh larangan-larangan dalam hubungannya dengan kebebasan pribadi
yang dikemukakan oleh beberapa orang untuk menggambarkan profesi keguruan.
Mereka secara psikologi lebih matang sehingga rangsangan-rangsangan terhadap
dirinya dapat ditaksir.
d. Mereka memiliki
seni dalam hubungan-hubungan manusiawi yang diperolehnya dari
pengamatannya tentang bekerjanya psikologi, biologi dan antropologi kultural di
dalam kelas.
e. Mereka berkeinginan untuk
terus tumbuh. Mereka sadar bahwa dibawah pengaruhnya, sumber-sumber manusia
dapat berubah nasibnya.
Karakteristik atau sifat-sifat guru yang baik dalam
pandangan siswa meliputi : (1). Demokratis, (2). Suka bekerja sama
(kooperatif), (3). Baik hati, (4). Sabar, (5). Adil, (6). Konsisten, (7). Bersifat
terbuka, (8). Suka menolong, (9). Ramah tamah, (10). Suka humor, (11). Memiliki
bermacam ragam minat, (12). Menguasai bahan pelajaran, (13). Fleksibel, (14).
Menaruh minat yang maik terhadap siswa. (Oemar
Hamalik, 2002).
Menurut Cooper
mengutip pendapat B.O. Smith (dalam Suparlan, 2004) yang telah menyarankan
bahwa seorang guru yang terlatih harus disiapkan dengan empat bidang kompetensi
agar ia menjadi guru yang efektif yaitu :
a.
Command of
theoretical knowledge about learning and human behavior.
b.
Display of
attitudes that fostter learning and genuine human realtionship.
c.
Cammand of
knowledge in the subject matter to be taught.
d.
Control of
technical skills of teaching that facilitate student learning.
Dengan kata
lain guru yang efektif harus memiliki kemampuan :
a.
Menguasai
pengetahuan teoritis tentang belajar dan tingkah laku manusia
b. Menunjukkan sikap yang
menunjang proses belajar dan hubungan antar manusia secara murni.
c. menguasai pengetahuan dalam
mata pelajaran yang diajarkan dan
d. Memiliki kemapuan kecakapan
teknis tentang pembelajaran yang mempermudah siswa untuk belajar.
Sedangkan Leo
R. Sandy (dalam Suparlan, 2004) menguraikan beberapa dimensi kemampuan dan
sikap yang membentuk karakteristik guru efektif. Setidaknya ada 12
karakteristik guru efektif sebagai berikut :
a.
Menjadi a learner
(pembelajar)
b.
Menjadi a leader
(pemimpin)
c.
Menjadi a
provocateur (provokator dalam arti positif).
d.
Menjadi a
stranger (pengelana)
e.
Menjadi an
innovator (inovator).
f.
Menjadi a
comedian/entertainment (pelawak/penghibur).
g.
Menjadi a coach
or guide (pelatih atau pembimbing).
h.
Menjadi a genuine
human being or humanist (manusia sejati atau seorang humanis).
i.
Menjadi a
sentinel
j.
Menjadi optimist
or idealist (orang yang optimis atau idealis).
k. Menjadi a collaborator
(kolaborator atau orang yang suka bekerja sama)
l.
Menjadi a revolusionar (berfikiran maju atau
revolusioner).
Guru yang efektif memiliki kualitas
kemampuan dan sikap yang sanggup memberikan yang terbaik bagi peserta didik dan
menyenangkan peserta didik dalam proses belajar mengajarnya.
Tokoh lain yang mengemukakan tentang guru efektif menyebutkan
karakterisik guru efektif sebagai berikut :
a.
Senantiasa
memberikan bantuan dalam kerja sekolah pelajar.
b.
Periang, gembira
dan berperawakan menarik.
c.
Berprikemanusiaan,
pengasih.
d.
Berminat terhadap
dan memahami pelajarnya.
e. Boleh menjadikan suasana
pembelajaran menyeronokkan.
f. Tegas dan cekap mengawal
kelasnya.
g.
Adil, tidak pilih
kasih.
h.
Tidak pemanas,
pendedam. Perungut dan pemerli.
i.
Berpribadi yang
menyenangkan.
Sementara National Commision for Excellenece in Teacher Education
(USA), mengungkapkan karakteristik guru efektif adalah sebagai berikut :
a.
Berketrampilan dalam
bidangnya.
b.
Berkemahirandalam
pengajaran.
c. Memaklumkan kepada pelajar
perkembangan diri masing-masing.
d.
Berpengalaman
tentang psikologi kognitif.
e.
Mahir dalam
teknologi.
Berdasarkan
model karakteristik guru efektif yang dikemukakan beberapa ahli maka berbagai
indikator guru efektif yang dikemukakan Suparlan (2004) sebagai berikut :
- Adil dalam tindakan dan perlakuannya.
- Menjaga perawakan dan cara berpakaian.
- Menunjukkan rasa simpati kepada setiap pelajar.
- Mengajar mengikuti kemampuan pelajar.
- Penyayang.
- Berkerja secara berpasukan
- Memuki dab menggalakkan pelajar.
- Menggunakan perbagai kaedah dan pendekatan dalam pengajarannya.
- Taat kepada etika profesionslismenya.
- Cerdas dan cejap.
- Mampu berhubungan secara efektif.
- Tidak garang, pemarah, suka membadel, membesarkan diri, sombong, angkuh dan susah menerima pelajaran orang lain.
- Memiliki sifat kejenakaan dan boleh menerima jenaka dari pada pelajr-pelajarnya, dan
- Berpengetahuan serta senantiasa berusaha menambah pengetahuannya mengenai perkembangan terbaharu terutamanya dalam bidang teknologi pendidikan.
4. Peran dan tugas guru
Guru memegang peranan yang sangat strategis terutama dalam membentuk
watak bangsa serta mengembangkan potensi siswa. Kehadiran guru tidak
tergantikan oleh unsur yang lain, lebih-lebih dalam masyarakat kita yang
multikultural dan multidimensional, dimana peranan teknologi untuk menggantikan
tugas-tugas guru sangat minim.
Guru memiliki perana yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan
pendidikan. Guru yang profesional diharapkan menghasilkan lulusan yang
berkualitas. Profesionalisme guru sebagai ujung tombak di dalam implementasi
kurikulum di kelas yang perlu mendapat perhatian (Depdiknas, 2005).
Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong,
membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan.
Guru mempunyai tanggung jawab uuntuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam
kelas untuk membantu proses perkembangan siswa. Penyampaian materi pelajaran
hanyalah merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai
suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan siswa.
Secara lebih terperinci tugas guru berpusat pada:
a.
Mendidik dengan
titik berat memberikan arah dan motifasi pencapaian tujuan baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
b.
Memberi fasilitas
pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai.
c.
Membantu
perkembangan aspek – aspek pribadi seperti sikap, nilai-nilai, dan penyusuaian
diri, demikianlah dalam proses belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai
penyampai ilmu pengetahuan akan tetapi lebih dari itu ia bertanggung jawab akan
keseluruhan perkembangan kepribadian siswa ia harus mampu menciptakan proses
belajar yang sedemikian rupa sehingga dapat merangsang siswa muntuk belajar
aktif dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan menciptakan tujuan. (Slameto,
2002)
Begitu pentinya peranan guru dalam keberhasilan peserta didik maka
hendaknya guru mampu beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang ada dan
meningkatkan kompetensinya sebab guru pada saat ini bukan saja sebagai pengajar
tetapi juga sebagai pengelola proses belajar mengajar. Sebagai orang yang
mengelola proses belajar mengajar tentunya harus mampu meningkatkan kemampuan
dalam membuat perencanaan pelajaran, pelaksanaan dan pengelolaan pengajaran
yang efektif, penilain hasil belajar yang objektif, sekaligus memberikan
motivasi pada peserta didik dan juga membimbing peserta didik terutama ketika
peserta didik sedang mengalami kesulitan belajar.
Salah satu tugas yang dilaksanakan guru disekolah adalah memberikan
pelayanan kepada siswa agar mereka menjadi peserta didik yang selaras dengan
tujuan sekolah. Guru mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik sosial, budaya
maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang
bertugas sebagai pendidik. Guru harus bertanggung jawab atas hasil kegiatan
belajar anak melalui interaksi belajar mengajar. Guru merupakan faktor yang
mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar dan karenya guru harus menguasai
prinsip-prinsip belajar di samping menguasai materi yang disampaikan dengan
kata lain guru harus menciptakan suatu konidisi belajar yang sebagik-baiknya
bagi poeserta didik, inilah yang tergolong kategori peran guru sebagai
pengajar.
Disamping peran sebagai pengajar, guru juga berperan sebagai
pembimbing artinya memberikan bantuan kepada setiap individu untuk mencapai pemahaman
dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuan diri secara
maksimal terhadap sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Oemar H (2002) yang
mengatakan bimbingan adalah proses pemberian bantuan terhadap individu untuk
mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan
penyesuaian diri secara maksimal terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat.
Sehubungan dengan perananya sebagai
pembimbing, seorang guru harus :
a.
Mengumpulkan data
tentang siswa.
b. Mengamati tingkah laku siswa
dalam situasi sehariu-hari.
c. Mengenal para siswa yang
memerlukan bantuan khusus.
d. Mengadakan pertemuan atau
hubungan dengan orang tua siswa, baik secara individu maupun secara kelompok,
untuk memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak.
e. Bekerjasama dengan
masyarakat dan lembaga-lembaga lainya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
f. Membuat catatan pribadi
siswa serta menyiapkannya dengan baik.
g. Menyelenggarakan bimbingan
kelompok atau individu.
h. Bekerjasama dengan
petugas-petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
i.
Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan
lainnya.
j.
Meneliti kemajuan siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Peran guru sebagai pengajar dan sebagai pembing memiliki keterkaitan
yang sangat erat dan keduanya dilaksanakan secara berkesinambungan dan
sekaligus berinterpenetrasi dan merupakan keterpaduan antara keduanya.
B.
KINERJA GURU
1.
Konsep Kinerja
Guru
Setiap individu yang diberi tugas atau kepercayaan untuk bekerja
pada suatu organisasi tertentu diharapkan mampu menunjukkan kinerja yang
memuaskan dan memberikan konstribusi yang maksimal terhadap pencapaian tujuan
organisasi tersebut.
Kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta kemampuan untuk mencapai tujuan
dan standar yang telah ditetapkan (Sulistyorini, 2001). Sedangkan Ahli lain
berpendapat bahwa Kinerja merupakan hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan
tertentu yang di dalamnya terdiri dari tiga aspek yaitu: Kejelasan tugas
atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya; Kejelasan hasil yang diharapkan
dari suatu pekerjaan atau fungsi; Kejelasan waktu yang diperlukan untuk
menyelesikan suatu pekerjaan agar hasil yang diharapkan dapat terwujud (Tempe,
A Dale, 1992).
Fatah (1996) Menegaskan bahwa kinerja diartikan sebagai ungkapan
kemajuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan motivasi dalam menghasilkan
sesuatu pekerjaan.
Dari beberapa penjelasan tentang pengertian kinerja di atas dapat
disimpulkan bahwa Kinerja guru adalah kemampuan yang ditunjukkan oleh guru
dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Kinerja dikatakan baik dan
memuaskan apabila tujuan yang dicapai sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
2.
Indikator-Indikator
Kinerja Guru
Kinerja
merefleksikan kesuksesan suatu organisasi, maka dipandang penting
untuk mengukur karakteristik tenaga kerjanya. Kinerja guru merupakan
kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yakni keterampilan, upaya
sifat keadaan dan kondisi eksternal (Sulistyorini, 2001). Tingkat
keterampilan merupakan bahan mentah yang dibawa seseorang ke tempat kerja
seperti pengalaman, kemampuan, kecakapan-kecakapan antar pribadi serta
kecakapan tehknik. Upaya tersebut diungkap sebagai motivasi yang diperlihatkan
karyawan untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Sedangkan kondisi eksternal adalah
tingkat sejauh mana kondisi eksternal mendukung produktivitas kerja.
Kinerja
dapat dilihat dari beberapa kriteria, menurut Castetter (dalam Mulyasa,
2003) mengemukakan ada empat kriteria kinerja yaitu: (1). Karakteristik individu, (2). Proses, (3). Hasil dan (4)
Kombinasi antara karakter individu, proses dan hasil.
Kinerja seseorang dapat
ditingkatkan bila ada kesesuaian antara pekerjaan dengan keahliannya, begitu
pula halnya dengan penempatan guru pada bidang tugasnya. Menempatkan guru
sesuai dengan keahliannya secara mutlak harus dilakukan. Bila guru diberikan
tugas tidak sesuai dengan keahliannya akan berakibat menurunnya cara kerja dan
hasil pekerjaan mereka, juga akan menimbulkan rasa tidak puas pada diri mereka.
Rasa kecewa akan menghambat perkembangan moral kerja guru. Menurut Pidarta
(1999) bahwa moral kerja positif ialah suasana bekerja yang gembira,
bekerja bukan dirasakan sebagai sesuatu yang dipaksakan melainkan sebagai
sesuatu yang menyenangkan. Moral kerja yang positif adalah mampu mencintai
tugas sebagai suatu yang memiliki nilai keindahan di dalamnya. Jadi kinerja dapat
ditingkatkan dengan cara memberikan pekerjaan seseorang sesuai dengan bidang
kemampuannya. Hal ini dipertegas oleh Munandar (1992) yang mengatakan bahwa
kemampuan bersama-sama dengan bakat merupakan salah satu faktor yang menentukan
prestasi individu, sedangkan prestasi ditentukan oleh banyak faktor diantaranya
kecerdasan.
Kemampuan terdiri dari berbagai
macam, namun secara konkrit dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a.
Kemampuan intelektual merupakan kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk
menjalankan kegiatan mental, terutama dalam penguasaan sejumlah materi
yang akan diajarkan kepada siswa yang sesuai dengan kurikulum, cara dan metode
dalam menyampaikannya dan cara berkomunikasi maupun tehknik mengevaluasinya.
b.
Kemampuan fisik adalah kapabilitas fisik yang dimiliki seseorang terutama
dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya. (Daryanto,
2001).
Kinerja dipengaruhi juga oleh kepuasan kerja yaitu perasaan individu
terhadap pekerjaan yang memberikan kepuasan bathin kepada
seseorang sehingga pekerjaan itu disenangi dan digeluti dengan baik. Untuk
mengetahui keberhasilan kinerja perlu dilakukan evaluasi atau penilaian kinerja
dengan berpedoman pada parameter dan indikator yang ditetapkan yang diukur
secara efektif dan efisien seperti produktivitasnya, efektivitas menggunakan
waktu, dana yang dipakai serta bahan yang tidak terpakai. Sedangkan
evaluasi kerja melalui perilaku dilakukan dengan cara membandingkan dan
mengukur perilaku seseorang dengan teman sekerja atau
mengamati tindakan seseorang dalam menjalankan perintah atau tugas
yang diberikan, cara mengkomunikasikan tugas dan pekerjaan dengan orang lain.
Hal ini diperkuat oleh pendapat As’ad (1995) dan Robbins (1996) yang menyatakan
bahwa dalam melakukan evaluasi kinerja seseorang dapat dilakukan dengan
menggunakan tiga macam kriteria yaitu: (1). Hasil tugas, (2).
Perilaku dan (3). Ciri individu. Evaluasi hasil tugas adalah
mengevaluasi hasil pelaksanaan kerja individu dengan beberapa kriteria
(indikator) yang dapat diukur. Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan
cara membandingkan perilakunya dengan rekan kerja yang lain dan evaluasi
ciri individu adalah mengamati karaktistik individu dalam berprilaku maupun
berkerja, cara berkomunikasi dengan orang lain sehingga dapat dikategorikan
cirinya dengan ciri orang lain. Evaluasi atau Penilaian kinerja menjadi penting
sebagai feed back sekaligus sebagai follow up bagi perbaikan
kinerja selanjutnya.
Menilai kualitas kinerja dapat
ditinjau dari beberapa indikator yang meliputi : (1). Unjuk kerja, (2).
Penguasaan Materi, (3). Penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, (4).
Penguasaan cara-cara penyesuaian diri, (5). Kepribadian
untuk melaksanakan tugasnya dengan baik (Sulistyorini, 2001).
Kinerja guru sangat penting untuk diperhatikan dan
dievaluasi karena guru mengemban tugas profesional artinya tugas-tugas hanya
dapat dikerjakan dengan kompetensi khusus yang diperoleh melalui program
pendidikan. Guru memiliki tanggung jawab yang secara garis besar dapat
dikelompokkan yaitu: (1). Guru sebagai pengajar, (2). Guru sebagai pembimbing
dan (3). Guru sebagai administrator kelas. (Danim S, 2002).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
indikator kinerja guru antara lain :
a.
Kemampuan membuat
perencanaan dan persiapan mengajar.
b. Penguasaan materi yang akan
diajarkan kepada siswa
c.
Penguasaan metode
dan strategi mengajar
d.
Pemberian
tugas-tugas kepada siswa
e.
Kemampuan mengelola
kelas
f. Kemampuan
melakukan penilaian dan evaluasi.
- FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA GURU
Guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan dan
dianggap sebagai orang yang berperanan penting dalam pencapaian tujuan
pendidikan yang merupakan percerminan mutu pendidikan. Keberadaan guru dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya tidak lepas dari pengaruh faktor internal
maupun faktor eksternal yang membawa dampak pada perubahan kinerja
guru. Beberapa
faktor yang mempengaruhi kinerja guru yang dapat diungkap tersebut antara lain
:
- Kepribadian dan dedikasi
Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai
ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan
seorang guru dari guru lainnya. Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah
abstrak, yang hanya dapat dilihat dari penampilan, tindakan, ucapan, cara
berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Zakiah Darajat (dalam Djamarah SB, 1994) bahwa
kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui
secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala
segi dan aspek kehidupan misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul,
berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan
maupun yang berat.
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri
dari unsur psikis dan fisik, artinya seluruh sikap dan perbuatan seseorang
merupakan suatu gambaran dari kepribadian orang itu, dengan kata lain baik
tidaknya citra seseorang ditentukan oleh kepribadiannya. Lebih lanjut Zakiah
Darajat (dalam Djamarah SB, 1994) mengemukakan bahwa faktor terpenting
bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian inilah yang akan menentukan apakah
ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya ataukah akan
menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak
didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Kepribadian
adalah suatu cerminan dari citra seorang guru dan akan mempengaruhi interaksi
antara guru dan anak didik. Oleh karena itu kepribadian merupakan faktor yang
menentukan tinggi rendahnya martabat guru.
Kepribadian guru akan
tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan membimbing anak
didik. Semakin baik kepribadian guru, semakin baik dedikasinya dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru, ini berarti
tercermin suatu dedikasi yang tinggi dari guru dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas oleh Drosat (1998)
bahwa salah satu dasar pembentukan kepribadian adalah sukses yang merupakan
sebuah hasil dari kepribadian, dari citra umum, dari sikap, dari keterampilan
karena ini semua melumasi proses interaksi-interaksi manusia
Kloges (dalam Suryabrata, 2001) mengemukakan bahwa ada
tiga aspek kepribadian yaitu : (1). Materi atau bahan yaitu semua
kemampuan (daya) pembawaan beserta
talent-talentnya (keistimewaan-keistimewaan nya), (2). Struktur
yaitu sifat-sifat bentuknya atau sifat-sifat normalnya. (3). Kualitas atau
sifat yaitu sistem dorongan-dorongan. Sedangkan Menurut Freud (1950),
kepribadian terdiri tiga aspek yaitu :
(1). Das Es (the id) yaitu aspek biologis, aspek
ini merupakan sistem yang original dalam kepribadian sehingga aspek ini
merupakan dunia bathin subyektif manusia dan tidak mempunyai hubungan langsung
dengan dunia obyektif. (2). Das Ich (the ego) yaitu aspek
psikologis, aspek ini timbul karena kebutuhan individu untuk berhubungan dengan
dunia nyata, (3). Das Ueber Ich (the super ego) yaitu aspek sosiologis
kepribadian merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita
masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang
dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.
Aspek-aspek tersebut di atas merupakan potensi
kepribadian sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang
guru dalam melaksanakan profesinya. Karena tanpa aspek tersebut sangat
tidak mungkin guru dapat melaksanakan tugas sesuai dengan harapan. Kepribadian
dan dedikasi yang tinggi dapat meningkatkan kesadaran akan pekerjaan dan mampu
menunjukkan kinerja yang memuaskan seseorang atau kelompok dalam suatu
organisasi. Guru yang memiliki kepribadian yang baik dapat membangkitkan kemauan
untuk giat memajukan profesinya dan meningkatkan dedikasi dalam melakukan
pekerjaan mendidik sehingga dapat dikatakan guru tersebut
memiliki akuntabilitas yang baik dengan kata lain prilaku akuntabilitas
meminta agar pekerjaan itu berakhir dengan hasil baik yang dapat memuaskan
atasan yang memberi tugas itu dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atau
segala pekerjaan yang dilaksanakan baik secara kualitatif maupun kuantitatif
sesuai dengan standar yang ditetapkan dan tidak asal-asalan.
- Pengembangan Profesi
Profesi guru kian hari menjadi perhatian seiring
dengan perubahan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang menuntut kesiapan agar
tidak ketinggalan. Menurut Pidarta (1999) bahwa Profesi ialah suatu jabatan
atau pekerjaan biasa seperti halnya dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Tetapi
pekerjaan itu harus diterapkan kepada masyarakat untuk kepentingan masyarakat
umum, bukan untuk kepentingan individual, kelompok, atau golongan tertentu.
Dalam melaksanakan pekerjaan itu harus memenuhi norma-norma itu. Orang yang
melakukan pekerjaan profesi itu harus ahli, orang yang sudah memiliki daya
pikir, ilmu dan keterampilan yang tinggi. Disamping itu ia juga dituntut dapat
mempertanggung jawabkan segala tindakan dan hasil karyanya yang menyangkut
profesi itu.
Lebih lanjut Pidarta (1997)
mengemukakan ciri-ciri profesi sebagai berikut :
(1). Pilihan jabatan itu didasari
oleh motivasi yang kuat dan merupakan panggilan hidup orang bersangkutan, (2). Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan keterampilan
khusus, yang bersifat dinamis dan berkembang terus. (3). Ilmu pengetahuan, dan
keterampilan khusus tersebut di atas diperoleh melalui studi dalam jangka waktu
lama di perguruan tinggi. (4). Punya otonomi dalam bertindak ketika melayani
klien, (5). Mengabdi kepada masyarakat atau berorientasi kepada layanan sosial,
bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial. (6).Tidak mengadvertensikan
keahlian-nya untuk mendapatkan klien. (7). Menjadi anggota profesi.
(8).Organisasi profesi tersebut menetukan persyaratan penerimaan para anggota,
membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota, memberikan sanksi, dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota.
Bila diperhatikan ciri-ciri profesi tersebut di atas
nampaknya bahwa profesi guru tidak mungkin dikenakan pada sembarang orang yang
dipandang oleh masyarakat umum sebagai pendidik. Pekerjaan profesi harus
berorientasi pada layanan sosial. Seorang profesional ialah orang yang melayani
kebutuhan anggota masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Sebagai
orang yang memberikan pelayanan sudah tentu membutuhkan sikap rendah hati dan
budi halus. Sikap dan budi halus ini menjadi sarana bagi terjalinnya hubungan
yang baik yang ikut menentukan keberhasilan profesi.
Pengembangan profesi guru merupakan hal penting untuk
diperhatikan guna mengantisipasi perubahan dan beratnya tuntutan terhadap
profesi guru. Pengembangan profesionalisme guru menekankan kepada penguasaan
ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya.
Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar memiliki
pengetahuan, teknologi dan manajemen tetapi memiliki keterampilan tinggi,
memiliki tingkah laku yang dipersyaratkan.
Pengembangan profesional guru harus memenuhi standar
sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) bahwa ada empat standar
pengembangan profesi guru yaitu:
(1). Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan
profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan
melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri.; (2) Standar
pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan
pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa,
juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains; (3) Standar
pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains
memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang
masa.; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk
guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu.
Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan
kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. Apabila
guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang
berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin
baik. Tuntutan memenuhi standar profesionalisme bagi guru sebagai wujud dari
keinginan menghasilkan guru-guru yang mampu membina peserta didik sesuai dengan
tuntutan masyarakat, disamping sebagai tuntutan yang harus dipenuhi guru dalam
meraih predikat guru yang profesional sebagai mana yang dijelaskan dalam
jurnal Educational Leadership (dalam Supriadi D. 1998) bahwa untuk
menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu: (1).
Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2). Guru menguasai
secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya
kepada siswa, (3). Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui
berbagai cara evaluasi, (4). Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya
dan belajar dari pengalamannya, (5). Guru seyogyanya merupakan bagian dari
masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Guru Indonesia yang
profesional dipersyaratkan mempunyai: (1). Dasar ilmu yang kuat sebagai
pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan,
(2). Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan
yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep
belaka. Pendidikan merupakan proses yang
terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya
diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia, (3). Pengembangan
kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang
berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek
pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya
program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku
atau manajemen pendidikan yang lemah. (Arifin I, 2000)
Dimensi lain dari pola
pembinaan profesi guru yang dapat dilakukan yaitu: (1). Peningkatan dan
Pembinaan hubungan yang erat antara Perguruan Tinggi dengan pembinaan SLTA,
(2). Meningkatkan
bentuk rekrutmen calon guru, (3). Program penataran yang dikaitkan dengan
praktik lapangan, (4). Meningkatkan mutu
pendidikan calon pendidik. (5). Pelaksanaan supervisi yang baik, (6). Peningkatan mutu manajemen
pendidikan, (7). Melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linck
and matc. (8). Pemberdayaan buku teks
dan alat-alat pendidikan penunjang, (9). Pengakuan masyarakat terhadap profesi
guru, (10). Perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan
perundang-undangan. dan (11) Kompetisi profesional yang positif dengan
pemberian kesejahteraan yang layak (Hasan A M, 2001).
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu
terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif
dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan
persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai
orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu
suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment.
Menurut Akadum (1999) bahwa
ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru yaitu : (1). Masih banyak
guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2). Rentan dan rendahnya
kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3). Pengakuan
terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan
dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya
kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4). Masih belum smoothnya
perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon
guru, (5). Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya
secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.
Upaya meningkatkan
profesionalisme guru di antaranya melalui (1). Peningkatan kualifikasi dan
persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar. (2). Program sertifikasi (Pantiwati, 2001). Selain
sertifikasi, menurut Supriadi (1998) yaitu mengoptimalkan fungsi dan peran
kegiatan dalam bentuk PKG (Pusat Kegiatan Guru), KKG (Kelompok Kerja Guru), dan
MGMP (musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang memungkinkan para guru untuk
berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam
kegiatan mengajarnya. Hal tersebut diperkuat pendapat dari Pidarta (1999)
bahwa mengembangkan atau membina profesi para guru yang terdiri dari
: (1). Belajar lebih lanjut. (2). Menghimbau dan ikut
mengusahakan sarana dan fasilitas sanggar-sanggar
seperti Sanggar Pemantapan Kerja Guru. (3). Ikut mencarikan jalan agar guru-guru
mendapatkan kesempatan lebih besar mengikuti panataran-penataran pendidikan.
(4). Ikut memperluas kesempatan agar guru-guru dapat mengikuti seminar-seminar
pendidikan yang sesuai dengan minat dan bidang studi yang dipegang dalam usaha
mengembangkan profesinya. (5). Mengadakan diskusi-diskusi ilmiah secara berkala
disekolah. (6). Mengembangkan cara belajar berkelompok untuk guru-guru sebidang
studi.
Pola pengembangan dan
pembinaan profesi guru yang diuraikan di atas sangat memungkinkan
terjadinya perubahan paradigma dalam pengembangan profesi guru sebagai langkah antisipatif
terhadap perubahan peran dan fungsi guru yang selama ini guru dianggap sebagai
satu-satunya sumber informasi dan pengetahuan bagi siswa,
padahal perkembangan teknologi dan informasi sekarang ini telah membuka
peluang bagi setiap orang untuk dapat belajar secara mandiri dan cepat yang
berarti siapapun bisa lebih dulu mengetahui yang terjadi sebelum orang lain
mengetahuinya, kondisi ini mengisyaratkan adanya pergeseran pola pembelajaran
dan perubahan fungsi serta peran guru yang lebih besar yang bukan lagi
sebagai satu-satunya sumber informasi pengetahuan bagi siswa melainkan sebagai
fasilitator yang mengarahkan siswa dalam pembelajaran.
Pengembangan profesi guru harus pula diimbangi dengan
usaha lain seperti mengusahakan perpustakaan khusus untuk guru-guru yang
mencakup segala bidang studi yang diajarkan di sekolah, sehingga guru tidak
terlalu sulit untuk mencari bahan dan referensi untuk mengajar di kelas.
Pengembangan yang lain dapat dilakukan melalui pemberian kesempatan kepada
guru-guru untuk mengarang bahan pelajaran tersendiri sebagai buku tambahan bagi
siswa baik secara perorangan atau berkelompok. Usaha ini dapat memotivasi guru
dalam melakukan inovasi dan mengembangkan kreativitasnya yang berarti memberi
peluang bagi guru untuk meningkatkan kinerjannya.
Menurut W.F. Connell (1974) bahwa guru profesional adalah
guru yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut
oleh profesi keguruan. Peranan profesi adalah sebagai motivator, supervisor,
penanggung jawab dalam membina disiplin, model perilaku, pengajar dan
pembimbing dalam proses belajar, pengajar yang terus mencari pengetahuan dan
ide baru untuk melengkapi dan meningkatkan pengetahuannya, komunikator terhadap
orang tua murid dan masyarakat, administrator kelas, serta anggota organisasi
profesi pendidikan.
Menyadari akan profesi merupakan wujud eksistensi
guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam keberhasilan pendidikan maka
menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar akan peran dan fungsinya
sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas Pidarta (1999) bahwa kesadaran
diri merupakan inti dari dinamika gerak laju perkembangan profesi seseorang,
merupakan sumber dari kebutuhan mengaktualisasi diri. Makin tinggi kesadaran
seseorang makin kuat keinginannya meningkatkan profesi.
Pembinaan dan pengembangan profesi guru bertujuan untuk
meningkatkan kinerja dan dilakukan secara terus menerus sehingga mampu
menciptakan kinerja sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, disamping itu
pembinaan harus sesuai arah dan tugas/fungsi yang bersangkutan dalam sekolah.
Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan maka semakin
mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam
menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan
tercapai.
- Kemampuan Mengajar
Untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik, guru
memerlukan kemampuan. Cooper (dalam Zahera, 1997) mengemukakan bahwa
guru harus memiliki kemampuan merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan
pengajaran, menyajikan bahan pelajaran, memberikan pertanyaan kepada siswa,
mengajarkan konsep, berkomunikasi dengan siswa, mengamati kelas, dan
mengevaluasi hasil belajar
Kompetensi guru adalah kemampuan atau kesanggupan guru
dalam mengelola pembelajaran. Titik tekannya adalah kemampuan guru dalam
pembelajaran bukanlah apa yang harus dipelajari (learning what to be learnt),
guru dituntut mampu menciptakan dan menggunakan keadaan positif untuk membawa
mereka ke dalam pembelajaran agar anak dapat mengembangkan kompetensinya
(Rusmini, 2003). Guru harus mampu menafsirkan dan mengembangkan isi kurikulum
yang digunakan selama ini pada suatu jenjang pendidikan yang diberlakukan sama
walaupun latar belakang sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda (Nasanius
Y, 1998).
Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar terhadap
iklim belajar dan pemikiran pelajar yang diciptakan guru. Guru harus memahami
bahwa perasaan dan sikap siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses
belajarnya. Agar guru mampu berkompetensi harus memiliki jiwa inovatif,
kreatif dan kapabel, meninggalkan sikap konservatif, tidak bersifat
defensif tetapi mampu membuat anak lebih bersifat ofensif (Sutadipura,
1994).
Penguasaan seperangkat kompetensi yang meliputi
kompetensi keterampilan proses dan kompetensi penguasaan
pengetahuan merupakan unsur yang dikolaborasikan dalam bentuk satu
kesatuan yang utuh dan membentuk struktur kemampuan yang harus dimiliki seorang
guru, sebab kompetensi merupakan seperangkat kemampuan guru searah dengan
kebutuhan pendidikan di sekolah, tuntutan masyarakat, dan
perkembang-an ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kompetensi Keterampilan proses belajar mengajar adalah
penguasaan terhadap kemampuan yang berkaitan dengan proses pembelajaran.
Kompetensi dimaksud meliputi kemampuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis, menyusun
program perbaikan dan pengayaan, serta menyusun program bimbingan dan konseling
sedangkan Kompetensi Penguasaan Pengetahuan adalah penguasaan terhadap
kemampuan yang berkaitan dengan keluasan dan kedalaman pengetahuan.
Kompetensi dimaksud meliputi pemahaman terhadap wawasan pendidikan,
pengembangan diri dan profesi, pengembangan potensi peserta didik, dan
penguasaan akademik (Rusmini, 2003).
Kemampuan mengajar guru sebenarnya merupakan
pencerminan penguasan guru atas kompetensinya. Imron (1995) mengemukakan 10
Kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh guru yaitu :
(1). Menguasai bahan, (2). Menguasai Landasan kependidikan,
(3). Menyusun program pengajaran, (4). Melaksanakan Program Pengajaran, (5).
Menilai proses dan hasil belajar, (6). Menyelenggarakan proses bimbingan dan
penyuluhan, (7).Menyelenggarakan administrasi sekolah, (8). Mengembangkan
kepribadian, (9). Berinterkasi dengan sejawat dan masyarakat, (10). Menyelenggarakan
penelitian sederhana untuk kepentingan mengajar.
Sedangkan menurut Uzer Usman
(2002) bahwa jenis-jenis kompetensi guru antara lain (1). Kompetensi
kepribadian meliputi: mengembangkan kepribadian, berinteraksi dan
berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, melaksanakan
administrasi, melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran;
(2). Kompetensi profesional antara lain mengusai landasan kependidikan,
menguasai bahan pengajaran, menyusun program pengajaran, melaksanakan program
pengajaran dan menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah
dilaksanakan.
Kemampuan mengajar guru yang
sesuai dengan tuntutan standar tugas yang diemban memberikan efek positif bagi
hasil yang ingin dicapai seperti perubahan hasil akademik siswa, sikap siswa,
keterampilan siswa, dan perubahan pola kerja guru yang makin meningkat,
sebaliknya jika kemampuan mengajar yang dimiliki guru sangat
sedikit akan berakibat bukan saja menurunkan prestasi belajar
siswa tetapi juga menurunkan tingkat kinerja guru itu sendiri.
Untuk itu kemampuan
mengajar guru menjadi sangat penting dan menjadi keharusan bagi guru untuk
dimiliki dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa kemampuan mengajar yang
baik sangat tidak mungkin guru mampu melakukan inovasi atau kreasi dari materi
yang ada dalam kurikulum yang pada gilirannya memberikan rasa bosan bagi guru
maupun siswa untuk menjalankan tugas dan fungsi masing-masing.
- Antar Hubungan dan Komunikasi
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, manusia
dapat saling berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari dirumah
tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia
berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat komunikasi.
Pentingnya komunikasi bagi organisasi tidak dapat dipungkiri,
adanya komunikasi yang baik suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar
dan berhasil dan begitu pula sebaliknya. Misalnya Kepala Sekolah
tidak menginformasikan kepada guru-guru mengenai kapan sekolah dimulai
sesudah libur maka besar kemungkinan guru tidak akan datang mengajar. Contoh di
atas menandakan betapa pentingnya komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Muhammad A. (2001) bahwa kelupaan informasi dapat memberikan efek
yang lebih besar terhadap kelangsungan kegiatan.
Komunikasi yang efektif adalah penting bagi semua
organisasi oleh karena itu para pemimpin organisasi dan para komunikator dalam
organisasi perlu memahami dan menyempurnakan kemampuan komunikasi mereka
(Kohler, 1981). Guru dalam proses pelaksanaan tugasnya perlu memperhatikan
hubungan dan komunikasi baik antara guru dengan Kepala Sekolah, guru dengan
guru, guru dengan siswa, dan guru dengan personalia lainnya di sekolah.
Hubungan dan komunikasi yang baik membawa konsekwensi terjalinnya
interaksi seluruh komponen yang ada dalam sistem sekolah. Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan guru akan berhasil jika ada hubungan dan komunikasi
yang baik dengan siswa sebagai komponen yang diajar. Kinerja guru akan
meningkat seiring adanya kondisi hubungan dan komunikasi yang sehat di antara
komponen sekolah sebab dengan pola hubungan dan komunikasi yang lancar dan baik
mendorong pribadi seseorang untuk melakukan tugas dengan baik.
Menurut Forsdale (1981) bahwa “communication is
the process by which a system is established, maintained, and altered by means
of shared signals that operate according to rules”. Sedangkan ahli lain
berpendapat bahwa komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana
individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam
masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk
mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain (Brent D. Ruben, 1988).
Hubungan sosial antar manusia selalu terjadi di
lingkungan kerja. Sebagai peneliti Terence R. Mitchell 1982 (dalam Junaidin,
2006) menemukan bahwa orang-orang di dalam organisasi menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk interaksi interpersonal. Hubungan yang terjadi antara atasan
dengan bawahan, bawahan dengan bawahan. Di sekolah hubungan dapat terjadi
antara kepala sekolah dengan guru, antara guru dengan guru serta guru dengan
siswa. Hubungan guru dengan siswa lebih sering dilakukan dibandingkan dengan
hubungan guru dengan guru atau hubungan guru dengan kepala sekolah. Setiap hari
guru harus berhadapan dengan siswayang jumlahnya cukup banyak yang terkadang
sangat merepotkan tetapi bagi guru interaksi dengan siswa merupakan hal sangat
menarik dan mengasyikkan apalagi dapat membantu siswa dalam menemukan cara
mengatasi kesulitan belajar siswa.
Ada bermacam-macam interaksi
di sekolah. Kalau ditinjau dari maksud interaksi yang terjadi maka ada dua
macam interaksi yaitu (1) interaksi dalam konteks menjalankan tugas yang secara
langsung mengarah pada tujuan organisasi dan (2). Interaksi diluar kontekspelaksanaan
tugas, meskipun interaksi terjadi di lingkungan kerja. Hubungan yang sehat dan harmonis
dalam konteks pelaksanaan tugas menjadi prasyarat agar produktivitas lebih
meningkat lagi
Komunikasi digunakan untuk memahami dan menukarkan pesan
verbal maupun non verbal antara pengirim informasi dengan penerima informasi
untuk mengubah tingkah laku. Hubungan dan komunikasi yang dikembangkan
guru terutama dalam proses pembelajaran dan pada situasi interaksi lain di
sekolah memberi peluang terciptanya situasi yang kondusif untuk dapat
memperlancar pelaksanaan tugas, segala persoalan yang dihadapi guru baik dalam
pelaksanaan tugas utama maupun tugas tambahan dapat diselesaikan
melalui penyelesaian secara bersama dengan rekan guru yang lain, tanpa
hubungan dan komunikasi yang baik di dalam lingkungan sekolah apapun bentuk
pekerjaan yang kita lakukan tetap akan mengalami hambatan dan kurang
lancar.
Terbinanya hubungan dan komunikasi di dalam lingkungan
sekolah memungkinkan guru dapat mengembangkan kreativitasnya sebab ada jalan
untuk terjadinya interaksi dan ada respon balik dari komponen lain di
sekolah atas kreativitas dan inovasi tersebut, hal ini menjadi motor
penggerak bagi guru untuk terus meningkatkan daya inovasi dan kreativitasnya
yang bukan saja inovasi dalam tugas utamanya tetapi bisa saja muncul inovasi
dalam tugas yang lain yang diamanatkan sekolah. Ini berarti bahwa
pembinaan hubungan dan komunikasi yang baik di antara komponen dalam sekolah
menjadi suatu keharusan dalam menunjang peningkatan kinerja.
Untuk itu semakin baik pembinaan hubungan dan komunikasi
dibina maka respon yang muncul semakin baik pula yang pada gilirannya
mendorong peningkatan kinerja.
- Hubungan dengan Masyarakat
Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat
dipisahkan dari sekolah sebab keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan
lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing
generasi muda bagi peranannya di masa depan, sementara masyarakat merupakan
pengguna jasa pendidikan itu.
Menurut Pidarta (1999) bahwa suatu sekolah tidak
dibenarkan mengisolasi diri dari masyarakat. Sekolah tidak boleh merupakan
masyarakat tersendiri yang tertutup terhadap masyarakat sekitar, ia tidak boleh
melaksanakan idenya sendiri dengan tidak mau tahu akan aspirasi–aspirasi
masyarakat. Masyarakat menginginkan sekolah itu berdiri di daerahnya untuk
meningkatkan perkembangan putra-putra mereka. Sekolah merupakan
sistem terbuka terhadap lingkungannya termasuk masyarakat pendukungnya. Sebagai
sistem terbuka sudah jelas ia tidak dapat mengisolasi diri sebab bila hal ini
ia lakukan berarti ia menuju ke ambang kematian.
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan bentuk
hubungan komunikasi ekstern yang dilaksanakan atas dasar kesamaan tanggung
jawab dan tujuan. Masyarakat merupakan kelompok individu–individu yang berusaha
menyelenggarakan pendidikan atau membantu usaha-usaha pendidikan. Dalam
masyarakat terdapat lembaga-lembaga penyelenggaran pendidikan, lembaga
keagamaan, kepramukaan, politik, sosial, olah raga, kesenian yang bergerak
dalam usaha pendidikan. Dalam masyarakat juga terdapat individu-individu atau
pribadi-pribadi yang bersimpati terhadap pendidikan di sekolah.
Sekolah berada ditengah-tengah masyarakat dan dapat
dikatakan berfungsi sebagai pisau bermata dua. Mata yang pertama adalah menjaga
kelestarian nilai-nilai positif yang ada dalam masyarakat, agar pewarisan
nilai-nilai masyarakat berlangsung dengan baik. Mata yang kedua adalah
sebagai lembaga yang mendorong perubahan nilai dan tradisi sesuai dengan
kemajuan dan tuntutan kehidupan serta pembangunan. (Soetjipto dan Rafles
Kosasi, 1999).
Hubungan sekolah dengan masyarakat adalah suatu
proses komunikasi antara sekolah dengan masyarakat untuk meningkatkan
pengertian masyarakat tentang kebutuhan serta kegiatan pendidikan serta
mendorong minat dan kerjasama untuk masyarakat dalam peningkatan dan
pengembangan sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat ini sebagai usaha
kooperatif untuk menjaga dan mengembangkan saluran informasi dua arah yang
efisien serta saling pengertian antara sekolah, personalia sekolah dengan
masyarakat. Hal ini dipertegas Mulyasa (2003) bahwa Tujuan hubungan sekolah
dengan masyarakat dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu kepentingan sekolah dan
kebutuhan masyarakat.
Tujuan hubungan masyarakat berdasarkan dimensi
kepentingan sekolah antara lain : (1). Memelihara kelangsungan hidup sekolah,
(2). Meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, (3). Memperlancar kegiatan
belajar mengajar, (4). Memperoleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam
rangka pengembangan dan pelaksanaan program-program sekolah.
Tujuan hubungan berdasarkan
kebutuhan masyarakat antara lain : (1). Memajukan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, (2). Memperoleh kemajuan sekolah dalam memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, (3). Menjamin relevansi program sekolah
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, dan (4). Memperoleh kembali anggota-anggota masyarakat yang
terampil dan makin meningkatkan kemampuannya (Mulyasa, 2003).
Dalam melaksanakan hubungan sekolah-masyarakat perlu
dianut beberapa prinsip sebagai pedoman dan arah bagi guru dan kepala sekolah,
agar mencapai sasaran yang diinginkan. Prinsip-prinsip hubungan antara lain :
(1). Prinsip Otoritas yaitu bahwa hubungan sekolah-masyarakat
harus dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas, karena pengetahuan dan
tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan sekolah. (2). Prinsip kesederhanaan
yaitu bahwa program-program hubungan sekolah masyarakat harus sederhana dan
jelas, (3). Prinisp sensitivitas yaitu bahwa dalam menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat, sekolah harus sensitif
terhadap kebutuhan serta harapan masyarakat. (4). Prinsip kejujuran yaitu bahwa
apa yang disampaikan kepada msyarakat haruslah sesuatu apa adanya dan
disampaikan secara jujur. (5). Prinsip ketepatan yaitu bahwa apa yang
disampaikan sekolah kepada masyarakat harus tepat, baik dilihat dari segi isi,
waktu, media yang digunakan serta tujuan yang akan dicapai (Soetjipto dan
Rafles Kosasi (1999)
Agar hubungan dengan
masyarakat terjamin baik dan berlangsung kontinu, maka diperlukan peningkatan
profesi guru dalam hal berhubungan dengan masyarakat. Guru disamping mampu
melakukan tugasnya masing-masing di sekolah, mereka juga diharapkan dapat dan mampu
melakukan tugas-tugas hubungan dengan masyarakat. Mereka bisa mengetahui
aktivitas-aktivitas masyarakatnya, paham akan adat istiadat, mengerti
aspirasinya, mampu membawa diri di tengah-tengah masyarakat, bisa berkomunikasi
dengan mereka dan mewujudkan cita-cita mereka. Untuk mencapai hal itu
diperlukan kompetensi dan perilaku dari guru yang cocok dengan struktur sosial
masyarakat setempat, sebab ketika kompetensi dan perilaku guru tidak cocok
dengan struktur sosial dalam masyarakat maka akan terjadi benturan pemahaman
dan salah pengertian terhadap program yang dilaksanakan sekolah dan berakibat
tidak adanya dukungan masyarakat terhadap sekolah, padahal sekolah dan
masyarakat memiliki kepentingan yang sama dan peran yang strategis dalam
mendidik dan menghasilkan peserta didik yang berkualitas.
Hubungan dengan masyarakat tidak saja dibina oleh guru
tetapi juga dibina oleh personalia lain yang ada disekolah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pidarta (1999) yang mengatakan bahwa
selain guru, anggota staf yang lain seperti para pegawai, para
petugas bimbingan dan konseling, petugas-petugas medis, dan bahkan juga pesuruh
dapat melakukan hubungan dengan masyarakat, sebab mereka ini juga terlibat
dalam pertemuan-pertemuan, pemecahan masalah, dan ketatausahaan hubungan dengan
masyarakat. Namun yang lebih banyak menangani hal itu adalah guru sehingga
guru-gurulah yang paling dituntut untuk memiliki kompetensi dan perilaku
yang cocok dengan struktur sosial.
Kemampuan guru membawa diri baik di tengah
masyarakat dapat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap guru. Guru harus
bersikap sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, responsif dan
komunikatif terhadap masyarakat, toleran dan menghargai pendapat mereka. Bila tidak mampu menampilkan
diri dengan baik sangat mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan mereka.
Bertalian dengan hal itu Pidarta (1999) menegaskan bahwa keadaan seperti
itu akan menimbukan cap kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata
masyarakat menjadi pudar. Oleh karena itu kewajiban sekolah untuk menegakkan
wibawa guru di tengah masyarakat dengan terus menyesuaikan diri sambil ikut
memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Hal yang dilakukan guru
dalam mendukung hubungan sekolah dengan masyarakat antara lain: (1). Membantu
sekolah dalam melaksanakan tehnik-tehnik hubungan sekolah dengan
masyarakat. Melalui : (a). Guru hendaknya selalu berpartisipasi
lembaga dan organisasi di masyarakat (b). Guru hendaknya membantu
memecahkan yang timbul dalam masyarakat. (2). Membuat dirinya lebih baik lagi
dalam masyarakat melalui penyesuain diri dengan adat istiadat masyarakat karena
guru adalah tokoh milik masyarakat. Tingkah
laku guru di sekolah dan di masyarakat menjadi panutan masyarakat. Pada posisi
terrsebut guru menjaga perilaku yang prima. Apabila masyarakat mengetahui bahwa
guru-guru sekolah tertentu dapat dijadikan suri teladan di masyarakat, maka
masyarakat akan percaya pada sekolah pada akhirnya masyarakat memberikan
dukungan pada sekolah. (3). Guru harus melaksanakan kode etiknya, karena
kode etik merupakan seperangkat aturan atau pedoman dalam melaksanakan tugas
profesinya.
Penjelasan di atas
menunjukkan betapa penting peran guru dalam hubungan sekolah dengan masyarakat.
Terjalinnya hubungan yang harmonis antara sekolah-masyarakat membuka peluang
adanya saling koordinasi dan pengawasan dalam proses belajar mengajar di
sekolah dan keterlibatan bersama memajukan peserta didik. Guru diharapkan
selalu berbuat yang terbaik sesuai harapan masyarakat yaitu terbinanya dan
tercapainya mutu pendidikan anak-anak mereka.
Penciptaan suasana menantang
harus dilengkapi dengan terjalinnya hubungan yang baik dengan orang tua murid
dan masyarakat sekitarnya. Ini dimaksudkan untuk membina peran serta dan
rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. Hanya sebagian kecil waktu
yang dipergunakan oleh guru di sekolah dan sebagian besar ada di masyarakat.
Agar pendidikan di luar ini terjalin dengan baik dengan apa yang dilakukan oleh
guru di sekolah diperlukan kerjasama yang baik antara guru, orang tua dan
masyarakat. Kewajiban guru mengadakan kontak hubungan dengan masyarakat
merupakan bagian dan tugas guru dalam mendidik siswa dan mengembangkan
profesinya sebagai guru. Sekolah adalah milik bersama antara warga sekolah itu
sendiri, pemerintah dan masyarakat.
Dengan adanya perubahan
paradigma pendidikan sekarang ini membuka peluang bagi masyarakat untuk dapat
menilai sekolah dan guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara
baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengawasan dan evaluasi yang
dilakukan masyarakat baik secara perseorangan maupun kelompok yang dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung membawa konsekwensi bagi terciptanya
kondisi kerja kearah yang lebih baik karena kelangsungan hidup sekolah sangat
tergantung pula dari keterlibatan masyarakat sebagai unsur pendukung
keberhasilan sekolah maka guru secara langsung terpengaruh dan berdampak pada
kinerja guru sebab ketika guru menunjukkan kinerja yang tidak baik disuatu
sekolah maka masyarakat tidak akan memberikan respon positif bagi kelangsungan
sekolah tersebut. Apalagi guru selalu berada ditengah-tengah
masyarakat segala tindak tanduknya akan selalu dicontoh dan diteladani
dalam masyarakat.
Manfaat hubungan dengan
masyarakat sangat besar bagi peningkatan kinerja guru melalui peningkatan
aktivitas-aktivitas bersama, komunikasi yang kontinu dan proses saling memberi
dan saling menerima serta membuat instrospeksi sekolah dan guru menjadi giat
dan kontinu. Setiap aktivitas guru dapat diketahui oleh masyarakat sehingga
guru akan berupaya menampilkan kinerja yang lebih baik. Hal ini dipertegas
Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa bila guru tidak mau belajar dan tidak
mampu menampilkan diri sangat mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan
mereka. Keadaan ini
seringkali menimbulkan cap kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata
masyarakat menjadi pudar.
- Kedisiplinan
The Liang Gie (1972) memberikan pengertian disiplin
sebagai berikut Disiplin adalah suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang
tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang
telah ada dengan rasa senang.
Sedangkan Good’s (1959) dalam Dictionary of
Education mengartikan disiplin sebagai berikut
- 1). Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan guna mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yang lebih sangkil.
- Mencari tindakan terpilih dengan ulet, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun menghadapi rintangan
- Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau hadiah.
- Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan.
Dari beberapa pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah ketaatan dan ketepatan pada
suatu aturan yang dilakukan secara sadar tanpa adanya dorongan atau paksaan
pihak lain atau suatu keadaan di mana sesuatu itu berada dalam tertib,
teratur dan semestinya serta tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Tujuan disiplin menurut Arikunto, S.
(1993) yaitu agar kegiatan sekolah dapat berlangsung secara efektif
dalam suasana tenang, tentram dan setiap guru beserta karyawan dalam organisasi
sekolah merasa puas karena terpenuhi kebutuhannya. Sedangkan
Depdikbud (1992) menyatakan tujuan disiplin dibagi menjadi dua bagian
yaitu :
(1). Tujuan Umum adalah agar terlaksananya kurikulum secara baik yang
menunjang peningkatan mutu pendidikan (2). Tujuan khusus yaitu : (a). Agar
Kepala Sekolah dapat menciptakan suasana kerja yang menggairahkan bagi seluruh
peserta warga sekolah, (b). Agar guru dapat melaksanakan proses belajar mengajar
seoptimal mungkin dengan semua sumber yang ada disekolah dan diluar sekolah
(c). Agar tercipta kerjasama yang erat antara sekolah dengan orang tua dan
sekolah dengan masyarakat untuk mengemban tugas pendidikan.
Kedisiplinan sangat perlu dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang
tinggi akan mampu membangun kinerja yang profesional sebab pemahaman disiplin
yang baik guru mampu mencermati aturan-aturan dan langkah strategis dalam
melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar. Kemampuan guru dalam memahami
aturan dan melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam hubungan dengan
personalia lain di sekolah maupun dalam proses belajar mengajar di kelas sangat
membantu upaya membelajarkan siswa ke arah yang lebih baik. Kedisiplinan bagi
para guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
Dengan demikian kedisiplinan seorang guru menjadi
tuntutan yang sangat penting untuk dimiliki dalam upaya menunjang dan meningkatkan
kinerja dan disisi lain akan memberikan tauladan bagi siswa bahwa disiplin
sangat penting bagi siapapun apabila ingin sukses. Hal tersebut dipertegas
Imron (1995) menyatakan bahwa disiplin kinerja guru adalah suatu keadaan
tertib dan teratur yang dimiliki guru dalam bekerja di sekolah, tanpa ada
pelanggaran-pelanggaran yang merugikan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap dirinya, teman sejawatnya dan terhadap sekolah secara
keseluruhan.
Tiga model disiplin yang
dapat dikembangkan yaitu :
(1). Disiplin yang dibangun
berdasarkan konsep otoritarian. Bahwa guru
dikatakan mempunyai disiplin tinggi manakala mau menurut saja terhadap
perintah dan anjuran pejabat atau pembina tanpa banyak menyumbangkan
pikiran-pikirannya. (2). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep permissive.
Bahwa guru haruslah diberikan kebebasan seluas-luasnya di dalam kelas dan
sekolah. Aturan-aturan
di sekolah dilonggarkan dan tidak perlu mengikat kepada guru. (3).
Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep kebebasan yang terkendali yaitu
memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada guru untuk berbuat, tetapi
konsekwensi dari perbuatan itu haruslah dapat dipertanggung jawabkan (Imron,
1995)
Penerapan model disiplin di
atas, diikuti dengan teknik-teknik alternatif pembinaan disiplin guru yaitu :
(1). Pembinaan dengan teknik external control yaitu pembinaan yang
dikendalikan dari luar. (2). Pembinaan dengan teknik internal control
yaitu diupayakan agar guru dapat mendisiplinkan dirinya sendiri. Guru
disadarkan akan pentingnya disiplin. (3). Pembinaan dengan teknik cooperative
control yaitu Pembinaan ini model ini, menuntut adanya saling kerjasama
antara guru dengan orang yang membina dalam menegakkan disiplin.
Perilaku disiplin dalam kaitan dengan kinerja guru sangat
erat hubungannya karena hanya dengan kedisiplinan yang tinggilah pekerjaan
dapat dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Untuk itu dalam upaya
mencegah terjadinya indisipliner perlu ditindak lanjuti dengan
meningkatkan kesejahteraan guru, memberi ancaman, teladan kepemimpinan,
melakukan tindakan korektif, memelihara tata tertib, memajukan pendekatan
positif terhadap disiplin, pencegahan dan pengendalian diri (Zahera Sy, 1998).
Hal tersebut dipertegas oleh Nainggolan H. (1990) bahwa upaya-upaya untuk
menegakkan disiplin antara lain: (1). Memajukan tindakan postif, (2).
Pencegahan dan penguasaan diri, (3). Memelihara tata tertib.
Kedisiplinan yang baik ditunjukan guru dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya akan memperlancar pekerjaan guru dan memberikan perubahan
dalam kinerja guru ke arah yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan.
Kondisi ini bukan saja berpengaruh pada pribadi guru itu sendiri dan tugasnya
tetapi akan berimbas pada komponen lain sebagai suatu cerminan dan acuan dalam
menjalankan tugas dengan baik dan menghasilkan hasil yang memuaskan.
- Kesejahteraan
Faktor kesejahteraan menjadi salah satu yang berpengaruh
terhadap kinerja guru di dalam meningkatkan kualitasnya sebab semakin
sejahteranya seseorang makin tinggi kemungkinan untuk meningkatkan kerjanya.
Mulyasa (2002) menegaskan bahwa terpenuhinya berbagai macam kebutuhan manusia,
akan menimbulkan kepuasan dalam melaksanakan apapun tugasnya.
Menurut Supriadi (1999) bahwa tingkat kesejahteraan
guru di Indonesia sangat memprihatinkan, hanya setara dengan kondisi guru di
negara miskin di Afrika. Rendahnya tingkat kesejahteraan tersebut akan semakin tampak bila
dibandingkan dengan kondisi guru di negara lain. Di negara maju, gaji guru
umumnya lebih tinggi dari pegawai yang lain, sementara di Indonesia justru
sebaliknya.
Profesionalitas guru tidak
saja dilihat dari kemampuan guru dalam mengembangkan dan memberikan
pembelajaran yang baik kepada peserta didik, tetapi juga harus dilihat oleh
pemerintah dengan cara memberikan gaji yang pantas serta berkelayakan. Bila
kebutuhan dan kesejahteraan para guru telah layak diberikan oleh pemerintah,
maka tidak akan ada lagi guru yang membolos karena mencari tambahan
diluar (Denny Suwarja, 2003). Hal itu tersebut dipertegas Pidarta (1999)
yang menyatakan bahwa rata-rata gaji guru di negara ini belum menjamin
kehidupan yang layak. Hampir semua guru bekerja di tempat lain sebagai sambilan
disamping pekerjaannya sebagai guru tetap disuatu sekolah. Malah ada juga
guru-guru yang melaksanakan pekerjaan sambilan lebih dari satu tempat bahkan
ada yang bekerja sambilan tidak di bidang pendidikan. Hal ini bisa dimaklumi
karena mereka ingin hidup layak bersama keluargannya.
Dunia guru masih
terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya
memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil
kebijakan yaitu: (1). Profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena
rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya. (2). Profesionalisme guru masih rendah (Adiningsih,
2002).
Journal PAT (2001) menjelaskan bahwa di Inggris dan Wales
dalam meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan
pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Analisa tingkat
institusi menyatakan bahwa hubungan antara kepuasan dan performan rasanya
nyata, pendidik yang terpuaskan pada tingkat yang lebih tinggi memiliki
performan pada tingkat yang lebih tinggi dari pendidik yang berada pada tingkat
tidak terpuaskan. Hal tersebut dipertegas Arthur H. Braifiled and Walter H. Crockett
(dalam Sutaryadi, 2001) yang menyatakan bahwa memang terdapat korelasi positif
antara kepuasan kerja dengan performan kerja namun pada tingkat rendah.
Peningkatan kesejahteraan
berkaitan erat dengan insentif yang diberikan pada guru. Insentif dibatasi sebagai
imbalan organisasi pada motivasi individu, pekerja menerima insentif dari
organisasi sebagai pengganti karena dia anggota yang produktif dengan kata lain
insentif adalah upah atau hukuman yang diberikan sebagai pengganti kontribusi
individu pada organisasi. Menurut Chester l. Barnard (dalam Sutaryadi, 2001)
menyatakan bahwa insentif yang tidak memadai berarti mengubah tujuan
organisasi.
Dari uraian di
atas disimpulkan bahwa untuk memaksimalkan kinerja guru langkah strategis yang
dilakukan pemerintah yaitu memberikan kesejahteraan yang layak
sesuai volume kerja guru, selain itu memberikan insentif pendukung
sebagai jaminan bagi pemenuhan kebutuhan hidup guru dan
keluarganya. Program peningkatan mutu pendidikan apapun yang akan diterapkan
pemerintah, jika kesejahteraan guru masih rendah maka besar kemungkinan program
tersebut tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Jadi tidak heran kalau guru
di negara maju memiliki kualitas tinggi dan profesional, karena penghargaan
terhadap jasa guru sangat tinggi. Adanya Jaminan kehidupan yang layak bagi guru
dapat memotivasi untuk selalu bekerja dan meningkatkan kreativitas sehingga
kinerja selalu meningkat tiap waktu.
- Iklim Kerja
Sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari
berbagai unsur yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Di dalam
sekolah terdapat berbagai macam sistem sosial yang berkembang dari sekelompok
manusia yang saling berinteraksi menurut pola dan tujuan tertentu yang
saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya sehingga membentuk
perilaku dari hasil hubungan individu dengan individu maupun dengan
lingkungannya.
Menurut Davis, K & Newstrom J.W (1996) bahwa sekolah
dapat dipandang dari dua pendekatan yaitu pendekatan statis yang merupakan
wadah atau tempat orang berkumpul dalam satu struktur organisasi dan pendekatan
dinamis merupakan hubungan kerjasama yang harmonis antara anggota untuk
mencapai tujuan bersama.
Interaksi yang terjadi dalam sekolah merupakan indikasi
adanya keterkaitan satu dengan lainnya guna memenuhi kebutuhan juga sebagai
tuntutan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Untuk terjalinnya
interaksi-interaksi yang melahirkan hubungan yang harmonis dan menciptakan
kondisi yang kondusif untuk bekerja diperlukan iklim kerja yang baik.
Litwin dan Stringer (dalam Sergiovanni, 2001)
mengemukakan bahwa Iklim mempengaruhi kinerja guru. Iklim sebagai pengaruh
subyektif yang dapat dirasakan dari sistem formal, gaya informal pemimpin dan
faktor-faktor lingkungan penting lainnya, yang menyangkut sikap/keyakinan dan
kemampuan memotivasi orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut.
Sedangkan menurut Henry A Marray dan Kurt Lewin (dalam Sutaryadi,
1990) mengatakan bahwa Iklim kerja adalah seperangkat karakteristik yang
membedakan antara individu satu dengan individu lainnya yang dapat mempangaruhi
perilaku individu itu sendiri, perilaku merupakan hasil dari hubungan antara
individu dengan lingkungannya.
Iklim sekolah memegang peran penting sebab iklim itu
menunjukkan suasana kehidupan pergaulan dan pergaulan di sekolah itu. Iklim itu
mengambarkan kebudayaan, tradisi-tradisi, dan cara bertindak personalia yang
ada di sekolah itu, khususnya kalangan guru-guru. Iklim ialah keseluruhan
sikap guru-guru di sekolah terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan
kepuasan mereka (Pidarta, 1999).
Jadi Iklim kerja adalah hubungan timbal balik antara
faktor-faktor pribadi, sosial dan budaya yang mempengaruhi sikap individu dan
kelompok dalam lingkungan sekolah yang tercermin dari suasana hubungan
kerjasama yang harmonis dan kondusif antara Kepala Sekolah dengan guru, antara
guru dengan guru yang lain, antara guru dengan pegawai sekolah dan keseluruhan
komponen itu harus menciptakan hubungan dengan peserta didik sehingga tujuan
pendidikan dan pengajaran tercapai.
Iklim negatif menampakkan diri dalam bentuk-bentuk
pergaulan yang kompetitif, kontradiktif, iri hati, beroposisi, masa bodoh,
individualistis, egois. Iklim negatif dapat menurunkan produktivitas kerja
guru. Iklim positif menunjukkan hubungan yang akrab satu dengan lain
dalam banyak hal terjadi kegotong royongan di antara mereka, segala persoalan
yang ditimbul diselesaikan secara bersama-sama melalui musyawarah. Iklim
positif menampakkan aktivitas-aktivitas berjalan dengan harmonis dan dalam
suasana yang damai, teduh yang memberikan rasa tenteram, nyaman kepada
personalia pada umumnya dan guru khususnya.
Terciptanya iklim positif di sekolah bila
terjalinnya hubungan yang baik dan harmonis antara Kepala Sekolah dengan
guru, guru dengan guru, guru dengan pegawai tata usaha, dan peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Owens (1991) bahwa faktor-faktor penentu iklim organisasi sekolah
terdiri dari (1). Ekologi yaitu lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi,
alat elektronik, dan lain-lain, (2). Milieu yakni hubungan sosial, (3). Sistem sosial yakni
ketatausahan, perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi, (4). Budaya yakni nilai-nilai,
kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang dalam organisasi.
Sedangkan Menurut Steers
(1975) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi iklim kerjasama di sekolah adalah
:
(1). Struktur tugas, (2). Imbalan
dan hukuman yang diberikan, (3). Sentralisasi keputusan, (4). Tekanan pada prestasi, (5).
Tekanan pada latihan dan pengembangan, (6). Keamanan dan resiko pelaksanaan
tugas, (7). Keterbukaan dan Ketertutupan individu, (8). Status dalam
organisasi, (9). Pengakuan dan umpan balik, (10). Kompetensi dan fleksibilitas
dalam hubungan pencapaian tujuan organisasi secara fleksibel dan kreatif.
Terbentuknya iklim yang
kondusif pada tempat kerja dapat menjadi faktor penunjang bagi peningkatan
kinerja sebab kenyamanan dalam bekerja membuat guru berpikir dengan tenang dan
terkosentrasi hanya pada tugas yang sedang dilaksanakan.
BAB III
PERUBAHAN PARADIGMA PERAN GURU
1.
Tantangan Pendidikan
di era Perubahan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat selama
ini membawa dampak terhadap terhadap jarak antar bangsa didunia sehingga
fenomena ini bersifat global. Perkembangan dan tatanan ekonomi dunia sedang merobah kearah
perdagangan dan investasi bebas. General Agreement of Tariff and Trade (GATT)
yang selanjutnya berkembang menjadi World Trade Organization (WTO), serta
dibentuknya perdagangan regional seperti European Economics Community (EEC),
North American Free Trade Area (NAFTA), dan Asia Pasific Economic Cooperation
(APEC) merupakan bentuk nyata perdagangan global yang bebas dan makin terbuka.
Hal ini akan membawa implikasi bahwa pasar domestik akan menjadi bagian dari
pasar dunia sehingga gejolak yang terjadi dalam ekonomi global berpengaruh pada
pasar domestik. Untuk menghadapi persaingan yang makin ketat haruslah didukung
kualitas sumber daya manusia yang unggul dan komitmen terhadap
nilai-nilai.(Idris, J. 2005).
Akibat pengaruh globalisasi
menghadirkan problem baru berupa kesenjangan antara kemajuan IPTEK sekarang
dengan kurikulum sekolah. Dilain pihak motivasi dan minat belajar siswa masih
rendah mengakibatkan kualitas lulusan sebagai hasil pendidikan cenderung
merendah pula. Wacana mutu pendidikan yang tak menggembirakan itu terindikasi
pada tahun 2000 lalu sebuah organisasi dunia International Association
of Educational Evaluation in Achievemnt (IEA) menerbitkan hasil survei
prestasi belajar matematika dan IPA bagi siswa sekolah Usia 13 tahun pada 42 negera
menempatkan negara kita berada pada posisi yang kurang menggembirakan.
Pelaksanaan
pendidikan kita selama ini telah menempatkan kata-kata dan semboyan baku yang
mengagumkan namun seperti apa dan bagaimana manusia yang cerdas dan seutuhnya
justru tidak ditemukan dalam paham pendidikan kita. Kehampaan visi dan filosofi
tersebut membuat fokus perhatian hanya tertuju pada masalah metodologi
sedangkan inti yang sebenarnya (ruh pendidikan) belum tersentuh.
Mutu hanya terwujud jika proses
pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar dan belajar sebanyak
mungkin. Mutu pendidikan harus dilihat dari kemampuan belajar siswa secara
mandiri. Pengetahuan apapun yang mereka kuasai adalah hasil belajar yang mereka
lalukan sendiri (Novak & Gowin, 1984, Arend, 2001 dalam Jalaluddin).
Persoalannya sekarang adalah
bagaimana menemukan pendekatan yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep
yang diajarkan di dalam mata pelajaran tertentu sehingga semua siswa dapat
menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana setiap
individual mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan
membentuk satu pemahaman yang utuh bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi
secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang alasan dari
sesuatu, arti dari sesuatu dan hubungan dari apa yang mereka pelajari.
Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari seluruh siswa
sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dengan
kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai pintu kesempatan selama
hidupnya. Hal ini merupakan tantangan yang dihadapi guru setiap hari dan
tantangan bagi pengembangan kurikulum.
2.
Reorientasi
Paradigma pendidikan yang Diinginkan
Untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi dalam persaingan
global sekarang ini maka seyogyanya perubahan perkembangan kehidupan diikuti
pula dengan perubahan orientasi pendidikan hal ini penting dilakukan sebagai
langkah antisipasi dan tindakan adaptasi guna mempertahankan eksisitensi dalam
persaingan global. Untuk itu perubahan paradigma pendidikan yang diperlu
diperhatikan seperti (1) dari schooling ke learning dimana implikasinya
kearah belajar siswa aktif sehingga perlu membuat suasana belajar inovatif dan
kreatif dan juga harus mampu menguasai umlti medote/multi media untuk mendorong
siswa bereksplorasi, belajar dari mengamati ke menjelaskan; (2). Dari knowledge
based learning ke comptenesi based learning dimana pembelajaran tidak
disadarkan pada pencapaian perolehan produk pengetahuan tetapi pada penguasaan
keterampilan sehingga tidak menerima pengetahuan tetapi membangun pengetahuan;
(3). Dari instructive ke facilitative terjadi perubahan dari
ekspositorik ke penemuan, inkuiri dan problem solving.
Paradigma pendidikan Indonesia saat ini adalah ingin membangun manusia
seutuhnya sehingga proses pendidikan mengarah pada empat macam olah yaitu pertama
: potensi olah hati dimaksudkan membangun manusia indonesia yang beriman
dan bertaqwa yang baik memiliki asas yang mulia dan berbudi pekertiluhur, Kedua
: olah pikir dimana melalui olah pikir diharapkan bisa dibangun manusia yang
intelektual secara akademis, menguasai ilmu poengetahuan dan teknologi, ketiga
: olah rasa dimaksudkan untuk membangun manusia yang halus perasaan, bisa
berapresitif, bisa mensyukuri dan bisa mengekspresikan keindahan sehingga
pendidikan dengan keindahan (pendidikan seni) menjadi sama pentingnya dengan
pendidikan hati dengan pendidikan pikir dan Keempat : olah raga
dimaksudkan menabguna manusia dengan basis fisik yang tangguh, kalau fisik
tidak sehat, tidak bugar, bagaimana bisa memiliki produktivitas yang tinggi
karenanya olah ragapun menjadi penting di dalam pendidikan. Jadi pendidikan
yang diinginkan sekarang ini mengembangkan manusia yang komprehensif, mempunyai
kecerdasan komprehensif, cerdas hati, cerdas rasa, cerdas pikir,m cerdas rasa
dan cerdas raga. (Pengarahan Mentri Pendidikan nasional pada kegiatan
rakor pembanguan dan evaluasdi pendidikan Riau Kamis 15 Desember 2005 Koran
Berita)
Mencermati hal demikian maka pendidik bukan lagi sekedar
pengajar tetapi pendidik adalah agen pembelajaran yang membantu peserta didik
yang secara mandiri mengembangkan potensi dirinya melalui olah bathin, olah
pikir, olah rasa dan olah raga. Sehingga pemerintah menetapkan perntahapan dalam
dunia pendidikan dari tahun 2005 sampai tahun 2025 antara lain tahun 2005 –
2010 adalah pentahapan modernisasi dan peningkatan kapasitas pendidikan, tahun
2010-2015 peningkatan kapasistas dan mutu pendidikan, tahun 2015 -2020
peningkatan mutu, relevansi dan kompetitif dan tahun 2020 – 2025 pematangan.
Pentahapan tersebut sinergi dengan kebijakan pokok pendidikan indonesia yaitu pertama
meningkatkan dan memeratakan partisipasi atau akses pendidikan maksudnya untuk
menciptakan keadilan dan pendidikan dengan memeratakan dan meningkatkan
akses pendidikan; Kedua mewujudkan pendidikan masyarakat yang bermutu,
berdaya saing, relevan dengan kebutuhan masyarakat mengadung makna bahwa out
put pendidikan yang dihasilkan haruslah bermutu, relevan, dan berdaya saing, Ketiga
mewujudkan sistem pengelolaan pendidikan yang efektif, efisien, akuntabel
dengan menekankan pada peranan desentralisasi dan otonomi pendidikan pada
setiap jenjang pendidikan dimasyarakat dan meningkatkan citra publik.
Strategi yang harus dilakukan demi terwujudnya visi dan misi
pendidikan nasional antara lain dengan pengembangan dan pelaksanaan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan proses pembelajaran yang mendidik dan
dialogis. Kompetensi dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan
keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan,
ketidakpastian, dan kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi
ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun
identitas budaya dan bangsanya.
Sejalan dengan pengembangan kurikulum tersebut maka fondasi pendidikan
yang dijadikan pilar pendidikan pada era reformasi dan jaringan dalam meraih
dan merebut pasar internasional yaitu Learning to know (belajar
mengetahui), learning to do (belajar melakukan), learning to beacame
(belajar menjadi diri sendiri) dan learning togather (belajar hidup
dalam kebersamaan).
3.
Hakekat Belajar
Mengajar dalam KBK
Selama ini mengajar dianggap
sebagai upaya memberikan informasi atau upaya untuk meragakan cara menggunakan
sesuatu, atau untuk memberi pelajaran melalui mata pelajaran tertentu. Kegiatan
belajar mengajar mirip seperti kegiatan menjual dan membeli. Artinya, kegiatan
menjual baru berlangsung kalau ada kegiatan membeli. Begitu juga dengan
kegiatan mengajar – belajar. Guru baru mengajar kalau siswa belajar. mengacu
pada pandangan constructivism, belajar adalah peristiwa dimana pebelajar
secara terus menerus membangun gagasan baru atau memodifikasi gagasan lama
dalam struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan. Pandangan ini sejalan
dengan pandangan Raka Joni (1993), ahli pendidikan Indonesia, yang
mengungkapkan titik pusat hakekat belajar sebagai ‘pengetahuan-pemahaman’ yang
terwujud dalam bentuk pemberian makna secara konstruktivistik oleh pebelajar
kepada pengalamannya melalui berbagai bentuk pengkajian yang memerlukan
pengerahan berbagai keterampilan kognitif di dalam mengolah informasi yang
diperoleh melalui alat indera.
Kalau begitu, dengan pandangan
progresif ini, peristiwa ‘belajar’ tidak cukup sekedar dicirikan dengan
menggali informasi temuan ilmuwan (baca mengkaji materi sejumlah mata
pelajaran) tetapi siswa perlu dikondisikan supaya berperilaku seperti ilmuwan
dengan senantiasa menggunakan metoda ilmiah dan memiliki sikap ilmiah sewaktu
menyelesaikan masalah. Dengan demikian, peristiwa belajar meliputi membaca,
mendengar, mendiskusikan informasi (reading and listening to science),
dan melakukan kegiatan ilmiah (doing science) termasuk melakukan
.kegiatan pemecahan masalah.
Ini berarti, hakekat ‘mengajar’ dan
‘belajar’ bergeser dari kutub dengan makna tradisional ke kutub dengan makna
progresif. Kegiatan ‘belajar’ bergeser dari ‘menerima informasi’ ke ‘membangun
pengetahuan’ dan kegiatan ‘mengajar’ bergeser dari ‘mentransfer informasi’ ke
‘mengkondisikan sehingga peristiwa belajar berlangsung’. Kalau begitu,
pernyataan guru tentang ‘seberapa jauh kurikulum sudah disajikan (target
kurikulum)’ lebih tepat diganti dengan ‘seberapa jauh kurikulum sudah dikuasai,
dipahami, dan ‘dibangun’ siswa (target pemahaman)’.
Implikasi pandangan ini, kegiatan
mengajar yang lazim perlu dimodifikasi dan diubah. Misalnya pada kegiatan
mengajar sains, tidak cukup hanya melalui telling science tetapi perlu
mengembangkan kegiatan yang bersifat doing science atau kegiatan-kegiatan
yang mendorong siswa untuk mengembangkan thinking skill dan bahkan tidak
hanya memperluas wawasan kognitif tetapi juga menyentuh ranah afektif,
psikomotor, dan juga metakognitif. Ranah
yang terakhir ini para ahli pendidikan sering menyebutnya sebagai kemampuan
tentang ‘belajar bagaimana belajar’ (learn how to learn).
4.
Pendekatan
Pembelajaran sebagai Fokus Perhatian Guru
Pendekatan pembelajaran harus
menciptakan suasana teaching-learning yang dapat menumbuhkan rasa dari
tidak tahun menjadi tahu dan guru memposisikan diri sebagai pelatih dan
fasilitator. Kehadiran KBK mengharuskan guru untuk lebih berbenah diri
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya sebab berdasarkan
pengamatan selama ini proses belajar disekolah lebih ditandai oleh proses
mengajar guru melalui ceramah dan proses belajar siswa melalui menghafal. Dalam
konteks pembelajaran yang berorietnasi pada KBK fokus perhatian guru tidak lagi
sebagai destroyer (pengganggu peristiwa belajar) tetapi sebagai fasilitator (Mempermudah
peristiwa belajar) yang lebih dicirikan dengan disediakannya peluang
seluas-luasnya bagi anak untuk mengembangkan gagasan kreatif supaya anak selalu
aktif menyempurnakan gagasan miskonsepsi sambil membangun pengetahuan yang
lebih ilmiah. Sejalan dengan itu guru senantiasa melatih anak untuk memliki
keterampilan dan sikap tertentu agar dirinya mampu dan mau belajar sepanjang
hayat. Kebiasaan siswa selama ini masih menganut budaya konsumtif dinatarnya
kebiasaan siswa menerima informasi secara pasif seperti mencacat, mendengar,
meniru yang seharusnya akan diubah pada pola budaya produktif dimana siswa
terbiasa untuk menghasilkan gagasan/karya seperti merancang/membuat model,
penelitian, memecahkan masalah dan menemukan gagasan baru.
Perubahan peran guru akan bisa dilakukan bilama guru memahami hakekat
pembelajaran yang dinginkan dalam kurikulum berbasis kompetensi misalnya
pembelajaran bisa terjadi di dalam dan diluar kelas dengan metode yangn
bervariasi, maknanya pembelajaran dengan pola ini berdasarkan pada kompetensi
dasar yang harus dicapai sehingga pendekatan pembelajaran dalam kurikulum
berbasis kompetensi menuntut guru untuk memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut :
- Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (developmentally appropriate) siswa. Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang digunakan dalam pembelajaran. Hubungan antara isi kurikulum dan metodelogi yang digunakan dalam pembelajaran harus didasarkan pada kondisi sosial emosional dan perkembangan intelektual siswa. Jadi usia siswa dan karakteristik individual lainya serta kondisi sosial dan lingkungan budaya siswa haruslah menjadi perhatian didalam merencanakan pembelajaran.
- Membetnuk group belajar yang saling tergantung(interdependent learning group). Siswa saling belajar dari sesamanya di dalam kelompok kecil dan bekerjasama dalam tim lebih besar merupakan bentuk kerjasama yang diperlukan oleh orang dewasa di tempat kerja dan konteks lain.
- Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learing) yang memiliki tiga karakteristik yaitu kesadaran berpikir , penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa siswa usia 5 – 16 tahun secara bertahap mengalami perkembangan kesadaran terhadap keadaan pengetahuan yang dimilikinya, karakteristikl tugas-tugas yang mempengaruhi pembelajarannya secara individual dan startegi belajarnya. Guru harus menciptakan suatu lingkungan dimana siswa dapat merefleksikan bagaimana mereka belajar, menyelesaikan tugas-tugas sekolah, menghadapi hambatan dan bekerjasama secara harmonis dengan yang lain
- Mempertimbangkan keragaman siswa (diversity of student) didalam kelas guru harus mengajar siswa dengan berbagai keragamannya misalnya latar belakang suku bangsa, status sosial ekonomi, bahasa utama yang dipakai dirumah dan berbagai kekurangan yang mungkin mereka miliki.
- Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelegensi) siswa. Dengan penggunakan pendekatan pembelajaran, cara siswa berpartisipasi di dalam kelas harus mempertimbangkan delapan latar kecerdasanya yaitu : Liguistic, logical-matematical, spatial bodily-kinaesthetic, misical, interpersoanl dan intrapersonal. Untuk itu guru harus memadukan berbagai strategi pendekatan pembelajaran yang tentunya mengurangi dominasi guru.
- Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan tingkat tinggi.
- Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment) penilaian autentik mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berpikir kompleks seorang siswa, dari pada hanya sekedar hafalan informasi factual. Kondisi alamiah pembelajaran secara kontekstual memerlukan penilaian interdisipliner yang dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan lebih dalam dan dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan
5. Visi dan
Kompetensi Guru
Guru harus memiliki visi yang tepat
dan berbagai aksi inovatif. Visi tanpa aksi adalah bagaikan sebuah impian, aksi
tanpa visi bagaikan perjalanan tanpa tujuan dan membuang-buang waktu saja. Visi dan aksi
dapat mengubah dunia. Guru dengan visi yang tepat memiliki pandangan yang tepat
tentang pembelajaran yaitu (1) pembelajaran merupakan jantung dalam proses
pendidikan, sehingga kualitas pendidikan terletak pada kualitas pembelajarannya,
dan sama sekali bukan pada aksesoris sekolah, (2) pembelajaran tidak akan
menjadi baik dengan sendirinya, melainkan melalui proses inovasi tertentu,
sehingga guru dituntut melakukan berbagai pembaruan dalam hal pendekatan,
metode, tehnik, strategi, langkah-langkah, media pembelajaran mengubah “status
quo” agar pembelajaran menjadi lebih berkualitas, dan (3) harus dilaksanakan
atas dasar pengabdian, sebagaimana pandangan bahwa pendidikan merupakan sebuah
pengabdian, bukan sebagai sebuah proyek. Guru dengan aksi inovatif dan mandiri
memiliki pandangan sebuah harapan tidak akan berarti apa-apa bilamana tidak
diiringi dengan berbagai program kerja pembaruan menuju pembelajaran yang
berkualitas (Bafadal I, 2003).
Keberadaan visi bagi guru sangat
penting dalam menapaki pekerjaan yang lebih baik. Ketercapaian predikat guru
yang profesional tidak serta merta diperoleh begitu saja paling tidak guru
harus memiliki perspektif atau cara pandang tentang tugas dan tanggung
jawabnya sebagi guru yang lebih komprehensif, hal ini berarti visi guru harus
mengikuti irama perkembangan dan perubahan yang terjadi. Secara sederhana ada
tiga visi yang harus dimiliki guru antara lain pertama visi jangka
panjang yang selalu berorientasi pada tujuan akhir dalam setiap langkah
yang diperbuat. Melakukan sesuatu secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki
kendali diri dan sosial karena telah memiliki kesadaran akan adanya tujuan
akhir dari kehidupan ini. Memiliki kepastian akan masa depan dan ketenangan
bathiniah yang tinggi yang tercipta oleh keyanian akan adanya tujuan hidup. Kedua
Visi jangka menengah, yang selalu berorietnasi pada keberhasilan atas
segala yang diperbuat, keinginan untuk mencapai prestasi yang terbaik selalu
menjadi cita-cita dan tujuan guru. Ketiga visi jangka pendek yang selalu
berorientasi pada setiap waktu untuk melakukan kegiatan yang terbaik demi
memajukan peserta didik dan meraih keberhasilan dan prestasi yang
dicita-citakan.
Untuk nopang ketercapaian visi
tersebut, guru harus harus mempunyai kompetensi yang dipersyaratkan guna
melaksanakan profesinya agar mencapai hasil yang memuaskan. Kompetensi tersebut
diantaranya pertama kompetensi paedagogik adalah kemampuan guru
dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman
terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya; kedua kompetensi kepribadian adalah
karakteristik pribadi yang harus dimiliki guru sebagai individu yang mantap,
stabil, dewasa, arif dan beribawa, menjadi tauladan bagi peserta didik, dan
berahlak mulia; ketiga kompetensi profesional adalah
kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan mereka membimbing peserta didik dalam menguasaoi nateri yang
diajarkan; keempat kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif, berinteraksi dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan
mayarakat sekitar.
Kompetensi itu dipandang perlu
sebagai bagian atau komponen yang tidak terpisahkan dari eksistensi guru dalam
melaksanakan profesinya sebab pekerjaan guru tidak gampang dan tidak
sembarangan dilaksanakan melainkan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai pendung
dan penunjang pelaksanaan profesi. Jika guru tidak mempunyai kompetensi yang
dipersyaratkan sangat mustahil akan terwujud pelaksanaan kegiatan proses
pendidikan di sekolah akan menjadi lebih baik dan terarah. Kompetensi tersebut
merupakan modal dasar bagi guru dalam membina dan mendidik peserta didik
sehingga tercapai mutu pendidikan yang akan menghasilkan peserta didik yang
memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang paripurna.
BAB IV
LANGKAH STRATEGIS
MENINGKATKAN KINERJA GURU
Kinerja guru yang ditunjukkan dapat
diamati dari kemampuan guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang
tentunya sudah dapat mencermikan suatu pola kerja yang dapat meningkatkan mutu
pendidikan kearah yang lebih baik. Seseorang akan bekerja secara profesional
bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk
mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang tidak akan bekerja
secara profesional bilamana hanya memenuhi salah satu diantara dua persyaratan
di atas. Jadi betapapun tingginya kemampuan seseorang, ia tidak akan bekerja
secara profesional apabila tidak memiliki kepribadian dan dedikasi dalam
bekerja yang tinggi. Guru yang memiliki kinerja yang baik tentunya memiliki
komitmen yang tinggi dalam pribadinya artinya tercermin suatu kepribadian dan
dedikasi yang paripurna. Tingkat komitmen guru terbentang dalam satu garis
kontinum, bergerak dari yang paling rendah menuju paling tinggi.
Guru yang memiliki komitmen yang
rendah biasanya kurang memberikan perhatian kepada murid, demikian pula waktu
dan tenaga yang dikeluarkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang sangat
sedikit. Sebaliknya seseorang guru yang memiliki komitmen yang tinggi biasanya
tinggi sekali perhatiannya dalam bekerja. Demikian pula waktu yang disediakan
untuk peningkatan mutu pendidikan sangat banyak. Sedangkan tingkat
abstraksi yang dimaksudkan di sini adalah tingkat kemampuan guru dalam
mengelola pembelajaran, mengklarifikasi masalah-masalah pembelajaran, dan
menentukan alternatif pemecahannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Glickman (dalam Bafadal I, 2003) yang menyatakan bahwa “guru yang memiliki
tingkat abstraksi yang tinggi adalah guru yang mampu mengelola tugas, menemukan
berbagai permasalahan dalam tugas dan mampu secara mandiri memecahkannya”.
Langkah strategis dalam upaya
meningkatkan kinerja guru dapat dilakukan melalui beberapa terobosan
antara lain :
- Kepala Sekolah harus memahami dan melakukan tiga fungsi sebagai penunjang peningkatan kinerja guru antara lain :
a. Membantu guru memahami,
memilih dan merumuskan tujuan pendidikan yang dicapai.
b. Mendorong guru agar mampu
memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi dan dapat melihat hasil
kerjanya.
c. Memberikan
pengakuan atau penghargaan terhadap prestasi kerja guru secara layak, baik
yang diberikan oleh kepala sekolah maupun yang diberikan semasa guru, staf tata
usaha, siswa, dan masyarakat umum maupun yang diberikan pemerintah.
d. Mendelegasikan tanggung
jawab dan kewenangan kerja kepada guru untuk mengelola proses belajar mengajar
dengan memberikan kebebasan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil
belajar.
e. Membantu memberikan
kemudahan kepada guru dalam proses pengajuan kenaikan pangkatnya sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
f. Membuat kebijakan sekolah
dalam pembagian tugas guru, baik beban tugas mengajar, beban administrasi guru
maupun beban tugas tambahan lainnya harus disesuaikan dengan kemampuan guru itu
sendiri.
g. Melaksanakan tehnik
supervisi yang tepat sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan keinginan guru-guru
secara berkesinambungan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru
dalam proses pembelajaran.
h. Mengupayakan selalu
meningkatkan kesejahteraannya yang dapat diterima guru serta memberikan
pelayanan sebaik-baiknya.
i.
Menciptakan hubungan kerja yang sehat dan menyenangkan dilingkungan sekolah
baik antara guru dengan kepala sekolah, guru dengan guru, guru dengan siswa,
guru dengan tata usaha maupun yang lainnya.
j.
Menciptakan dan menjaga kondisi dan iklim kerja yang sehat dan menyenangkan
di lingkungan sekolah, terutama di dalam kelas, tempat kerja yang menyenangkan,
alat pelajaran yang cukup dan bersifat up to date, tempat beristirahat di
sekolah yang nyaman, kebersihan dan keindahan sekolah, penerangan yang cukup
dan masih banyak lagi.
k. Memberiukan peluang pada
guru untuk tumbuh dalam meningkatkan pengetahuan, meningkatkan keahlian
mengajar, dan memperoleh keterampilan yang baru.
l.
Mengupayakan adanya efek kerja guru di sekolah terhadap keharmonisan
anggota keluarga, pendidikan anggota keluarga, dan terhadap kebahagiaan
keluarganya.
m. Mewujudkan dan menjaga
keamanan kerja guru tetap stabil dan posisi kerjanya tetap mantap sehingga
guru merasa aman dalam pekerjaannya.
n.
Memperhatikan peningkatan status guru dengan memenuhi kelengkapan status
berupa perlengkapan yang mendukung kedudukan kerja guru, misalnya tersediahnya
ruang khusus untuk melaksanakan tugas, tempat istirahat khusus, tempat parkis
khusus, kamar mandi khusus dan sebagainya. (
Junaidin, 2006).
o.
Menggerakkan
guru-guru, karyawan, siswa dan anggota masyarakat untuk mensukseskan
program-program pendidikan di sekolah.
p.
Menciptakan sekolah
sebagai lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis dan nyaman sehingga
segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh
kepuasan kerja yang tinggi.
Langkah lain yang dilakukan oleh sekolah untuk
meningkatkan kinerja guru melalui peningkatan pemanfaatan teknologi informasi
yang sedang berkembang sekarang ini dan mendorong guru untuk menguasainya.
Melalui teknologi informasi yang dimiliki baik oleh daerah maupun oleh
individual sekolah, guru dapat melakukan beberapa hal diantaranya : (1)
melakukan penelusuran dan pencarian bahan pustaka, (2) membangun Program
Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) untuk memodelkan sebuah rencana
pengajaran, (3) memberi kemudahan untuk mengakses apa yang disebut dengan virtual
clasroom ataupun virtual university, (4) pemasaran dan promosi hasil
karya penelitian.
Dengan memanfaatkan teknologi informasi maka guru dapat
secara cepat mengakses materi pengetahuan yang dibutuhkan sehingga guru tidak
terbatas pada pengetahuan yang dimiliki dan hanya bidang studi tertentu yang
dikuasai tetapi seyogyanya guru harus mampu menguasai lebih dari bidang studi
yang ditekuninya sehingga bukan tidak mungkin suatu saat guru tersebut akan
mendalami hal lain yang masih memiliki hubungan erat dengan bidang tugasnya
guna meningkatkan kinerja ke arah yang lebih baik.
- Dinas Pendidikan setempat selaku pihak yang ikut andil dalam mengeluarkan dan memutuskan kebijakan pada sektor pendidikan dapat melakukan langkah sebagai berikut :
- Memberikan kemandirian kepada sekolah secara utuh
- Mengontrol setiap perkembangan sekolah dan guru.
- Menganalisis setiap persoalan yang muncul di sekolah
- Menentukan alternatif pemecahan bersama dengan kepala sekolah dan guru terhadap persoalan yang dihadapi guru
Kinerja guru tidak dapat
berdiri sendiri melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor lain melalui interaksi
sosial yang terjadi di antara diri mereka sendiri maupun dengan komponen yang
lain dalam sekolah. Hal lain yang dapat dilakukan adalah melalui
peningkatan moral kerja guru. Moral kerja sebagai suatu sikap dan tingkah
laku yang merupakan perwujudan suatu kemauan yang dibawa serta ke sekolah dan
kerjannya. Pemahaman tentang moral kerja yang belum sempurna menyebabkan tidak
dapat mempengaruhi kinerja secara spesifik. Padahal moral kerja yang
tinggi dapat meningkatkan semangat untuk bekerja lebih baik. Moral kerja
dapat pula dipengaruhi oleh motif-motif tertentu yang bersifat subyektif maupun
obyektif. Adapun yang menjadi motif untuk bekerja lebih baik adalah
kebutuhan-kebutuhan (needs) yang menimbulkan suatu
tindakan perbuatan yang menimbulkan suatu perbuatan (behaviour)
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (goals).
Bafadal I (2003) memberikan
suatu contoh akan pentingnya pemenuhan kebutuhan sebagai berikut :
“misalnya seseorang pasti
membutuhkan makanan untuk mempertahkankan eksistensi hidupnya. Apabila tidak
mendapatkan makanan orang itu akan mati kelaparan. Makanan pada konteks ini
merupakan kebutuhan (needs). Oleh karena itu makanan merupakan kebutuhan
yang memaksa seseorang melakukan tindakan perbuatan (behaviour)”.
Hubungan kebutuhan dan
tindak perbuatan divisualisasikan melalui gambar berikut :
Kebutuhan ====à Tindakan Perbuatan ======è Tujuan
Guru merupakan salah satu
faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan. Keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru
dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar-mengajar. Namun
demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat
dipengaruhi oleh kemampuan profesional mengajar dan tingkat kesejahteraannya.
Reformasi pendidikan
merupakan respons terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya
untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya
manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui
reformasi, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi
perwujudan hak-hak azazi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan
prestasinya secara optimal.
Menurut Louis V. Gerstner,
Jr.,dkk (1995) (dalam Aqib Z, 2003) mengatakan bahwa :
“Sekolah abad masa depan
memiliki ciri-ciri antara lain (1) kepala sekolah yang dinamis dan komunikatif
dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan pendidikan, (2) memiliki
visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dengan
jelas, (3) guru-guru yang berkompeten damn berjiwa kader yang senantiasa
bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara inovatif, (4)
siswa-siswa yang sibuk, bergairah, dan bekerja keras dalam mewujudkan perilaku
pembelajaran, dan (5) masyarakat dan orang tua yang berperan serta dalam
menunjang pendidikan”.
Upaya mewujudkan sisi guru
dalam reformasi pendidikan beberapa asumsi dasar yang harus mendapat
pertimbangan antara lain :
a. guru pada dasarnya merupakan
faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan
b. jumlah guru dengan kecakapan
akademik yang baik, cenderung menurun di masa yang akan datang, sepanjang
secara material sosial, jabatan guru tidak menarik dan menjanjikan bagi
generasi muda yang memiliki kualitas akademik yang cemerlang
c. kepercayaan masyarakat
terhadap guru sangat bergantung dari persepsi yang berkenaan dengan status guru
terutama yang berkaitan dengan kualitas pribadi, kualitas kesejahteraan,
penghargaan material, kualitas pendidikan, dan standar profesi
d. anggaran belanja pendidikan,
imbal jasa (gaji dan tunjangan lainnya), dan kondisi kerja guru merupakan faktor
yang mendasar bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan kinerja
yang efektif
e.
masyarakat dan orang
tua mempunyai hak akan pendidikan yang terbaik buat anak-anaknya
f.
disisi lain guru
diharapkan menunjukkan kinerja atas dasar moral dan profesional yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam kaitan ini, guru mempunyai keterikatan yang erat
dengan kualitas dan hasil pendidikan.(Aqib Z., 2003).
Ungkapan di atas bermakna bahwa posisi guru pada era
dalam reformasi pendidikan merupakan posisi yang memiliki peran besar yang
harus dijalankan guru dalam mewujudkan mutu pendidikan yang lebih baik.
Sehingga berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kinerja guru perlu dilakukan
perbaikan seperti kualitas kesejahteraan, kualitas moral dan kualitas
profesi dan lain-lain yang dimiliki guru sebagai penentu keberhasilan
pendidikan, maka tidak salah jika ada keinginan memperbaiki mutu pendidikan
akan berkaitan dengan memperbaiki posisi guru.
Untuk mewujudkan kinerja guru yang profesional dalam
reformasi pendidikan, secara ideal ada beberapa karakteristik citra guru yang
diharapkan antara lain
a.
guru harus memiliki
semangat juang yang tinggi disertai dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan yang
mantap.
b.
guru yang mampu
mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan
perkembangan iptek.
c.
guru yang mempunyai
kualitas kompetensi pribadi dan profesional yang memadai disertai atas kerja
yang kuat.
d.
guru yang mempunyai
kualitas kesejahteraan yang memadai.
e.
guru yang mandiri,
kreatif, dan berwawasan masa depan.
Untuk mewujudkan guru yang memiliki karakteristik seperti di atas maka
perlu dilakukan langkah nyata yang dapat dilakukan pemerintah antara lain
: (1) pemerintah harus ada kemauan politik untuk menempatkan posisi guru
dalam keseluruhan pendidikan nasional, (2) mewujudkan sistem manajemen
guru dan tenaga kependidikan lainnya yang meliputi pengadaan, pengangkatan,
penempatan, pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan secara terpadu yang
sistematik, sinergik dan simbolik, (3) pembenahan sistem pendidikan guru yang
lebih fungsional untuk menjamin dihasilkannya kualitas profesional guru dan
tenaga kependidikan lainnya, (4) pengembangan satu sistem pengganjaran (gaji
dan tunjangan lainnya) bagi guru secara adil, bernilai ekonomis, dan memiliki daya
tarik sedemikian rupa sehingga merangsang guru untuk melaksanakan tugasnya
dengan penuh dedikasi dan memberikan kepuasan lahir batin (Aqiz Z., 2003).
Pada era otonomi daerah, Pendapatan yang diterima guru
bervariasi, baik ditinjau dari jenjang sekolah maupun lokasi daerah. Tunjangan
guru di sekolah pada jenjang yang lebih rendah adalah lebih rendah dari pada
tunjangan guru di sekolah yang lebih tinggi. Demikian pula, tunjangan guru di
sekolah yang berada di kota adalah lebih tinggi daripada tunjangan guru di
sekolah yang berada di pinggir kota dan desa. Kondisi ini disebabkan oleh
perbedaan kebutuhan sekolah dan kemampuan orang tua dalam memberikan sumbangan
dana terhadap sekolah. Ekonomi orang tua di perkotaan adalah cenderung lebih
kuat dibandingkan dengan ekonomi orang tua di pinggir kota dan desa. Sedangkan,
besarnya tunjangan kepada guru yang diberikan sekolah didasarkan atas RAPBS dan
kekuatan orang tua siswa. Tunjangan kepada guru memberikan efek yang signifikan
terhadap hasil belajar yang diperoleh siswa. Siswa yang berada di kota lebih
berprestasi daripada siswa di pinggir kota dan desa. Demikian pula, siswa yang
ada di pinggir kota lebih berprestasi dari pada siswa di desa. Meski prestasi
belajar siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan daya dukung orang tua, namun
presatasi tersebut juga dipengaruhi oleh tunjangan kepada guru. Tunjangan guru yang berada
di kota adalah cenderung lebih besar, sehingga lebih dapat berkonsentrasi dalam
mengajar. Sebaliknya, tunjangan guru di desa adalah lebih kecil dan hal ini
menyebabkan konsentrasi mengajar kurang. Analisis-analisis tersebut lebih
nampak pada ilustrasi studi kualitatif sebagaimana dipaparkan di bawah ini
(Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003)
Kalau seorang guru dapat membeli
pesawat televisi, radio tape, sepeda motor, dan barang-barang mewah lainnya
atau mengangsur perumahan, hal itu karena utang dengan menggunakan agunan gaji
mereka setiap bulan dipotong. Sedangkan gaji guru di negara lain cukup untuk
kebutuhan satu bulan, berekreasi, membeli buku, dan menabung. Bila dibandingkan
dengan kesejahteraan pegawai negeri sipil lain di Indonesia, secara nominal
gaji guru lebih tinggi untuk golongan yang sama, misalnya sama- sama golongan
III C antara pegawai negeri sipil guru dan non-guru, karena guru mendapat
tambahan tunjangan fungsional. Tetapi, jam kerja pegawai negeri sipil (PNS)
non-guru terbatas, sehari hanya delapan jam atau seminggu 42 jam. Sedangkan jam
kerja guru tidak terbatas. memang mengajarnya hanya pukul 07.00-12.45, tetapi
sebelum mengajar harus menyiapkan bahan, administratif (buat satuan pelajaran),
dan setelah mengajar mereka harus mengoreksi hasil pekerjaan murid.
Disisi lain peluang untuk memperoleh
pendapatan tambahan di luar gaji bagi PNS non-guru lebih terbuka karena sering
ada proyek-proyek atau urusan lain dengan masyarakat. Adapun guru, peluangnya
untuk memperoleh tambahan pendapatan hanya bila melakukan pungutan tambahan
kepada murid atau bisnis. Namun, hal itu langsung akan mendapat respons negatif
dari masyarakat. Harapan masyarakat terhadap guru memang bukan hanya perannya
di dalam kelas saja, tetapi juga di luar kelas juga dapat memberikan teladan.
Tetapi peran memberi teladan ini tidak pernah dihargai secara material dan
sosial.
Ada delapan hal yang diinginkan oleh
guru melalui kerjannya yaitu (1) adanya rasa aman dan hidup layak, (2)
kondisi kerja yang diinginkan, (3) rasa keikutsertaan, (4) rerlakuan yang wajar
dan jujur, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan penghargaan atas sumbangan,
(7) ikut bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah, (8) kesempatan mengembangkan
self respect (Bafadal I, 2003)
Sedangkan menurut teori kebutuhan
Maslow bahwa kebutuhan manusia dibagi dalam lima tingkatan antara lain (1)
kebutuhan fisiologi secara universal seperti makanan, minuman, pakaian dan
perumahan, (2) kebutuhan rasa aman (safety or security needs), (3)
kebutuhan Kebutuhan sosial , (4) kebutuhan harga diri (esteem or ego needs),
(5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs).
Menurut Hopson and Scally (dalam
Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003) bahwa diskursus paradigma pendidikan antara investment
based vs out came based membawa implikasi imperatif terhadap
penataan manajemen pendidikan di era otonomi daerah. Dalam era ini, manajemen
perlu ditata secara demokratis, kreatif, dan menguntungkan bersama. Fungsi
pendidikan perlu ditata ulang tidak hanya sekedar menjalankan tugas rutin
mengajar. Namun lebih dari itu, yakni mewujudkan educated man yang
mempunyai life skills berkulitas tinggi.
BAB V
RELEVANSI PENATAAN
MANAJEMEN
DENGAN PENINGKATAN KINERJA GURU
Penataan manajemen pendidikan dan
upaya mewujudkan manusia terdidik yang mempunyai kecakapan hidup memerlukan
guru yang handal (the good high teachers). Upaya ini dapat terwujud jika
kualitas dan gaji guru diperbaiki. Rasionalnya, guru yang berkualitas dengan
gaji yang cukup, akan lebih kreatif, antusias, dedikatif, dan konsentrasi pada
bidang pekerjaannya semata.
Untuk mengatasinya, manajemen
pendidikan perlu ditata sebagai berikut (1) perlu dilakukan need assessment
terhadap kebutuhan guru dan operasional sekolah yang terkait. Untuk itu
Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan Nasional diharapkan lebih fokus
meningkatkan anggaran bagi perbaikan kualitas guru, terutama untuk
gaji/pendapatan guru, studi lanjut, dan kegiatan pelatihan, (2) perlunya
penerapan school based budgeting yang operasional dan out came based.
Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten /kota perlu memberikan wewenang dan
pembinaan kepada sekolah untuk mengatur rumah tangganya (Husain Z dan Sosangko,
2003).
Hasil studi Fiske (1996) di Spanyol,
Brazil, Argentina, New Zealand, Mexico, Chili, Cina, dan Venezuela menunjukkan
bahwa sistem desentralisasi pendidikan tidak selamanya membawa berkah. Hal itu
tergantung dari potensi sumber-sumber pendukung di daerah. Otonomi daerah
berpotensi memberikan efek negatif bagi guru yang kreatif, sebab ia tidak bisa
mengembangkan dan melaksanakan tugasnya dengan efektif. Hal itu dikarenakan
mereka digaji rendah.
Untuk menata manajemen pendidikan
yang efektif di era otonomi daerah, diperlukan need assessment. Need
assessment dilakukan untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai
dengan karakteristik daerah (Ellis, 1994). Faktor keuangan daerah
tersebut cukup dominan dalam keberhasilan otonomi. Need assessment
dilakukan terhadap kurikulum, kesiswaan, guru dan pegawai sekolah, keuangan,
sarana dan prasarana, hubungan masyarakat, dan aktivitas lain yang mendukung
pendidikan.
Penataan manajemen pendidikan
selanjutnya yaitu mengoperasionalkan paradigma school based management
(SBM) ke dalam school based budgeting (SBB). Hal itu berarti
penganggaran keuangan didasarkan kepada kebutuhan sekolah. Kalau sekolah
ingin menfokuskan kepada peningkatan kualitas guru, berarti membawa implikasi
bahwa segala kebutuhan guru harus terakomodasi. Misalnya pemenuhan gaji,
honor, insentif, penghargaan, promosi, pemotongan birokrasi, pengembangan
karier, dan sebagainya. Penerapan school based budgeting (SBB) ini
cukup efektif dalam meningkatkan kualitas guru (Hadderman, 1999).
Penataan manajemen pendidikan,
utamanya untuk perbaikan kualitas dan gaji guru memerlukan persyaratan. Menurut Bray (1996) ada lima syarat yaitu (1) commitment,
(2) collaboration, (3) concern, (4) consideration, and (5) change.
Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan Nasional harus mempunyai komitmen untuk
meningkatkan kualitas dan gaji guru. Tanpa adanya leadership
commitment ini otonomi daerah tidak berhasil. Demikian pula
syarat kolaborasi, juga harus dipenuhi. Antara Pemerintah Daerah, Dinas
Pendidikan Nasional, LPTK, dan lembaga lain yang terkait harus bekerja sama
secara erat merencanakan dan memecahkan masalah. Kemudian, kepedulian
untuk menerapkan peningkatan juga perlu dioperasionalkan dalam praktik nyata,
utamanya dukungan dana yang cukup dari Pemda. Penyelewengan terhadap
rencana harus segera dimodifikasi dengan pertimbangan yang matang, sehingga
perubahan yang diharapkan dapat tercapai. Lima persyaratan ini sesuai
dengan paradigma baru, yakni out came based.
Menurut Husain Z dan Sasongko, (2003) paradigma penataan
manajemen pendidikan yang efektif di era Otonomi Daerah dapat digambarkan
sebagai berikut.
Pengembangan profesi guru memiliki hubungan fungsional dan pengaruh
terhadap kinerja guru karena memperkuat kemampuan profesional guru dalam
melaksanakan pekerjaan. Pola pengembangan profesi yang dapat dilakukan
antara lain (1) program tugas belajar, (2) program sertifikasi dan (3)
penataran dan work shop. Pengembangan seperti ini mampu menempatkan guru dalam
berkerja secara baik. Karena sangat tidak mungkin seorang guru yang memiliki
pengetahuan sangat sempit dapat menghasilakn dan memberikan pencerahan kepada
siswa yang lebih baik. Jika seorang guru memiliki pendidikan yang baik maka ada
kemungkinan dalam bekerja akan selalu mempertahakan dan memperhatikan
profesionalismenya karena merasa malu dengan guru yang lain yang berpendidikan
rendah tetapi kinerjanya lebih baik. Perasaan ini memupuk dan memacu guru untuk
lebih baik dalam bekerja.
Menurut Sahertian (dalam Ponco Dewi,
2003) bahwa pengembangan kinerja guru yang berkaitan pengembangan profesi guru
dikenal adanya tiga program yakni (1) program pre-service education, (2)
program in-service education, dan (3) program in-service trainning.
Program pre-service education
adalah program pendidikan yang dilakukan pada pendidikan sekolah sebelum
peserta didik mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan. Lembaga
penyelenggaraan program pre-service education adalah suatu pendidikan
mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pada bidang ilmu
pendidikan program pre-service education diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) baik non gelar maupun yang bergelar.
Program in-service education
adalah program pendidikan yang mengacu pada kemampuan akademik maupun
profesional sesudah peserta didik mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan.
Bagi mereka yang sudah memiliki jabatan guru dapat berusaha meningkatkan
kinerjanya melalui pendidikan lanjut yang berijasah D-2 dapat melanjutkan ke
D-3, dari D-3 ke S-1, atau dari S-1 ke S-2 dan S-3 di samping itu dapat berupa
jurusan tertentu ke jurusan lain. Program in-service trainning adalah
suatu usaha pelatihan yang memberi kesempatan kepada orang yang mendapat tugas
jabatan tertentu, dalam hal ini adalah guru, untuk mendapat pengembangan kinerja.
Pada umumnya yang paling banyak
dilakukan dalam program in-service trainning adalah melalui penataran
yaitu (1) penataran penyegaran yaitu usaha pengembangan kinerja guru agar
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta menetapkan
kinerja guru agar dapat melakukan tugas sehari-hari dengan baik. Sifat
penataran ini memberi penyegaran sesuai dengan perubahan yang terjadi di
masyarakat agar tidak ketinggalan jaman, (2) penataran peningkatan kualifikasi
adalah usaha peningkatan kemampuan guru sehingga mereka memperoleh kualifikasi
formal tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan, dan (3) penataran
penjenjangan adalah suatu usaha meningkatkan kemampuan guru dalam bidang
jenjang struktural sehingga memenuhi persyaratan suatu pangkat atau jabatan
tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan.
Menurut Uzer Usman (1992) bahwa
kompetensi yang harus dimiliki seorang guru yaitu (1) kemampuan yang ada pada
diri guru agar dapat mengembangkan kondisi belajar sehingga hasil belajar dapat
tercapai dengan lebih efektif, (2) kemampuan sosial yaitu kemampuan guru yang
realisasinya memberi manfaat bagi pemenuhan yang diperuntukan bagi masyarakat.
(3) kompetensi profesional adalah kemampuan yang dimiliki guru sebagai pengajar
yang baik.
Peningkatan kinerja guru serta
kemampuan profesionalnya diarahkan pada pembinaan kemampuan dan sekaligus
pembinaan komitmennya. Untuk pembinaan dapat dilakukan dalam dua hal
yaitu (1) peningkatan kemampuan profesional guru melalui supervisi
pendidikan, program sertifikasi dan tugas belajar yang diklasifikasikan dalam
faktor pengembangan profesi, (2) pembinaan komitmen melalui pembinaan
kesejahteraannya yang diklasifikasikan dalam faktor tingkat kesejahteraan.
Pidarta (1999) mengatakan merupakan
kewajiban guru sebagai seorang profesional untuk mengadakan
penelitian dalam profesinya. Penelitian merupakan alat utama dalam
mengembangkan ilmu dan aplikasinya. Dengan penelitian guru akan menemukan
materi-materi yang lebih tepat, alat yang cocok untuk mengajarkan sesuatu, cara
mendidik siswa yang lebih aktif, dan cara membina kemampuan siswa secara lebih
baik. Penelitian merupakan bagian dari pengembangan profesi.
Pembentukan ilkim kerja yang baik
dalam penyelenggaraan sekolah memberikan nuasa bekerja yang lebih baik, guru
tidak akan ragu dan tetap merasa nyaman dalam bekerja. Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatkan
produktivitas. Hal ini disadari dengan sebaik-baiknya oleh setiap guru dan
guru berkewajiban menciptakan suasana yang demikian dalam lingkungannya.
Menurut Bafadal I, (2003) bahwa untuk menciptakan suasana kerja yang baik
ada dua hal yang dilakukan dan diperhatikan antara lain (1) guru sendiri,
dan (2) hubungan dengan orang lain dan masyarakat sekeliling.
Terhadap guru sendiri, guru
menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya
proses pembelajaran. Oleh sebab itu guru harus aktif mengusahakan suasana itu
dengan berbagai cara misalnya (1) di dalam kelas penggunaan metode
mengajar yang sesuai maupun penyediaan alat belajar yang cukup serta pengaturan
organisasi kelas yang mantap atau pendekatan lain yang diperlukan, (2) diluar
kelas dapat menciptakan hubungan yang lebih dengan guru lain, pegawai dan
Kepala Sekolah serta siswa itu sendiri. Terciptanya iklim kerja yang lebih baik
tidak terlepas dari kemampuan guru dalam memahami keadaan yang terjadi
disekelilingnya, guru berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap terbuka
terhadap persoalan-persoalan yang menggangu kelancaran kerjannya baik dengan guru
lain maupun dengan kepala sekolah, guru harus berusaha membentuk
pikiran-pikiran yang positif terhadap persoalan yang dihadapi sehingga
memberikan jalan terselesaikannya persoalan secara baik dan cepat tanpa ada
pihak yang dirugikan.
Menurut Pusat Inovasi Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (2003) bahwa
terdapat tiga kategori permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru
dalam pembangunan pendidikan yaitu (1) sistem pelatihan guru, (2) kemampuan
profesional, (3) profesi, jenjang karier dan kesejahteraan. Ketiga kategori peningkatan
mutu guru dalam pembangunan pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut
- Untuk kategori sistem pelatihan dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut:
- Perlunya revitalisasi pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan untuk memperbaiki kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan bukan untuk meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata;
- Perlunya mekanisme kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk memaksimalkan pelaksanaannya;
- Perlunya sistem penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui efektivitas dan dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan;
- Perlunya desentralisasi pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan perubahan mekanisme kelembagaan otonomi daerah yang dituntut dalam UU No. 22/1999.
Implikasi dari langkah-langkah yang
diambil terhadap sistem pelatihan dapat berupa (1) adanya sistem pelatihan guru
yang didahului dengan "need assessment" sesuai kondisi daerah
masing-masing, (2) adanya sistem monitoring penyelenggaraan pelatihan guru yang
dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga pengelola pendidikan, (3) adanya lembaga
swasta yang independen yang bertugas untuk melakukan penilaian-penilaian proses
(formative evaluation), hasil (output/summative evaluation), dan
dampak (outcome/impact evaluation) pelatihan guru, untuk menemukan
model-model pelatihan guru yang efektif dan efisien dalam meningkatkan mutu
pendidikan, (4) pembentukan dan pemberdayaan sentra-sentra pelatihan guru di
kabupaten/kota yang juga bertugas untuk mengembangkan konten dan strategi
mengajar tepat guna yang mampu meningkatkan kinerja guru dalam mengelola proses
pembelajaran.
- Untuk kategori kemampuan profesional dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut :
- Perlunya upaya-upaya alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan dan kemampuan para guru dalam penguasaan materi pelajaran.
- Perlunya tolok ukur (benchmark) kemampuan profesional sebagai acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
- Perlunya peta kemampuan profesional guru secara nasional yang tersedia di Depdiknas dan Kanwil-kanwil untuk tujuan-tujuan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
- Perlunya untuk mengkaji ulang aturan/kebijakan yang ada melalui perumusan kembali aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru untuk mengembangkan kreativitasnya.
- Perlunya reorganisasi dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan mutu guru.
- Perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran.
- Perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan.
Implikasi terhadap langkah-langkah
yang diambil terhadap kemampuan profesional dapat berupa (1) pemberdayaan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai organisasi profesi guru yang
berbasis mata pelajaran secara lebih profesional, terprogram, dan secara khusus
diarahkan untuk mengembangkan standardisasi konsep dan penilaian mata pelajaran
secara nasional, terutama untuk mata-mata pelajaran Matematika dan
IPA, (2) adanya program-program alternatif peningkatan kemampuan
profesional guru dari organisasi ini, melalui modul-modul/publikasi-publikasi
yang diterbitkan secara berkala, dan dibahas dalam kegiatan-kegiatan tutorial,
(3) pengembangan standar kompetensi guru (SKG) sebagai tolok ukur (benchmark)
kemampuan mengajar yang diberikan oleh organisasi profesi ini, (4) adanya
aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan leluasa serta mampu memberikan
motivasi bagi guru untuk semakin mengembangkan kreativitasnya, (5) adanya
keterlibatan perguruan tinggi/ universitas dalam mengembangkan konsep dan
memberdayakan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sebagai media alternatif
peningkatan mutu guru, (6) melakukan pemetaan kemampuan guru di tingkat
nasional secara rutin melalui "needs assessment", (7)
adanya pelatihan penelitian tindakan kelas (action research) bagi para
guru, sebagai produk kerja sama antara Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
yang telah diberdayakan, dengan perguruan tinggi -perguruan tinggi dan lembaga
penelitian lainnya, (8) adanya credit point system terhadap karya
penelitian guru yang memberikan motivasi bagi para guru untuk semakin
meningkatkan minat dan kegiatan penelitiannya.
- Untuk kategori profesi, jenjang karier dan kesejahteraan dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut
- Memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
- Menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier.
- Perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran.
- Perlunya sistem dan mekanisme anggaran yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan guru.
Implikasi dari langkah-langkah yang
dilakukan terhadap profesi, jenjang karier dan kesejahteraan agar dapat
berhasil dapat berupa (1) persyaratan akta mengajar bagi mereka, yang bukan
lulusan ilmu kependidikan untuk mengajar SLTP (A2 atau Akta 2) dan SLTA (A3
atau Akta 3) agar dilaksanakan secara konsekuen, (2) perlunya suatu peraturan
jenjang karier tenaga guru, baik secara struktural maupun fungsional, yang
setara dengan tenaga pengajar perguruan tinggi, (3) adanya kenaikan
anggaran pendidikan yang prioritasnya ditekankan pada peningkatan penghasilan
guru, (4) adanya mekanisme penganggaran serta pendanaan yang secara rutin,
sistematik dan bertahap memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan
pendapatannya secara signifikan, (5) penyempurnaan ketentuan/peraturan mengenai
sistem credit point yang fleksibel dan memberikan motivasi bagi guru untuk
meningkatkan jenjang karier.
Pengaruh faktor kedisiplinan
terhadap kinerja guru masih rendah disebabkan guru kurang menyadari akan
pentingnya sikap disiplin yang harus dimiliki dan ditegakkan oleh guru. Tingkah
laku guru yang timbul atau nampak di sekolah menjadi contoh bagi siswa dan
komponen lain di sekolah sehingga guru dituntut harus memiliki sikap disiplin
yang tinggi seperti disiplin waktu dalam proses pembelajaran, ketika waktu
menunjukkan untuk mulai kegiatan pembelajaran maka guru harus memasuki kelas
tidak ada lagi alasan yang membuat guru harus terlambat, jika suatu waktu guru
terlambat dan tidak disiplin dalam memulai pelajaran maka siswapun akan
mengikutinya. Agar disiplin menjadi faktor yang mampu meningkatkan dan
mempengaruhi kinerja maka guru harus sepenuhnya menyadari akan tugas yang
diembannya. Guru bebas melakukan kreasi dan mengembankan potensi yang terdapat
dalam dirinya guru meningkatkan kinerjanya namun konsekuensinya harus
dapat dipertanggung jawabkan secara baik, jika hal ini disadari, guru tidak
akan melakukan suatu tindakan di luar koridor profesinya dan tetap
memegang teguh kode etik profesi keguruan.
Pengaruh faktor antar hubungan dan
komunikasi terhadap kinerja sangat rendah hal ini disebabkan karena pola
hubungan atau interaksi antara komponen yang ada disekolah belum maksimal,
masih terdapatnya beberapa guru yang memiliki rasa lebih tinggi dari yang lain
sehingga memunculkan sifat individualisme yang berbeda-beda, sebagian guru
merasa bahwa kemampuan yang dimilikinya mampu mengatasi masalah yang dihadapi
dalam menjalankan tugas dan kewajibanya maka tidak perlu lagi membutuhkan
bantuan orang lain. Disisi lain guru tidak menyadari akan kelemahan dan
kekurangan yang dimilikinya akibat guru lebih memunculkan sifat keakuan dan terlalu
percaya akan kemampuan diri sendiri tanpa melihat lebih jauh kemampuan orang
lain yang jauh melebihinya. Sifat individual yang menonjol yang berkembang
dikalangan guru dan komponen yang lain di sekolah berdampak terciptanya
interaksi yang kurang harmonis, guru tidak saling membuka diri dan tidak
bersikap luwes sebagaimana seharusnya dilakukan guru. Dampak lain akibat kurang
terjalinnya hubungan dan komunikasi ialah proses pendidikan yang berlangsung di
sekolah akan terganggu, program-program sekolah tidak dapat dilaksanakan serta
tidak dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat.
Kinerja guru akan menjadi optimal,
bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu kepala
sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila
dibarengi dengan niat yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan
kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas
kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik
yang diikuti dengan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan
demikian kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari
kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini.
Mengoptimalkan integrasi seluruh
komponen yang terlibat dalam sekolah melalui pendekatan-pendekatan yang
manusiawi dan memahami serta mencermati faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
guru sangat urgen sebagai langkah antisipasi dalam mencari pemecahan terhadap
peningkatan mutu pendidikan secara umum. Sehingga dukungan yang dapat
diberikan dalam manajemen pendidikan yaitu sebagai acuan dan pedoman bagi
pengambil kebijakan tehnis untuk mengelola pendidikan secara profesional
terutama dalam mengelola dan meningkatkan kinerja guru.
Penataan manajemen pendidikandalam
upaya meningkatkan kinerja guru harus juga dilihat dalam aspek pengembangan
profesionalisme guru maka alternatif pengembangan profesionalisme guru menjadi
program-program yang mampu mempengaruhi kinerja guru.
Menurut Diknas (2005) berdasarkan
hasil analisis situsional di masing-masing daerah ada berbagai alternatif
peningkatan profesionalisme guru yang dapat dilakukan oleh :
a.
Dinas Pendidikan
setempat.
b.
Dinas pendidikan
bekerjasama atau melibatkan instansi lain atau unsur terkait di masyarakat.
c.
Masing-masing guru
sebagai kegiatan individual dan mandiri.
d. Kerjasama antara Dinas
Pendidikan dan guru (sekolah).
Dijelaskan pula, beberapa alternatif program pengembangan
Profesionalisme guru sebagai berikut :
1. Program Peningkatan
Kualifikasi Pendidikan Guru.
Sesuai dengan peraturan dan memenuhi
tuntutan Undang-undang Guru dan Dosen yang berlaku bahwa kualifikasi pendidikan
guru minimal Sarjana (S-1) maka jika dilihat dari kondisi guru yang ada
masih terdapat guru yang belum dapat memenuhi tuntutan kualifikasi pendidikan
sarjana ini berarti guru yang belum mememuhi kualifikasi pendidikan sarjana
harus dilakukan program peningkatan kualifikasi pendidikan sehingga dapat
memenuhi persyaratan tersebut. Program peningkatan kualifikasi pendidikan ini
dapat berupa program kelanjutan studi dalam bentuk tugas belajar. Tujuan dari
program ini tiada lain untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan guru sehingga
memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Langkah yang dilakukan guna merealisasikan program
peningkatan kualifikasi pendidikan guru ini dapat ditempuh dengan dua cara
yaitu :
- Dinas Pendidikan setempat memberikan beasiswa agar guru bersekolah lagi.
- Guru yang bersangkutan bersekolah lagi yang dibiayai oleh pemerintah dan guru itu sendiri.
- Guru yang bersangkutan agar bersekolah lagi dengan menggunakan swadana atau dibiayai sendiri).
2.
Program
Penyetaraan dan Sertifikasi
Program ini diperuntukan bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan
latar belakang pendidikannya atau bukan berasal dari program pendidikan keguruan.
Tidak bisa dipungkiri yang terjadi sekarang ini masih banyak
sekolah-sekolah yang mengalami keterbatasan dan kekurangan guru pada bidang
studi atau mata pelajaran tertentu sehingga langkah yang diambil dengan
memberikan tugas guru-guru yang tidak sebidang atau yang masih memiliki
hubungan dengan mata pelajaran yang diajarkan untuk menutupi kekurang dan
keterbatasan guru atau guru yang bukan berasal dari kependidikan, maka
keberadaan program penyetaraan dan sertifikasi ini mereka dapat diberdayakan
secara maksimal. Tujuan dari program penyetaraan dan sertifikasi ini agar
guru mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannyaatau termasuk kedalam
kelompok studi pendidikan yang tercantum dalam ijazahnya.
Langkah yang dilakukan dengan cara :
- Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran lain yang merupakan satu rumpun, misalnya guru PPKn dengan guru IPS.
- Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran yang tidak serumpun misalnya guru IPS menjadi guru muatan lokal dengan memberikan tambahan penataran khusus (program penyetaraan/sertifikasi).
3.
Program Pelatihan
Terintegrasi Berbasis Kompetensi
Guna meningkatkan profesionalisme guru perlu dilakukan pelatihan dan
penataran yang intens pada guru. Pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan
yang disesuaikan dengan kebutuhan guru yaitu pelatihan yang mengacu pada
tuntutan kompetensi guru. Selama ini terkesan pelatihan yang dilakukan hanya
menghabiskan anggaran, waktu dan sering tumpang tindih akibatnya
banyak penataran yang tidak memberikan hasil yang maksimal dan tidak membawa
perubahan pada peningkatan mutu pendidikan malah justru keberadaan pelatihan
tidak jarang mengganggu aktivitas kegiatan belajar mengajar karena guru sering
mengikuti kegiatan pelatihan yang terkadang satu orang guru bisa mengikuti
pelatihan beberapa kali pelatihan sebaliknya ada juga guru yang jarang bahkan
tidak pernah mengikuti pelatihan.
Untuk menjawab persoalan tersebut dimunculkan pelatihan terintegrasi
berbasis kompetensi yang tentunya pelatihan yang menacu pada kompetensi yang
akan dicapai dan diperlukan peserta didik.
Tujuan dari pelatihan ini untuk membekali berbagai pengetahuan dan
keterampilan yang akumulatif mengarah pada penguasaan kompetensi secara utuh
sesuai profil kemampuan minimal sebagai guru mata pelajaran sehingga dapat melaksanakan
tugas-tugasnya dengan baik.
4.
Program Supervisi
Pendidikan
Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas
tidak selamanya memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, ada saja
kekurangan dan kelemahan yang dijumpai pada guru saat melaksanakan proses
pembelajaran maka untuk memperbaiki kondisi demikian peran supervisi pendidikan
menjadi sangat penting untuk dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan prestasi
kerja guru yang pada gilirannya meningkatkan prestasi sekolah. Pelaksanaan
supervisi bukan untuk mencari kesalahan guru tetapi pelaksanaan suparevisi pada
dasarnya adalah proses pemberian layanan bantuan kepada guru untuk memperbaiki
proses belajar mengajar yang dilakukan guru dan meningkatkan kualitas hasil
belajar.
Kepala sekolah yang melaksanakan supervisi
pada guru harus mampu menempatkan diri sebagai pemberi bantuan bukan sebagai
pencari kesalahan, hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman dan
penafsiran yang berbeda antara guru dengan kepala sekolah, selain itu untuk
memberikan rasa nyaman guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dan menerima
segala perbaikan yang diberikan kepala sekolah.Tujuan akhir dari kegiatan
supervisi pendidikan adalah untuk memperbaiki guru dalam hal proses belajar
mengajar agar tercapai kualitas proses belajar mengajar dan meningkatkan
kualitas hasil belajar siswa.
5.
Program
Pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
MGMP adalah forum atau wadah kegiatan
profesional guru mata pelajaran sejenis. Hakekat MGMP berfungsi sebagai wadah
atau sarana komunikasi, konsultasi dan tukar pengalaman. Dengan MGMP ini
diharapkan akan dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan
pembelajaran yang bermutu sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Wadah
komunikasi profesi ini sangat diperlukan dalam memberikan kontribusi pada
peningkatan keprofesionalan para anggotanya tidak hanya peningkatan kemapuan
guru dalam hal menyusun perangkat pembelajaran tetapi juga peningkatan
kemapuan, wawasan, pengatahun serta pemahaman guru terhadap materi yang
diajarkan dan pengembangannya. Sehingga tujuan dari MGMP ini tidak lain
memumbuhkan kegairahan guru untuk meningkatkan kemapuan dan keterampilan dalam
mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi program kegiatan belajar mengajar
dalam rangka meningkatkan sikap percaya diri sebagai guru; menyetarakan
kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar
sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan;
mendiskusikan permasalahan yang dihadapi guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari
dan mencari penyelesaian yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, guru,
kondisi sekolah dan lingkungan; Membantu guru memperoleh informasi tehnis
edukatif yang berkaitan dengan kegiatan keilmuan dan Iptek, kegiatan
pelaksanaan kurikulum, metodologi, dan sistem evaluasi sesuai dengan mata
pelajaran yang bersangkutan; Saling berbagi informasi dan pengalaman dalam
rangka menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6.
Simposium Guru.
Peningkatan
profesionalisme guru banyak cara yang dilakukan seperti simposium guru.
Kegiatan ini diharapkan para guru dapat menyebar luaskan upaya-upaya kreatif
dalam pemecahan masalah. Forum ini selain sebagai media untuk sharing
pengalaman juga berfungsi untuk kompetisi antar guru dengan menampilkan guru-guru
yang berprestasi dalam berbagai bidang misalnya dalam penggunaan metode
pembelajaran, hasil penelitian tindakan kelas atau penulisan karya ilmiah.
7. Melakukan penelitian
(khususnya Penelitian Tindakan Kelas).
Peningkatan
profesionalisme guru dapat juga dilakukan melalui optimalisasi pelaksanaan
Penelitian tindakan kelas yang merupakan kegiatan sistimatik dalam
rangka merefleksi dan meningkatkan praktik pembelajaran secara terus
menerus sebab berbagai kajian yang bersifat reflektif oleh guru dilakukan untuk
meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang
dilakukan dalam melaksanakan tugasnya, dan memperbaiki kondisi dimana praktik
pembelajaran berlangsung.
Kegiatan
penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas proses
belajar mengajar dan meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses
belajar mengajar juga untuk meningkatkan hasil belajar siswa sebab melalui
kegiatan ini guru dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dilakukan dan
keterbatas yang harus diperbaiki.
BAB VI
P E N U T U P
Untuk
memperoleh keberhasilan pendidikan, keberadaan profesi guru sangat penting
untuk diperhatikan dan ditingkatkan dalam hal ini kinerja guru sebab kinerja
guru merupakan kemampuan yang ditunjukan oleh seorang guru dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaannya. Kinerja guru dapat diamati melalui unsur perilaku yang
ditampilkan guru sehubungan dengan pekerjaan dan prestasi yang dicapai
berdasarkan indikator kinerja guru.
Kinerja guru sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain pertama faktor kepribadian dan dedikasi
yang tinggi menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan tugasnya yang
tercermin dari sikap dan perbuatannya dalam membina dan
membimbing peserta didik; kedua faktor pengembangan profesional guru
sangat penting karena tugas dan perannya bukan hanya memberikan informasi
ilmu pengetahuan melainkan membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam
era hiperkompetisi; ketiga faktor kemampuan mengajar guru merupakan
pencerminan penguasaan guru atas kompetensinya; keempat faktor hubungan
dan komunikasi yang terjadi dalam lingkungan kerja memberikan dukungan bagi
kelancaran tugas guru di sekolah; kelima faktor hubungan dengan
masyarakat, peran guru dalam mendukung kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat
dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang tujuan serta sasaran yang ingin
direalisasikan sekolah; keenam faktor kedisiplinan, Suatu pekerjaan akan
menuai hasil yang memuaskan semua pihak bila guru mampu mentaati rambu-rambu
yang ditentukan melalui penerapan sikap disiplin dalam menjalankan tugasnya; ketujuh
faktor tingkat kesejahteraan, memberikan insentif yang pantas sebagai wujud
memperbaiki tingkat kesejahteraan guru guna mencegah guru melakukan
kegiatan membolos karena mencari tambahan di luar untuk memenuhi kebutuhan
hidup; dan kedelapan faktor iklim kerja yang kondusif memberikan
harapan bagi guru untuk bekerja lebih tenang sesuai dengan tujuan sekolah.
Guru merupakan ujung tombak
keberhasilan pendidikan sehingga perlu melakukan upaya pembenahan baik secara
internal maupun eksternal maka hal yang harus dipenuhi oleh guru dengan
memahami dan mengusai kompetensi dasar yang dipersyaratkan. Dalam proses
pembelajaran dalam koridor Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat didukung oleh
kemampuan guru dalam memperhatikan beberapa hal yang berkaiatan dengan
pendekatan pembelajaran ala KBK diantaranya perkembangan anak, kemandirian
anak, vitalisasi model hubungan demokratis, vitalisasi jiwa eksploratif,
Kebebasan, menghidupkan pengalaman anak, keseimbangan perkembangan aspek
personal dan sosial dan kecerdasan emosional.
Peningkatan mutu pendidikan tidak
hanya melakukan perbaikan pada kualitas guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar tetapi juga perlu dan penting diikuti dengan penataan manajemen pendidikan
yang mengarah pada peningkatan kinerja guru melalui optimalisai peran sekolah
dalam hal ini kepala sekolah dan pihak dinas pendidikan setempat untuk
memberikan rasa nyaman bagi guru dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu
optimalisasi kegiatan penataran harus betul-betul menyetuh kebutuhan guru agar
bermanfaat bagi peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas
hasil belajar siswa sehingga kedepan kegiatan pelatihan dan semacamnya harus
mampu diprogramkan supaya tidak tumpang tindih dan tidak mengganggu kegiatan
belajar mengajar sebagai dampak guru mengikuti kegiatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih N, 2002. Kualitas dan Profesionalisme Guru.
Pikiran Rakyat 15 Oktober 2002. http://www.Pikiran Rakyat.com/102002/15 Opini
Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga.
Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.Suara Pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd,
diakses 7 Juni 2001).
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana
Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan
di Universitas Muhammadiyah Malang.
Arikunto, S. 1993. Manajemen Pengajaran Secara
Manusiawi, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
As’ad, Moh. 1995. Psikologi Industri. Yogyakarta:
Liberty.
Badrun, A. 2005. Prospek Pendidikan dan tenaga kerja
(guru) di kabupaten Dompu. Orasi Ilmiah disampaikan pada saat wisuda
mahasiwa Diploma Dua program PGSD/MI-PGTK/RA STAI Al-Amin Dompu
Brent D.
Ruben. 1988. Communication and Human Behavior. New York: Macmilland
Publishing Company.
Danim S.,
2002. Inovasi Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Daryanto, 2001. Administrasi Pendidikan, Jakarta:
Rineka Cipta.
Davis, K.
& Newstrom, J.W,. 1996. Perilaku dalam Organisasi, Edisi ketujuh.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dedi Supriyadi, 1999. Mengangkat Citra dan Martabat
Guru.. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Denny Suwarja, 2003. KBK, tantangan profesionalitas guru.
19 Juli 2003. Artikel. Homepage Pendidikan Network
Depdiknas, 2005. Pembinaan Profesionalisme Tenaga
pengajar (Pengembangan Profesionalisme Guru). Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Depdiknas.
Departemen Agama RI, 2003. Profesionalisme Pengawas
Pendais. Jakarta: Direktorat Jenderal kelembagaan Agama Islam Depag
RI.
Djamarah, S.B. 1994. Prestasi belajar dan Kompetensi
Guru. Surabaya. Usaha Nasional.
Drost. 1998. Sekolah: Mengajar atau Mendidik ?.
Yogyakarta: Kanisius.
Fatah, N. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Forsdale,
1981. Perspectives on Communication. New York: Random House.
Freud,S.,
1950. The ego and the id. London: The Hogarth Press.
Furkan,
Nuril, 2006. Perubahan Paradigma Guru dalam Konteks KBK. Orasi Ilmiah pada Wisuda Diploma
Dua Program PGSD/MI-PGTK/RA dan Dies Natalis STAI Al-Amin Dompu.
Good, V. Carter, 1959. Dictionary
of Education, New York: McGraw-Hill Book
Company.
Gunawan, 1996. Administrasi Sekolah. Jakarta:
Rineka Cipta.
Hasan, Ani M, 2001. Pengembangan Profesionalisme Guru
di Abad Pengetahuan, 13 Juli 2003. Artikel.
Homepage Pendidikan Network.
Hoy &
Miskel, 1987. Education Administration.: Theory, Research and Practice.
New York: Random Hause.
Idris, J,
2005. Kompilasi Pemeikiran Pendidikan,. Taufiqiyah Sa’adah Banda Aceh
dan Suluh Press Yogyakarta: Banda Aceh dan Yogyakarta.
Imron, 1995. Pembinaan Guru di Indonesia, Jakarta:
PT. Dunia Pustaka Jaya.
Journal PAT. 2001. Teacher
in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online), http://www.members.aol.com/PTRFWEB/journal1040.,
diakses 7 Juni 2001).
Junaidin,
Akh, 2006. Kepuasan Kerja Guru, Al-Fikrah Jurnal Studi Kependidikan dan
Keislaman, Ed. I thn. I hal. 45-66.
Kohler,
Jerry. W., Anatol, karl W. E dan Applbaum, Ronald L. 1981. Organizational
Communication: Behavioral Perspective. New York: Holt Rinehart and
Winstons.
Maister,
1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Mendiknas, 2005. Paradigma Pendidikan Indonesia,
(Koran Berita). Mataram.
Muhammad, A. 2001. Komunikasi Organisasi. Ed. 1,
Cet.4 Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
_______, 2003. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep,
Strategi dan Implementasi) Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Nainggolan H, 1990. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil,
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru
dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online), http://www.suarapembaruan.com/News/081998/08Opini
Nur Syam, 2005. Pendidikan di era Globalisasi
“Tantangan dan Strategi”. Orasi Ilmiah dalam wisuda Perdana STAI Al-Amin
Dompu.
Owens, 1991. Organisational
Behavior in education. Bonston: Allyn
and Bacon.
Oemar Hamalik, 2002. Psikologi Belajar Mengajar.
Bandung: PT. Sinar baru Algensindo.
Pantiwati, 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme
Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs).
Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
Pidarta, 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu
Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT. Bina Rineka Cipta.
_______, 1999. Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan.
Jakarta: PT. Bina Aksara.
Raka Joni, T, 1992. Pokok-pokok Pikiran Mengenai
Pendidikan Guru. Jakarta : Ditjen Dikti
Depdiknas.
Robbins,
S.P. 1996. Organization Behavior: Concep-Contraversies Application. New
Jersey: Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Rusmini,
2003. Kompetensi Guru Menyongsong Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.Indomedia.com/bpost/042003/22
Opini.
Semiawan, 1991. Mencari Strategi Pengembangan
Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta:
Grasindo.
Sergiovanni,
T.J., 1991. The Principalship of reflektive Practice prespectif, Boston
: Allyn and Bacon.
Soetjipto, Raflis Kosasi. 1999. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
Stiles, K.E.
dan Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional
Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher.
September 1998. hlm. 46-49).
Stiles, K.E.
dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies:
Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The
Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sulistyorini,
2001. Hubungan antara Keterampilan Manajerial Kepala Sekolah dan Iklim
Organisasi dengan Kinerja Guru. Ilmu Pendidikan: 28 (1) 62-70.
Supriadi, 1999.
Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa.
Suparlan, 2004. Beberapa Pendapat tentang Guru Efektif
dan Sekolah Efektif. Fasilitator : Edisi I Thn 2004(23-28).
Suryabrata, 2001. Psikologi Kepribadian. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Sutadipura, 1994. Kompetensi Guru dan Kesehatan Mental.
Bandung: Penerbit Angkasa.
Sutaryadi, 1990. Administrasi pendidikan. Surabaya:
Usaha nasional.
________, 2001. Administrasi Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional.
Slemato. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
S. Karim A. Karhami, 2005. Mengubah Wawasan dan Peran
Guru dalam era kesejahteraan . Akses Internet.
Tempe, A. Dale., 1992. Kinerja. Jakarta : PT.
Gramedia Asri Media.
The Liang Gie, 1972. Kamus Administrasi. Jakarta:
Gunung Agung.
Uzer usman, Moh. 2002. Menjadi Guru yang Profesional.
Edisi kedua. Bandung: Remadja Rosdakarya.
W.F.
Connell, 1974. The Foundation of Education.
Wijaya, C.
Dan Rusyan A.T, 1994. Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zahera Sy, 1997. Hubungan konsep diri dan kepuasan
kerja dengan sikap guru dalam proses belajar mengajar, Ilmu Pendidikan,
jilid 4 Nomor 3 hal. 183-194.
________, 1998. Pembinaan yang dilakukan Kepala
Sekolah dan etos kerja guru-guru Sekolah Dasar., Ilmu Pendidikan, jilid 5
Nomor 2 hal. 116-128.
Langganan:
Postingan (Atom)